Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Ulang Tahun

Hujan terdengar begitu berisik di luar, berpadu dengan bunyi pukulan, teriakan. Petrichor yang murni tercampur bau keringat, anyir darah, dan karat besi. Pada satu titik, Riam sudah tidak tahu lagi kemana ia harus memukul, seberapa banyak tekanan yang diperlukan, titik mana paling efisien untuk menumbangkan lawan. Tidak ada waktu untuk berpikir, ia membiarkan insting menggambil alih.

Satu persatu, lawannya tumbang dengan tidak begitu menyulitkan, mereka sudah letih sejak awal, satu keuntungan yang Riam dapatkan. Salah satu anak TS yang tidak ia kenali wajahnya, karena intensnya pertarungan, tampak tersungkur di lantai, berusaha bangkit. Dan Riam memutuskan untuk tidak memperpanjang atau berlama-lama. Masih dengan balok kayu di tangan, ia berduel dengan lawan yang lain sementara Saga masih menghadapi Franky dan samurainya, dan Mitha melawan dua anak TS sekaligus.

"Riam! Belakang!" Peringatan Saga membuat Riam seketika waspada.

Dari sudut matanya, Riam menangkap gerakan, merasakan serangan dan berhasil memutar tubuhnya tepat waktu, menarik lengan yang menghunus sebilah pisau pendek tersebut dan membantingnya ke lantai. Nyaris, pisau itu menancap di punggungnya. Atau lebih parah, tengkuknya. Namun yang terjadi, Riam menemukan lengan hoodie-nya robek melintang sebagai akibat dari gerakan menghindar dan menyerang balik tadi.

Tidak ada waktu untuk mencemaskan hal tersebut. Dari sisi berbeda, Riam melihat Franky sudah mengayunkan samurainya ketika Saga lengah. Ia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi jika tangannya tidak refleks menarik Sang Leader Orion. Saga bisa jadi begitu bodoh saat ia sedang berusaha melindungi semua orang dengan badan sekecil itu.

"Waspada, Ga, lihat-lihat situasi lo kalau mau khawatirin orang," decaknya, sebelum berdiri berpunggungan dengan Saga dan Mitha.

Ini apa yang disebut Saga sebagai Sabuk Orion, tiga bintang yang berdiri dalam satu garis lurus, ketiganya bersinar terang, ketiganya membentuk sabuk, melindungi Orion. Orion yang bagi mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggotanya tubuh sakit, meski itu hanya ujung jari kelingking, semuanya akan merasakan sakit yang sama.

Di depan sana, Franky menyengir, menampakkan gigi-gigi yang kurang terawat. Aba-aba bagi ketiganya untuk bersiap, dengan kelompok TS yang mengepung mereka dengan sajam di tangan masing-masing. Jika mereka ditakdirkan untuk mati di sini...

"Kalau kita berakhir di sini, asal lo semua tau, cinta gue ke kalian sama rata."

"Kalau lo mati duluan, Ga, salam buat mama lo."

Riam mengabaikan kelakar dua teman bobroknya yang salah tempat. Ia menajamkan pandang, mengkalkulasi dalam kepalanya gerakan yang mungkin diarahkan padanya, lalu kemungkinan ia menghindar dan membalikkan keadaan. Ia juga menajamkan pendengaran ketika tanpa sengaja, telinganya menangkap sesuatu selain irama hujan di sekitar mereka. Raungan sirine di kejauhan. Dan demi memberitahukannya, ia mencengkeram lengan Saga.

Samar awalnya, teredam hujan. Namun semakin lama, dengan lambat, raungan itu semakin dekat. Suara klakson kemudian terdengar sebanyak tiga kali. Dan seketika semuanya tahu itu adalah pertanda. Franky terlihat goyah dengan rencananya semula, menimbang-nimbang, sebelum akhirnya mengambil langkah mundur.

"Kita ketemu lagi nanti," serunya, menyimpan kembali samurai ke dalam sarungnya.

Lalu, dengan komando itu, anak-anak TS yang masih mampu bergerak menyusul bosnya kabur, sebagian menggotong temannya, sebagian lagi terlalu egois untuk itu. Anak-anak Orion sendiri bergegas, saling membopong yang terluka sembari memastikan tidak ada jejak Orion yang tertinggal di lokasi.

Sementara Saga mengambil arah yang berbeda, Riam menyusuri gang sama dengan Mitha dan dua orang lain, berlarian dan berlindung di balik tembok buluk yang menyembunyikan mereka dari pandangan, melompati parit, merunduk di bawah jemuran, menelusupkan langkah di antara anak-anak kecil yang bermain kelereng dan orang-orang tua yang bermain kartu tanpa memakai baju. Hingga mereka berada di sisi berbeda, dengan sirine polisi yang semakin samar di telinga.

Bersama-sama, mereka menuju motor yang diparkir di depan sebuah ruko.

"Yam, hoodie lo robek."

Teguran Mitha membuat Riam menoleh usai meraih helm yang disangkutkan di kaca spion. Ia nyaris meringis ketika tangan besar cowok itu menepuk bagian robek di lengannya, membuat Riam secara otomatis menarik lengannya yang sempat tersayat di pertarungan tadi.

"Iya, kena pisau."

"Sayang banget, hoodie mahal juga. Sakit Yam? Coba periksa."

Mitha sudah mengayunkan lengannya, coba menyentuh lengan Riam lagi tatkala Riam menepisnya, menjauhkan tangan Mitha.

"Enggak, cuma kena hoodie doang," sahutnya dengan senyum tipis. Lalu, tanpa ingin membuat Mitha yang keras kepala itu curiga, ia buru-buru mengalihkan topik. "Mending luka lo obatin dulu sana. Udah biru-biru gitu."

Mitha hampir menolak, namun ketika ia membuka mulut, sakit yang semula tidak bisa ia rasakan selama berduel sekarang menyerang serta merta, membuatnya meringis seketika. Mitha menyentuh wajahnya, lalu mengangguk.

"Yaudah gue ke tempat Saga dulu. Duluan, ya. Buruan kabur sebelum polisi ke sini."

"Hm."

Riam tidak serta-merta memasang helm dan pergi dari situ seperti yang anak-anak lain lakukan. Ia mendongak, membiarkan derai hujan yang masih belum bersedia berhenti menjatuhi wajahnya. Rasanya dingin menusuk.

Ia menyentuh lengannya. Hujan yang berhasil menembus ketebalan jaket membuat goresan menganga pada lengannya terasa perih. Ia sekarang yakin, pisau itu tidak hanya membabat hoodie-nya. Bahkan ketika ia menarik telapak tangan, ia dapat melihat noda merah yang segera luntur dibasuh hujan.

Dan tiba-tiba saja, ia tidak dapat mencegah kata-kata Aksal untuk tidak kembali mengusik kepalanya. Aksal yang selalu tersenyum, yang selalu menyapanya dengan manis, dmembawakan berita yang lebih pahit dari apapun di dunia.

Hari ini, 11 Juli, Ayah ulang tahun.

***

Rumah besar bak istana itu sepi. Dari balik pagar yang membentang tinggi, Riam melihat sisa-sisa pesta sederhana yang ditinggalkan di halaman samping sekarang terguyur hujan.

Tidak ada Ayah.

Tidak ada Ayah yang menyambutnya seperti menyambut putra pertama yang pulang setelah sekian lama.

Tidak ada Ayah yang mengatakan bahwa ia merindukannya.

Pada akhirnya, Aksal hanyalah pembual.

Pada akhirnya, ia tetaplah buangan.

Anak buangan yang dengan bodohnya datang, menunggu di depan pagar di bawah deras hujan. Namun tidak ada yang membukakan pintu. Tidak ada Ayah. Tidak ada... yang menginginkannya.

Ketika Riam menatap telapak tangannya, ujung-ujung jarinya mulai mengeriput, tubuhnya mulai gigil. Dan luka di lengannya semakin perih.

Ia harus segera pergi sebelum mati konyol di sini.

Dan dengan tekad untuk terus bertahan hidup itulah ia berakhir di minimarket pertama yang ia bisa temukan selama menyusuri jalanan. Sang kasir bahkan menatapnya heran sekaligus terganggu ketika ia muncul dengan sebotol alkohol 70%, cotton bud, obat merah, plaster luka, sebotol air mineral, dan tetes-tetes air yang menggenang di tempat ia berdiri. Kalau saja wajahnya tidak membela, bukan mustahil ia sudah diusir.

Riam membayar dengan uang setengah basah dari dompetnya dan segera berlalu. Ada satu payung besar di depan minimarket beserta sebuah meja bulat dan bangku-bangku yang mengelilinginya. Riam mendudukkan diri di salah satunya, lalu dengan bibir yang digigit untuk menahan sakit, ia melepaskan jaket.

Hal pertama yang Riam temukan adalah, bahwa seragam abu-abu terangnya telah berubah warna menjadi kemerahan di bagian lengan sebelah kanan. Pisau itu tidak hanya menggores hoodie-nya, tetapi juga seragam dan lengan Riam, menimbulkan luka menganga yang melintang. Dengan satu tangan, ia menggulung lengan seragamnya, membasuh lukanya dengan air mineral, dan coba mengobati dirinya sendiri. Yang paling menyulitkan adalah mengusap lukanya dengan alkohol tanpa membuat dirinya berjengit. Dan bagaimana cara mengoleskan obat merah?

Ia mendesis, berjuang untuk tidak menggigit bibirnya hingga berdarah saat tiba-tiba, orang yang paling tidak ia harapkan untuk lihat muncul di waktu yang paling tidak ia harapkan pula.

"Iyam? Iyam ngapain?"

Ketika Riam menoleh, si Cengiran Creepy itu tengah berdiri di depannya, payung dengan logo bank di atas kepala, dan tentu saja, cengirannya yang terlalu lebar.

***


Sampai jumpa di part berikutnya. Jangan lupa vote dan komen biar semangat!

Jangan lupa baca cerita Saga di Orionis Epsilon by okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro