Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Klub Media

Yang kemaren nyariin Iyam siapa, nih? Happy Reading~

***

Ruangan yang berantakan, penuh tempelan di dindingnya, mulai dari foto-foto, jurnal, artikel, hingga sticky note yang menempeli hampir setiap benda menjadi ciri khas ruang klub media. Setidaknya, itu yang terjadi di SMA Bucin.

Nurul, ketua klub media saat ini, tengah bercokol di kursi kebesarannya, menatap laptop yang dipenuhi desain mentah buletin bulan ini. Atau seharusnya begitu. Meski yang terjadi adalah layar laptopnya justru dipenuhi foto-foto seorang Riam Zarel Albion. Ada Riam dalam berbagai tempat dan kegiatan. Riam turun dari motor, Riam melepas helm, Riam berjalan, Riam berjalan dari angle yang sedikit berbeda. Riam membenarkan sepatu. Ada banyak, banyak sekali. Namun bahkan di antara ribuan foto tersebut, sulit untuk mencari Riam dalam keadaan tersenyum.

Nurul menyapukan jari pada foto wajah Riam, kemudian terkikik sendiri, membuat cewek lain dalam ruangan itu merasakan bulu kuduknya meremang.

"Calon masa depan gue kenapa mukanya cerah banget, ya, Din? Gue ngerasa hidup gue bakal makin cerah berkat Kak Riam."

"Calon majikan masa depan maksud lo?" Dinda mendengkus.

Jawaban itu sukses membuat Nurul melempar pandang sesaat pada Dinda, wakil ketua yang duduk di sofa. Matanya dipicingkan pada Dinda yang sekarang berpura-pura sibuk meneliti roll film pada kamera DSLR di tangannya.

"Tukang sulam keset Kak Saga diem aja deh!" ujarnya tidak mau kalah. Kemudian, sebelum kembali pada laptopnya, ia kembali bertanya. "Udah lo pilihin foto-foto Kak Saga mana yang mau ditampilin?"

Dinda membenarkan kacamatanya, lalu mengangkat wajah. "Belum. Galau banget gue. Ganteng semua, anjir!!!"

"Buruan lo, artikelnya juga belum dibikin kan? Terus liputan─" Nurul menepuk jidatnya dan mengerang. "Gue belum liputan sama sekali! Ni buletin udah harus terbit Senin depan! Gimana, dong? Duh, sumpek banget gue, mana gue harus remedial Kimia!"

"Sama, gue juga. Kita nggak mau rekrut anggota baru, gitu? Sejak Vania keluar jadi ketumpuk gini kerjaan."

Nurul meletakkan dagu di atas sikunya, berpikir. "Ngerekrut siapa? Kita nggak ada waktu buat seleksi. Lagian─"

Pintu menjeblak terbuka. Membuat keduanya nyaris terjengkang. Apalagi ketika menemukan sebentuk kepala yang melongok ke dalam.

Di sana, Una tersenyum dengan begitu lebarnya.

***

"Lo yakin dengan keputusan lo ini?"

Setelah pintu ruang kelab media tertutup di belakang mereka, Rahma buru-buru menyeret Una ke salah satu sudut. Ia masih tidak percaya dengan langkah yang cewek ini ambil, yang sama sekali tidak berada dalam susunan rencana Rahma.

"Ya kan gue udah diterima juga." Una mengerjap.

"Ya tapi, kan... kita belum nyoba─"

"Udah, gue nggak mau ngikutin lo lagi," potong Una. "Tips lo itu basi. Riam itu batu bernapas, mau gue nungging kek, kayang kek, goyang dayung gimana juga dia nggak bakal gerak."

"Ya... bener sih." Rahma bergumam pelan. "Tapi emang lo ngerti tugas anak media itu apa?!"

"Ya... itulah gunanya kalian, kan?" Ia tersenyum, lebar. Sementara ketiga temannya mengambil langkah mundur. Una segera melompat memeluk lengan Anin, tidak mau melepaskannya. "Lo mau bantuin gue kan Nin? Lo kan pinter!"

"Gini nih punya temen yang di kelas kerjaannya ngemil doang!" Rifai berkomentar sambil bersedekap.

Una menatapnya sengit. "Lo nggak gue kasih lidi-lidian lagi, mampus lo!"

"Mohon maap. Penyuplai ceker buat lo itu gue. Mau nggak gue kasih lagi?!"

Rifa'i maju. Una juga maju. Hanya Rahma, yang mampu memutus momen nyaris baku hantam tersebut. Ia melangkah di antara dua orang itu, kemudian menatap Una penasaran.

"Terus, rencana lo apa?" Rahma ikutan bersedekap. Terus terang saja, ia sangat meragukan isi pikiran Una.

"Percaya aja sama gue." Dengan kepercayaan diri yang membara, Una menyelipkan rambut di belakang telinga, lalu mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi di udara. Sorot matanya penuh tekad. "Pokoknya, jangan panggil gue Una kalau gue nggak berhasil dapetin itu si Batu Bernapas!"

"Yaudah gue panggil lo Skala!" Rifai menyahut polos.

"REVA!!!"

***

Lepas dari tikungan yang membawanya dari tangga menuju lantai dua, Riam melambatkan langkah. Ada yang aneh belakangan. Ia merasa seperti ... diikuti.

Dengan cepat, cowok itu berputar di tumitnya, hanya untuk melihat ... tidak ada apapun selain koridor yang kosong. Atau sekelebat bayangan yang sepertinya hanya halusinasi belaka. Menggeleng, ia pun melanjutkan langkah. Membiarkan Una keluar dari tempat persembunyian beberapa saat kemudian dan kembali mengekornya.

Tujuannya sama seperti Rabu dan Jum'at lainnya, ke ruang renang. Berlatih. Anak-anak lain telah datang saat ia memasuki ruangan, begitu pun Pak Ed dan Mas Rino, pelatih yang disewa khusus oleh sekolah, pelatih yang sama yang membawa nama SMA Bucin menjuarai berbagai kejuaraan renang tingkat pelajar.

"Kemana aja, Am? Baru dateng," tegur Mas Rino begitu Riam melangkah menuju lokernya untuk berganti pakaian.

"Tidur."

Jawaban singkat itu cukup untuk menjelaskan semuanya. Bukan pertama kalinya terjadi. Riam memilih meninggalkan jam terakhir pelajaran, pergi ke UKS atau ke uang tinju yang sepi, lalu tidur.

"Ngapain emang tadi malem? Nonton bokep?" Araf, salah satu anak kelas tiga yang berlatih bersamanya menyahut dalam candaan.

Riam menatapnya selama sesaat, tanpa membalas cengiran cowok itu. "Kelab. Minum."

Ada satu detik yang berlalu dengan kehening dan alis terangkat. Sebelum Mas Rino, pelatih yang baru berusia dua puluh lima tahun itu terbahak. "Bisa aja nih!"

Tentu saja. Tidak akan ada yang percaya bahwa anak yang menyabet berbagai prestasi ini, yang menjadi kesayangan guru-guru ini, tadi malam muncul di depan pintu rumah Mitha dan bersamanya pergi ke The Betelgeus, kelab milik Saga. Dan bersama mereka, meminum bergelas-gelas bir.

"Kalian ngapain di situ?" Teguran Pak Ed yang tidak pernah tersenyum menghentikan tawa keduanya. "Riam, cepetan ganti baju, yang lain cepat ambil posisi, latihan!"

Riam keluar dari ruang ganti dengan atribut renang yang lengkap lima menit kemudian. Celana renang, penutup kepala, juga kacamata Goggle terpasang sempurna.

Dua orang anak tengah berada di lintasan berbeda kolam sepanjang 50 meter tersebut, saling berlomba, sementara anak-anak lainnya berdiri di tepi. Di ujung kolam, kedua pelatih telah menunggu dengan stopwatch mereka.

Seorang anak di sebelah kiri menyentuh bibir kolam lebih dahulu. Pak Ed meniupkan peluit.

"60,9 detik," umumnya. Tampak tidak terkesan. "Satu menit lebih! Ayo yang lain, ganti!"

Ketika tiba giliran Riam, ia bertanding dengan Araf. Mereka sama-sama memasang posisi siaga sekarang. Dan segera peluit berbunyi, keduanya melompat mulus ke dalam air, meluncur selama beberapa saat, sebelum mulai mengayuh dengan lengan. Riam menahan napas sebanyak yang ia bisa, mengonsentrasikan pikirannya pada dorongan tubuh agar lebih efisien, juga kecepatan. Tangannya menyentuh bibir kolam lebih cepat dari Araf, atau siapapun. Kemudian, secepat datangnya, secepat itu pula ia bertolak. Ia mendorong kakinya pada kolam dan berbalik arah, menyelesaikan paruh kedua lintasan.

"50,55 detik!" Pak Ed mengumumkan begitu Riam mencapai finish.

Semua orang bertepuk tangan. Itu rekor tertinggi hari ini. Juga rekor tertinggi Riam selama berlatih.

Sementara yang lain sibuk menyorakinya, Riam bangkit dari kolam, melepas kacamata, dan tidak mengindahkan siapapun yang mengajaknya bicara selama menunggu giliran.

"Rekor kamu hari ini bagus!" Pak Ed menghampirinya setelah latihan berakhir. Anak-anak lain telah berkemas pulang, sementara Riam masih dengan pakaian renangnya yang lengkap, menolak mengakhiri sesi latihan begitu cepat. "50,48 detik. Itu sudah mengalahkan rekor juara PON." Ia menepuk pundak Riam dan terkekeh. "Kalau kamu rajin latihan kayak gini. Bapak yakin kamu bisa melaju di kejuaraan renang Asia nanti."

Kabarnya, Asian Swimming Championship akhir tahun ini akan digelar di Filipina. Ajang bergengsi itu diadakan hanya empat tahun sekali, diikuti negara-negara di Asia. Jika ia bisa memboyong satu piala saja dari sana ... mungkin ....

Mungkin Ayah akan kembali.

Riam memejamkan mata. Ia akan mendapatkannya. Ia harus mendapatkannya.

Maka, ketika ruang latihan renang yang luas itu kembali sunyi, ketika gelombang pada permukaan air telah tenang, Riam kembali kepadanya. Berlatih. Berlatih. Terus berlatih. Itu satu-satunya cara baginya untuk bertahan hidup. Satu-satunya harapan baginya.

"Iyam jangan takut, ya! Ayah pegang!"

Riam di umur enam tahun, dengan pelampung di pinggangnya berpegangan erat pada lelaki itu. Ini pertama kalinya ia berada di tengah-tengah kolam.

"Coba buka matanya. Pelan-pelan aja. Nggak pa-pa, kok. Liat, Riam bisa ngambang, kan?"

Ia menurut. Pelan-pelan membuka mata, merilekskan tubuhnya yang tegang. Ia dapat merasakannya hampir seketika, kakinya yang terasa ringan di air, dan pegangan Ayah di tangannya yang tidak pernah lepas.

"Nah, bisa kan?"

Ayah tersenyum. Riam tertawa. Kakinya berkecipak di bawah pelampung. Hari itu, pertama kalinya ia menyenangi air dan renang. Semua karena Ayah.

Gerakan Riam melambat. Ia tidak segera muncul ke permukaan demi oksigen. Ia menahan sisa-sisa yang ada di paru-parunya. Menahan napas. Tidak akan pernah lagi mengambil napas, kalau bisa.

Namun insting bertahan hidup mengambil alih dan kepalanya menyeruak ke permukaan. Ia tersengal, menghirup oksigen dengan rakus. Hingga tidak menyadari sepasang sepatu hitam dengan garis-garis pink telah berdiri di hadapannya.

***

Siapakah pemilik sepatu itu?

a. Una

b. Skala

c. Rifa'i


.

Baca juga Orionis: Epsilon by okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro