05. Mission, Action!
Siap untuk misi pertama? Ambil posisi ternyaman dan selamat membaca!
♀️♀️♀️
"Gue nggak mauuuu!!!"
Una berteriak keras hingga membangunkan Mamang Gorengan yang hampir jatuh tertidur. Cewek itu meronta-ronta meski tidak ada yang sedang memeganginya, berpegangan kuat pada tepian meja dan menggeleng keras-keras, mengakibatkan rambutnya menampar wajah Rifa'i dua kali. Ia tidak bersedia dicelupkan teman-temannya pada kawah lava paling mengerikan se-Bucin Raya bernama Riam Batu Bernapas.
"Na?"
"Nggak mau! Ogah! Amit-amit gue jadi tumba─"
"Na?!" Anin memanggil lebih keras, memotong sanggahan tidak berguna Una sebelum tersenyum kalem. "Gue traktir mi ayam dua minggu penuh, gimana?" tawarnya.
Dan tiba-tiba saja, mendengar kata mi ayam membuat kata-kata menguap dari otaknya, setidaknya selama satu detik sebelum ia menjawab mantap. "Nggak!"
"Sebulan!" Rahma menambahkan cepat.
Oke. Mi ayam. Gratis. Sebulan penuh. Godaan Rahma lebih hebat dari godaan setan. Apakah ia seniornya?
Tapi .. harus tahan, Una! Harus tahan!
"Sama cekernya dua," tambah Rifa'i sembari menyeruput es jeruk dan memindahkan tumpuan kakinya. "Itu udah biaya scincare gue selama sebulan tuh disumbangin."
"Lo skin care apa emangnya sih, Fai? Buluk juga. Minyak jelantah?!" Rahma bersidekap. Kemudian perhatiannya teralihkan pada Una yang menatap mereka semua dengan senyum psikopat di wajah.
Terlalu lebar. Tampak terlalu bahagia.
Cewek itu mengulurkan tangan, lalu karena tidak mendapat respon, ia pun memaksa menjabat tangan Rifa'i.
"Deal!" umumnya.
Dan itulah yang membawa mereka ke sini sekarang, berdempetan di atas kasur double size bermotif Winnie The Pooh-nya Una, menyusun rencana penuh konspirasi yang disinyalir mampur memporak-porandakan dunia. Atau, setidaknya, dunia Riam.
Rahma menaikkan laptop ke atas pangkuannya dan menyandarkan punggung pada dinding, persis di bawah poster besar Chanyeol EXO dengan pose yang membuat Una kejang-kejang dulu sebelum tidur. "Jadi, gue udah menyusun sekian dari daftar 1001 cara menggaet cowok dari berbagai sumber yang gue kumpulin. Ntar kita pilihin mana yang patut kita praktekkan satu-satu. Gimana, guys?"
Tidak ada jawaban.
"Nin?"
Anin mengangguk-angguk, menunjukkan pada Rahma bahwa ia mendengarkan.
"Fai?"
Rifa'i tidak menyahut, sibuk membersihkan kukunya yang habis dipotong.
"Rifai Slamet~"
Masih tidak ada jawaban.
"Revalina S. Temat?"
Tetap tidak ada jawaban.
"BAWANG PUTIH!"
"Iya, Nyonya! Eh, Nyonya!" Rifai berseru kaget, tangannya yang secara otomatis naik ke udara melempar jepitan kukunya hingga nyaris mengenai kepala Rahma, membuat cewek itu melotot.
"Ini kalo kena mata gue, mata lo dua-duanya yang gue colok!" omelnya, kemudian, dengan napas yang belum terputus. "Ini juga si Una kemana? Una?!"
Una .... anak itu sedang tidak ada dimana-mana. Pamitnya mengambil cemilan sekitar sepuluh menit lalu, dan belum juga kembali. Rahma nyaris kehilangan kesabaran. Ia lapar, lelah berpikir dan penat menghadapi teman-temannya ini. Ia butuh udara segar, atau minuman segar, apapun yang segar-segar. Ia butuh─
Pintu seketika terbuka. Dan kesegaran yang terhidang di depan mata lebih menggoda dari sebentuk Marjan pada bulan puasa. Kesegaran itu berbentuk sosok jangkung dan tegap dengan wajah seperti selebriti dan senyum yang membuat Rahma hampir lupa diri. Kesegaran itu berbentuk seorang Irgi Pahlevi.
"Hai, girls," sapanya, mengangguk sekali sebagai bentuk sapaan entah pada siapa. Yang jelas Rahma lupa menarik napas dan Rifa'i mulai bergetar di tempat duduknya.
"Maaf nih," ujar Irgi sembari berjalan menuju lemari belajar Una. Ia mengambil sesuatu dari atas meja. "Cuma mau ngambil CD. Maaf ya, ganggu."
"Iya, Kak." Anin balas tersenyum.
"E-enggak pa-pa, Kak." Rahma, sambil berusaha untuk tetap bernapas.
"Gangguin aku, Mas." Well─
Belum sempat Rahma melayangkan baku hantam ke pundak Rifa'i, pintu di belakang Irgi sekarang menjeblak terbuka. Una masuk dengan langkah lebar yang menghentak lantai dan napas yang tampak memburu.
"Abang, kan, yang abisin Nutrijell Una!" tudingnya seketika. Di tangannya sudah ada tupperware lunch set kosong yang ia acung-acungkan di depan wajah Irgi. "Ini Una, kan, udah capek-capek bikin, disimpen di kulkas buat dimakan nanti. Eh abang abisin! Nggak mau tahu, pokoknya gantiin!"
"Ya mana gue tahu. Kulkas bersama mah isinya bersama juga."
"Gantiin pokoknya!"
Irgi mengangkat kedua tangannya, terutama karena Una mulai memukul-mukulkan kotak tupperware ke badannya. "Iya, iya, ntar gue bikinin."
"Iya kapan? Abang kan tukang bohong!"
"Iya pokoknya entar lah. Kalau elo udah punya pacar." Sebelum didamprat Una, ia berbalik pada sekumpulan cacing terpanggang (dibaca Rahma dan Rifa'i) dan melempar senyum. "Maaf ya. Una suka cerewet gitu anaknya. Kalian santai-santai aja ya. Anggap rumah sendiri. Kakak mau kabur dulu. Dah!"
Kemudian, ia kabur dengan sebenar-benarnya, meninggalkan Una yang masih menggerutu terkait agar-agar cokelatnya. Una bukan tipe yang rajin di dapur, namun seklainya ia rajin, harus berakhir tragis seperti sekarang.
"Bang Irgi jahat! Una laporin Pak Ibram, nih!"
Lebih sialnya lagi, tidak ada satupun dari temannya yang bersimpati. Malah, dua manusia tidak tahu diri itu sibuk mengipasi wajah usai mendapati penampakan salah satu abangnya. Tidak ada yang membelanya. Tidak ada.
"Aduh abangnya Una ganteng banget, ya! Gue suka banget Kak Irgi, rambutnya yang agak keriting gondrong itu loh, kayak Nicholas Saputra!" Rahma berorasi dengan berapi-api, dalam hitungan detik sudah melupakan omelan yang ia simpan untuk Una. "Uwu banget Kak Irgi tuh, mana ramah." Kemudian, ia menoleh pada Anin. "Lo sama Kak Argi aja mau nggak, Nin? Gantengnya sama, tapi lebih cool aja!"
"Gue dapet apa dong?" Rifa'i tidak terima. "Yaudah gue adeknya Una aja. Mayan brondong."
"Dia masih SMP, Dodol!!!"
"Ya habis, gue kan juga butuh asopan cogan─"
"Kalian kalau mau terus-terusan muji saudara-saudara gue yang nggak tahu diri itu mending sana aja deh, diskusi di kamar Bang Irgi!" Una memotong, dan sialnya, teman-temannya malah terlihat antusias.
"Yang mana, Na, kamarnya?"
"Boleh, emang?"
"Yaudah, gue capcus dulu!"
Rifa'i sudah berdiri, memaksa Una untuk menarik ujung bajunya lagi agar tetap di tempat. Mempunyai abang-abang yang kata orang ganteng dan kata Una lebih mirip titisan genderuwo itu tidak enak, benar-benar tidak enak. Mereka belum tahu saja bagaimana baunya ketek Irgi atau Argi yang kalau ngorok bisa membangunkan sahur satu kampung.
"Katanya mau nyusun misi menggaet si Batu Bernapas itu! Jadi, nggak, sih?!"
"Jadi lo setuju?"
Senyum antusias Rahma kemudian membuat Una menyesali mulutnya. Seharusnya, ia biarkan saja tadi mereka merecoki Irgi. Seharusnya, ia tidak usah membantu mereka mengingat.
"Sebentar, deh. Gue ... mendadak sakit perut."
***
Yang pertama dalam buku panduan 1001 cara menaklukkan hati Riam, buat dia menyadari keberadaan kamu. Gunakan pertemuan-pertemuan tidak sengaja yang manis dan tidak terlupakan seperti dalam cerita novel.
"Pertama, tabrak dia."
"Hah?!"
Una mengerutkan alis bingung. Ia sudah tidak mengerti untuk apa ia disuruh datang ke sekolah pagi-pagi hanya untuk diseret bersembunyi di balik tembok. Sekarang, Rahma mengumumkan bahwa mereka akan ... menabrak cowok itu? Meskipun ia tidak memiliki simpati apa-apa pada Riam, tetap saja, hal tersebut bisa membuatnya dilaporkan ke polisi. Kan?
Melihat tanda tanya besar di wajah Una, Rahma pun menjelaskan dengan gemas. "Lo pada pasti pernah, kan, nonton adegan FTV yang cowok sama ceweknya itu tabrakan terus tiba-tiba jatuh cinta? Nah, lo harus tabrak dia, Na!"
"Sebentar! Gimana caranya tabrakan aja bisa bikin jatuh cinta?!"
"Ya pokoknya yang gue tonton gitu, ya! Lo habis nabrak, jangan langsung minggat, ditatap dulu matanya minimal 8,2 detik, oke?"
"Kenapa 8,2 detik?"
"Karena katanya, kita bisa jatuh cinta jika menatap 8,2 detik. Inget, ya, Na. Delapan koma dua detik. Itung baik-baik!"
Una meneguk ludah. Memikirkan cara bagaimana ia bisa bertahan menatap mata yang mirip malaikat maut itu selama delapan detik tanpa merasa sekarat membuatnya mendadak sakit perut. Lagipula, bagaimana caranya menghitung 0,2 detik? Ia benci Matematika, demi Tuhan!
"Errr gue nggak yakin soal ini, deh, Ra," Anin berkomentar. Dan Una mengangguk antusias penuh persetujuan, yang tidak digubris Rahma.
Cewek itu kembali menyurukkan kepala keluar dari tempat persembunyian mereka, satu-satunya posisi yang memungkinkan untuk mengawasi parkiran.
"Jangan dorong-dorong, elah!"
Rahma berbalik, melotot pada Rifai yang sibuk menungging-nungging di belakangnya.
Cowok itu pun mengerucutkan bibir protes. "Gue kan juga pengen liat mas Iyam, Ra."
"Heleh. Palingan lo mau lihatin Pak Muchlis!"
"Ya itu juga, sih. Ganteng banget kumisnya."
Yang menghentikan perdebatan keduanya tentang satpam sekolah kemudian adalah suara motor yang dikenali Rahma dengan baik. Ducati Desmosedici D16RR yang katanya, di Indonesia hanya ada tiga unit, diproduksi dalam jumlah terbatas.
Usai Riam memarkirkan motor, Rahma segera berdiri tegak, mengambil waktu untuk mengagumi bagaimana rambut cowok itu menjadi berantakan saat ia melepas helm, terpesona dengan caranya mengibaskan dan menyisirnya dengan jari yang terbalut sarung tangan, sebelum kembali menghampiri posisi Una dan Anin.
"Target datang!" umumnya, lalu dengan terburu-buru merapikan rambut Una yang hari ini memiliki tiga anyaman kecil di bagian depan kemudian diberi jepitan bunga, hasil kreasi ibunya. "Siap-siap, Na!"
"Nanti lo dorong gue, ya!"
Mereka kemudian berbaris di koridor yang biasa Riam lewati untuk sampai ke kelas. Dengan jantung berdebar dan rencana yang sudah disusun matang-matang. Skenarionya, Una hanya perlu menabrakkan diri, membuat tumpukan buku yang barusaja dibebankan Rifai ke dalam dekapannya menjadi bertebaran kemana-mana, lalu, secara disengaja-sengajakan, mereka akan saling tatap, dan ... jatuh cinta. Semudah itu.
Seharusnya seperti itu. Harapannya begitu.
Kemudian, Riam muncul, berjalan semakin dekat dan semakin dekat, dengan tangan di saku celana dan pandangan lurus ke depan.
Misi pertama ... dimulai.
Lima langkah. Una mengeratkan buku dalam dekapannya.
Empat langkah. Una meneguk ludah.
Tiga langkah. Kakinya mulai gemetar.
Dua ...
Inilah waktunya!
"Riam!"
Seketika, Riam menghentikan langkah dan memutar tubuh, menemukan Saga melambai ke arahnya. Ah, ia punya janji hari ini untuk meminjamkan buku yang Saga cari. Cowok itu pun tanpa berpikir dua kali memutar haluan, berjalan ke arah Saga.
Meninggalkan Una yang terkapar mencium ubin dengan buku-buku berserakan di sekitar, tanpa ada yang menolong, apalagi yang menatapnya hingga 8,2 detik.
♀️♀️♀️
Nggak bermaksud membuat cerita yang komedi banget, tapi kayaknya cerita ini kembali receh kayak pendahulunya 😭 Menurut kalian gimana? Bobrok banget ya, gengnya Una.
Misi-misi berikutnya menanti, jangan bosan dulu, ya! Kita ketemu lagi... Rabu.
Terimakasih vote dan komennya, bener-bener penyemangat. See you~
Baca juga Orionis Epsilon by okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro