Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Nanti Sore

Diramein ya, vote dan komennya, biar semangat update ^^

***

Una sempat mengikuti banyak ekstrakulikuler; pramuka, PMR, drum band, kasidah, hingga bela diri seperti karate. Namun di akhir semester dua tahun kemarin, ia terpaksa meninggalkan sebagian besarnya karena seluruh waktuknya terforsir demi fokus latihan voli untuk ajang pertandingan voli putri antar sekolah.

Lalu, karena kekosongan jadwal setelah pertandingan berlalu, Anin berhasil meracuni Una denga alasan ia butuh teman dan menjebloskannya ke tempat ini; ruangan ekskul menjahit dan merajut.

"Aduh, ini gimana sih, kok nggak bisa-bisa?!" Una mengerang frustrasi.

Materi hari ini adalah cara merajut triple crochet, atau tusuk tripel, yaitu jenis tusuk crochet yang membentuk tiga rantai. Mereka sudah berada di level ke-4 pembelajaran sementara Una masih berkutat di pelajaran dasar yang diajarkan minggu lalu; cara membuat rantai. Crochet pertama, Una berjuang keras, namun cukup berhasil setelah beberapa kegagalan. Pada double crochet, dia meminta tolong Anin. Dan sekarang yang ketiga. Anin telah membuat rajutan selebar telapak tangan orang dewasa sementara segumpal benang di tangan Una masih berupa rantai.

"Nin, tolongin~" rengeknya, mengacungkan rantai dengan lubang tidak merata─besar-kecil besar-kecil─ ke depan wajah Anin. Cewek itu mengerutkan alis memandang masterpiece Una.

"Loh, dari tadi kok nggak jadi-jadi? Ini bukannya tadi gue udah ngerjain sebagian double crochet punya lo?"

"Gue salah masukin, jadi ancur dan rombak ulang," Una memajukan bibir. Ia melirik pada Mbak Puput, tutor mereka yang tengah membantu seorang siswi lain di barisan depan.

Jangan sampai Mbak Puput menangkapbasahnya lagi tidak mengerjakan apa pun, perempuan penyabar itu bisa spaneng.

"Nah kalau udah jadi, hasilnya bisa kayak gini!" Di depan kelas, Mbak Puput memamerkan bentuk tas kecil berwarna hijau limau, belum sempurna karena tidak ada resleting. "Nanti kalian tinggal bikin rantainya pakai crochet satu, yang rapat."

Una meletakkan pipinya ke atas meja, menghadap Anin. Jangankan membuat tas seperti di contoh, membuat serbet ingus saja dia tidak sanggup. Ternyata merajut itu capek juga. Lebih capek dari voli karena ia harus ekstra teliti. Dan Una serta ketelitian tidak pernah bersahabat.

Di meja sebelah, Anin menatapnya prihatin. "Maaf, deh, udah ngajakin. Abisnya Rahma sama Fa'i nggak mau. Tahu lah Rahma, bisanya nendang-nendang, mukul orang, emang tepat dia masuk karate. Sementara Fa'i ... entah mikir apa dia malah masuk PMR."

"Emang kurang asem tuh, si Bawang Putih. Masuk PMR cuma buat ngecengin kakak-kakak senior di sana yang seganteng artis Kpop, katanya. Rasain diazab kakak-kakak ganteng PMR. Dipikirnya gampang kali jadi anak PMR."

"Paling minggu depan udah nggak masuk lagi," komentar Anin.

Una tertawa, agak terlalu keras sehingga ia buru-buru menutup mulutnya.

Untungnya, Mbak Puput hanya memberikannya tatapan dari sudut mata, lalu melirik arlojinya. "Waktu kita sudah habis! Sampai sini dulu, ya. Sampai jumpa minggu depan!"

Kelas bubar dengan segera. Una menjadi yang paling cepat membereskan jarum rajut beserta gumpalan benang wol yang ia masukkan ke tas persegi kecil sebelum bersatu di dalam tas dengan kaus olahraga, botol air minum, payung, makanan ringan serta atribut lainnya.

"Gue duluan, ya, Nin!"

"Mau kemana?!" Anin belum selesai merapikan barangnya. Anak itu memang selalu teliti dan rapi, menempatkan barang secara berurutan, yang paling besar di bawah dan terus mengecil sampai ke atas.

"Ada perlu!"

"Perlu apa? Kita mampir ke kantin dulu, yuk! Gue belum─"

"Mau nyusulin Iyam!"

Una masih mengingat jelas pesan-pesan Rahma. "Pokoknya lo nempel-nempel aja dulu kayak lintah atau tukang tagih pinjol! Buat Iyam terbiasa dengan kehadiran lo. Tahu, kan, ada istilah 'cinta datang karena terbiasa?'"

"Enggak. Gue nggak tahu."

Rahma menoyornya. "Pokoknya ada. Dan laksanakan aja misi lo!"

Anin menghentikan gerakannya, urung memasukkan kotak alat rajutnya ke dalam tas. Ia menatap Una sesaat, sepersekian detik, lalu menunduk. Dan selama sepersekian detik itu, ada keruh samar di wajah Anin yang hampir Una lewatkan.

"Lo kenapa?"

"Enggak, gue...," Anin mendongak, wajahnya memelas sekarang. "Laper. Belum sarapan."

"Yee elo. Udah kurus, juga. Makan ya, sayangku!" Una menepuk-nepuk pundak Anin, kemudian menyandangkan tas ranselnya ke punggung. "Gue duluan ya. Bye! Jangan lupa makan!"

Lalu Una berlari ke luar kelas, tidak lagi menoleh.

***

Kegiatan ekstrakulikuler lain selain renang, tinju, tenis, voli, badminton, dan sepak takraw turut mengambil tempat di gedung olahraga. Gedung itu memiliki tiga lantai, berada di antara gedung ruang kelas dan kantor guru serta perpustakaan. Jadi, Una hanya perlu menuruni dua lantai hingga lantai dasar, lalu berbelok menuju deret ruangan alih-alih ke pintu utama gedung. Ia berhenti tepat di depan ruang latihan renang.

Melalui kaca sempit di pintu ruang renang, Una coba mengintip keadaan di dalam, berharap dapat melihat Riam. Namun detik berikutnya ia segera memundurkan langkah, menutup matanya rapat. Banyak anak laki-laki setengah telanjang di sana, hanya mengenakan celana renang yang super ketat dan penutup kepala.

Astaga! Astaga! Dosa mata!

"Ngintip?"

Suara berat tepat di belakang telinganya membuat Una terkesiap, kepalanya dengan refleks maju, membentur pintu.

"Aduduuuh." Sambil meringis, Una mengusap bakal benjol di keningnya dan memutar tubuh. Hal yang membuatnya lebih kaget adalah menemukan Riam menjulang begitu dekat dengannya. Sedekat itu sampai-sampai Una dapat membaui samar aroma sabun dari tubuh Riam dan dapat merasakan hangat napas cowok itu menggelitik kening, meskipun Riam sedang menunduk memandangnya.

"Iyam kok di sini?"

Riam mengangkat sebelah alis. "Salah?"

"E-enggak, tapi kan... Kok udah keluar?"

"Ada yang namanya pintu belakang." Kemudian, setelah jeda sedetik, Riam turut bertanya. "Ngapain ngintip-ngintip?"

Pertanyaan itu menyentak Una, membuatnya gelagapan sedikit, utamanya ketika mengingat pemandangan di dalam tadi. Sementara, Riam yang berdiri di depan Una telah mengenakan pakaian lengkap, celana training yang menjadi seragam Bucin dan kaus hitam lengan pendek dengan tulisan bahasa asing yang Una tidak paham artinya. Kaus itu begitu kontrak dengan kulit Riam, membuat Riam semakin terlihat tidak manusiawi. Juga memberikan celah bagi siapapun yang ingin mengintip lekukan samar di lengan atas cowok itu.

"Enggak ngintip, kok! Lagi nunggu Iyam."

"Ngapain?"

"Mau ... makan siang bareng?" Una menyatukan kedua telunjuknya dengan malu-malu serya menyengir (namun cengirannya agak tidak tahu malu). "Yuk! Lagi pengen siomay yang di depan sekolah! Iyam yang traktir, tapi. Hehe."

Kalau kata pepatah, sekali mendayung pulau, dua tiga pulau perahu terlampaui.

"Males," jawab Riam cepat, singkat.

Cowok itu melangkah melewati Una, menuju pintu keluar. Di balik punggung Riam yang sudah berlalu di koridor, Una mendengkus dan menaikkan tinju ke udara, menghantam tempat Riam berdiri semula. Seandainya ia punya cukup keberanian untuk meninju Riam sungguhan ... si Batu Bernapas yang sombong itu.

Ingat tujuan kita apa, Na? Wejangan Rahma kembali berputar-putar dalam kepala Una. Buru-buru, ia menempelkan kedua tangan di dada demi menyabarkan diri, mengademkan hati. Sabar Una, Sabar! Orang sabar perutnya melar.

Menguatkan hati dan menebalkan muka, dengan cepat Una berlari menyusul Riam. Kemudian menyelipkan lengan di lekukan siku cowok itu.

"Ayo~ Enak siomay di situ."

Riam meliriknya, tetapi tidak berkomentar atau menyingkirkan lengan Una. Ia hanya memandangi tautan lengan mereka. Alisnya kembali naik. "Emangnya nggak takut dicegat lagi kayak tadi pagi?"

Una terhenti dari langkahnya, atau usaha bujuk-rayunya demi mendapat siomay gratis. Perihal ia yang dihadang lima cewek tadi pagi ... Riam ternyata sadar?

Terus, kenapa nggak nolongin kayak di drama-drama, anjir! Kayak Dao Mingtse nolongin San Chai di Meteor Garden 2018, gitu?

"Kenapa nggak nolongin?"

"Lo bisa ngatasin sendiri. Tadinya bolanya buat mereka, tapi ada yang namanya faktor angin." Riam mengendikkan bahu.

Una memberinya picingan mata. Jadi aslinya lo mau nyundul kepala gue, gitu?! Untung saja gerombolan cewek-cewek tadi tidak memperpanjang urusan. Lepas bola yang melayang keras ke muka Meyriska, teman-temannya seketika mundur, kabur bersama cewek itu. Padahal semua yang Una katakan hanyalah permintaan maaf dan bahwa dia tidak sengaja.

"Iyam jahat deh. Una maafin kalau mau traktir siomay."

"Nggak dimaafin nggak papa."

"Iyam!"

"Panas."

"Tenang!"

Riam dipaksa menunggu ketika Una merogoh tasnya. Ke tangan Riam, ia menitipkan botol air minum, sebuah tas kecil, dan dua bungkus permen, sebelum menemukan apa yang ia cari. Cewek itu mengeluarkan payung lipat berwarna dasar oranye dengan bunga-bunga kuning menghiasi. Ketika Una membukanya, payung itu seolah menyala di tengah teriknya hari.

Riam membuang pandang, tidak sudi berada di bawah benda menyala tersebut. Akan menarik begitu banyak perhatian.

"Ayo!"

Di dekat undakan turun dari pelataran gedung, Una terhenti, menunggu Riam. Ketika cowok itu tidak juga beranjak mengikutinya, Una mengulurkan tangan.

"Ayo, udah ada payung! Nggak boleh ada alasan lain!"

Riam berdecap. Mungkin, dalam pikirannya, daripada terjebak di gedung olahraga, tanpa kemana-mana, lebih baik menurut kali ini. Bukan karena Una, tentu.

Ia tidak menyambut uluran tangan Una, tetapi melangkah maju dan berhenti tepat di sisi cewek itu. Tangannya meraih pegangan payung yang tengah di pegang Una, menaikkannya ke atas. Dan dalam proses itu, jemari mereka bersentuhan.

Jika biasanya, di novel-novel romansa, atau fiksi cinta di media daring semacam Wattpad, akan ada getar listrik yang berpendar di ujung jari, lalu menjalar naik ke lengan hingga ke pipi hanya karena satu sentuhan ringan, hal itu tidak terjadi. Hampir, hampir saja terjadi.

Una hampir kehilangan pegangannya ketika merasakan bagian bawah jemari Riam melingkupi miliknya. Hangat, ternyata, tidak sedingin orangnya.

Tetapi, tentu saja, mulut Riam tidak sehangat telapak tangannya.

"Pegangin. Yang bener."

Ekspektasinya, mereka berjalan berdua. Di bawah payung. Riam memegangi payung, merelakan sebagian pundaknya tersengat panas matahari karena ukuran payung yang kecil. Dan tidak apa-apa, selama Una aman sentosa di bawahnya.

Kenyataan punya pendapat berbeda.

"Yang bener, pegangnya."

"Ke atas dikit."

"Kamu pegangnya terlalu melorot."

"Payungnya nyentuh kepala gue."

Satu-satunya saat Riam berlaku cerewet, mungkin adalah saat ini. Jarak dari gedung olahraga, ke gerbang sekolah, lalu ke deret jajanan pinggir jalan di depan sekolah tidaklah terlalu jauh. Tetapi bersama Riam, dua ratus meter terasa seperti selamanya. Seperti berjalan di titian siratal mustaqim, panjang dan panas, literally. Karena Una harus merelakan dirinya tersengat matahari karena Riam yang tidak bersedia berbagi kenaungan payung. Tugas Una hanya memegangi payungnya, namun tidak boleh ikut menikmati.

"Iyam, tangan gue capek, pegel. Mana panas banget, lagi."

Riam tidak menggubrisnya. Cowok itu hanya menatapnya, lalu membenarkan kembali tangan Una yang merosot turun.

Una melirik kembali kaos hitam lengan pendek Riam. Ya pantas aja kulitnya putih bening kayak vampire abis diamplas. Dia bahkan nggak mau kesenggol matahari dikit aja! Mau tidak mau, Una meneliti kulitnya sendiri. Latihan voli selama bertahun-tahun telah memberikan efek belang di sepanjang lengannya. Dia dan Riam berdiri berdampingan seperti ini jadi mirip iklan pemutih kulit, Una before dan Riam afternya.

Mereka berjalan melewati gerbang sekarang. Pedagang siomay yang biasa nongkrong di bawah pohon besar di depan sudah kelihatan. Seketika, Una melupakan panas di pundaknya, atau manusia egosi di sampingnya. Bayangan siomay dan saus kacang pedas menari-nari di kepala, membuatnya bersemangat. Una melangkah lebih cepat.

"Na."

"Apa? Pegangin payung yang bener lagi? Nih! Nih!" Una mendorong gagang payungnya, hingga menabrak kening Riam. Namun cowok itu tidak bereaksi, ia masih menatap Una dengan datar.

Dan tatapan itu ... membuat Una menhentikan langkah. "Apa lagi?" tanyanya kembali.

"Besok libur. Minggu."

"Iya, tahu. Terus?"

Matahari sedang terik-teriknya, tergelincir sedikit di arah tepat di belakang kepala Riam sehingga perlu usaha besar bagi Una untuk menatap cowok itu tanpa menutup mata. Silau. Una menghitung detik, menunggu. Riam masih mendiamkannya. Lalu, sebelum cewek itu berbalik karena tidak tahan terik, Riam buka suara. Nadanya ringan.

"Nanti sore gue jemput."

***

(Punggung Iyam uwu. Yang mau senderan harap antre.)

***

Jangan lupa mampir nengokin Saga di Orionis: EPSLION by okkyarista. See you~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro