Achtzehn
Setelah mendapat kabar dari Elsa tentang kondisi Shea, tanpa berpikir panjang, Orion pun langsung bergegas menuju ke UKS. Ia meninggalkan kelasnya begitu saja, membuat seisi kelas, tidak terkecuali kedua sahabatnya diliputi keheranan. Hanya butuh waktu yang sangat singkat untuk seorang Orion sampai ke UKS yang letaknya di lantai satu.
Tanpa memberi salam terlebih dahulu, Orion langsung saja masuk ke dalam UKS. Karena saat itu, fokusnya hanya tertuju pada Shea.
Terlihat di sana, di salah satu ranjang UKS, Shea sedang ditemani oleh Jessica yang duduk di pinggir ranjang. Tak ada Gara, tak ada juga Rangga.
"Sye...," lirih Orion.
Ia menatap Shea yang bersandar di kepala ranjang UKS dengan tatapan nanar. Seketika, Orion merasa ada rasa sesak yang mengerubungi, dan membelitnya kuat-kuat. Mata Orion memanas.
Sepersekian detik kemudian, potongan sidang yang berlangsung pada beberapa malam yang lalu kembali bermain di benak Orion, layaknya film yang diputar menggunakan layar proyektor. Mengingat itu, hati Orion sontak berdenyut sakit. Dalam saat yang bersamaan juga, Orion merasa seolah ada palu tak kasat mata yang menghantam hatinya secara membabibuta.
Sidang itu merubah Shea menjadi seorang pemurung.
Tak ada lagi orang yang selalu mengendap-ngendap masuk ke kamar Orion untuk mengambil earphone. Tak ada lagi jeritan melengking saat Orion bertingkah menyebalkan dengan menarik ujung rambut Shea. Tak ada lagi adegan memperebutkan lauk di meja makan. Tak ada lagi Shea yang selalu ngungsi ke kamar Orion untuk mengacaukan konsentrasi belajar Orion.
Semua yang menyenangkan dari Shea hilang, bahkan binar riang, dan jahil di mata gadis itu ikut meredup. Itu membuat Orion meringis ketika mengingat apa yang sudah terjadi.
Jika Orion pernah mengatakan bahwa Shea menyebalkan ketika gadis itu merecokinya, maka itu salah. Menurut Orion, Shea lebih menyebalkan ketika gadis itu berubah menjadi pemurung yang kehilangan semangat melakukan segala sesuatunya.
Dengan sedaya upaya, Orion menyeret kakinya untuk mendekati Shea, lalu menatap gadis itu lekat-lekat.
Tangan Orion terulur ke kepala Shea, mengusapnya lembut.
Shea membalas tatapan Orion tanpa melayangkan protes apa-apa. Keduanya saling bertatapan seolah sedang berkomunikasi lewat tatap mata sebelum akhirnya air mata Shea jatuh.
"Orion...," Shea memanggil dengan nada bergetar yang terdengar pilu di pendengaran Orion. "Tolong, jangan bilang ke Ayah, dan Bunda soal ini."
Shea pasti terluka, sangat terluka. Orion yakin akan itu. Karena, mimpi Orion untuk menjadi seorang atlet silat juga pernah direnggut paksa oleh Akbar, ayahnya sendiri.
Menjadi seorang atlet tidak bisa menjamin kehidupan di masa mendatang, begitu kata Akbar pada Orion.
Orion masih ingat dengan sangat jelas bagaimana sakitnya ia saat harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang di mana mimpinya harus direnggut secara paksa.
Sekarang, Shea juga harus ikut merasakan itu.
Tidak cukupkah Akbar merenggut impiannya? Kenapa impian Shea juga harus ikut direnggut?
Sebelum Orion sempat menyahut permintaan Shea, tanpa aba-aba, tiba-tiba saja gadis itu meluru mendekap Orion. Gadis itu memeluk erat pinggang Orion, dan membenamkan wajahnya di perut Orion. Lalu setelahnya, ia pun menumpahkan tangis disertai isakan yang sangat memilukan telinga siapapun yang mendengarkan.
Orion lantas mengatupkan rahangnya rapat-rapat sebelum akhirnya ia membalas dekapan Shea dengan mengusap lembut kepala belakang adiknya itu.
"Gue di sini, Sye," bisik Orion pelan, nyaris seperti gumaman. "Jangan khawatir, lo aman sama gue."
Jessica yang menjadi saksi bisu adegan memilukan itu hanya bisa menundukkan kepala. Matanya ikut berair karena tidak sanggup menahan atmosfer pilu di sekitarnya. Gadis cantik itu tidak dapat membayangkan bagaimana pilunya menjadi Shea.
∞∞∞
Siang itu, matahari sudah mulai beraksi memancarkan teriknya. Kehangatan sang matahari menyebar ke setiap penjuru tanpa batas, menembus setiap celah, bahkan celah terkecil sekalipun.
Setelah selesai dengan Shea, dan ujian harian Biologinya, Elsa langsung bergegas menuju ke kantin untuk mengisi perut yang sudah sedari pagi keroncongan. Kini, dihadapannya tersedia semangkuk bakso dengan asap yang masih mengepul, dan tidak ketinggalan, segelas es teh manis ekstra es batu.
Setelah memberi tambahan kecap, saos, dan empat sendok sambal, Elsa pun bersiap untuk menyantap bakso beraroma menggoda tersebut.
Saat akan menyuap, tiba-tiba saja kursi kosong di hadapannya berderit, dan duduklah Ilona dengan gaya anggun yang khas sambil membawa segelas pop ice mangga di tangannya.
Bukannya menyapa, Elsa malah mendengkus. Selang beberapa detik, Elsa memasukkan potongan bakso pertama ke dalam mulutnya. Potongan bakso itu lantas dikunyah beberapa kali sebelum akhirnya ia telan.
Ia tak mengindahkan Ilona yang tengah menatap sengit dirinya.
"Kapan kamu selesai makan?"
"Kapan-kapan gue mau," sahutnya ketus.
"We need to talk, Elsa. Only two of us," kata Ilona sambil terus memandang lurus ke manik Elsa. Gadis berwajah blasteran itu lantas bersidekap, menghilangkan kesan innocent dari wajahnya.
"Perlu apa?"
Ilona tak menjawab, membuat Elsa menggidikkan kedua bahunya acuh tak acuh seraya meneruskan suapannya. Sesekali, di sela suapannya, Elsa menyedot minumannya menggunakan pipet.
Tak sampai sepuluh menit, bakso pesanan Elsa habis tak bersisa. Ilona yang melihat itu bergidik ngeri.
Pantes aja gendut, makannya kayak orang kesurupan sih. Batin Ilona sembari mendesis sinis.
Padahal kenyataannya, Elsa tak segendut seperti yang Ilona batinkan. Elsa hanya sedikit lebih berisi daripada Ilona.
Tanpa memedulikan reaksi sebal yang terpancar dari wajah Ilona, Elsa lantas mendekatkan bibirnya ke gelas minumannya. Dengan menggunakan sedotan, ia memindahkan es batu dari gelas tersebut ke dalam mulutnya, lalu ia kunyah.
Tentu saja Ilona semakin bergidik ngeri saat melihat kelakuan Elsa yang menurutnya sangat aneh, dan menjijikkan.
"Makanan kamu sudah habis, sekarang ikut aku," kata Ilona dengan nada memerintah yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Elsa.
"Kalo es batu gue belum habis, itu artinya gue belum selesai makan," balas Elsa telak.
"Di sini, lo yang butuh gue, bukan gue yang butuh lo. Jadi, ikut aturan mainnya dengan benar," tambah Elsa dengan raut datarnya.
Ilona berdiri. Ia mengarahkan tangan kanannya pada pergelangan tangan Elsa, lalu menariknya sedikit kasar sehingga membuat Elsa ikut berdiri.
"Don't waste my time. Kita perlu bicara."
Dengan sigap, Elsa bergerak menepis cekalan Ilona. Jika ia lupa sedang berada di lingkungan sekolah, mungkin ia sudah memelintir tangan gadis manja yang sangat suka memerintah, dan suka seenaknya itu.
Ilona sudah benar-benar melunturkan mood mengunyah es batu Elsa. Tentu saja hal itu bisa memancing kemurkaan seorang Elsa.
"Gue bukan orang yang bisa sembarangan lo sentuh, apalagi lo seret-seret demi keinginan lo sendiri."
Di akhir kalimatnya, Elsa berdecak dengan riak sebal di wajahnya yang tergambar sangat jelas. "Kalo lo kepengen banget ngomong empat mata sama gue, gue tunggu lo di taman belakang sepulang sekolah."
Setelah berujar demikian, Elsa pun melenggang meninggalkan Ilona di tempat. Ilona benar-benar tidak bisa melayangkan bantahan, apalagi menolak, karena, Elsa meninggalkannya dengan langlah yang tergolong sangat cepat untuk ukuran seorang perempuan.
Ilona mendengkus, lalu mengembungkan kedua pipinya.
"Nggak sopan. Kalo tau begini, aku nggak perlu nungguin dia makan. Buang-buang waktu. Dasar, menyebalkan."
∞∞∞
"BiBiDu BaBiDi Bu! Akan ku berikan kau mantra agar kau bisa mewujudkan impianmu."
-Elsa Azarine Safira-
∞∞∞
Hallo semua!!
Selamat bersatnite ria🍁
H-sekian hari tamat, tapi cerita ini belum sampai setengahnya yaa hehe.
Jadi menurut kalian, langsung ditamatin aja atau gimana nih?😁
Last, Thanks for waiting, thanks for reading and thanks for vomment🙏🏻
Danke💙
CiinderellaSarif (Cinde)
Istri Sah, dan Kesayangannya
Ji Chang Wook💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro