Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Efek 60%

Tebak-tebakan dulu boleh, dong. Kira-kira di telepon Riam ngomong apa?

***

Pada selasar koridor menuju kantin siang itu, Riam menghentikan langkah. Nampaknya, rencananya untuk makan siang bersama Mitha dan Saga, sekalian membahas ketegangan kecil yang sempat terjadi dalam tubuh Orion, harus tertunda untuk sementara. Karena di sana, ia melihat Mas Rino, pelatih renang yang biasanya hanya berkeliaran di Gedung Olahraga dan hanya pada jam mengajarnya itu sekarang tampak mengobrol di tengah selasar bersama seseorang yang tampak sepantaran dengannya, dua puluh lima tahun atau di atasnya sedikit. Riam tidak bisa kabur dengan mudah.

"Riam!"

Seperti dugaan. Ia tidak mungkin lolos hidup-hidup dari sini. Riam mengangguk pada Mas Rino, kemudian melempar senyum tipis seraya mendekat. Laki-laki yang sedang mengobrol dengan Mas Rino itu menghentikan ucapannya tepat ketika Riam berada di hadapan mereka. Kepada Riam, ia seakan memberikan tatap menilai.

Tidak seperti Mas Rino yang mengenakan kaus polo lengan pendek dan celana olahraga berlogo SMA Buana Cendekia, lelaki itu mengenakan celana bahan yang licin, kemeja rapi, dan sepatu pantofel. Seorang guru? Yang jelas, Riam belum pernah melihatnya.

"Riam. Kamu kok absen berapa hari ini dari latihan? Turnamen sudah makin deket, loh." Ucapan Mas Rino membuat Riam memutuskan kontak singkatnya. Ia menoleh kepada sang pelatih. "Sayang, kan. Rekor kamu sudah bagus, tapi kalau nggak terus dilatih, performa kamu bisa menurun."

Sebelum Riam menjawab, Mas Rino kembali membuka kalimat baru. Lawan bicaranya kali ini bukan lagi Riam. "Omong-omong, Pak Atlas, ini Riam, anak bimbingan saya yang mau ikut turnamen ASC nanti, anak berprestasi juga, Pak. Dan Riam, ini Pak Atlas. Kalian belum pernah ketemu, kan? Guru BK biasanya ketemu yang melanggar peraturan aja."

Kedua orang dewasa itu terkekeh, sementara Riam memberikan anggukan singkat sebagai bentuk sopan santunnya.

"Jadi kenapa kamu nggak latihan, Riam?'

"Itu ... maaf, Mas. Lengan saya terluka. Masih belum kering total. Minggu depan saya latihan lagi."

"Lengan kamu kenapa, emangnya?" tanya Pak Atlas, guru baru itu.

"Enggak, cuma ... jatuh, dari motor." Oke, Riam biasanya memiliki otak yang dapat diandalkan dengan cepat, dalam siatuasi terdesak sekalipun. Namun mengarang alasan bukan salah satu keahliannya.

"Kok bisa jatuh dari motor? Kamu ngebut, ya?" Mas Rino menimpali, untungnya. "Makanya hati-hati, Riam. Turnamen kali ini sangat penting, bukan hanya untuk kamu pribadi, tapi juga nama baik sekolah."

"Iya, Mas. Saya akan ngasih yang terbaik."

"Gitu, dong. Semangat, ya! Eh ini, kamu mau ke kantin, ya? Malah diajak ngobrol. Yaudah, sana, sana. Isi tenaga dulu yang banyak."

Lepas dari obrolan itu merupakan satu kelegaan. Riam segera pamit dan berlalu berlalu, berusaha mengabaikan sudut mata Pak Atlas yang seakan ... mengawasinya.

***

"Ngapa lo senyum-senyum?"

Suara Mitha yang menggelegar tidak hanya menyentak Saga sebagai objek teguran, tetapi juga Riam, yang barusaja meletakkan jajanannya ke atas meja, dan mungkin hampir seisi kantin.

Saga mengangkat wajahnya dari layar ponsel. "Emang gue nggak boleh senyum? Harus manyun terus gitu, dengan muka kayak ketek lo? Asem?"

"Ya nggak gitu juga." Mitha menggeser satu kakinya melewati bangku panjang kantin, sehingga posisinya kini tepat menghadap Saga. Riam sendiri mengambil posisi duduk di seberang meja. "Tapi lo kayak perawan lagi pacaran aja, tahu, nggak?! Dah jadian lo sama si ... siapalah itu, cewek berkaki panjang bermata bola pingpong itu?"

"Kaga! Apaan." Saga mengelak, menggelengkan kepala. Ia mengantongi kembali ponselnya dan memutuskan ... Fay bisa menunggu untuk balasan pesan darinya. Sekarang selir-selirnya perlu quality time.

"Jangan kalah, Ga. Sama Riam."

Riam yang baru saja menyuapkan roti isi ke mulut, seketika mendelik, nyaris tersedak. Kenapa dirinya dibawa-bawa?

"Riam aja kemarin mojokin cewek!"

Uhuk! Sekarang, Riam betulan tersedak, namun, Mitha tidak peduli. Ia sedang semangat bercerita. Apalagi, Saga telah menatapnya begitu penasaran. Keduanya mengabaikan kegagalan usaha Riam untuk menelan makanannya dengan sempurna.

"Lo tahu anak IPS yang cantik, suka main voli itu? Imut lah, walaupun nggak seimut Ais. Kurang panjang sih kakinya, jadi gue nggak yakin lo tahu. Tapi masa, ya. Kemarin gue liat Riam─"

Gosip Mitha tidak bisa diteruskan, sebab Riam telah menjejalkan roti isinya ke mulut cowok bongsor itu. Semuanya, hingga mulut Mitha penuh, memaksanya untuk diam paling tidak satu menit ke depan.

Saga tertawa, lalu menggoyangkan alis ketika menatap Riam. "Yam, udah bangun? Udah kenal bahwa ada makhluk di muka bumi ini yang bernama cewek?"

Riam tidak segera menggubrisnya. Tidak ingin. Ia tidak ingin memperpanjang masalah yang bahkan tidak pernah ada. Maka, sambil mengendik, ia membuka botol susu kedelai botolnya. "Mitha salah lihat," katanya.

Mitha mencibir, namun masih kesulitan menghabiskan makanannya. "Hahian hehak hahan ho hahan hehihian?"

Riam mengernyit, sementara Saga tergelak lagi. "Katanya, sejak kapan lo makan beginian?" tunjuknya pada roti isi dan susu kedelai Riam, terutama susu kedelai itu. Riam yang mereka kenal adalah seorang biksu yang hanya bisa minum air putih.

"Nggak boleh?" Riam mengendik. Kemudian, tatapannya berpindah ke arah masuk kantin.

Saga mengikuti arah pandang Riam, kemudian menepuk pundak Mitha keras.

"Buruan abisin makan lo, Mith. Ais, noh!"

***

Tidak ada latihan renang lagi hari ini membuat Riam pulang lebih cepat daripada biasanya. Sore baru mulai dan Mitha telah menyebarkan ajakan untuk main futsal bersama, yang ia bilang akan ia pertimbangkan. Ia hanya akan pulang, mengganti baju, lalu memutuskan nanti apakah ia punya cukup tenaga untuk berolahraga, atau lebih baik tidur saja, berharap dengan begitu ia bisa memulihkan lengannya lebih cepat.

Riam baru menghentikan motornya di depan gerbang, berniat turun untuk membuka gerbang tersebut ketika seseorang mendahuluinya. Mbok Mus sepertinya sudah stand by, menunggunya pulang.

"Tumben, Mbok," kekehnya, menaikkan kaca helm demi menatap wanita itu.

"Ada tamu, Den."

"Tamu?"

Mbok Mus tidak diberi waktu untuk menjelaskan. Riam menutup kembali kaca helmnya, kemudian menarik gas motornya lagi dan memarkirkannya di depan garasi. Ia meninggalkan helm di atas spion sebelum berjalan menuju teras.

Ada seorang laki-laki yang telah menunggu di ruang tamu, punggungnya membelakangi Riam. Dan begitu mendengar langkah sepatu Riam yang berjalan mendekat, ia bangkit berdiri. Seperti yang terlihat dari postur duduknya, laki-laki ini tinggi, hampir menyamai tinggi Riam, hanya sedikit lebih berisi. Ketika ia berbalik, ada senyum di bibirnya.

Senyum yang tidak Riam kembalikan.

Laki-laki itu bernama Benu, sepanjang yang ibunya ceritakan, dia bekerja sebagai seorang manager hotel, seorang duda tanpa anak, usianya terpaut lima tahun dengan ibunya Riam dan empat belas tahun dengan Riam sendiri. Wajahnya bersih, begitu pun penampilannya. Tidak buruk, sama sekali tidak buruk. Namun bagi Riam, dia tetaplah terlihat seperti sampah berjalan. Membuatnya sangat sangat muak.

Laki-laki itu adalah pacar ibunya.

"Mama nggak ada. Belum pulang."

"Iya, saya tahu," sahut Benu, masih dengan senyumannya. "Saya ke sini memang nggak nyari mama kamu."

Riam mengernyitkan alis.

"Riam, saya ingin bicara empat mata sama kamu."

***

Di hari-hari nomal, saat keadaan tidak begitu buruk, Riam akan memilih berdamai dengan perasaannya dengan cara belajar, atau mendengarkan lagu, atau berenang. Atau, jika semua itu tidak berhasil, ia akan tidur. Karena tidur membuatnya berhenti berpikir meski hanya sementara.

Tapi ada saat-saat dimana semua itu tidak akan cukup. Dimana mencintai diri sendiri menjadi hal paling sulit untuk dilakukan. Contohnya, saat ini. Dan jika di hari-hari normal ia akan menolak ajakan Saga, tidak bersedia mengikuti Si Cabe Rawit itu bermain di kelab malam yang dipenuhi hiruk pikuk manusia setengah sadar, malam ini berbeda.

Malam ini ia justru muncul di depan kelab Saga, mengagetkan sahabatnya tersebut dan para pegawai kelab yang telah mengenalinya setelah beberapa pertemuan. Ia dapat masuk dengan mudah, hingga menempati salah satu stool dengan salah satu minuman beralkohol di tangan. Jangan tanyakan bagaimana ijin ini ia dapatkan, people call it privillage.

Riam menenggak vodka di gelasnya hingga tandas, membiarkan rasa pahit yang belum terlalu familiar meluncur melewati kerongkongan, menyengatnya. Sensasi itu membuatnya sedikit lupa dengan apa yang sedang ia hadapi. Dengan hidup yang, dari sisi manapun melihatnya, orang luar hanya akan menganggap ia sempurna, terlalu sempurna untuk hidup sebagai manusia.

Riam sekali lagi kembali memikirkan percakapan terakhirnya dengan Om Benu.

"Saya paham keresahan kamu," ujar pria itu. Nadanya lembut, ramah, menenangkan. Sayangnya, hal itu tidak berlaku kepada Riam. "Saya paham sekali. Apalagi Ibu kamu juga lima tahun lebih tua dari saya. Tapi percayalah, saya menyayangi Ibu kamu. Dia mungkin terlihat kuat di luar. Tapi dia seorang wanita yang rapuh. Dia butuh seseorang di sampingnya, Riam. Dia butuh seorang pendamping.

"Bukankah kamu juga ingin punya lebih banyak waktu dengan ibu kamu? Ketimbang melihatnya bekerja siang malam. Lidya sering cerita, ayah kamu meninggalkan banyak deposit tabungan untuk kalian, bahkan masih sering mengirim uang ke rekening yang hanya dia gunakan untuk keperluan kamu. Dia tidak ingin bergantung pada mantan suaminya, Riam, karena itu dia bekerja keras. Saya─"

"Terus apa mau Anda?" Riam memotong ucapannya, cepat. Ia tidak ingin meneruskan basa-basi ini.

Benu tidak memburu kalimatnya seperti yang Riam inginkan. Alih-alih, pria itu menarik napas tenang.

"Saya lelah melihatnya kelelahan sendiri. Saya ingin mendampinginya. Saya ... ingin melamarnya. Dan saya berharap kamu dapat merestui hubungan kami."

Brengsek!

Riam tidak menonjoknya saat itu juga. Dan sekarang ia menyesalinya. Pria itu menatapnya, cukup lama, sebelum ia mengucapkan kalimat paling menjijikkan yang Riam pernah dengar.

"Saya serius. Saya benar-benar mencintai ibu kamu."

Fuck! Fuck him! Fuck his bullshit!

Riam menggenggam gelasnya kuat-kuat. Ponselnya berkerlip, menampilkan id ibunya sebagai pemanggil. Riam meraihnya, lantas menekan tombol tolak. Ia menggenggam ponselnya lebih erat. Ada perasaan kuat untuk melemparkan ponsel itu kuat-kuat ke lantai, agar pecah. Agar ia dapat menyalurkan kemarahannya.

Kenapa orang-orang memercayai perasaan tidak nyata yang bahkan tidak bisa dilihat oleh siapapun? Kenapa orang mudah termakan dengan bualan tidak masuk akal demikian?

Pertama Aksal, yang selalu sok bersikap manis padanya. Mengatakan ia menyayangi Riam, ayahnya menyayangi Riam. Itu semua bohong. Sekarang ibunya, yang begitu percaya ada seseorang yang mencintainya, dan sebaliknya. Usianya bahkan sudah tidak pantas lagi untuk bersikap sebodoh itu.

Dan Riam membencinya.

Ia mengangkat ponsel, hendak menghempaskannya kuat-kuat hanya demi meredakan amarah. Namun pada pemikiran kedua, ia menghentikan gerakannya. Cowok menatap layar ponselnya cukup lama. Ia harus memicingkan mata, menekan efek 60 persen alkohol yang baru ia tenggak serta temaramnya cahaya lampu kelab. Ketika menemukan nama yang dicari di antara sedikitnya daftar di kontaknya, ia segera menekan tombol pesan.

Hey

Ia mengetik. Atau tepatnya, ia pikir ia mengetik demikian. Namun setelah pesan terkirim, ia tahu ia melenceng jauh sekali. Riam coba mengetik lagi beberapa kata lagi, namun ... fuck, ia terlalu mabuk untuk itu. Jadi, tanpa pikir panjang, ia melakukan panggilan suara.

"Halo?"

"Halo?" Suara cewek itu menyahut beberapa saat kemudian, terdengar bingung. "Ini Riam?"

Pikiran yang keruh, alkohol, dan rasa penasaran yang menggebu. Ketiganya cukup untuk mendorong Riam pada pertanyaan berikutnya. Pertanyaan yang ... tiba-tiba saja berputar di otaknya. "Permintaan lo terakhir kali ..., lo masih mau, kan?"

"Hah, permintaan apa?" Suara Una terdengar sedikit meninggu. Kebingungannya bertambah.

"Kita, pacaran. Itu, kan, yang lo mau? Why?"

"Iyam, Iyam kenap─"

"Oke. Kita pacaran."

***

Bagaimana? This is random, tapi ayo seru-seruan pilih meme favorit di bawah yang mewakili perasaanmu setelah baca ini? Wkwk.

.

.

.

.

Perasaan lain silakan tulis di sini. Haha. Sumpai jumpa ... hmm semampunya. Tungguin aja, ya. Yang sabar dan banyak doa.

Jangan lupa baca juga

Orionis Epsilon oleh okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro