Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. Detik 6,2


"Oke, tadi itu kesalahan teknis, oke? Kesalahan teknis! Yang tadi emang nggak berhasil. Tapi yang ini pasti deh!"

Una menatap Rahma sangsi. Kedua tangan ia sedekapkan di depan dada. "Enggak! Ini bibir gue sakit banget nih lo dorongnya kekencengan! Bukannya jatuh cinta malah jatuh bangun gue!"

"Untung bukan jatuh miskin ya, Na," celetuk Rifa'i sambil memijit bahunya. Kepadanya, Una menoleh dan memberikan tatapan mengancam. Yang tidak mempan karena cowok itu terus mencerocos. "Udah lo tatap belum, lantainya, Na? Kali kalian jatuh cinta."

"Lo diem atau gue panggil Mas mulai sekarang!"

Jika pelototan tidak mempan, maka kali ini berhasil. Seketika Rifa'i membungkam mulutnya rapat-rapat.

Una mendengkus. Rasanya, ia tidak mau mengingatnya. Kejadian memalukan tadi pagi. Korban malapraktek dari teori Rahma yang sama sekali tidak berdasar. Setelah jatuh, bukannya menolong, anak-anak yang berada di sekitar justru memandangi dan menertawakannya. Bagaimana tidak, tidak ada angin tidak ada hujan tidak ada badai, sekonyong-konyong Una nyungsep begitu saja. Belum lagi rasa sakit yang masih ia ingat betul sampai bibirnya hampir bengkak!

"Iya, iya. Maaf," Rahma menyengir. Cewek blasteran Pakistan-Betawi-Padang itu berhenti mondar-mandir, lalu menarik kursi agar bisa duduk di hadapan Una. "Tapi yang ini janji deh. Kali ini nggak ada jatuh-jatuhan badan lagi. Sumpah!"

"Terus, apa dong?"

"Lo cuma perlu jatuhin sapu tangan."

Una memicingkan mata. "Dari sinetron mana lagi ini?"

"Ya... gue tahu ini klasik, tapi masa cowok gentleman kayak Riam enggak mau nolongin ambilin barang cewek yang jatuh, sih? Lagipula ini nggak beresiko. Sapu tangan doang, kalo gagal juga nggak rugi. Ya kan?"

"Nggak mau!"

"Jatah mi ayam sebulan nggak jadi nih?"

"N-nggak mau!" Kali ini, terdengar getaran ragu dalam suara Una yang membuat Rahma nyaris tidak bisa menahan seringainya.

"Fai!" panggilnya.

Dan seperti seorang dayang, Rifa'i dengan sigap menawarkan seplastik susu kedelai yang tidak tersedia di kantin, hanya ada di mamang depan sekolah yang tidak berjualan di sana setiap hari. Perlu perjuangan untuk mendapatkannya, dan ... dan Una sangat suka susu kedelai.

Rahma mengambil plastik susu kedelai itu dan menggoyang-goyangkannya di depan hidung Una. "Yakin nih enggak mau?"

"Gue ... gue ... yaudah mana saputangannya?!"

Pada akhirnya, Una kembali terpedaya. Lepas lonceng berbunyi menandakan jam istirahat pertama, ia sudah berdiri tidak jauh dari kelas Riam, dengan teman-temannya yang menyemangati dari kejauhan.

Kali ini mudah, ia tidak akan menderita kerugian apa-apa. Yang perlu dilakukannya hanya berjalan anggun, menjatuhkan sapu tangan saat Riam berjalan di belakang, dan tetap bersikap seperti ia tidak tahu apa-apa.

Oke sip.

Lalu, anak-anak kelas XI IPA 1 mulai keluar satu-satu, atau dua-dua, atau bergerombol. Una menunggunya, menghitungi jumlah mereka. Lalu, ketika hitungan jumlah siswa maksimal dalam satu kelas hampir habis, sosok yang dinantikan itu akhirnya muncul juga.

Riam memilih keluar kelas kelas paling akhir. Kali ini, dengan beruntungnya, ia tidak sedang membawa buku di tangan. Tatapannya lurus ke depan. Dan seketika, jantung Una berpacu. Ia harus bersiap-siap sekarang juga!

Lima langkah lagi.

Empat langkah lagi.

Oke, saatnya mengeluarkan sapu tangan. Una meraba kantung saku bajunya, dan di detik yang sama, memucat.

"Gue ... gue ... yaudah mana saputangannya?!" tanyanya sesaat setelah menerima susu kedelai dari Rahma.

"Fai!"

Rahma mengulurkan tangan, dan Rifai menaruh selembar sapu tangan pink yang berhasil ia korek dari dalam tas. Una nyaris muntah ketika mendekatkan benda itu ke bawah hidungnya.

"Ini saputangan apa serbet WC sih, Fai?! Bau bangke!"

"Ya maap bekas iler," Rifai menyengir. Lalu menyemprotkan banyak parfum pada sapu tangannya.

"Moga Riam enggak alergi bau iler, ya," komentar Rahma.

Dan Una, Una hanya mengangguk setuju, dengan amat sangat terpaksa ia menjejalkan saputangan itu ke dalam tas.

Ke dalam tas!

Bodohnya ia, saputangan itu berada di dalam tas sekolah. Dan tentu saja, tas itu sedang tidak bersamanya sekarang. Mampus!

Berpikir, Una! Ayo berpikir! Ia melompat-lompat kecil di tempat, coba memeras ide dari otaknya yang nyaris tidak pernah dipakai. Jika tidak ada saputangan, maka... barang, barang apapun yang ia miliki.

Seketika, Una menggeledah sakunya. Riam berjalan semakin dekat dan semua yang dapat ia temukan adalah ... ponsel.

Secara refleks, Una melemparkkan ponselnya ke lantai, lalu berbalik di detik terakhir, pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak sadar ia telah menjatuhkan benda tersebut.

Baginya, tragedi didorong Rahma sampai mencium lantai sudah merupakan yang terparah. Ternyata ia salah. Karena detik berikutnya, tepat ketika dengan sudut mata ia melihat Riam berjalan di belakang, secara bersamaan ia mendengar bunyi crack yang menyentuh gendang telinganya, membuatnya membeku seketika.

Riam tidak berhenti untuk mengambil apapun yang Una buang seperti yang Rahma rencanakan. Ia bahkan tidak berhenti untuk melihat apa yang barusan ia injak.

Hingga koridor relatif sepi, yang tertinggal di sana hanya Una dan kedua kakinya yang menolak untuk menyokong tubuh. Ia jatuh berlutut di lantai, memegangi ponsel yang kacanya tidak lagi mulus.

"P-ponsel gue.... Huaaaaa!!!"

***

"Pertama, jadilah menarik di matanya. Kasih dia senyuman yang indah dan percaya diri."

Petuah Rahma saat itu. Petuah yang ... seharusnya memang tidak boleh dipercaya sama sekali.

Setelah pertengkaran penuh aimata tentang ponsel yang retak, yang Rahma coba meyakinkan Una, kalau-kalau dia amnesia bahwa ponsel cewek itu memang sudah retak sejak minggu lalu, sejak ia dikejar-kejar Bu Sri karena terlambat dan mencoba kabur dari hukuman. Una akhirnya bersedia untuk bekerja sama kembali, setelah perutnya diisi ulang oleh mi ayam serta dua ceker traktiran teman-temannya dan ancaman bahwa kalau ia mundur, ia wajib mengganti dua kali lipat.

Dengan bersungut-sungut, Una memasrahkan diri harus kembali didudukkan di kursi pesakitan. Rasanya sudah seperti itu mengingat bagaimana mengerikannya Rahma mengomel jika ia mulai bergerak-gerak sedikit saja sementara cewek itu berkutat dengan peralatan sakti-nya.

"Gue bilang kepala lo jangan gerak-gerak!" titah Rahma, ia memegangi kedua sisi wajah Una begitu erat sampai jika posisi ini bertahan selama satu jam, niscaya wajah Una berubah lonjong.

Dengan telaten, Rahma mulai menggariskan eyeliner pada garis mata Una, memberikan maskara pada bulumatanya dan ia bahkan membawa penjepit agar lebih lentik. Sementara, di dua kursi sampingnya, Rifa'i dan Anin hanya bisa menatap pasrah.

"Jangan kedip-kedip, Una!"

"Mata gue gatel!"

"Lo anteng aja barang lima menit napa, sih?! Pokoknya jangan gerak! Jangan kedip! Jangan napas! Oke?"

Una menciut dibawah pelototan mata besar Rahma. Sebisa mungkin memelankan napasnya agar tidak menyemprot wajah Rahma yang berjarak hanya hitungan inchi, atau ia akan kena semprot omelan lagi.

Akan tetapi, sekuat apapun ia menahan napas, menahan gatal yang perlahan tapi pasti menggerogoti kerongkongannya, ia tidak berhasil.

"Hatchi!!!" semburnya ke wajah Rahma.

Alhasil, raut tidak menyenangkan yang bertengger di wajah Rahma harus ia terima. Una sampai menciut ketika ia akhirnya memberanikan diri bertanya. "Ra, ini apa nggak lebay?"

"Enggak kok! Ini udah sesuai standar kecantikan ala-ala Korea," ujarnya seraya memoles lipstik tebal pada Una. Udah nih lo udah mirip IU."

Bahkan ekspresi horor yang Anin pancarkan tidak bisa berbohong. Ada yang tidak beres dan Una seharusnya sadar, seandainya Rifai tidak mengacaukan persepsinya.

"Cantik banget kayak Princess Syahrini. Ra, gue ... mau nyoba, boleh?"

Dan topik segera berpindah pada Rifa'i. Sampai akhirnya waktu tidak lagi bisa diulur dan Rahma buru-buru menyeretnya keluar kelas.

Mereka menempatkannya di lantai dua gedung olahraga, gedung yang letaknya di samping gedung utama. Karena menurut pemantauan Rahma, dan mata-mata yang ia punya, Riam sering ke markas Orion pada jam istirahat makan siang, termasuk hari ini.

"Lo pasti bisa! Semangat Na!"

Semangat pala lo belah tengah! Una menarik napas, berusaha lebih rileks setelah teman-teman kurang ajarnya kabur, meninggalkanya di koridor yang relatif sepi.

Tugasnya sekali ini tidak terdengar berat sama sekali. Ia hanya harus tersenyum. Namun dengan dua kejadian buruk sebelumnya, Una tidak lagi begitu percaya diri. Ia bahkan harus berulang kali mensugesti diri untuk tetap menjalankan misi ini.

Demi mi ayam! Demi mi ayam! Demi mi ayam ceker dua!

Selang ia mondar-mandir di koridor merapal mantra, saat itulah Riam melintas ie kejauhan. Cowok itu telah memasuki lift begitu Una menyadarinya. Spontanitas pun mengambil alih.

"Tunggu! Tunggu! Tungguuuu!!!" Una berteriak, berlari mengejar Riam, dan berhasil menjejalkan tangannya di detik terakhir demi menahan pintu tersebut agar tetap terbuka.

"Selamat," gumamnya sembari mengelus dada.

Ia memilih berdiri di sisi Riam, membiarkan napasnya yang sudah diujung tanduk perlahan kembali normal. Lalu, tentu saja, misi tidak boleh dilupakan dan kesempatan terjebak di satu tempat hanya berdua dengan Riam tidak boleh dilewatkan.

Maka, ia pun membuang sisa-sisa urang malu pada dirinya, menebalkan muka setebal make-upnya, dan menatap Riam lamat-lamat hingga cowok itu menoleh.

Una memberikannya senyum terbaik, terlebar, terindah yang bisa ia pikirkan.

Tatap ia selama 8,2 detik, dan semoga ... jatuh cinta.

Sayangnya, hitungannya harus terhenti di detik 6,2. Sayangnya juga, Riam dengan terburu-buru memutuskan untuk keluar lift, meninggalkannya.

Una baru akan menyusulnya ketika, dua meter dari jaraknya berdiri, ia justru baru menyadari ia telah masuk kandang singa.

"Una, ikut saya ke ruang BK!" titah Bu Sri galak.

♀️♀️♀️


PS: Udah pada baca Saga aka Orionis Epsilon, kan? Kalo belum ayo mampir sini okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro