|2|
Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Yang kutahu, hanyalah teriakan orang-orang yang menyakitkan telingaku, semua bau amis dari darahku sendiri yang hampir menyelimuti tubuhku, dan luka-luka entah dimana letaknya yang hampir membuatku menangis keras.
Sakit ini. Rasa sakit ini. Sungguh, tak tertahankan, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sakit, sakit, aku ingin pulang. Kenapa ini terjadi denganku?
Apakah aku akan berakhir seperti daun tersebut? Menguning, mencoklat, lalu mengering dan terinjak oleh orang-orang? Apakah aku akan berakhir seperti itu? Kenapa harus secepat ini? Aku masih ingin ke Universitas, aku masih ingin bertemu teman-temanku, Ayahku, ataupun kekasihku.
Yang benar saja. Kenapa? Kenapa? KENAPA?
Ternyata apa kata orang benar, titik balik adalah hal yang sangat menakutkan dari kematian. Sungguh, ketika film-film berjudul 'kenangan' itu menerobos ke benakku dan memutar di sana terus menerus, hampir membuatku menjadi gila.
Tuhan, Tuhan, atau siapapun di atas sana, kumohon, kumohon percepat saja tidurku. Kumohon. Aku tak tahan lagi dengan semua rasa sakit ini.
Aku merasakan cairan di tenggorokanku. Oh ternyata hanya air mataku. Kenapa aku menangis? Tunggu, untuk apa aku menangis? Lihat, pandanganku semakin memburam akibat dari tangisan tiba-tiba ini.
Kenapa kau menangis [Name]? Kenapa? Semua ini sudah tak bisa disesali lagi, namamu sudah dicoret dari kehidupan. Tak akan ada lagi harapan untukmu kembali hidup sehat bugar, tidak ada. Sadarlah hal itu [Name]. Sadarlah diriku.
“Kau masih hidup."
Tunggu, siapa itu? Siapa yang berbicara? Aku mencoba mempertahankan pandanganku, ada sosok figur yang tak kukenal di sana. Namun aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, semuanya terlalu buram.
“Kau masih hidup dan aku akan memastikan kau akan hidup.”
'Apa yang kau bicarakan?' Aku ingin menanyakan hal itu kepadanya, namun mulutku sudah lelah merangkai kata. Apalagi di saat sekarat seperti ini, di saat tangisanku masih menurun karena rasa sakit tiada henti.
“Miya Osamu, namaku. Aku akan menghidupkanmu kembali, tetapi sebagai gantinya kau harus membantuku untuk suatu hal.”
Datar. Nada bicaranya datar sekali. Tapi tunggu, dia ini melantur atau apa? Menghidupkanku kembali? Apakah bisa? Jadi dia bukan manusia? Siapa sebenarnya dia?
“Jika kau setuju, maka anggukan kepalamu. Jika tidak, maka gelengkan saja kepalamu.”
Dia serius? Sebentar, dia serius? Aku menahan tangisanku. Jika aku bisa hidup kembali, aku akan bisa bertemu dengan orang-orang yang ku sayangi, aku akan lepas dari rasa sakit ini, namun dia mengatakan sesuatu tentang membantu? Apa itu? Seandainya saja mulutku tak mengeluarkan cairan merah itu dan bisa melanturkan kata.
“Jadi apa jawabanmu?”
Ya atau tidak? Semua ini memenuhi benakku, film-film kenangan sempat terusir sejenak, karena pikiran ini. Apakah ini hanya ilusiku saja? Tapi jika ini kenyataan, tak salah mencobanya bukan? Ayah, teman-teman, semua wajah-wajah mereka terbayang-bayang.
Akankah aku harus mencobanya?
Aku terbatuk darah. Aku terbatuk darah dan kali ini sudah kuputuskan. Kepalaku mengangguk lemah, aku sudah tidak tahan dengan semu rasa sakit ini. Kuharap ini nyata, kuharap ucapannya benar, dan kuharap—astaga, kenapa tiba-tiba aku mengantuk sekali? Tunggu, aku belum melihat responnya.
Kesadaranku perlahan mulai hilang, dan aku tak tahu aku pingsan atau mati. Namun sebelum aku benar-benar tak sadar, aku mendengar suara seorang wanita yang sangat familiar berbisik di telingaku.
“Pergilah, pergilah dan selamatkan mereka.”
Itu suaraku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro