
ORACLE -17
"Konyol."
Pria muda itu menghentakkan gelas besar berisikan cairan alkohol yang sudah dihabiskan ketiga kalinya.
"Yak ... Song Kang-ah. Ayo, pulang. Kau sudah terlalu mabuk."
Jari telunjuk pria yang menyengir lebar itu bergoyang; menyangkal ucapan yang ditujukan untuknya. Irisnya mengerjap beberapa kali. Terlihat letih, tidak juga. Terasa berat, mungkin iya. Mengingat minuman beralkohol bukanlah keahlian yang bisa ia banggakan.
"Tidak, Hyung. Aku ini tidak mabuk. Aku ini kuat," ujarnya meracau.
Song Kang mencoba berdiri dengan kedua tungkai yang terlihat rapuh. Hampir beberapa kali ia akan terjatuh. Beruntung di sana ada Manager Han, pria yang terus menjaganya.
"Kenapa memangnya kalau aku menyukainya karena ramalan? Yang penting aku bisa mendekatinya. Buktinya dia memilih menerimaku. Lalu kenapa dia marah? Apa menurutmu tidak konyol?"
Atensi Song Kang beralih pada pria matang yang tampak gelagapan. Ada rasa bersalah karena kekacauan ini akibat ulahnya. Seharusnya ia—Manager Han—bisa mengunci mulutnya lebih rapat. Dengan begitu, ia tak perlu melihat sisi lemah Song Kang yang ternyata benar-benar menyukai So Hyun, si Wanita Kesepuluh.
"Ayo, pulang! Kita bicarakan tentangnya di rumahmu." Memapah tubuh Song Kang yang tinggi, Manager Han jalan terhuyung. Meski sulit, tapi langkahnya sedikit demi sedikit berhasil membawa Song Kang keluar dari bar.
Lantas sang manajer membaringkan Song Kang di kursi belakang mobil. Dengan kesadaran pria Song itu yang tak utuh lagi. Terus meracau walau terdengar lirih. Sulit menangkap apa yang sedang ia bicarakan.
"Hah ... aku jadi penasaran dengan keberuntunganmu setelah ini?" gumam Manager Han sembari memandang Song Kang yang dianggapnya telah tertidur.
Berbeda dengan Song Kang yang memutar tubuhnya ke samping. Di sela kesadarannya yang akan sebentar lagi menguap, masih menyisakan perih yang berjejak di pipinya. Meski tidak sesakit hatinya yang merasa kosong harus kehilangan cinta.
**
Mungkin ini sudah ketiga kalinya ia menarik ulur dokumen bersampul putih itu dari dalam tas. Bergelut dengan gelisah. Layaknya tengah mengalahkan ombak, pikiran So Hyun ikut terombang-ambing dengan keputusan yang belum final.
"Aku mendapatkannya dari temanku yang berada di Italia. Rencananya bulan depan mereka akan menggarap film dokumenter. Aku juga mengajukan namamu untuk bisa menyutradarai projek tersebut. Bagaimana? Kau tertarik?"
Benak So Hyun penuh dengan perkataan Sutradara Hwang. Bola matanya sempat berkaca-kaca sesaat pria berbadan gempal itu bersikap peduli padanya. Padahal selama ini So Hyun mengira pria Hwang itu tidak terlalu menyukainya. Buktinya, bertahun-tahun menjadi asisten sutradara, bisa dibilang jarang sekali pria itu memujinya. Tidak pula pernah merekomendasikan ia untuk menjadi pekerja tetap di stasiun tempat mereka bekerja.
"Hyun-ah!"
Tangan ramping itu kembali menyembunyikan dokumen yang sempat terpegang. Memasukkannya secepat kilat ke dalam ransel yang terpangku olehnya sesaat pintu ruang audio dibuka oleh Seungyoun.
"Seungyoun-ah!" So Hyun menyapa kikuk.
Kepala pria Cho itu lantas bergerak miring. Berjalan pelan mendekati So Hyun yang perlahan menurunkan ranselnya ke lantai.
"Kau ... apa ada yang kausembunyikan dariku?"
Inginnya ia mengutuk saat ini. Kenapa harus Seungyoun yang menangkap basah? Kenapa harus sensitif ini pula mencurigainya?
"Aku tidak mengerti apa hanya sedang kaubicarakan. Ayo, kudengar kita dipanggil untuk ikut perayaan Divisi Drama. Katanya tayangan mereka mendapatkan rating tinggi minggu ini."
So Hyun menepuk bahu Seungyoun. Berusaha bersikap normal untuk mengalihkan kecurigaan Seungyoun padanya.
"Kau—"
"Ayolah!"
Gadis Kim itu menarik tangan Seounyoun hingga keduanya keluar dari ruang kerja. Terus berjalan menjauhi ransel hitam yang tergeletak di dalam sana.
Hatinya masih mendua. Keputusan belum mencapai akhir. Pada saat ia merasa yakin, mungkin saat itu So Hyun akan berkata jujur.
**
"Akh!"
Kepalanya terasa berat. Seperti tertimpa beban yang bertubi-tubi membebani kepalanya. Tanpa ampun.
Song Kang kesulitan membuka matanya, meski pancaran sinar yang menyelinap dari sela jendela kamar berusaha mengusik.
Tok! Tok!
Bunyi ketukan itu berhasil memaksanya membuka mata. Mengalihkan pandangan ke arah sosok yang berdiri di depan pintu kamar dengan segelas air yang dipegangnya.
"Wah, sebaiknya kau jangan berpikir untuk minum-minum lagi, Song Kang-ah. Kau begitu berat. Pinggangku rasanya mau patah saat harus memapahmu."
Senyum tipis terulas di wajah sang model yang kemudian mengusap wajahnya.
"Minumlah."
Air itu ternyata ditujukan untuknya. Segera disambut Song Kang yang menghabiskannya tanpa jeda. Tenggorokkannya memang terasa kering. Namun, lantas tak membuat sakit di kepalanya mendingan.
"Sudah lebih baik?" Masih pria yang sama, Manager Han, yang memposisikan duduk di samping Song Kang.
"Terima kasih, Hyung." Song Kang mengangguk.
"Kalau begitu, cepatlah bersiap. Hari ini schedule-mu begitu padat."
Song Kang terbelalak. Menatap bingung ke arah sang manager.
"Bukannya hari ini aku tidak memiliki pekerjaan? Maksudku, tidak untuk minggu ini."
"Seharusnya begitu. Namun, barusan aku mendapatkan telepon dari agensi. Mereka bilang kau mendaptkan dua kontrak lagi. Mereka ingin bertemu denganmu siang ini," jelas Manager Han.
Song Kang masih belum mengerti. Tadinya ia berpikir semuanya akan berakhir setelah hubungannya dengan So Hyun kandas. Termasuk keberuntungannya. Ia pikir akan turut menguap.
"Tapi—"
"Sepertinya keberuntungan itu dibuat sendiri olehmu. Bukan olehnya."
Song Kang terpaku. Pikirannya mendadak kosong pada saat pria Han itu meninggalkan ia sendirian di kamar.
Hatinya mencelos. Terasa hampa. Entah kenapa pekerjaan yang melimpah ruah tidak pula membuat ia merasa lega. Atau pun bangga. Sebaliknya ... rasa tercubit dengan penyesalan yang datang terlambat.
Harga yang mahal harus dibayar untuk kebodohannya.
Di lain tempat, setelah bergumul selama satu jam, akhirnya So Hyun keluar dari salah satu ruangan yang terletak di lantai sepuluh. Lantai yang dominan diisi oleh para petinggi dan jajaran penting di stasiun televisi tempatnya bekerja. Tersisa desahan panjang dengan debar yang perlahan mereda. Satu keputusan sudah So Hyun ambil.
"Sutradara Hwang bilang kau tidak mengikuti projek film bulan depan. Benarkah itu?"
So Hyun mengangguk. Meski belum terlalu yakin, tapi ia ingin mencoba peruntungannya.
"Apa kami boleh tahu alasannya? Padahal kami berencana mengangkatmu sebagai pekerja tetap usai film ini di-release. Apa kau tidak mau mempertimbangkan tawaran ini, Nona Kim? Atasanmu di Divisi Audio juga mengakui etos kerjamu yang baik. Mereka bahkan meminta agar bisa menjadikanmu bagian dari team mereka."
Sangat lucu. Padahal sangat lama So Hyun menantikan pembicaraan seperti ini.
Seandainya penawaran ini datang lebih awal, pasti ia tidak akan berpikir dua kali untuk menerima. Sayang, pikirannya terlanjur tersita dengan penawaran Sutradara Hwang. Walau So Hyun juga tahu, tidak ada yang menjamin karya ini akan berhasil. Kemungkinan terburuknya, bila projek ini gagal, maka ia kembali ke kampung halamannya. Ada kemungkinan So Hyun akan mempertimbangkan keinginan sang ibu yang memintanya menikah. Dijodohkan, begitulah kira-kira.
"Nona Kim?"
Keputusan So Hyun sudah bulat. "Aku ingin menjadi sutradara. Sejak dulu, aku bermimpi bisa membuat satu karya yang bisa kuperlihatkan pada keluargaku dan banyak orang. Terlepas tidak ada jaminan bahwa semua ini akan berhasil, tapi aku akan mencobanya.
Aku berterima kasih untuk kesempatan yang Anda tawarkan. Mungkin saja aku akan menyesali keputusanku kelak. Tapi, inilah keputusanku."
So Hyun berdiri dan membungkuk pada pria yang duduk di hadapannya. Bersamaan surat pengunduran dirinya diserahkan, ia pun berpamitan.
Ini bukan saatnya untuk melihat ke belakang. Sudah saatnya menyongsong masa depan. Gambaran samar yang perlahan akan menjadi jelas seiring waktu berjalan.
"Jadi kau sudah memutuskan pergi?"
Tubuhnya tersentak mendapati Seungyoun berada di luar ruangan. Berdiri sambil bersedekap, tatapannya meruncing.
"Seunyoun-ah ...."
Hatinya bergemuruh mendengar suara langkah kaki pria Cho itu mendekat. Memberi kesan bersalah karena belum membagikan berita ini.
"Semoga berhasil, Hyun."
Leher yang tadinya tertunduk, perlahan menegak. Seperti mendapat keberanian untuk memandang wajah pria yang tersenyum padanya.
"Aku kesal karena kau tidak memberitahukan berita penting ini padaku. Padahal kau tahu kalau aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu. Apa kau lupa kalau aku adalah fans-mu? Fans pertama Sutradara Kim."
Air mata So Hyun lolos tanpa izin. Tentu saja ia sedih karena akan berpisah dengan pria sebaik Seunyoun, tapi ia juga bahagia di saat bersamaan. Mendapatkan dukungan dari Seungyoun, menambah rasa percaya diri So Hyun. Seperti meyakinkan bahwa keputusannya tidak salah.
Dan Song Kang ... mungkin ini juga bisa menjadi waktu pemulihan diri dari luka yang masih membekas. Luka dari pria yang masih bercokol di ingatannya.
***
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro