Sechundzwanzig
"Tidak semua masalah akan selesai ketika kita memilih untuk bungkam."
∞∞∞
Mama :
Jangan lupa nanti kamu
ada les sama Sakti.
Belajar yang giat,
Kamu harus tembus
Kedokteran UI.
Jangan buat malu.
Elsa menghela napas berat sesaat setelah ia membaca pesan singkat yang dikirim Dhea. Pesan singkat yang dikirim Dhea tidak pernah jauh-jauh dari belajar, les, nilai bagus, kuliah kedokteran, dan universitas ternama.
Kadang-kadang, Elsa merasa Dhea tidak waras karena tidak pernah bertingkah seperti ibu dari teman-temannya yang lain, yang setiap mengirim pesan selalu bertanya tentang sudah makan belum, nanti mau dibawakan apa, apa saat sekolah tadi baik-baik aja, dan pertanyaan berbentuk perhatian lainnya.
Yang Dhea kirimkan selalu dikte, dan perintah. Begitu terus, sampai Elsa hafal luar kepala.
Elsa benar-benar tidak mengerti dengan alasan Papanya bisa jatuh hati pada wanita kaku, kolot, dan menyebalkan seperti Mamanya.
"Papa suka sama Mama karena Mama kaku. Coba Eca bayangin, orang yang jarang senyum, kalo sekalinya senyum keliatan kayak apa di mata orang-orang? Menawan, 'kan? Iya, seperti itulah Mama di mata Papa."
Tanpa ada niat membalas pesan Dhea, Elsa langsung meninggalkan ruang obrolan, sengaja meninggalkan centang biru di layar ponsel sang pengirim pesan.
Elsa meraih buku cetak Kimia, buku lembar kerja siswa, buku catatan, beserta sebatang pulpen, dan sebatang pensil mekanik, kemudian keluar dari kamar. Menunggu kedatangan Sakti. Meski tidak suka, ia tetap menjalankan apa yang diperintahkan Dhea.
Saat sampai di ruang keluarga, Elsa melihat Helmy-sang Papa- sedang duduk manis menonton televisi sambil memangku si buntal Elfan.
"Loh? Papa kok udah di rumah?" tanya Elsa kikuk seraya mengambil tempat di sebelah Helmy.
Helmy mengulas senyum hangatnya, lalu mengusap lembut pundak Elsa. "Hari ini Papa shift siang, sayang. Malam ya waktunya Papa di rumah, sama kalian."
Elsa tidak bisa berbohong jika hatinya benar-benar menghangat saat jawaban Helmy masuk memenuhi indera pendengarannya. Gadis itu sampai mengulum senyumnya.
"Mama tapan puyang, Pa?"
Elfan bertanya seraya mendongakkan kepalanya, agar bisa menatap wajah sang Papa.
Elsa yang sempat terkejut lantas menetralkan kembali raut wajahnya. "Iya, Pa. Mama kapan pulang? Padahal Mama, dan Papa sama-sama dokter, tapi kenapa selalu aja keliatannya Mama adalah dokter paling sibuk sepenjuru dunia? Papanya Kak Lavina juga dokter, bahkan pemilik rumah sakit, tapi kayaknya beliau masih bisa meluangkan waktu, dan bermain dengan keluarganya. Kenapa Mama nggak bisa kayak gitu juga?"
Helmy terdiam saat mendengar rentetan pertanyaan yang jarang ia dengar dari putri kesayangannya itu. Bisa dikatakan, ini adalah pertanyaan terpanjang yang pernah keluar dari bibir gadis itu sejak ia memasuki usia remaja.
Selama ini, Helmy sadar jika putrinya itu lebih banyak diam daripada menyuarakan isi hatinya. Bukan ia tidak pernah mencoba menguak isi hati Elsa, tetapi dari hasil pengamatannya, ia mendapati bahwa anak gadisnya itu menuruni sifat, dan watak Dhea yang memang sangat kaku, dan tertutup. Mau tak mau, Helmy harus menunggu gadis itu menyuarakan isi hatinya dengan sendirinya, seperti saat ini misalnya.
"Eca, kami kerja sekeras itu untuk masa depan kalian. Agar masa depan kalian terjamin," kata Helmy sembari mengusap kepala Elsa lembut, mencoba memberi pengertian. "Toh, sesibuk-sibuknya Mama, Mama masih menyempatkan waktu untuk main sama Elfan. Bahkan Mama juga sering bawa Elfan ke rumah sakit supaya Elfan nggak sendirian di rumah. Bukan Mama nggak percaya sama Eca buat jagain Elfan, tapi supaya Elfan menghabiskan lebih banyak waktu sama Mama, juga karena Mama tau remaja seumuran Eca pasti sibuk dengan sekolah, dan apalagi Eca juga ikut organisasi 'kan di sekolah?"
Elsa terdiam. Perkataan Helmy ada benarnya.
"Eca kan anggota PMR. Kalo ada pasien yang membutuhkan bantuan Eca, apa Eca bakal ninggalin mereka gitu aja?" tanya Helmy sambil menatap lurus ke manik hazel milik Elsa.
"Nggak, Pa. Eca punya tanggungjawab atas pasien-pasien yang masuk ke UKS saat Eca piket. Eca nggak bisa, dan nggak mungkin ninggalin mereka gitu aja. Itu janji Eca saat pengukuhan dulu."
"Nah, sama juga halnya dengan Mama. Mama nggak bisa ninggalin pasien-pasien Mama gitu aja, Mama juga udah ikrar. Tanggungjawab Mama lebih berat. Eca ngerti 'kan?"
∞∞∞
"Sye, bantuin Matematika dong."
Orion yang baru masuk ke kamar Shea langsung mengeluarkan rengekan manjanya sambil menoel-noel gemas pipi Shea yang tengah asyik men-stalking seseorang di laman Instagram.
"Jangan ganggu deh, Yon," balas Shea singkat. "Satu lagi, kalo masuk kamar cewek tolong usahain ketuk dulu. Kalo gue lagi ganti baju gimana?"
"Iya, maaf. Sye, ayo bantuin, besok jadwal gue remidi Matematika." Orion masih terus merengek manja. Melihat Shea masih terus mengabaikannya, dan terus sibuk dengan aktivitas stalkingnya, ide licikpun terbit di benak Orion. "Gue bilangin Ayah nih kalo lo nggak mau--"
"OKE FINE!!" seru Shea kesal. "Dasar tukang ngadu!!"
Orion cekikikan diteriaki seperti itu. Memancing emosi Shea memang suatu hal yang sangat menyenangkan untuk Orion. Baik Shea, maupun Elsa sama-sama tipe perempuan yang tempramen, dan Orion sangat senang bermain dengan emosi keduanya yang meledak-ledak.
Shea kemudian mengubah posisi rebahannya, lalu menyuruh Orion duduk di sebelahnya dengan lirikan mata yang tentu dipahami Orion. Ponsel yang tadi ia genggam untuk berstalking ria, ia lepas di atas nakas dekat tempat tidur.
"Lo nggak ngerti di bagian yang mana aja?" tanya Shea sambil membuka LKS Matematika milik Orion.
"Semuanya, Sye." Orion menjawab polos.
Jawaban Orion sebentar tadi sukses membuat Shea membelalakkan matanya dengan mulut setengah menganga. Ia pikir Orion hanya nol besar dalam urusan percintaan. Gadis itu tak pernah menyangka bahwa kembarannya itu juga nol besar dalam urusan Matematika. Iya, Shea tau, Orion memang lemah Matematika sejak SMP, tapi gadis itu pikir, setelah masuk SMA, Orion akan mengalami peningkatan dalam bidang Matematika, nyatanya tidak. Yang ada, Orion semakin buta Matematika, dan ini membuat Shea frustrasi sendiri.
"Terus lo berharap gue mau ajarin lo semua materi ini dari awal?!" sergah Shea pada Orion.
Alih-alih takut, Orion malah mengangguk dengan santainya.
"Kalo lo emang bisa, why not? Lo ingat nggak kata Bunda, kita nggak boleh pelit ilmu. Kalo pelit, ntar ilmunya malah nggak berkah. Kalo nggak berkah, kan sia-sia."
Shea mengerang frustrasi. Ia lantas menatap Orion dengan tatapan sengit. "Tapi nggak gini juga Orion Kalingga Archandra. Lagian, selama pelajaran Matematika lo kemana aja sih?! Lo bolos?!"
"Selama pelajaran Matematika, gue di kelas kok. Gue nggak pernah bolos, bahkan, izin keluar ke toilet pun nggak pernah."
"TERUS?!"
"Tapi gue tidur."
Jawaban Orion yang lagi-lagi kelewat santai itu membuat Shea ingin melempar kamus besarnya ke kepala Orion. Demi melampiaskan emosi yang sudah di ujung tanduk, Shea langsung menjambak rambut Orion dengan gerakan kasar sehingga membuat Orion terkejut, dan berujung menjerit kesakitan.
"ARGH!!! SYE SAKIT!! LO GILA YA?!!"
"LO KALI YANG GILA!! GIMANA CERITANYA LO BISA DAPAT GELAR SISWA BERPRESTASI KALO LO AJA SERING TIDUR DI JAM PELAJARAN MATEMATIKA?!! LO NYOGOK BERAPA, HAH?!"
∞∞∞
Untuk novel Orion, scene apa yang kalian pengen ada ilustrasinya? Tolong bantu jawab ya:))
Update lagi hari Senin kalo target komennya tercapaii<3 888 okai?
*winkeu winkeu*
Buat yang nanti nonton konser Day6, hwaiting!! Jangan lupa salamin aku sama Yoon Dowoon!! Dan jangan lupa berikan aku fancam🤣😂
#salamsadnite
Thanks for waiting, thanks for reading, and thanks for vomment.
CiinderellaSarif (Cinde)
Istri sah, dan kesayangan
Ji Chang Wook 🙆🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro