
ORACLE -16
"So Hyun-ah!"
Plak!
Senyum lebar di wajah Song Kang dalam per sekian detik berubah menjadi ringis. Sembari memegang pipi kanannya, ia menatap So Hyun. Panas, rasa terbakar.
Kendati begitu, Song Kang tidak mengerti alasan bulir bening itu merosot dari paras iris kekasihnya, So Hyun. Seolah hilang akal mendapati sorot mata mata So Hyun yang memerah. Jelas tatapannya mengartikan ia sedang tidak baik-baik saja.
"Sepertinya aku salah menilaimu. Ternyata kau tidak pernah berubah, Song Kang-ssi," tutur So Hyun dengan suara bergetar. Darahnya masih berdesir sengit. Amarahnya terasa sia-sia.
"Yak! Apa yang sebenarnya kaubicarakan? Memangnya apa yang sudah kulakukan? Ah, jangan bilang ini caramu membela pria Cho itu? Kau suka dia—"
"Seharusnya kita tidak memulai hubungan ini lagi," potong So Hyun, "sejak awal, kau dan aku, tidak akan pernah berhasil menjadi kita." So Hyun berbalik, mengalihkan pandangannya. Sebelum beranjak pergi, So Hyun menambahkan, "Aku akan melupakan semua ini pernah terjadi. Jadi, jangan pernah lagi menghubungiku."
Song Kang terdiam. Hanya ada tangannya yang mengepal menyaksikan wanita Kim itu hilang dari pandangannya. Berlalu tanpa memberi kesempatan untuknya membela diri.
Pada akhirnya yang Song Kang persiapkan menjadi kegagalan besar. Tatanan bunga mawar merah dan putih, wine mahal dan makan malam romantis, tadinya ia berpikir usaha ini mampu memperbaiki hubungan keduanya. Sayang, semuanya malah memperburuk keadaan.
Song Kang merogoh kotak biru dari saku celananya kanannya. Membuka kotak itu, pandangannya nanar menatap cincin yang gagal diserahkan.
"Song Kang-ah!"
Pria Song itu bergerak cepat menyembunyikan benda kecil itu kembali ke sakunya. Pandangannya beralih pada sosok Manager Han yang berjalan pelan dengan kepala tertunduk mendekat padanya.
"Maafkan aku," ujarnya pelan.
"Tidak, Hyung. Ini bukan salahmu. Mungkin saja waktunya tidak—"
"Aku tak sengaja memberitahunya tentang ramalan itu." Manager Han memotong perkataan Song Kang.
Ucapan yang mengejutkan. Memacu sekujur syaraf kesadaran Song Kang berangsur mati rasa. Mata bulatnya terus membola. Baru saja ia disadarkan alasan kemarahan wanita Kim itu.
"Maafkan aku." Masih suara Manager Han mengaku sesal.
Bibir atas Song Kang menyungging, membentuk seringai tipis.
"Sial!"
Sebelum lima detik berikutnya, Song Kang berlari dari apartemennya. Kakinya bergerak tak terkendali. Meski ia tahu salah, setidaknya Song Kang ingin menjelaskan semuanya.
***
Bukankah bodoh terjerembab di lubang yang sama? Seakan kegagalan di lalu tidak jera mengikutinya hingga sekarang.
Sama seperti dulu.
"Apa benar kau memukulnya?"
Kala itu senja mulai menyapa. Kebanyakan murid telah berhamburan pulang. Menyisakan sebagian kecil murid yang masih berkutat dengan kesibukan masing-masing.
Di salah satu kelas, gadis dengan tag name Kim So Hyun mendatangi kelas pemuda yang tidak lain adalah kekasihnya. Hanya saja, dua bulan belakangan ini, hubungan keduanya terlalu banyak dibumbui dengan pertikaian.
Yang diajak bicara, Song Kang, tidak menjawab. Atensinya terfokus pada komik yang tertinggal di salah satu meja murid perempuan. Sebenarnya ia tidak benar-benar menikmati bacaannya, hanya saja ini cara yang terpikirkan olehnya 'tuk menghindari dari celotehan kekasihnya, So Hyun.
"Yak! Aku bicara denganmu!" So Hyun menarik kasar buku yang dipegang Song Kang.
Bergerak lambat, Song Kang akhirnya menatap lawan bicaranya yang tampak gusar. Sudah jelas ia sedang marah. Memarahinya sama sekali tidak membantu luka yang berjejak di wajahnya lekas sembuh.
"Kau memukulnya?" Repetisi pertanyaan yang membuat Song Kang muak.
"Kenapa? Apa aku tidak boleh memukul pria yang mendekati kekasihku sendiri? Apa kau tahu, dia itu berencana melakukan hal buruk padamu, karena itu—"
"Berhenti ikut campur hidupku!"
Song Kang terdiam sesaat So Hyun memotong perkataannya.
Memejamkan mata per sekian detik, So Hyun kembali meneruskan ucapannya, "Berhenti bersikap kekanakan. Aku bisa melindungi diriku sendiri, tapi aku tidak bisa mengontrol rasa cemburumu yang berlebihan. Apa kau tahu rasanya dijauhi teman-temanku sendiri karena memiliki kekasih sepertimu? Hah ... sempurna apanya! Kau hanya pria yang pencemburu yang selalu bersikap sesukanya!"
So Hyun lekas berlari meninggalkan Song Kang yang terdiam. Pun pria Song itu tidak berlari mengejar gadisnya. Entahlah, ada bagian dari dirinya yang menyuruh ia bergegas menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Namun, di sisi lain, ia cukup percaya diri bahwa semua ini akan baik-baik saja. Besok ... ya, semuanya akan kembali seperti biasa.
Sayang, Song Kang kadang salah memprediksikan sesuatu. Bukan esok, malah hampir seminggu So Hyun mendiaminya. Ia yang mempertahankan gengsinya pun tak langsung menawarkan untuk berdamai. Masing-masih bertahan dengan pendiriannya.
Hingga hari itu datang juga.
"Kita putus saja." So Hyun memulai.
"Kenapa?"
"Aku lelah."
"Lelah? Denganku? Bukankah ini hanya alasan agar kau bisa berpacaran dengan pria lain?"
Pertikaian yang berujung pada perpisahan. Masing-masing berjalan di tapak yang mereka yakini. Sampai tiba hari kelulusan, keduanya tak lagi menyapa. Hari-hari bahagia yang sempat dikecapi menjadi kenangan usang yang tersimpan dalam. Hanya ada tangis dan luka yang diingat, mengesampingkan senyum yang lebih lama terumbar.
**
Sudah dua puluh menit Seungyoun melirik ke arah wanita yang hanya memandangi mangkuk hitam di depannya. Uap panas yang sempat mengepul kini menghilang.
"Aku bisa memakannya kalau kau tidak ingin." Seungyoun menggoda So Hyun yang dilihatnya tak bersemangat.
Tidak berbicara, So Hyun malah mendorong mangkuk miliknya ke depan Seungyoun. Seakan mengiakan permintaan pria Cho yang sekadar candaan.
"Lihatlah tampangmu! Bagaimana bisa aku tega memakannya." Seungyoun menaruh sendoknya. Nafsu makannya turut menghilang menatap gadis di depannya tak ada antusias.
"Seungyoun-ah." So Hyun membuka suaranya lirih.
Alis pria jangkung Cho itu berjungkit. Menunggu kelanjutan pembicaraan yang akan dibahas So Hyun.
"Bukankah aku sudah memintamu berhenti peduli padaku? Berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Kalau pun aku terluka, jangan ulurkan tanganmu padaku. Seandainya aku terjatuh, biarkan saja. Kadang, aku perlu terbiasa dengan luka agar bisa tegar. Kalau kau terus memanjakanku, nantinya aku akan terus bergantung padamu. Dan aku tidak suka harus terus merepotkanmu."
Seungyoun terdiam seiring So Hyun mulai memberanikan diri beradu pandang dengan pria Cho tersebut.
"Kau kejam sekali, Hyun," tukas Seungyoun sambil menuangkan soju ke gelas kecil miliknya. Mengambil jeda sejenak sebelum ia menenggak habis.
"Aku peduli padamu karena aku ingin. Aku tidak keberatan kalau kau terus bergantung padaku, karena itu mauku. Ah ... baiklah. Aku tidak akan lagi memaksamu untuk menyukaiku, tapi jangan pernah lagi menyuruhku untuk tidak peduli lagi padamu. Mengerti?"
Usapan tangan lebar Seunyoun yang menyapa pucuk kepala So Hyun dengan hangat. Padahal akan lebih mudah kalau hatinya memilih Seungyoun, bukan Song Kang. Hati So Hyun sulit berhenti mengaduh.
Bunyi getar dari ponsel So Hyun yang tergeletak di atas meja mengusik perhatian Seungyoun yang bisa melihat nama Song Kang tertera di layar.
"Tidak diangkat?" tanyanya yang langsung dijawab gelengan oleh So Hyun.
"Hah ...." Pria itu mendesah sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Apa ini semua karena ketampananku? Kalian bertengkar karena Model Song tidak percaya diri? Memang, sih. Aku ini sangat tampan."
Untung malam ini ada Seungyoun. Malam yang dikira hampa ternyata masih menyisakan senyum di wajah So Hyun. Luka yang memerih terasa mendingan dibandingkan harus menyendiri.
"Aku iri padamu yang percaya diri, Youn. Setidaknya aku ingin percaya bahwa dia mencintaiku karena diriku yang sebenarnya, bukan karena ramalan."
"Ramalan?"
Awalnya So Hyun juga tak percaya dengan rungunya. Zaman sekarang, sedikit sekali masih ada orang yang menaruh impiannya berdasarkan ramalan. Dari kumpulan yang tidak seberapa itu, ternyata Song Kang adalah salah satunya. Bukan karena suka, tapi karena ramalanlah yang jadi alasan Song Kang mendekati So Hyun.
Mungkin akan berbeda bila wanita kesepuluh itu bukan dia. Bukan So Hyun. Karena itu, sejak awal kisah cinta ini bisa dibilang tidak ada. Semuanya semu.
Hindari lawan kerjamu yang berikutnya. Dia hadir bagaikan hujan dalam hidupmu. Terlihat menyejukkan, tapi akan membuatmu terluka. Bukannya berdiri di bawah hujan terlalu lama, tidaklah baik?
"Lucu sekali. Padahal sebelumnya aku pernah diramal kalau harus menghindari teman kerjaku. Katanya aku akan terluka. Ternyata benar. Karena aku mengabaikan nasihat itu, kini aku merasakan ganjarannya," lanjut So Hyun menenggak soju di gelasnya.
Meski tersenyum, dadanya tetap merasa sesak. Terpukul dengan kenyataan yang sulit ditepis. Jatuh cinta dalam waktu tidak sebentar, tapi patah hati terjadi dalam waktu yang singkat. Hatinya bahkan belum siap untuk mengucap selamat tinggal. Namun, bibirnya berucap lebih lantang. Mengakhiri semua yang sempat bertunas.
Ya, semuanya sudah berakhir.
***
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro