|1|
Aku menatap daun-daun yang telah mencoklat di sekelilingku. Aku baru saja membantu Kiino membersihkan daun-daun berguguran di halaman, kasihan rubah kecil tersebut, dia kesusahan menyapu daun sebanyak itu. Memang dasar majikannya tak tahu diuntung. Aku menggelengkan kepalaku, simpatik. Langit di atas sana nampak sedikit mendung, aku tak tahu kenapa langit selalu menyamakan suasana hatinya pada manusia.
Kini halaman sudah bersih dan tak ada lagi daun-daun yang mengotori. Aku berpamitan kepada Kiino untuk kembali masuk ke rumah dan juga melambaikan tangan kepada Eye-san—bola mata menyeramkan yang selalu menggantung di lazuardi, sepertinya dia pengganti matahari, aku tak tahu lebih banyak tentangnya. Lebih tepatnya, tidak mau. Dan tadi aku melihatnya sedang cemberut, sepertinya dia sedikit marah karena didempet oleh awan-awan.
Meregangkan badan sejenak, aku memutuskan untuk berjalan ke tujuan selanjutnya. Aku harus membangunkan kedua orang tersebut, agar mereka tak melalaikan tugas. Aku bisa membayangkan Suna-san pasti akan langsung mengomel kepadaku, jika aku membiarkan mereka tak bertugas dan hanya bermalas-malasan. Ya, jika bukan seperti itu memang bukan Atsumu dan Osamu namanya.
Aku membuka pintu kamar mereka pelan. Kepalaku menyembul untuk melihat keadaan. Atsumu masih tidur, sementara Osamu duduk termenung menatap jendela besar. Ya, seperti biasa, selalu seperti ini. Aku merasakan, aku menghembuskan napasku, separuh lelah.
“Samu, kau tidak bisa tidur lagi?” Aku bertanya pada Osamu yang menyadari kehadiranku. Pemuda dengan helai kelam dan sepasang telinga rubah itu memandangku dan mengangguk pelan.
Aku tersenyum ke arahnya. “Sebentar lagi, aku akan memeriksamu. Tunggu sebentar yah, aku akan membangunkan anak ini dulu,” aku mendengar diriku berucap seperti itu.
Pandanganku teralihkan ke Atsumu yang masih betah di dunia mimpinya. Dia masih memeluk bantal ke sayangannya, dan tersenyum-senyum sendiri entah karena apa. Astaga, rubah ini. Tanpa merasa bersalah, aku menginjak ekornya dengan santai. Tak lama kemudian, aku mendengar suara umpatan paling kasar yang diucapkannya. Oh sudah bangun, aku menarik kakiku kembali.
“Sialan [Name]-chan, kenapa kau menginjak ekorku?!” Dia bangkit duduk dan mengelus-elus ekornya yang baru saja kuinjak, mengundang mataku untuk memutar melihatnya.
“Ehm. Maaf. Tidak sengaja.”
“Aku tahu kau sengaja, [Name]. Jangan berpura-pura polos seperti itu!”
“Sudahlah, lupakan saja—”
“Bagaimana aku bisa melupakan rasa sakit—”
“Iya-iya aku minta maaf karena menginjak ekormu, tapi jika tidak begitu kan kau tidak akan bangun—”
“Seenggaknya pakai cara lain—”
“Sudahlah Tsumu diam. Kasihan Samu telinganya sudah menangkap teriakan di pagi hari.” Aku berpaling ke Osamu. Kulihat dari ekor mata, Atsumu masih menggerutu tidak jelas tentang 'tidak berperikemakhlukan' atau 'kenapa selalu ekor atau telinga sih?' namun aku mengabaikannya dan lebih fokus terhadap Osamu.
Osamu menatapku. Tatapannya sama seperti biasa, datar tanpa emosi, selalu seperti itu, terpaksa. Ekspresinya juga masih sama seperti biasa, datar tanpa senyuman atau cemberut, hanya ada garis lurus di bibirnya, selalu seperti itu. Aku mengamatinya lebih seksama dan masih tidak ada perubahan terhadap dirinya. Masih sama, seperti boneka, boneka malang yang harus menjalani kehidupan seperti ini.
"Tsumu?"
"Hm?"
"Tidak ada kemajuan," sahutku dengan nada bersalah. Aku mendesah berat, bahuku menurun dan aku sadar bahwa keputus asaan sudah akan mengambil alih.
"[Name]?"
"Iya?"
"Bisakah kau ikut aku sebentar? Hanya sebentar."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro