Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Achtundzwanzig

"Aku tau rasanya dibuang, sampai akhirnya aku menjadi terlalu pemilih untuk siapa yang akan kuajak berjuang."

∞∞∞

🎧Now Playing : We The King - Say You Like Me🎶

∞∞∞

Hujan deras mengguyur Jakarta tepat setelah motor Orion sampai di depan gerbang rumah Elsa. Hal itu membuat Elsa mau tak mau harus mengundang Orion untuk mampir berteduh, setidaknya sampai hujannya mereda.

Kini, kedua remaja itu sudah duduk manis di ruang tamu dengan handuk yang menutupi pundak. Di hadapan keduanya, sudah tersedia cokelat hangat, dan beberapa biskuit kering.

"Terima kasih untuk minuman, dan camilannya." Orion berujar setelah ia usai menyeruput isi dari cangkir putih di tangannya.

Elsa tak menjawab. Ia hanya menatap Orion sekilas, lalu menyibukkan diri dengan minumannya sendiri. "Jaket lo basah, mau dikeringin dulu nggak?"

Orion memasang senyum semringah. Ia tidak boleh menolak kesempatan yang jarang-jarang datang padanya ini. Maka dari itu, tanpa basa-basi, Orion menganggukkan kepalanya cepat sembari mengulurkan jaketnya yang basah pada Elsa.

Setelah jaket itu berpindah tangan, Orion meraih pergelangan tangan Elsa, digenggamnya erat-erat.

Gadis itu menatap Orion dengan alis yang bergelombang. "Apa?"

"Lo juga, ganti baju gih. Gue tau lo nggak enak mau ganti, tapi seragam lo basah banget. Mending diganti daripada lo sakit nantinya."

Elsa melirik seragamnya. Benar, kondisi seragamnya yang basah karena tadi sempat diguyur oleh hujan deras yang jatuh tanpa permisi. Lantas, Elsa mengangguk, mengiyakan perkataan Orion. Ditarik kembali tangannya dari genggaman Orion, dan berlalu meninggalkan Orion yang kembali sibuk dengan cokelat hangat.

Selang sepuluh menit kemudian, Elsa kembali ke ruang tamu dengan sweater pink kebesaran, dan celana training. Tangan gadis itu tidak kosong, ia membawa sweater hitam besar di tangan kanannya.

Belum Orion sempat bertanya apa-apa, sweater hitam itu tiba-tiba sudah berpindah ke pangkuan Orion.

"Walaupun seragam lo nggak basah, dipake aja. Setidaknya lo harus jaga tubuh lo supaya tetap hangat. Jangan sampai sakit," kata Elsa sambil mengambil tempat di sebelah Orion.

Orion tak menyahut, hanya menyunggingkan senyum. Sweater tersebut kemudian ia kenakan menutupi seragamnya.

"Lo hobi koleksi sweater ya?"

Elsa mengangguk. "Kok tau?"

"Gue sering liat lo pake sweater yang berbeda-beda setiap ketemu. Kayaknya isi lemari lo, selain seragam sekolah, itu semuanya sweater ya?"

Kali ini, Elsa tergelak. Ia tidak pernah menyangka bahwa Orion menyadari hal itu. "Ternyata lo peka juga, ya?" kata Elsa setelah tawanya mereda.

Belum sempat Orion menimpali perkataan Elsa, tiba-tiba seorang pria berpakaian rapi, lengkap dengan jas putih, dan tas di tangannya masuk ke ruang tamu, menginterupsi obrolan kedua remaja tersebut.

"Pantesan ada motor di luar, ternyata lagi ada tamu," seloroh pria tersebut tanpa rasa canggung sedikitpun.

Spontan, Orion menatap Elsa bingung. Dari tatapannya, Orion meminta penjelasan pada Elsa.

Elsa yang tadinya sempat membeku karena kaget langsung mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. "Ah, Yon, kenalin, ini Papa gue. Pa, ini Orion, temen sekolah Elsa."

Dengan wajah yang masih terpinga-pinga, Orion lekas bangun, dan menghampiri Helmy, lalu menyalami ayah dari gadis incarannya itu dengan sopan. "Orion, om. Seneng bisa ketemu sama Om."

Helmy hanya mengembangkan senyum saat Orion mencium tangannya dengan sopan. Ia merasa bersyukur anak gadisnya berteman dengan pemuda sesopan Orion.

"Kalian teman sekelas?" tanya Helmy.

Baik Orion, maupun Elsa serempak menggelengkan kepalanya.

"Kami beda kelas, dan beda jurusan, Om," tutur Orion lugas.

Senyum Helmy berganti dengan seringaian jahil sesaat setelah Orion menyelesaikan kalimatnya. "Ah, jadi kalian lebih dari teman? Udah berapa lama pacaran?"

Orion reflek terbatuk. Tanpa aba-aba, tangan kanannya bergerak mengusap tengkuk beberapa kali dengan gestur canggung.

Sementara Elsa langsung mendelikkan matanya lebar-lebar. Ia tidak pernah menyangka Helmy akan menyerangnya sedemikianrupa.

"Papa!!"

Elsa cepat-cepat menarik tangan Helmy, membawa pria itu masuk ke ruang keluarga, dan meninggalkan Orion di ruang tamu bersama aura canggung yang masih setia melilit.

"Apa sih, nak? Papa kan mau kenalan dulu sama calon menantu Papa." Suara jahil Helmy masih tertangkap oleh telinga Orion, dan itu membuat wajah Orion semakin memerah karena malu.

Pemuda itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan besarnya. Berusaha meredakan rona merah di wajahnya.

∞∞∞

Saat ini, Orion sudah berada di lapangan salah satu SMA negeri di daerah Jakarta Pusat. Ia mendapat mandat resmi dari Helmy untuk mengantar, dan menemani Elsa kemanapun gadis itu ingin pergi. Mandat itu turun bertepatan dengan hari latihan karate yang tentunya Elsa rahasiakan dari Helmy, dan Dhea.

Mau tak mau, Orion harus mengikuti permainan Elsa dengan memberi alibi bahwa ia akan membawa Elsa jalan-jalan mengelilingi Jakarta sembari menikmati udara segar setelah hujan.

"Lo beneran mau nunggu gue sampai selesai latihan?" tanya Elsa pada Orion. Gadis itu merapikan sabuk cokelat yang baru ia pasang di pinggang.

"Ya iyalah. Aturannya, lo harus balik dengan siapa lo datang."

Diam-diam Orion mengagumi pesona yang terpancar dari dalam diri Elsa. Gadis itu selalu penuh akan pesona, sehingga Orion tidak pernah merasa jemu berada di dekatnya.

"Yaudah deh. Eh, gue tinggal ya? Kalo lo mau bosan, lo boleh keliling-keliling. Kalo lo mau ke kantin, tinggal lurus aja," pesan Elsa pada Orion sebelum ia berjalan mendekati teman-temannya yang sudah berbaris rapi.

Orion mengambil posisi di bawah ring basket yang menyajikan langsung proses latihan.

Orion tak bisa menahan decakan kagumnya saat melihat raut serius yang terpancar di wajah Elsa saat pemanasan berlangsung, dan decakan kagum Orion semakin tak terkendali saat Elsa, dan para karateka lain masuk ke bagian inti latihan, yaitu latihan kata, dan kumite.

Entah kenapa, batin Orion terus berujar bahwa di penglihatannya, gadis itu semakin menawan dengan keringat yang membasahi wajahnya.

Satu sisi, Orion tidak bisa menampik, ada perasaan lain yang terus bergejolak buas dari dalam dirinya ketika ia melihat Elsa terus bergerak dengan tegas, dan penuh keyakinan.

Melihat Elsa yang tetap bersemangat menjalani latihan meski harus sembunyi-sembunyi dari kedua orangtua membuat Orion merasa iri karena tidak bisa seperti Elsa. Ia malah dengan mudahnya menyerah akan cita-citanya untuk menjadi atlet silat hanya karena ditentang keras oleh Akbar.

"Kalo aja gue nggak nyerah, gue mungkin bisa sekeren Elsa." Orion mengulas senyum kecut di akhir kalimatnya.

Tak ingin terus berlarut dengan perasaan kecewanya, Orion bingkas bangkit dari duduknya. Ia berjalan cepat menuju ke kantin, dan kembali lagi ke posisi awal dengan dua botol air mineral berukuran tanggung di tangannya.

Setelah hampir dua jam latihan tanpa henti, akhirnya tibalah jam istirahat yang disambut sorak gembira oleh para karateka. Elsa mendekati Orion yang sedari tadi setia menunggunya. Belum sempat Elsa membuka mulut, tiba-tiba Orion mengulurkan botol mineral berukuran tanggung di hadapan Elsa.

"Habis berolahraga, jangan minum yang dingin-dingin. Nggak baik buat kesehatan," kata Orion.

Elsa memanyunkan bibirnya saat niat untuk minum air dinginnya terciduk oleh Orion. Mau tak mau, iapun menerima botol uluran Orion tersebut dengan raut wajah yang sudah ia kembalikan ke mode normal, yaitu muka datar.

"Terima kasih."

Orion menggeleng. "Harusnya gue yang berterima kasih sama lo. Karena nemenin lo di sini bikin gue sadar kalo ternyata gue payah. Gue nggak berjuang untuk mempertahankan silat, kayak yang lo lakuin sekarang."

Elsa tersentak kaget, pasalnya ia tidak pernah mendengar Orion berujar dengan nada selemah ini sebelumnya. Merasa ada yang tak beres dengan Orion, Elsa pun mengambil tempat di sebelah Orion.

Tangan gadis itu terulur mengusap punggung kokoh Orion dengan lembut, bermaksud memberi rasa nyaman agar pemuda itu bisa berleluasa mengungkapkan isi hatinya.

"Nggak pernah ada kata terlambat untuk memulai kembali apa yang sempat tertunda," kata Elsa.

"Gue terlalu takut, El. Gue terlalu takut dengan resiko yang akan gue terima nantinya." Orion terus menundukkan kepala. Rasanya, untuk menatap lurus ke mata Elsa saja ia sudah tidak berdaya. Rasa kecewa yang tadinya sempat lenyap, kembali berhasil menguasai pemuda itu.

Melihat itu, Elsa menopang kedua telapak tangannya di dagu Orion. Mengangkat dagu pemuda itu agar kembali tegak lurus sehingga pandangan mereka bertemu.

"Lebih baik menyesal karena sudah berani mencoba daripada menyesal karena nggak pernah mencoba sama sekali."

∞∞∞

Part ini hadiah buat kalian yang sering komen, dan meramaikan lapak Orion<3 Wordsnya udah nyentuh angka 1370, jangan bilang masih pendek. Karena kalo dipanjang-panjangin lagi, kalian bakalan cuma spamkomen 'next, lanjut' doang XD

Sebenarnya simple sih, kalian senangkan saya, sayapun akan balas menyenangkan kalian.

Selama baca cerita Orion, scene apa yang paling berkesan menurut kalian?

Thanks for waiting, thanks for reading, and thanks for comments<3
Danke schön liebe<3

*Kalian mau ikutan Event Bulan Desember bersama Orion, dan D'Orions nggak? Event ini berlaku untuk semua, tanpa terkecuali!!
Yuk, gabung!*

CiinderellaSarif (Cinde)
Istri Sah, dan Kesayangan
Ji Chang Wook<3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro