08. Perpustakaan
Halo~ lagi pada ngapain, nih?
Ngabuburit sore ini ditemenin Una, ya. Happy reading ^^
***
"RIAM! RIAAAAMMM!!! I'M HEREEE!!!"
Mungkin dengan cara ini, ia bisa berhasil menarik perhatian si Batu Bernapas itu. Meski dengan mengorbankan kakinya, ceker ayam yang sekarang terguncang di perutnya, atau napasnya yang mulai memendek.
"Bentar! Bentar!" Una menghentikan aksi lompat-lompatnya melalui jendela kaca kelab tinju "Peranakan gue turun," sengalnya seraya memegangi perut, dengan napas berceceran.
Anin, yang sedari tadi berdiri sedikit agak jauh setelah teriakan Una berhasil mengundang begitu banyak tatapan tidak suka dari para penggemar Orion lainnya, sekarang mulai iba. Ia mendekat dan mengusap-usap punggung Una yang letih. Sementara Rahma tampak bersidekap di hadapan mereka, keningnya berkerut dalam tanda ia sedang mengatur strategi. Dan Rifa'i, tentu saja, masih sibuk meneriakkan nama Riam dan Denis bergantian. Ia bahkan bergelantungan di jendela, menumpukan kedua lengan pada ceruk jendela tersebut dan coba tetap bertahan di posisi itu.
"Aa Denis! Cinderella di sini! A!!!"
"A Iyam toleh siniiii"
"A Denis! I love youuuu!!!"
Seperti itu, kira-kira.
"Gue barusan dapet flying kiss dari A Denis!" Pengumuman Rifa'i memecah konsentrasi yang sedang dibangun Rahma. Tentu saja, karena Rifa'i melakukannya sambil menggoyang-goyangkan lengan gadis itu, yang membuat cowok itu segera disergah Rahma dengan keras.
Mata besar yang semakin dipertegas dengan eyeliner milik Rahma melirik puluhan cewek-cewek di dekat jendela. Seperti Rifa'i, mereka juga sedang menjerit-jerit dan saling berpegangan satu sama lain. Semua mengaku diberi ciuman terbang oleh anggota Orion yang satu itu. Tsk, itu baru Denis. Ganteng, memang, tapi Denis tidak memiliki posisi sepenting itu. Jika itu tiga punggawa Orion, sabuknya Orion, Saga, Mitha dan Riam. Jika Riam yang melakukannya, niscaya mereka semua akan bergelimpangan di koridor sekarang, sekarat.
"Iya, iya. Moga lo jodoh deh, sama Denis."
"AMIIINNN!!!" Rifa'i menyahut kencang, begitu kencang sehingga ia harus menutup mulutnya ketika salah satu anggota Orion berbadan tinggi, hitam kekar seperti malaikat maut menatapnya dari jendela. Namanya Amin.
Beralih dari Rifa'i yang masih memeluk tiang bangunan dengan senyum manja di bibirnya, Rahma sekarang meletakkan tangan di atas pundak Una yang napasnya mulai berkisar normal setelah diberi es teh oleh Anin.
"Na, gue baru kepikiran. Selama ini kita salah."
"Ya emang salah, Munaroh!" Nyaris saja Una menyemburkan teh yang sedang ia sedot. Berapa kali ia menjadi korban dan Rahma baru sadar?!
"Hush, itu nama nenek gue. Kualat, mampus lo!" Rahma menggeleng, bukan itu masalahnya. "Maksud gue, tekniknya. Gue punya rencana lain."
Una segera mengambil satu langkah mundur mendengarnya. Instingnya bahkan mengatakan, ia seharusnya kabur sekarang juga. Rahma dan rencana-rencananya tidak pernah baik-baik saja.
***
"La, kamu serius?"
Meskipun wajahnya menunjukkan bahwa ia barusaja melihat keajaiban dunia yang sulit diterima akal sehat, Bunda hanya bisa memandangi Una lekat-lekat. Ia tidak menolak maupun keberatan, hanya .... syok.
"Iya, Bun. Cantik, nggak?"
"Err... iya, cantik."
Bunda meletakkan kembali sisir di tangannya, meraih salah satu koleksi hairpin dari meja rias dan memasangkannya pada Una agar poni tipis anak perempuannya itu tidak berjatuhan.
Menjadi satu-satunya anak perempuan merupakan plus minus bagi seorang Skala Aluna. Plus-nya, ia jadi dimanjakan kedua orangtua. Minus-nya ... seperti ini contohnya. Bunda kerap menjadikannya bahan boneka rias, tempat ia bereksperimen dan mewujudkan hobi mendandaninya. Kali ini, Una tidak menuruti keinginan bundanya untuk mengepang rambut menjadi model Waterfall Braid. Una punya ide sendiri.
Sementara di meja makan, ia mendapat reaksi yang lebih beragam. Lebih tepatnya, olok-olok yang beragam.
"Anjir! Betty La Fea lo?!" Irgi tidak bisa untuk tidak terpingkal-pingkal sampai memukuli meja melihat penampilan Una. Bukan hanya penampilannya, ia senang saja bisa membuat Una cemberut dan merajuk.
Una berusaha mengabaikan saudara titisan Abu Jahal-nya itu. Ia menarik kursi di dekat Ayah, minta dibela. Namun yang terjadi adalah apa yang tidak ia harapkan.
Ayah melipat koran, menatapnya, memicingkan mata. Kemudian dengan santainya, ia bertanya. "Kamu siapa?"
"Anak Kang Sayur!"
"Oh. Kirain anak yang tinggal di belakang mushola itu."
Ayah, orang yang setiap candaannya akan Una tentang mentah-mentah. Yang tinggal di belakang mushola itu adalah seorang pria setengah baya, yang sayangnya akal sehatnya telah terganggu. Warga termasuk Una sering diutus untuk membagikannya makanan.
Ish! Una mendengkus keras. Tentu, ia tidak mau kalah, ia meletakkan tasnya di samping kursi dan bersedekap.
"Hih, lupa sama anak sendiri. Mentang-mentang sibuk pacaran sama Bibi jamu komplek!"
"Kamu jangan ngomong sembarangan, ya!" Ayah memukul meja dengan korannya. Masalahnya, Bibi jamu komplek itu tidak seperti bibi jamu di sinetron-sinetron lawak jorok yang memiliki kulit kencang dan tubuh meliuk seperti guci China. Bibi Tum memiliki badan seperti itu, mungkin. Sayangnya, itu terjadi lima puluh tahun yang lalu, dan sekarang sudah tidak ada bekas kecantikan maupun kemolekannya yang tertinggal.
"Huuu. Bundaaaa Ayah selingkuh sama Bibi Tum!!!"
"Skala!"
"Tuh, inget juga sama anak sendiri. Gimana sih, Bapak Ibram yang terhormat ini."
Irgi tertawa lagi dari seberang meja hingga ia nyaris tersedak. Sementara Argi, saudara kembarnya, masih menyisip gelas teh-nya dengan tenang. Hanya saja, senyum geli bahkan tak luput bermain di bibir pria itu. Untuk orang sependiam Argi, geli karena Una adalah pencapaian. Deon melewatkan humor pagi ini. Ia barusaja mencapai meja makan, menarik kursi di samping Argi dan berusaha keras agar matanya tetap terbuka.
Hmm... Una tahu penyebabnya.
"Begadang main game lagi kan lo?" Irgi menembak lebih dulu.
"Enggak!"
"Gue bilangin Bunda nih, ya!"
"Enggak, Bang!" Deon sedikit panik. Ia tidak rela uang jajannya dipotong lagi. Jika Ayah adalah sosok yang bisa dibujuk, Bunda bisa begitu tegas terutama pada anak laki-laki.
Una buru-buru menyelesaikan acara minum susunya. Ia tidak akan melewatkan kesempatan merundung adik satu-satunya yang jarang terjadi. "Gue aja yang bilang. Bundaaaa!!! Deon tadi malem bepffh─" Deon membekapnya, erat, kuat. Una lupa bahwa tinggi mereka sekarang sudah sama.
"Sok-sokan lo mau ngaduin gue. Gue aduin juga nih, Kak Skala punya gebetan!"
"Hah? Kok gue?!"
"Tuh buktinya, ampe dandan aneh segala gitu."
Sekilas, Una mengecek penampilan dirinya. Tidak ada yang salah, menurutnya. Ia sudah berdandan sesuai apa yang disarankan.
Tunggu! Bukan itu masalahnya! Ada yang lebih gawat yang patut diluruskan!
"G-gue nggak naksir siapa-siapa kok!"
"Oh, ya?" Deon menumpukan dagu di atas siku, menoleh lalu menatapnya malas. Kali ini, wajah tengik itu tidak lagi terlihat mengantuk. Ia terlihat seolah menyimpan banyak ide konspirasi, malah. "Terus, yang tinggi, putih, ganteng itu siapa, ya?"
Una mulai panik "S-siapa?"
"Inisialnya R."
Oke, ini hanya membuatnya semakin panik.
"R si─"
"Perlu nih, gue sebutin? Nama panjangnya Ria─"
"Stop! Stop!" Una mengangkat dua tangannya di udara, justru menunjukkan betapa paniknya ia dengan wajah yang teramat merah.
Seolah warna itu tidak bisa berubah lebih gelap lagi, Irgi menatapnya dengan cengiran menyebalkan, bahkan Argi.
"Kalau serius, ajak ke rumah, La. Kenalin sama kita," Argi berkata. Nadanya serius.
Tertinggal Una, yang tidak bisa berkutik bahkan untuk sekedar menelan ludah.
***
Dan jika semula Argi adalah satu-satunya di keluarga itu yang memakai kacamata, hari ini jumlahnya bertambah.
"Selama ini kita memang salah," petuah Rahma kembali meneror kepala Una, tidak bisa minggat. Tidak selama cewek itu tanpa henti mengiriminya chat dan terus merongrongnya.
"Cara ini nggak berhasil karena kita melupakan satu hal! Riam kan pinter, dia pasti suka sama cewek yang pinter juga!"
"Tapi Anin─"
"Sst! Gue belum selesai. Anin emang pinter, sayangnya lo salah saran kemaren. Harusnya jangan langsung nembak, tapi dipancing pelan-pelan."
"Apa hubungannya Riam sama mancing? Emangnya dia ikut mancing mania mantap?"
"Una!" Rahma melotot. "Jangan potong gue, oke? Umumnya, orang pinter itu lebih menghargai sesama orang pinter. Naaah maka dari itu, lo harus jadi cewek pinter juga untuk menarik perhatian dia. Yang lo butuhkan adalah," ia menjeda, sengaja membuat teman-temannya terutama Una penasaran. Rahma melepas kacamata Anin, lalu memasangkannya di wajah Una. "Kacamata!"
"Eh tunggu! Burem," Anin protes.
Una memegangi bingkai kaca mata dan menatap sekeliling. Buram. "Bentar, bentar! Kenapa kepala gue pusing."
Dengan terpaksa dan dengkusan tidak puas, Rahma mencopot kacamata Anin dari Una dan mengembalikannya. "Intinya bukan itu." Ia menatap Una tajam, mengacungkan telunjuknya. "Besok, lo dandan kayak Anin. Kayak orang pinter!"
Lalu sebelum mulut Una terbuka, ia keburu menambahkan. "Bukan dukun, ya!"
Jadi, tidak mengherankan jika sepagian ini anak-anak satu sekolah, utamanya seisi XI IPS 5 heboh dengan penampilan terbaru Una.
Sengaja, dan dengan pedenya, cewek itu mengenakan seragam yang Bunda salah beli bulan lalu. Seragam itu dua kali lebih besar dari ukuran normal Una, membuat kemeja warna gainsboro-nya menggembung di bagian kancing pergelangan dan pertemuan dengan rok, rok abu-abu gelap itu sendiri menutupi lututnya dengan sempurna. Vest sewarna rok ia kenakan, dikancing keseluruhannya dengan rapat. Dasinya lurus. Rambutnya dikepang dua, dijatuhkan di pundak. Dan yang tidak boleh ketinggalan, tentunya, kacamata kuda.
Rahma mengurut kepalanya yang mulai pening usai menatap Una.
"Orang pinter nggak gini-gini amat juga kali, Na."
"Ya ... biar meyakinkan aja gitu kalo gue terlihat pinter," Una menyengir."
"Lo bukannya terlihat pinter malah terlihat freak, sih." Ia mendesah, kemudian menatap dua teman lainnya. "Menuut kalian gimana?"
Anin mengangkat pundak. "Terusin aja, misinya."
***
Perpustakaan SMA Buana Cendekia adalah salah satu yang terbaik, terlengkap. Rak-rak tinggi yang penuh memuat puluhan ribu buku berjajar di tiap sudut. Berlabel masing-masingnya. Dan Una tidak pernah tahu perpustakaan sekolah mereka bisa sebesar ini. Ia juga tidak tahu apakah jika ia berkeliling sebentar di sana, ia bisa menjamin dirinya tidak tersesat di antara labirin rak buku.
"Orangnya udah di tangga!" Rahma menggamitnya yang telah terbengong-bengong. Suaranya cukup keras, membuat beberapa pasang mata di sana seketika menoleh ke arah mereka, termasuk penjaga perpustakaan.
"Ekhem!" deham Pak Burhan dari mejanya.
Rahma tersenyum meminta maaf, kemudian menarik Una mendekat. Kehebohannya diturunkan menjadi bisikan. "Udah hafal kan skenarionya? Pokoknya, kali ini harus berhasil, ya. Good luck!"
Rahma, Rifa'i dan Anin pergi setelahnya, pamit untuk bersembunyi di antara rak-rak buku, tidak memedulikan Pak Burhan yang mengawasi gerak-gerik mereka. Sementara Una, Una sedang berusaha keras agar kacamatanya tidak terus-terusan melorot ke hidung, atau menjaga agar tidak merasa tercekik oleh dasinya sendiri.
Ia menatap buku-buku di hadapannya, susah payah membaca judulnya. Buku-buku sains, dan entah kenapa mendengar cabang pengetahuan tersebut membuat Una ingin menangis, ingin melarikan diri, ingin menyerang negara api.
Selang jari-jarinya menyusuri deretan buku, derap langkah terdengar samar. Una dapat melihatnya dari sudut mata. Riam Zarel Albion, berjalan ke arahnya sebelum berhenti. Mereka sekarang hanya terpisah satu rak buku. Saatnya menjalankan misi.
Una mengambil satu langkah mundur, memandang ke atas, kemudian menetapkan satu buku yang ingin ia capai. Tinggi, terlalu tinggi di atas jangkauannya.
"Uh, tinggi banget!" gumamnya, dengan suara dinyaringkan.
Ia melompat-lompat kecil, memanjangkan tangan, sambil berharap bahwa Riam akan menolongnya. Mungkin tidak akan berhasil, mengingat bagaimana cueknya Riam di beberapa percobaan terdahulu. Kesempatan berhasilnya sangat kecil dan Una nyaris putus asa melompat-lompat. Ia menoleh ke sisi, dan nyaris terjengkang mendapati fakta bahwa ... ya, cowok itu sedang berjalan ke arahnya. Ke arahnya. KE ARAHNYA.
Una segera memalingkan wajah guna menghindari kontak mata. Ia menarik napas dalam. Fokus! Fokus! Ia harus kembali pada misinya; pura-pura ... ingin mengambil buku yang tidak terjangkau.
Maka, ia berjinjit, tangannya menggapai, dan jemarinya telah menyentuh ujung buku tersebut ketika tangan lain mengambilnya. Sebuah tangan yang punggungnya lebih lebar, dengan kulit seperti porselein, kebiruan menunjukkan urat-urat yang timbul dengan samar.
Una menahan napas. Riam ... tepat di belakangnya. Ia bahkan dapat menghidu aroma parfumnya, sesuatu yang tidak menyengat, sesuatu yang terasa mahal. Ia juga dapat merasakan panas tubuh cowok itu menguar melalui persentuhan dengan punggungnya. Ia bahkan dapat merasakan napasnya. Hangat. Pelan menggelitik puncak kepala Una.
Tarik napas! Hembuskan! Tarik napas! Hembuskan! Tarik.... oke, ia siap.
Satu. Dua. Tiga.
Una memejamkan mata dan berbalik, siap menghadapi Riam. Ucapan terimakasih telah berada di ujung lidahnya ketika ia membuka mata dan menemukan Riam di depannya. Riam mengambil buku tersebut, mengecek judulnya, lalu ... berlalu pergi. Begitu saja.
Ia yang jantungnya menggila tadi bahkan tidak diakui eksistensinya.
***
Huhu sempet ikut deg-degan juga, nggak, tadi?
Apa pada lemes, nih? Jangan lemes dong, semangat vote dan komennya biar aku semangat juga ngelanjutin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro