22. Tugas Pacar
Judulnya ngajak berantem emang XD
Ramaikan vote dan komentar, ya~ Happy reading!
***
Apa yang Riam yakini adalah, tadi malam dirinya mengalami brownout. Ia tidak bisa lagi mengingat beberapa hal setelah gelasnya yang ke-empat. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa pulang, yang ia tahu, ia terbangun di rumah Saga, dan ada noda muntah di bajunya. Ia bahkan tidak mengingat dirinya sempat muntah.
Tetapi, ada beberapa hal yang ia ingat. Seperti Saga yang menyokongnya, dan hampir membuat mereka berdua jatuh terjerembab, Saga yang merebut ponselnya, dan ... Gods forbid, kalau boleh memilih, Riam tentu lebih baik tidak mengingatnya. Tetapi kenapa ... ingatan itu begitu jelas di kepalanya.
"Oke, kita pacaran." Itu yang dia katakan.
Sekarang kenangan akan tindakan impulsifnya menari-nari di kepala, menerornya sedemikian rupa. Mulai hari ini, Riam bersumpah ia tidak akan pernah menyentuh alkohol lagi.
Sekarang harus apa?
Meski dengan wajah yang tidak memberikan petunjuk emosi apapun, nyatanya pikiran Riam sedang berkecamuk. Ia turun dari ranjang UKS begitu merasakan mual dan sakit kepala yang ia alami sebagai sisa efek dari teler berat kemarin mulai mereda, mematut dirinya di depan cermin setengah badan, lalu melangkah ke luar.
Rupanya, saat itu masih jam istirahat, terlihat dari ramainya selasar. Lalu, seperti Tuhan tidak bersedia memberi jeda bagi Riam untuk mendinginkan kepala, ia melihatnya. Cewek itu. Cewek yang tadi malam dengan enteng ia ajak pacaran.
Seketika, sudut mata Riam bergerak ke segala arah, mencari jalan lain yang bisa ia lalui tanpa harus membuatnya bertemu Una. Atau ia akan ...
"Riam!"
Seseorang melambai di ujung selasar. Bukan Una. Denis ternyata masuk hari ini setelah kemarin bolos. Dan Riam dapat mengerti alasannya kali ini. Luka-luka di wajahnya masih membekas, walaupun dari jarak Riam berdiri sekarang, thanks to Bujangga Sagara Osadi. Maka, tidak ada lagi jalan lain, tidak mungkin berpura-pura tidak melihat Denis saat kepalanya telah menoleh atas panggilan itu. Maka, memasang wajah ketusnya, ia berjalan, memfokuskan pandang pada Denis, mengabaikan Una yang ia lewati.
Adahal hal yang cukup mengagetkan cewek itu tidak melompat ke arahnya, atau setidaknya ... memanggil namanya. Mereka berpapasan begitu saja, tanpa sepatah kata.
***
"Lo deket, sama Denis?"
Mitha tiba-tiba saja bersuara. Jam sekolah telah berakhir, dan Riam bahkan tidak tahu sejak kapan cowok itu muncul di ruang kelas IPA 1 dan berdiri di sisinya. Riam menyelesaikan pekerjaannya memasukkan buku-buku ke dalam tas, menarik zippernya dengan benar, lalu mendongak kembali pada cowok bertubuh besar itu. Tampang Mitha yang merengut benar-benar tengah mengkhianati penampilan badan.
"Biasa aja."
"Gue liat kalian sering nongkrong bareng, belakangan."
"Biasa aja," Riam mengulang, masih dengan nada yang sama. Ia menyampirkan tas di pundak dan meraih kunci motor, menyimpannya di telunjuk. "Dia sering muncul."
Mitha masih tampak tidak senang. Kalau ada Saga, bertaruh cowok itu sudah akan meledek mereka berdua. Cieee yang cemburu-cemburuan. Membayangkannya saja, Riam bergidik.
"Mana Saga?" Kadang, Riam merasa Saga dan Mitha lebih dekat daripada ia pada mereka. Mungkin karena mereka selalu bertukar candaan dua arah, sehingga pembicaraan tidak pernah kosong, tidak pernah sepi. Sementara dengan dirinya ... mereka tak ubahnya mencoba mengajak bicara tembok.
"Nggak tahu tuh anak. Dicariin dari tadi nggak ada. Kata anak-anak lagi nganterin cewek pulang."
Riam menaikkan satu alisnya sebagai tanggapan, namun tidak berkomentar apa-apa. Keduanya melangkah ke luar kelas, berbelok ke kiri yang jaraknya lebih dekat menuju gerbang sekolah. Riam melangkah lebih dahulu dan Mitha mengimbanginya.
"Yam?"
"Hm."
"Menurut lo Denis anaknya gimana?"
Langkah Riam terhenti, ia menatap Mitha, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Dan Mitha, tentu saja, dengan sukarela melakukannya. "Enggak. Cuma... sedih aja. Denis kan hebat, seharusnya kita berempat, nggak, sih? Tapi kalau berempat nanti nggak jadi Sabuk Orion," kekehnya.
Pembahasan itu tidak berlanjut karena ekspresi Mitha segera berubah, ia meraih tangan Riam dan menekannya kuat-kuat. "Yam, pegangin gue!"
"Apa? Lo epilepsi?"
"Bukan!" Mitha menggeleng keras, lantas meraup napas rakus,. Tubuhnya semakin panik, sekilas ia bahkan tampak kejang-kejang.
"Asthma?"
"Bukan! Allahu Akbar!" Kenapa Riam nggak paham-paham?!
"Stroke?"
"RIAM! Kalo lo mau gelut, hayuk lah! Tapi bukan sekarang!"
Telunjuknya bergerak, menuju arah di balik bahu Riam. "Ais! Ada Ais! Ya Allah bidadari surga gue."
Cewek yang dimaksud segera muncul di pandangan begitu Riam menoleh. Di antara teman-temannya, dia memang sedikit menyolok dengan penampilan ataupun tawa yang membahana. Cewek berjilbab berwajah imut dari kelas IPA 3, Riam ingat ia pernah dikenalkan dengannya tahun kemarin, waktu dikumpulkan untuk mengikuti olimpiade mewakili sekolah.
Mitha kemudian menarik diri, melemparkan tasnya kepada Riam. "Tolong pegangin!" Ia mengambil gel rambut dari dalam tas, lalu dengan kasar membalurkan jumlah yang agak keterlaluan banyak ke rambutnya. Mitha nyaris seperti model shampo dadakan di selasar siang itu, yang membuat cewek-cewek lainnya menatap mereka, yang tentu saja tidak Mitha pedulikan. Tatapannya hanya tertuju pada Ais seraya ia menyisir rambut dengan jari.
Ia lalu menatap Riam. "Gue udah ganteng, belom?"
"Sama aja."
Mulut Mitha terbuka, ingin memprotes, namun segera ia mengurungkan niat. Ada yang lebih mendesak dari itu. "Kunci! Kunci motor gue mana?!"
Riam mengendik, membuat Mitha semakin gusar. Ia membongkar tasnya lagi dan nyaris menumpahkan buku-bukunya dalam proses sebelum menemukan apa yang dicari. Mitha segera lari dengan kunci di tangan.
"Mau kemana lo?"
"Nganterin Ais!"
"Ngapain?"
Mitha mengerem kakinya yang sudah siap sprint off agar tidak kelewatan kesempatan, namun atas pertanyaan Riam, ia berbalik. Riam menatapnya seolah cowok itu sungguh kebingungan. Astaga, ini anak ngumpet di goa mana, dah!
"Tugas pacar lah!"
Ia berjalan kembali ke arah Riam, merebut tasnya yang sempat terlupakan. "Calon, sih."
Dan Riam baru akan mengabaikan, kembali ke tujuannya semula: pulang. Jika saja ia tidak melihat cewek pemilik senyum creepy itu berdiri di dekat gerbang sekolah.
Sekali lagi, Riam teringat tujuannya, keingintahuannya.
***
"Naik."
Una mengerjap, masih berusaha memahami fakta bahwa Riam di depannya. Riam sungguhan dan bukannya Pak Mukhlis yang menyamar. Juga, tentang fakta bahwa cowok itu baru saja menyuruhnya naik.
"Naik ... apa?"
Aduh bego banget, Una! Seketika, Una ingin menampar diri sendiri dengan helm di tangannya. Riam membawa motor, Riam menyuruhnya naik, tidak mungkin Riam sedang menyuruhnya naik kelas, apalagi naik haji!
Dan seperti dugaan, atas jawaban yang Una berikan, Riam menatapnya dingin, mengintimidasi. Mungkin jika Una tidak segera membenturkan kepala, Riam yang akan membantu melakukannya.
Jadi, ketika Riam meraih tangannya, ada desakan dalam diri Una untuk kabur. Meskipun dia cukup jago dalam bidang olahraga, tapi konon katanya Riam jago beladiri. Bagaimana kalau dia dilempar seperti dalam film-film Kungfu?! Una hampir saja melakukannya, kabur. Kecuali, Riam tidak melemparkan tubuhnya, melainkan hanya menarik helm di tangan Una untuk ia dekatkan ke muka cewek itu.
"Buruan naik."
"Tapi... kenapa?"
Ada jeda. Riam berdeham, kemudian menatap ke arah lain saat dia berkata, "Tugas ... pacar, kan?"
***
Kalau enggak pegangan ... ia bisa jatuh dari motor yang menukik tajam itu terus innalillahi. Kalau pegangan ... ia bisa dilempar Riam dari atas flyover lalu sadaqallahul 'adzim. Benar-benar seperti makan buah simalakama. Alhasil, tangannya hanya maju mundur di pinggang Riam.
Cowok itu sendiri tidak mengatakan apa-apa sepanjang jalan. Rasanya seperti dibonceng robot. Bahkan tukang ojol saja jauh lebih enak diajak mengobrol ketimbang Batu Bernapas ini.
Namun kali ini, mungkin itu adalah pilihan terbaik. Karena, otak Una masih belum berhasil memproses setiap informasi yang cowok itu berikan. Tugas ... pacar? Mereka sekarang ... pacar.... KITA SEKARANG PACARAN?!!! Una terkesiap hebat kira-kira sepuluh menit setelah motor dilajukan, membuat Riam harus serta merta menarik rem karena kaget.
"Apa?" Cowok itu menarik kaca helmnya ke atas dan menatap Una galak.
Yang tentu saja, tidak membuat Una gentar. "Iyam. Kita pacaran?!"
"Iya."
"Pacaran... PACARAN?!"
"Ada berapa jenis pacaran, emang?"
Una terkesiap lagi, lebar, hingga ia harus membekap mulut. "Serius?! Iyam nggak lagi mabuk, kan? Iyam salah makan, ya? Iyam nggak punya penyakit apapun, kan? Umur Iyam bukannya nggak lama lagi, kan? Iyam─"
"Berisik sekali lagi, gue tinggal."
Pertanyaan Una segera terputus di udara, menguap bersama cerahnya matahari siang menjelang sore. Desakan itu masih ada, meronta-ronta hebat minta dikeluarkan dari kepala. Namun Una tahu Riam akan serius dengan ucapannya, jadi ia memilih membekap mulut erat-erat dan menggeleng.
Cowok itu akhirnya mengembalikan fokusnya ke jalanan di depan. Namun sebelum ia menstarter motor, Riam kembali memberikan tolehan singkat.
"Kalau mau pegangan, pegang aja. Kalo lo jatuh, gue yang tanggung jawab."
***
Apakah sudah sesuai dugaan?
Part selanjutnya mau ngapain, nih? Orang pacaran ngapain sih, emang? Wkwk
Jangan lewatkan kisah Saga di Epsilon by okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro