Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Pucca Hair

Hari ini update barengan Tiga Minggu, cek juga ya, di akun Wattpad Nourapublishing ^^

***

UKS SMA Bucin nyaris terlihat seperti bangsal rumah sakit kelas VIP, minus televisi. Ada beberapa buah ranjang di salah satu sudut, terpisahkan sebuah tirai. Ada meja kecil di samping setiap tempat tidur, lengkap berisi peralatan kesehatan atau pertolongan pertama. Dan ruangan untuk masing-masing pasien terbilang cukup luas, muat menampung sepuluh orang duduk di dalamnya.

Riam berbaring di tempat tidur paling ujung, tahu bahwa biasanya, orang hanya akan memakai tempat tidur pertama dan kedua terdekat dengan pintu dan petugas kesehatan. Sakit kepala menyerangnya tepat sebelum pergantian mata pelajaran, membuatnya terpaksa meminta izin ke sini. Untuk beristirahat. Lengannya dijatuhkan di atas kening, menghalau cahaya matahari yang menyusup lewat jendela dan ventilasi. Mungkin jika ia tidur, sakit kepala itu akan hilang.

Usaha Riam nyaris berhasil. Ia memejamkan mata dan untuk beberapa menit, kehilangan kontrol atas tubuhnya, terlelap.

Hingga, perasaan tidak nyaman menyergapnya, perasaan seakan diawasi yang membuat kelopak matanya melayang terbuka, memaksanya menemukan sebentuk wajah dengan senyum lebar telah berada tepat di atas pandangannya, membuat Riam terlonjak bangun.

"Iyam udah bangun?" Una menyengir bersemangat.

Demi Tuhan! Riam hanya ingin tidur sejenak yang tidak ia dapatkan semalam. Sekarang makluk Mars ini juga berusaha merenggut itu darinya.

"Lo ngapain ke sini?!"

"Gue nyariin lo tadi di kelas, nggak ada. Katanya ke UKS. Riam sakit?"

Una mengulurkan tangan, ingin menyentuh kening Riam, yang segera ditepis cowok itu.

"Sakit apa? Kepala?"

Riam menatapnya sesaat seolah mengatakan "bukan urusan lo" kemudian bangkit duduk dengan benar, kedua kakinya dijatuhkan ke lantai, di atas kedua sepatunya yang tidak pernah dilepas.

Pandangannya serasa berputar ketika melakukan gerakan sesederhana itu dalam waktu singkat, membuatnya refleks memegangi kening.

"Sakit banget ya, kepalanya?" tanya Una, khawatir.

Lagi, ia berhasil menarik perhatian Riam. Yang kembali menatapnya seolah isi kepala Una terbuat dari pecahan kaleng Kong Ghuan dan bukannya otak.

"Hm. Dan makin sakit sejak ada lo."

"Ih, Iyam mulutnya jahat."

Untungnya, Rahma sudah menyetorkan sesajen harian Una berupa semangkok mi ayam dan dua ceker ayam, jadi ia bisa terus tersenyum meskipun dipelototi Riam sedemikian rupa. Cewek itu membuka kresek kecil di tangannya, lalu kepada Riam ia menyodorkan sebungkus roti cokelat keju.

"Apaan nih?" tanya Riam dengan alis terangkat.

"Roti. Gue pilih yang rasa cokelat keju sih soalnya itu rasa kesukaan gue. Tapi di kantin masih ada yang rasa stroberi, nanas dan kelapa, Iyam mau yang mana? Ntar gue bisa─"

"Iya, tapi buat apa?"

Una merengut. Ia pikir dirinya bodoh, tapi ternyata Riam berada di level kebodohan tingkat master. "Ya buat dimakan lah! Masak buat mandi? Lo gosok ketek pake ini yang ada dikerubuti semut!"

Riam menatapnya sesaat, tidak percaya, kemudian membuang pandang. Percuma berdebat. Ia mengibaskan tangannya. "Pergi sana."

"Makan dulu. Tadi pagi lo nolak sarapan yang gue susah payah bikin dari jam 4 subuh! Nih jari gue ampe kena wajan, tahu!" tunjuknya, menunjukkan luka lepuh di ujung telunjuk. "Tapi karena gue baik, yaudah. Gue beliin roti aja. Lapar, kan?"

"Enggak."

Namun, saat itu juga perutnya berkhianat. Ruangan yang demikian sepi membuat keadaan tidak lebih baik. Keduanya bisa mendengar dengan jelas suara perut yang sudah jelas darimana sumbernya.

"Tuh kan! Lo nggak ke kantin! Terus tadi pagi juga datengnya pagi banget, nggak sarapan ya? Nih, makanya makan dulu!" paksa Una, menjejalkan semua yang ia bawa ke tangan Riam. Dua bungkus roti, segelas air mineral, dan dua bungkus permen. "Gue masih harus ke ruang guru dulu soalnya belum remidial. Dah Iyam!"

Kemudian sebelum Riam bisa mencegahnya, mengembalikan semua yang Una berikan, cewek itu sudah melenggang pergi. Dengan kedua tangan melambai di sisi tubuh dan rambut gaya Pucca-nya menonjol seperti dua buah tanduk di atas kepala. Una pergi begitu saja, meninggalkan Riam berserta dua buah roti cokelat keju, dan kebingungannya.

***

"Riam!"

Sudah bukan hal mengagetkan bagi Riam ketika ia berjalan, dan tiba-tiba saja lengan besar akan seenaknya menumpang beristirahat di pundaknya, diiringi tawa lebar yang gaduh. Tidak hanya itu, Mitha juga biasanya akan menumpukan bobot tubuhnya yang hampir satu setengah kali lipat Saga itu ke pundak Riam. Seperti sekarang. Membuat roti cokelat keju yang baru saja susah payah masuk nyaris termuntah kembali.

Riam kadang heran, bagaimana ia berhasil menolerir Mitha selama ini.

Cowok tinggi besar itu tertawa-tawa sekarang. Ia datang bersama Saga, yang segera mengambil tempat di sisi berbeda, dengan Mitha berada di antara mereka. Seharusnya, Riam mewanti-wanti Saga untuk tidak berjalan bersama Mitha tanpa anak Orion lainnya, perbedaan tinggi mereka agak terlalu jomplang, ditambah dengan bobot Mitha yang juga sedikit berisi. Seperti disebutkan, Mitha adalah Saga dikali satu setengah.

"Kemana aja lo, Am? Dicariin dari tadi!" omel Mitha, suaranya tampak tenggelam di anatara kunyahan keripik kentang.

Saga tergelak. Ia merebut bungkus keripik kentang di tangan Mitha, lalu sambil tangannya mencari sisa keripik, ia menambahkan. "Nih Mitha panik banget nyari lo. Ampe ke kolong meja, ampe ke toilet-toilet dicariin."

Riam nyaris memutar bolamata, tahu bahwa Saga sedang tidak melebih-lebihkan. "Kenapa emang?"

"Apa lagi." Kali ini, Saga yang suaranya disamarkan kunyahan. "Kita sebagai bini pertama dan bini muda lo kangen, tahu."

Mitha tertawa, terbahak di telinga Riam. Sementara empunnya telinga hanya mendengkus, kemudian melepaskan lengan Mitha dari bahunya. Rencananya, Riam ingin kembali ke kelas, masa istirahat hampir berakhir. Dan semuanya akan lebih mudah terwujud seandainya dua orang ini tidak mengintilnya.

Dan sekarang, entah apalagi yang menghadang. Koridor tampak penuh. Berjejal sepanjang pinggir lapangan. Kerumunan itu bahkan tidak segera membelah dengan kedatangan mereka. Terlalu sibuk bersorak untuk apapun yang ada di lapangan sana.

Tanpa sadar, Riam menolehkan kepala penasaran.

"Oh, iya bener!" Di sampingnya, Mitha menepuk kepala. "Gue lupa! Ais kan tampil voli hari ini, ke sana yuk, Am, Ga. Kita nonton bentar!"

"Tampil apa?" Saga menyahut.

"Itu, voli antar kelas, masa lo nggak tahu?"

Ketika baik Riam maupun Saga tidak ada menunjukkan tanda-tanda ketahuan mereka, Mitha berdecak, lalu menyeret Riam dan Saga di masing-masing lengan. "Ayo ah, nonton bentar! Bentaaar aja."

"Udah mau masuk, Mith."

"Lima menit, deh!"

Sepertinya percuma Riam mendebat, jika Mitha tidak berhasil memaksa, ia akan mulai merengek. Dan itu pemandangan yang sangat tidak disarankan untuk ditonton murid satu sekolah seperti sekarang. Ia menurut, bergerak malas-malasan menuju pinggir lapangan, dimana anak-anak berkumpul.

Dengan mudah, mereka berhasil mendapatkan tempat di barisan depan, di samping murid-murid cewek yang mulai kehilangan fokus dan justru terlalu sibuk menatap mereka sekarang.

"Ya ampun. Ais keringetan gitu cantik banget, ya." Mitha berbisik. Nadanya seolah-olah ia bisa pingsan kapan saja. "Gimana cara jadi elap biar bisa menyeka keringat di keningmu, Ais."

"Tenang," Saga menepuk pundaknya. "Muka lo dah kayak lap. kok."

"Bangsat!" Mitha menoyor pundaknya. "Tapi omong-omong, berat banget lawan Ais hari ini, kelas IPS 5. Mereka kan langganan menang, terus pernah dikirim lomba antar sekolah juga."

Mata Riam yang sedari tadi sibuk ia coba pejamkan, mencuri waktu barang lima menit, sekarang terbuka lebar. Ia menatap Mitha. "IPS 5?"

"Ho'oh. Kenapa emang?"

Pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban. Riam menoleh, matanya telah menyasar ke arah lapangan. Lalu, dengan mudah, ia menemukannya.

Cewek itu berada di tengah-tengah lapangan, di bawah terik matahari, bola voli di tangannya. Ia mengambil langkah mundur, melemparkan bola itu ke udara, lalu menyeberangkannya dengan tepukan tangan ke area lawan. Keringat tampak menuruni keningnya namun meski begitu, rambut Pucca-nya tidak terpengaruh sama sekali. Masih berupa dua cepolan yang kokoh, seperti dua buah pangkal tanduk kecil.

Tim IPA 3 berteriak ketika bola nyaris jatuh di area permainan mereka. Salah seorang gadis yang tampak berotot di antara mereka berhasil menyelamatkan, meskipun jungkir balik. Namun, IPS 5 tidak semudah itu dikalahkan. Bola dikembalikan dengan mudah, membuat IPA 3 harus kembali bekerja keras.

Dengan cekatan Ais melakukan smash depan, menempatkan bola di area kosong yang sempat membuat pemain IPS 5 yang terkumpul di depan lengah. Namun, Una tiba-tiba saja sudah ada di sana, menghadang bola, melakukan passing bawah pada bola yang sudah nyaris menyentuh tanah, mengangkatnya kembali ke udara. Lalu, sambil berteriak dan melompat, ia melakukan smash, keras. Hingga bola melayang ke daerah IPA 3, tersambut namun tidak dapat dikembalikan saking kerasnya pukulan.

Hal itu spontan membuat seluruh pemain IPS 5 bersorak mengerubungi Una, bahkan para penonton menjadi riuh seketika.

Riam merasakan dirinya menegang, nyaris terbawa keriuhan yang ada. Nyaris ikut bertepuk tangan. Kemudian, ia menemukan cewek itu memandang ke arahnya. Persis ke arahnya.

Dan meski dari kejauhan, Una tersenyum lebar. Melambai, malah. Riam pun segera mengalihkan pandang.

Hingga, Saga menepuknya di pundak, membisikkan kalimat yang seketika mengembalikan segala fokus Riam. "Hari ini. Jam 3 di lapangan biasa. Kita ngelawan SMA Taman Siswa. Siapin strategi."

***

Orion mau berantem lagi. Pisahin! Pisahin! Ok nggak.

Btw, kalo ada yang penasaran Pucca hair itu gimana, gini ya. Gambar pertama itu si Una~ Lucu, kan?

Berkenan meninggalkan vote dan komentar? Terimakasih. Semoga harinya menyenangkan.

PS: Jangan lupa baca Saga juga di Orionis: Epsilon

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro