Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Riam

Siap kenalan lebih dekat dengan RIam?
Bantu ramaikan bagian komentar, ya! Happy reading~

🌒🌓🌔

Matahari ini membunuhnya.

Matahari jam tiga sore di bawah langit Jakarta Utara adalah salah satu hal yang amat dibenci Riam, selain orang bodoh. Bukan tanpa alasan Mitha kerap memelintir namanya menjadi Riam Albino meski harus mendapat geplakan buku di kepala oleh Riam. Dan Mitha serta buku adalah dua kutub yang saling bertentangan. Riam memiliki kulit yang pucat, begitu pucat hingga Saga memanggilnya Putri Salju. Warna kulit yang bahkan lebih terang dari kebanyakan wanita. Efek sampingnya, kulitnya begitu mudah memerah jika terpapar matahari dalam hitungan menit saja. Belum lagi silau yang membuat kemampuan melihatnya amat berkurang.

Entah apa yang membuatnya setuju-setuju saja ditarik Saga keluar dari Lexus LS putihnya yang nyaman, lalu berdiri di bawah sengatan matahari, menonton orang-orang bodoh menghabiskan energi mereka dengan berkelahi membabi buta, tanpa teknik apa-apa. Benar-benar mubazir bagi makanan yang telah masuk ke perut mereka.

Seperti sekarang.

Saga dan Mitha telah menyongsong yang lain ke arena pertarungan. Riam menurunkan topi hitamnya demi menghalau lebih banyak sinar matahari. Lalu membenarkan letak earphone di telinganya, membiarkan samar musik dari beberapa dekade sebelumnya mengisi. Sementara matanya masih lekat mengawasi di tiga arah.

Di sini, di tempatnya duduk sekarang, pada atap mobil yang diparkir di bawah pohon Kersen setinggi lima meter, Riam dapat memantau segalanya. Jalan di kedua sisinya serta keadaan di medan. Tawuran masih berlangsung di tanah lapang di belakang bekas pabrik sepatu. Bangunan itu telah runtuh sebagian, menyisakan puing-puing dan dinding-dinding kusam yang dipenuhi coretan cabul.

Jika adegan ini adalah sebuah film, maka inilah konfliknya. Dari kejauhan, Riam dapat melihat Mitha mengambil jeda sekian detik untuk mengusap pipi, lalu mengamuk. Mitha selalu mengamuk jika sudah berada dalam satu pertempuran, tapi sekali lihat pun Riam bisa tahu, ia bisa jadi sepuluh kali lipat lebih berbahaya dari biasanya. Cowok itu memukuli lawannya yang telah jatuh di tanah, tak jauh dari sana, Pasha, jagoan kelas sepuluh tengah berduel dengan salah satu senior sekolah musuh. Tongkat kasti melawan gear. Sepertinya Pasha akan menang.

Dan, sementara Mitha gelap mata hingga meraih balok kayu untuk menghajar musuh, Saga masih menyempatkan diri mengudap Cheetos meskipun dirinya berada di zona merah. Tampak terlalu nyaman. Mereka tampak bersenang-senang di sana. Sedangkan di sini sedikit membosankan hingga Riam nyaris tertidur. Hingga, getar ponsel yang tidak memiliki nada dering membuyarkannya.

Mama.

Riam mengangkatnya setelah satu menit penuh. "Ya?"

Sebenarnya, adalah hal yang jarang terjadi dimana ibunya menelepon begini. Seharusnya, Riam bersemangat. Harusnya, ia penasaran. Namun ini ibunya dan berekpektasi apapun pada wanita itu hanya akan menyakiti diri sendiri.

"Riam, kamu udah sampai rumah?" Tidak ada basa-basi. Suara tegas wanita di seberang sana terdengar sedikit terburu.

"Belum."

"Mama besok baru bisa pulang. Ada operasi darurat malam ini. Nanti kalau ada telepon, bilangin mama lagi kerja, ya. Suruh chat nomor pribadi aja."

Tidak ada pertanyaan tentang dirinya. "Hm. Udah?"

"Ya. Kamu jangan lupa les Bahasa Inggris nanti sore."

Tidak ada pertanyaan seperti, apakah kamu sudah makan? Bagaimana sekolahnya? Kamu nggak berantem, kan? Tidak ada. Hingga panggilan berakhir, tidak ada sama sekali.

Selalu seperti itu.

Riam memejamkan mata. Mungkin, sebaiknya ia turun ke lapangan saja dan menghajar beberapa orang, agar setidaknya ia bisa merasakan rasa sakit yang nyata.

Kemudian, lemparan batu pada kaca mobil membuatnya seketika siaga.

Ada dua orang di sana. Keluar dari bangunan dan berjalan ke arahnya. Keduanya memakai seragam putih-hitam khas SMK Taman Siswa 3, dan keduanya sama-sama memandang ke arah Riam dengan tatapan sinis.

"Ngapain lo di sini aja? Nggak berani sama kita sampe ngumpet di sini? Cemen banget!" salah satunya meneriaki, yang ia tutup dengan tawa sumbang.

Riam diam saja, meneliti wajahnya yang tidak ia ingat. Anak baru, sepertinya. Karena Riam hafal wajah-wajah anak sekolah tersebut yang kerap tawuran dengan anak SMA Bucin. Dan sebaliknya, mereka hafal dengan Riam, dengan Mitha, dengan Saga. Tiga anggota atas Orion yang tidak boleh didekati.

"Kita habisin aja gimana?" cowok lainnya mengumumkan. "Biar mewek dia! Muka putih mulus kayak plastik gitu kita bikin bonyok!"

"Bener, bro. Ntar kalo dia sujud-sujud mohon ampun, jangan dikasih! Biar tahu rasa!"

As if you can touch me.

Riam menghembuskan napas keras. Dua idiot ini, keberisikan mereka benar-benar mengganggunya. Ia melompat turun dari atap mobil, mengambil tiga langkah maju, dan bersidekap.

"Gue kasih waktu 3 detik buat kalian untuk pergi."

Dua orang itu tertawa bersama-sama. Merasa lucu, mungkin. Merasa telah menang dengan jumlah dan perlengkapan yang mereka miliki. Salah satunya menggenggam bongkahan semen sebesar telapak kaki orang dewasa dan yang lain memiliki sebilah bambu tumpul sepanjang satu meter di tangannya. Secara teknis, mereka jauh lebih unggul, harusnya. Tidak tahu apa yang menunggu. Tidak tahu kapabilitas cowok di depannya.

"Sok banget lo, banci!"

Ketika belum genap 3 detik berlalu dan dua orang itu telah merangsek maju, Riam telah siap di tempatnya. Cowok pertama memulai lebih dulu, meneriakkan umpatan sembari berlari dengan bambu di tangan. Namun Riam lebih sigap memutar badan, menghindar, dan tanpa diduga-duga melayangkan tendangannya yang mengenai ketiak cowok itu hingga ia terhuyung ke belakang.

Detik yang sama bokong cowok pertama menyentuh tanah, Riam berputar di tumitnya, cowok kedua telah siap menghabisi bagian belakang kepalanya dengan potongan semen. Riam menangkap pergelangan tangannya, memelintir lalu menyikutnya tepat di perut sebelum membantingnya ke tanah. Ia bergulingan mengenai ban mobil Riam.

Tidak berhenti sampai di situ, melalui sudut mata Riam melihat sepersekian detik pergerakan di belakangnya, merasakannya. Dengan refleks ia merunduk, menjadikan tongkat bambu meninju udara. Cowok pertama cukup tangkuh untuk bangkit secepat itu. Seketika kembali menyerang. Di saat yang sama Riam telah berputar di tumitnya, mengindari ayunan bambu kedua, menangkisnya hingga bambu terlempar ke sisi. Belum pulih fokusnya, Riam kembali mendaratkan tendangan kedua pada paha cowok itu, membuatnya roboh. Tendangan ketiga, berakhir pada sisi kepalanya. Membuatnya mengeluarkan darah dari hidung.

Tendangan ketiga itu tidak perlu, itu untuk Maykel. Darimana, semua ini berawal. Maykel yang tidak pernah cari gara-gara lebih dulu pada siapapun, mereka keroyok tanpa ampun. Sekarang, keadaan berbalik.

Riam meraih bambu itu, lalu bergumam. "Tiga detik."

Ia tidak perlu menjelaskannya. Dibantu temannya yang sudah payah bangun sambil memegangi perut, cowok itu mengelap darahnya dengan lengan baju, lalu bahu membahu mereka kabur secepatnya dari situ.

Sekarang mereka tahu, untuk tidak pernah berurusan dengan Orion lagi.

Sambil menormalkan napasnya yang sedikit memburu, Riam menyugar rambut yang sekarang berantakan akibat kejadian tadi. Topinya terlempar ke tanah, begitupun ponsel dan earphone-nya.

Dengan setengah hati, ia mengumpulkan semuanya.

"Ngerepotin."

Ketika ia memosisikan kembali earphone yang telah putus sambungannya pada lagu ke telinga, saat itulah Riam mendengarnya.

Mobil polisi terlihat dari kejauhan bahkan sebelum suara samar sirine mulai mengaung di tengah hari bolong. Riam bergegas masuk kembali ke dalam mobil. Sengaja tanpa menutup pintu, ia menekan klakson panjang tiga kali. Kodenya.

"Ngerepotin," gumamnya lagi disertai decakan kesal.

Kaki panjangnya menekan gas dalam-dalam, dan dalam sepersekian detik, sedan putih itu telah melesat pada jalanan yang sepi dan tidak begitu lebar.

Di ujung jalan yang merupakan titik jemput mereka, Riam melihat Saga telah berlarian keluar dari gang sempit antara rumah-rumah. Saga selalu punya kaki pendek yang berlari begitu cepat. Sedangkan Mitha, muncul dari gang lainnya.

Mobilnya berdecit ketika Riam menarik tuas rem dan membanting stir, membuatnya berhenti tepat di hadapan Saga dan Mitha yang menyongsongnya. Kedua orang itu segera menarik pintu dan melemparkan diri ke dalam. Mereka bahkan belum menutup pintu itu dengan sempurna ketika Riam sudah melesatkan lagi mobilnya ke tenggara. Lurus, mengambil belok kanan, kanan lagi, di antara jalanan yang tidak muat menampung dua buah mobil untuk lewat bersamaan. Setelah tikungan terakhir, sampailah mereka ke jalan raya.

Dengan mudah, Lexus putihnya yang masih begitu mulus tanpa debu berbaur dengan kemacetan sekitar. Tidak ada yang akan menduga mobil semewah itu dikendarai anak-anak SMA yang habis tawuran, bukan?

Ketika Riam melonggarkan konsentrasinya dan memeriksa, Mitha dan Saga masing-masing telah mengenakan sabuk pengaman dan gaung sirine polisi tidak lagi membuntuti.

"Kita ke markas," perintah Saga yang duduk di sisi kemudi. "Cek anak-anak terus langsung caw ke tempat Maykel"

🌔🌓🌒


Jangan lewatkan juga cerita seru Saga:
Orionis: Epsilon oleh okkyarista

Sehat dan bahagia selalu.
Naya ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro