04. Creepy
Masih kuat #dirumahaja?
Sore ini ditemani Riam, ya. Happy reading ❤
♂️♂️♂️
Berenang adalah satu-satunya cara bagi Riam agar ia tetap merasa waras.
Air menciprat kemana-mana ketika ia menceburkan diri, berenang dengan gaya dada di bawah air beberapa meter sebelum kembali mengambil napas ke permukaan. Lalu berenang secepatnya ke ujung dan kembali. Gerakannya tenang namun menyimpan energi yang ia coba kuras habis-habisan. Seperti terus berenang lebih dari satu jam lamanya. Seperti sekarang. Seolah ia sedang marah dan ini adalah caranya untuk melampiaskan. Dan sepertinya, itu adalah kenyataan.
Kolam renang itu luasnya hampir seukuran lapangan futsal, bergaya Sorento dan indoor, dengan sebagian besar dinding adalah panel-panel kaca yang memisahkannya dengan taman belakang. Memberi pemandangan alam buatan berupa dinding-dinding batu yang dialiri air terjun, rerumpunan bambu, dan rumput hijau diselingi tanaman terpangkas rapi. Ditambah atap geser atau retractable roof yang juga berbahan transparan, menjadikan ruangan itu tidak pernah kekurangan cahaya.
Riam tidak pernah kekurangan cahaya, dan ia membencinya. Seperti ia membenci kebanyakan hal dalam hidupnya. Beruntungnya, sekarang sudah petang.
Ujung kolam renang kembali berkecipak ketika Riam bangkit, mengangkat tubuhnya dan mendudukkan diri di pinggir kolam. Ia meraih handuk yang terlipat di sisinya dan menyeka air dari wajah dan kepala. Tidak cukup lama air itu masih menetes-netes dari ujung rambut.
Ia meraih ponselnya yang dari tadi bergetar tanpa kesudahan.
Ada banyak chat masuk dari Mitha.
Am
Maen yuk!
Ke tempat Saga
Gabut gua
Siapa tahu kan di sana ketemu cewek-cewek cantik bahenol indah mempesona, menggoyahkan iman mengguncang ideologi.
Aduh pasti sih ini.
Riam nyaris mengabaikannya. Karena ... as if he cares. Namun mengingat Mitha tidak akan berhenti membobol pemberitahuannya sebelum mendapat jawaban, ia mengetik balasan singkat.
Males
Baru ia akan menyimpan ponselnya kembali ke tempat semula, I-Phone 11 Pro yang ia beli dua minggu lalu itu bergetar lagi.
Sebuah nomor asing. Namun, Riam mengenalinya karena terlalu seringnya nomor yang sama mengiriminya pesan. Dan ia tidak pernah menyukai isinya.
Sejenak, ia berpikir untuk memblokirnya saja. Dengan begitu tidak akan ada beban. Dengan begitu ia akan menghabiskan malamnya seperti biasa, agak membosankan namun baik-baik saja.
Namun jemarinya berkhianat. Riam membuka pesan tersebut.
Kak, apa kabar?
Hanya satu kalimat singkat, yang harusnya, tidak memberi pengaruh apa-apa. Harusnya. Itu tidak terjadi pada Riam.
Rasa marah menelusup dari ujung-ujung jemarinya diam-diam, menjalar hingga ke kepala. Kemarahan yang sudah begitu lama terpendam, yang tidak mampu ia lepaskan.
Riam memejamkan mata. Tidak berhasil. Maka ia menggenggam ponsel di tangannya erat-erat, begitu erat sampai buku-bukunya memutih, sebelum melemparkan benda itu sekuat tenaga ke dalam kolam.
***
Basecamp geng Orion terletak di ruang latihan tinju di lantai dua gedung olahraga. Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa gedung olahraga SMA Bucin memiliki fasilitas terlengkap se-Jakarta Utara, atau mungkin se-Jakarta. Mulai dari lapangan indoor untuk futsal, basket, tenis, hingga kolam renang dengan lintasan, dan tentu saja, yang begitu dinikmati anak-anak Orion, ruang boxing yang dilengkapi ring tinju, jajaran samsak berbagai ukuran, dan ruang yang cukup luas untuk sekedar nongkrong.
Di luar ruang latihan tinju tersebut, tiga orang berjaga di depan, bersandar di dinding dengan salah satunya tanpa ragu menyesap sebatang rokok dan yang lain sibuk dengan ponsel mereka. Beruntungnya mereka berada di ruang paling ujung, atau anak-anak lain akan merasa terancam meski hanya untuk lewat.
Bukan tanpa alasan ketiganya berjaga di luar dan bukannya masuk. Riam, Saga dan Mitha sedang di dalam, sebagai anak baru, rasa segan membuat mereka terintimidasi jika harus berada dalam jarak kelewat dekat dengan tiga anggota atas Orion tersebut. Katanya Saga bisa begitu tegas dan mengitimidasi saat serius. Riam tidak perlu dipertanyakan, tatapannya saja sudah bikin anak-anak ingat Tuhan. Dan Mitha, mereka sudah melihat sendiri bagaimana ia bertarung. Salah-salah mereka pergi sekolah dengan dua kaki dan pulangnya hanya sisa satu.
"Elah, baru patah doang. Belom mati." Saga sibuk mondar mandir di depan loker penyimpanan barang dengan ponsel di telinga. Ia meraih sarung tinju berwarna merah, berhenti di depan samsak berbentuk Body Opponent Bag (BOB) atau samsak yang berbentuk manusia setengah badan, kemudian mencoba kemampuan bertinjunya dengan pikiran tidak tertuju ke sana. Meskipun ya, dia masih dapat melakukan pukulan straight dan jab dengan tepat.
"Si Andre gimana?" tanyanya lagi, setelah jeda untuk mendengarkan jawaban orang di seberang sana.
Naufal dan Andre, dua anggota yang hari ini tidak masuk akibat tawuran kemarin. Sebagai ketua, tentu ia punya tanggung jawab atas keselamatan anggotanya.
"Yaudah. Besok masuk, ya. Sepi nggak ada lo. Elo orkes dangdutnya, sih."
Ia terkekeh sebentar, lalu melepas sarung tinju dan menyimpan ponsel itu kembali ke sakunya. Cowok berambut cokelat gelap itu sekarang berjalan pada Riam yang sedang duduk bersandar di sudut dan Mitha yang menonton Youtube sambil memamah biak di sisinya.
"Si Opal nggak berani masuk, tahu kenapa?"
Mitha menghentikan acara ngemilnya dan mendongak pada Saga. "Apa? Patah tulang? Patah hati?"
Saga tidak segera menjawab. Alih-alih, ia mengambil duduk di depan Mitha, melepaskan sarung tinju dan tanpa permisi meraup sejumlah keripik kentangnya sebelum melanjutkan. "Giginya patah dua! Dan dia nggak berani masuk sekolah karena nggak pede!"
Mitha menyemburkan tawa. "Mampus, ompong! Bilangin, gue bisa pinjemin gigi palsu kakek gue kalau mau!"
"Atau nenek gue, lengkap sama behelnya, warna biru."
Mereka tertawa lebih keras. Dan Riam memperbesar volume earphone-nya dengan tampang tidak peduli.
Saga mengulurkan tangannya lagi, bermaksud membantu Mitha lebih cepat menghabiskan keripiknya yang segera dicegah Mitha dengan menarik makanannya. "Wey! Tidak bisa, Bung! Beli sono!"
Saga berdecap. Pandangannya teralih pada Maykel, salah satu anggota lama yang dengan rajin sedang mengelap jajaran piala yang bersisian dengan loker satu persatu.
"May, lo nggak ngantin?"
Maykel menoleh, kemudian tersenyum sungkan. "Ntar, bos. Nanggung."
"Kantin gih. Gue mau nitip."
"Nitip apa?"
Saga mengeluarkan dompet, sebuah zip wallet dari Saint Laurent yang harganya jangan ditanya. Ia memilah lembar uangnya, sebelum melemparkan pecahan lima ribuan.
"Beliin Aqua, Cheetos dua, Milo yang gede itu tiga, gorengan sepuluh, apalagi ya."
"Bentar, Bos!" Maykel menerawang selembar lima ribuan di tangannya ke udara, membolak-baliknya, memastikan uang itu hanya ada selapis, membauinya. Wajahnya terlihat terguncang. "Bos, kenapa nggak bunuh saya aja?"
Mitha tertawa keras. Ia selalu tertawa begitu keras sampai-sampai keripik kentang yang tengah ia kunyah bermuncratan ke wajah Maykel. "Sekalian Taro dua, Fanta, mie ayam, pesawat terbang sama harga diri lo," tambahnya.
Mereka tertawa lagi. Lebih keras ketika mendapati ekspresi Maykel yang seperti orang habis kecepirit.
Masih disertai kekehan, Saga kemudian menambahkan pecahan lima ribuan ke tangan Maykel. Yang segera membuat mata cowok itu cemerlang. "Dah sana, beliin minuman apa aja. Haus gue."
"Kembaliannya gue beliin gorengan ya, Bos?"
"Iya. Beli yang banyak sana, buat anak-anak juga. Buruan lu!" desak Saga seraya menendang pelan pantat Maykel yang bahenol. Tawanya masih membayang.
SementaraMitha tidak lupa mewanti-wanti sebelum pantat itu benar-benar menghilang daripandangan. "Jangan lupa beliin gue bakwan tiga! Minimal!"
"Ada lagi, Bos?"
"Harga diri lo jangan lupa dibawa!"
Lepas Maykel pergi, dan tidak ada yang bisa dikerjakan selain rebahan, Mitha menatap Saga. Cowok itu sudah menempati kursi dan meja dekat lemari piala. Dan melihat gelagat gatal-ingin-menggibah di mata Mitha, ia memberinya satu jari telunjuk untuk menghentikan cowok itu bahkan sebelum Mitha mulai membuka mulut.
"No gibah. Gue mau belajar dulu, ada ulangan harian Kimia abis ini."
Mitha berdecap, kemudian beralih pada Riam.
"Am"
Tidak ada sahutan. Riam masih memejamkan mata dengan earphone di telinga.
"Am, woy! Bangun!"
"Am?!"
"Riam Jarel Albi─"
Yang segera terhenti juga begitu Riam membuka mata, menatapnya dengan tatapannya yang biasa. Datar. Dingin. Tatap yang membuat bungkam lawan bicara. Tatap yang selalu membentenginya dari orang-orang yang tidak diinginkan.
Namun tentu saja, Mitha tidak gentar.
"Tumben lo nggak bawa-bawa buku juga. Sibuk denger lagu apa, sih? Kayaknya khusuk banget kayak orang taubatan nasuha."
Tanpa permisi, Mitha mencopot earphone Riam. Benda yang selalu ia bawa kemana-mana itu meskipun ada banyak pilihan lebih praktis seperti headphone sampai airpod.
Katanya, penyesalan selalu datang terlambat. Katanya juga, curiosity kills cat. Itu yang terjadi pada Mitha sekarang.
A week after Susan Tucker's body was discovered, Joe Horgas happened upon what would turn out to be a critical break─
Mitha buru-buru melepas earphone seolah benda itu telah menyetrum telinganya, dan otaknya. Ia dan Bahasa Inggris tidak bisa berdampingan dengan akur, ditambah suara pria yang membacakan audio book itu dirasa kelewat menyeramkan. Firasatnya mengatakan itu bukan sesuatu yang ringan untuk bisa didengarkan.
"The Killer Across The Table," Riam menyebut judul. "Bukan lagu."
"Kill? Killer? Pembunuhan?!"
Ia menatap Riam horor sementara Riam menekan tombol pause pada ponselnya.
"Ngeri banget bacaan lo. Udahnya bahasa planet. Gimana caranya lo nggak ketiduran dari menit pertama?"
Riam menatapnya malas. Ia memeriksa waktu pada arlojinya dan memutuskan bahwa jam istirahat telah berakhir.
"Udah bel, kayaknya. Gue balik dulu."
Tanpa menunggu Mitha ataupun Saga yang masih tenggelam dalam bacaan untuk bangkit, ia berdiri, menyimpan tangan dalam saku celana dan berlalu ke pintu.
Anak-anak yang berjaga di luar segera berdiri tegap ketika melihatnya keluar. Semua kecuali satu orang, yang masih sibuk menyesap rokoknya tanpa memedulikan keadaan sekitar.
Ketika ia membuka mata, Riam telah berdiri di hadapannya, dengan tatap mengancam yang membuat orang sulit untuk tidak merasa gentar.
"Nama?" tanya Riam.
"D-Dito, Bang."
Riam mengangguk. Rokok yang masih terselip di antara bibir Dito, cowok dengan tindik di telinga kiri dan seragam yang dua kancing atasnya terbuka, menapakkan kalung rantai itu ia sergah dengan satu tangan hingga jatuh ke lantai. Selanjutnya, ujung sepatu Riam menginjaknya hingga mati.
"Ini peringatan pertama. Gue benci asap rokok."
Kemudian,ia kembali berlalu. Masih belum melupakan kelas berikutnya.
Riam cukup rajin membolos. Ia akan membolos ketika ia malas, ingin tidur, atau hanya butuh sendiri. Seringkali, guru-guru hanya akan mentolerirnya, karena masuk kelas ataupun tidak, nilai Riam akan tetap sempurna. Namun hari ini akan ada ulangan harian dan ia tidak boleh ketinggalan.
Ia tidak menginginkan nilai kurang dari seratus per seratus. Sempurna.
Karena, jika kebanyakan orang mengagumi fisiknya, kebanyakan kaum hawa memuja tampangnya, bagi Riam, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Ia hanya memiliki otaknya, jejeran nilai A+ yang hanya ia dapatkan dengan bekerja keras bertahun-tahun. Orang-orang mungkin berpikir ia terlahir begitu jenius sehingga dengan mudah menguasai segalanya. Mereka hanya tidak tahu bahwa ketika mereka tidur, ketika mereka bermain, ketika mereka membuang-buang waktu dalam hidup untuk bersenang-senang, Riam sedang belajar, Riam sedang merancang masa depannya.
Wajah itu pemberian Tuhan. Namun prestasi, adalah hal yang ia usahakan setengah mati.
Jika ia belajar cukup keras, mungkin Ayah akan mengakuinya.
Denting lift yang terbuka menyadarkannya dari lamunan. Dengan tenang, Riam melangkah masuk. Ia baru akan memencet tombol turun menuju lantai dasar ketika sebuah teriakan sumbang menghentikannya.
"Tunggu! Tunggu! Tungguuuu!!!" Seseorang berlari dari kejauhan.
Think he'd gently hold the lift for her? Nope. Riam tidak peduli. Ia meneruskan kegiatannya menekan tombol turun. Sialnya, sebelum lift itu menutup sempurna, satu tangan berhasil menahannya, seperti tangan-tangan dalam film horor yang hobi ditonton Mitha di balik bantal. Secara otomatis pintu lift pun terbuka kembali, menampakkan sosok seorang cewek berseragam putih dengan rok navy kotak-kotak khas SMA Bucin. Rambutnya memiliki anyaman-anyaman kecil dengan penjepit berwarna-warni.
Dan wajahnya.... Sesaat, Riam kehilangan kata-kata.
Astaga! Apa-apaan dia?
Cewek itu tidak mengatakan apa-apa melainkan langsung masuk dan berdiri di sisi Riam. Agak terlalu dekat untuk membuat Riam merasa nyaman.
Ini akan berakhir dalam beberapa menit. Dan Riam tidak peduli, tidak berniat untuk peduli. Namun cewek di sampingnya ini terdengar bernapas dengan begitu borosnya, mengundang ekor mata Riam untuk menyaksikannya menyingkap rambutnya yang kemana-mana. Lalu, tatapan mereka bertemu.
Cewek itu tersenyum.
Lebar.
Lama.
Creepy.
Bahkan ketika Riam mengalihkan pandang, cewek tersebut masih memandanginya dengan senyum yang tidak lepas-lepas dari bibir.
Dasar gila.
Riam memencet tombol open, lalu keluar. Lebih baik turun lewat tangga saja.
♂️♂️♂️
A/N: Buat yang mau tau penampakannya yang disebut Riam creepy, next part ya 😅
Terimakasih sudah bersedia menunggu, membaca, meninggalkan vote dan komentar yang menjadi penyemangat di cerita ini ❤
Sehat selalu untuk kamu yang lagi rebahan maupun terpaksa beraktivitas di luar.
ORION SERIES:
Epsilon (Saga) okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro