Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Rahasia


Views~ joayo

Views~ 10eok

Benar kata pepatah. Jika sudah berkumpul bersama, maka dunia serasa milik satu geng. Tanpa sungkan dan takut diusir dari kantin, Rahma membuka situs Youtube, menonton video yang sama yang sudah ia tonton berkali-kali, menaikkan volume, lalu meraih gelas es tehnya.

Sementara ia dan Rifa'i heboh menggerak-gerakkan tangan ke atas, bawah, kiri dan kanan gelas, mengikuti tantangan One Billion Views untuk latihan membuat video Tiktok nanti, Una sekali ini tidak bisa mengikuti keseruan sahabat-sahabat bobroknya. Pikirannya tidak bisa diajak kerjasama untuk menetap. Selalu kembali pada topik yang sudah berputar-putar sejak kemarin di otak.

Kasih tahu mereka, enggak? Kasih tahu, enggak? Ia terus membuat pilihan-pilihan sembari mengaduk mi ayamnya, tanpa sadar membiarkan mi-nya bengkak tanpa dimakan. Kebingungannya berada di antara dua pilihan. Apakah ia harus memberi tahu teman-temannya bahwa Riam kemarin berada di rumahnya? Karena, terutama Rahma, mereka mungkin akan mengaraknya keliling kantin saking bangganya.

Pilihan kedua ... Una menoleh, memperhatikan Anin yang sedang sibuk menyantap bekal makan siangnya dengan sebuah buku di hadapan, sibuk belajar. Dan sesuatu menahannya..

"Eh buset! Hati-hati, Neng!" Rifa'i terlonjak ketika es teh Rahma menyenggol lengannya dan tumpah ke celana seragam. "Ini baju Bawang Putih abis pulang dari laundry, ya, kemaren. Jangan sekate-kate numpahin es teh di sana!"

"Sori." Rahma menyengir, lalu mengelapnya dengan ujung seragam Rifai, yang segera ditangkis cowok itu.

Rifai memejam sesaat, lalu mengembuskan napas dan menggeleng dengan cara dramatis. "Rahma, plis. Are you even sarreh?"

Aksen bahasa Inggris Rifa'i yang lebih bule dari orang asli Inggris sendiri membuat Rahma mendorong bolamatanya ke atas. Ia melanjutkan menyesap es tehnya yang sudah tinggal setengah, tidak peduli dengan omelan Rifa'i yang menggumamkan "Bawang Merah jahat!" dengan suara manja.

Rahma memilih menumpahkan perhatiaannya pada dua cewek yang duduk di seberang meja, sedari tadi membisu. Anin belajar dengan tenang saat makan siang adalah hal biasa. Tapi Una dan ketenangan tidak pernah berdampingan. Keajaiban apa yang sedang terjadi sekarang?

"Ngapa lo, Na, ngelamun aja?"

Ketika tidak keburu mendapat tanggapan dari Una yang masih gelagapan, ia pun melambaikan tangan di depan hidung cewek itu. "Woi, ini Sehun dari tadi gans banget lo anggurin aja?! Kesambet, lo?!"

Una tidak segera menjawab, ia meraih es tehnya yang masih penuh, mengambil satu sesapan, sebelum fokusnya akhirnya kembali. Nyanyian One Billion Views masih mengalun. "Nggak, ah. Cakepan Chanyeol~"

"Ya ampun! Aa' Sehun kok tetap aja ganteng ya, rambut pink gitu!" Tanpa memedulikan situasi, Rifa'i berteriak pada layar ponsel Rahma sembari mengerak-gerakkan tangannya seperti cheerleaders.

"Jadi pengen ikut nge-cat rambut warna...," ia menatap Una, Rahma dan Anin yang menatapnya jengah, "... pink. Kalian kenapa, sih? Biasa aja dong liatnya. Bawang Putih jadi malu, deh. Hehehe."

Rahma berdecak. "Mau dipanggil BP lo?" tanyanya, menggigit pangsitnya dengan keras.

"Ih, boleh banget, tuh! Guru BP yang baru itu kan ganteng banget, masih muda, lagi! Kalian udah liat belum?!"

"Sehun itu yang mana? Yang mirip Kak Riam?" Anin bertanya, sama sekali mengabaikan pertanyaan Rifa'i.

Rahma mengangguk antusias. Una hampir mendebat. Namun semua itu tertahan di ujung lidah, ketika ia secara tiba-tiba berdiri, mendorong bangku di belakangnya, membuat semua orang di sekitar meja itu kaget.

Gawat! Dari tadi ia melupakan sesuatu!

Dengan gegas, ia keluar dari kungkungan kursi panjang kantin, lalu membuat alasan cepat untuk bisa kabur tanpa dicurigai. "Gue pergi dulu. Kebelet boker!"

***

Pada akhirnya, usaha Una untuk tidak terlihat mencurigakan berbanding terbalik dengan hasil. Sejak beberapa meter sebelum memasuki gedung perpustakaan, ia merapatkan diri ke dinding, mengendap-endap, memeriksa tiap sisi, depan belakang setiap dua menit sekali, takut dibuntuti.

Penting baginya untuk tidak diketahui siapa-siapa maksud dan tujuannya kemari. Setidaknya, ia sudah menerima tugas demikian.

Dan di pemberi titah adalah, tidak lain dan tidak bukan, Yang Mulia Riam Zarel Albion.

Tadi pagi, siswi perempuan sekoridor jurusan IPS dibuat heboh cuci mata karena Riam yang katanya bolak-balik berjalan di koridor anak IPS., utamanya sekitar IPS 4 dan 5. Una yang datang agak terlambat karena Bunda sibuk merapikan kepangan rambutnya melewatkan hal tersebut, hanya sempat mendengar bisik-bisiknya. Namun kemudian ia memutuskan untuk ke kamar mandi sebelum guru datang dan saat itulah, ia melihat Riam di koridor IPS, seperti yang digosipkan. Cowok itu sedang berjalan ke arahnya.

Una mengangkat satu tangan ke udara, siap menyapa. Walau bagaimanapun, mereka telah berbagi sepiring pisang goreng dan teh manis tanpa teh kemarin. Ia pikir mereka dekat. Namun cowok itu tidak melihat ke arahnya, sama sekali. Melirik pun tidak! Riam terus saja berjalan, mata lurus ke depan, melewatinya. Seperti Riam biasanya.

Kecuali ... kecuali ada yang berbeda.

Sesaat, ketika mereka berpapasan, ia bisa merasakan telapak tangan cowok itu menyentuh telapak tangannya. Dan ketika Una memeriksa dengan mata kepalanya sendiri, ditangannya tertinggal sebuah kertas terlipat. Kertas itu berisi surat, kalau tidak bisa disebut ultimatum.

Temui gue di perpus pas istirahat. Jangan kasih tahu siapa-siapa.

Tidak boleh ada siapa-siapa yang tahu! Karenanya, Una kembali mengendap, berupaya menyamarkan diri menjadi rak buku, sebisanya. Ia membungkuk, kemudian mengintip di antara celah-celah buku, coba menemukan keberadaan Riam.

"Ngapain di situ?"

Una terlonjak, membenturkan kepalanya ke rak tanpa sengaja, lalu meringis karenanya. Ia lebih meringis ketika melihat siapa yang menegurnya barusan.

"Iyam ngagetin aja."

Riam meletakkan telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan Una untuk tidak berisik. Ia sendiri berbicara dengan volume seminimal mungkin. "Lo kelihatan mencurigakan banget."

"Masa? Tapi gue udah sembunyi-sembunyi, kok. Gue pikir gue udah bisa jadi agen PBB!"

"Ef Bi Ai, you mean?" Riam mengernyit. Ia memutuskan untuk tidak bisa berlama-lama melayani Una bicara. IQ-nya bisa rontok seketika.

Sekilas, ia menyapukan pandang ke sekitar, memastikan tidak ada seorang pun yang mengawasi mereka, lantas menarik Una di pergelangan tangan, membawanya ke sudut perpustakaan yang lebih sepi.

Semuanya sudah ia kalkulasikan sejak tadi malam. Tidak ada tempat yang lebih aman untuk menemui cewek itu selain perpustakaan. Datang ke kelas Una langsung hanya akan membuat kegaduhan, demikian juga dengan mengundangnya ke kelas IPA 1. Koridor hampir selalu ramai. Gedung olahraga dipenuhi anak Orion. Kantin, namanya cari mati. Dan toilet ... sangat tidak beretika. Maka, tempat yang jarang dikunjungi sebagian besar anak Bucin terutama di jam istirahat, hanyalah perpustakaan.

Riam menyudutkan Una ke salah satu rak buku non fiksi, memerangkap dengan satu lengan dan tubuhnya sendiri. Pada jarak demikian, Una dapat membaui parfumnya yang beraroma menyegarkan. Riam wangi dengan kadar yang cukup, tidak menyengat.

"Lo ke sini sama siapa?"

"S-sendiri." Una terpaksa mendongak. Dia yakin dirinya tidak pendek-pendek amat. Tetapi berdiri bersisian dengan Anin kerap membuatnya merasa demikian. Sekarang, ia berhadapan dengan Riam yang menjulang seratus delapan puluh senti di depannya.

Ia merasa .... seperti seorang kurcaci.

"Nggak ada yang tahu, kan?" Riam mencecarnya lagi. "Nggak cerita sama siapa-siapa, kan?"

Oke, sejak kapan ... Riam menjadi cerewet begini? Una menaik-turunkan alisnya. Tidak terlalu sulit menambahkan dua tambah dua kali ini. Ternyata ... cowok di depannya ini sangat peduli dengan image.

"Enggak, kok. Gue orangnya bisa dipercaya. Tenang!"

"Bagus." Riam mengangguk, namun tidak memindahkan lengannya yang bersandar pada rak buku di sisi pundak Una. Sebelah tangannya yang bebas menarik satu paper bag dari rak buku di belakang Una, lalu menyerahkannya pada cewek itu.

"Nih. Baju abang lo. Udah dicuci. Bilang makasih."

Una menerimanya, lalu memeluk paper bag tersebut. Matanya kembali menatap Riam. Sudah tidak sepucat kemarin. Meski benar yang orang-orang katakan., dia terlihat seperti vampire.

"Iyam nyuruh Una ke sini cuma buat ini doang?"

Ada dengkusan pelan yang mengisi. Riam sempat membuang pandang, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Pertama, jangan sok imut. Kedua, ya masa' buat ketemu lo?"

Alih-alih tersinggung, Una justru tersenyum. Lebar. "Jadi menurut lo gue imut?"

Riam mendengkus lagi, kali ini lebih keras. Kapan sih, cewek ini bisa fokus ke poin-poin penting yang Riam ucapkan?

"Enggak," jawabnya ketus. Lalu tangannya kembali terulur untuk meraih buku dan ponsel yang dari tadi ia taruh di rak kosong. Sesaat, ia melihat ponsel yang diset dalam mode diam itu bergetar pelan.

Saatnya untuk pergi.

Kecuali, Una kembali mengajaknya bicara. "Lengannya gimana? Masih sakit?"

Refleks, Riam melirik lengan kanannya. Plaster kemarin sudah diganti dengan yang lebih baik oleh Mbok Mus. Ia hanya menggumam pelan sebagai jawaban. Bibirnya masih rapat.

Ia menimbang-nimbang selama beberapa saat, belum juga beranjak dari posisinya. Mungkin, sebaiknya ia memperingati cewek ini untuk tidak bersikap sok akrab dengannya setelah satu hari sial yang mereka lewati.

"Listen." Riam merangsek sedikit lebih maju dan menundukkan kepala, membuat tatapannya menjadi dalam garis lurus dengan cewek itu. Dalam jarak itu, napas mereka hampir bertemu. Ia memerlukannya demi menjaga suaranya tetap dalam batas bisikan dan Una masih tetap mendengarnya dengan jelas. "Gue sama lo, nggak ada─"

"Riam! Gue cari kemana-ma─"

Riam dan Una otomatis menoleh. Di belakang mereka, Mitha tampak terhenti dalam langkahnya menuju Riam. Mulutnya ternganga namun tidak ada lagi kata yang keluar.

"S-sori," katanya beberapa saat kemudian. "Gue nggak maksud ganggu, bro. Tapi... ini penting!"

Riam dengan gegas menghampiri cowok yang sama tinggi dengannya itu, hanya lebih besar. Ia bisa saja menjelaskan situasi yang sepertinya berbeda antara kenyataan dengan apa yang ada di otak Mitha. Namun mendengar urgensi dari suaranya, Riam memutuskan untuk menunda.

"Ada apa?"

"Denis... Denis ada di markas. Saga udah ke sana!"

Gawat! Saga sudah mencari-cari keberadaan anak itu sejak kemarin. Ini pertanda tidak baik. Pemimpin mereka itu bisa dengan cepat mendidih darahnya jika itu menyangkut keselamatan Orion.

Ia dengan segera mengerti bahwa ia harus memburu waktu dan berada di sana secepatnya. Namun, tanpa ia duga, Una menarik tangannya yang bebas, kemudian merebut ponselnya. Cewek itu mengetikkan sesuatu di sana sebelum menyerahkannya kembali.

Riam melihat kontak baru di layar ponselnya. Bernama ... Una Cute.

"Supaya lo nggak capek-capek bikin surat lagi!" Una menyengir. Lagi. "Dah, Iyam~"

***


Dun dun forget mampir di lapaknya Saga oleh okkyarista. DIsaranin banget bacanya bersamaan, biar misterinya terpecahkan bersama~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro