Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ORACLE - 05

Suasana pikuk dengan beberapa orang yang terlihat terburu-buru—ke sana-kemari—tak menyurutkan fokus Song Kang yang tengah menjalani pemotretan untuk majalah fashion ternama. Postur tubuh yang tinggi, badan ideal, pakaian yang ia kenakan pun tampak begitu ekslusif. Tidak sedikit designer yang menjadikan Song Kang sebagai model favorit mereka. Termasuk menyewanya sebagai model catwalk untuk beberapa peragaan busana terbesar di musim-musim tertentu.

"Selesai! Terima kasih untuk kerjasamanya."

Sesi pemotretan berakhir seiring seruan juru foto menggema di ruangan. Sebagian dari mereka bertepuk tangan. Termasuk Song Kang yang juga membungkukkan badan; berterima kasih untuk kerja yang baru selesai.

Bergerak cepat; ia bergegas menuju pria Han, manager-nya. Bukan ingin menyapa atau mengobrol, melainkan demi mengambil ponsel miliknya yang tadi dititipkan pada sang manager.

Jemarinya bergerak cepat membuka kotak masuk. Akan tetapi, tersisa desahan panjang saat harapannya berujung sia-sia.

Masih belum ada balasan yang diterima. Padahal bukan hanya satu, mungkin sekitar sepuluh pesan beruntun terkirim pada Kim So Hyun. Dimulai dari sebelum pemotretan, saat jeda atau break, dan terakhir sebelum pemotretan dilakukan kembali. Selama tiga sesi dijalani, serutin itu pula Song Kang mengirim pesan.

"Dasar kejam!" gerutu Song Kang berdecak kesal.

"Kau mengataiku?"

Song Kang toleh pada pria yang merasa ucapannya ditujukan pada manager-nya. Bibirnya ikut mengerucut. Dalam sekejap menghancurkan suasana hatinya.

"Benar. Kau sangat kejam, Hyung!"

Song Kang pergi begitu saja. Kakinya terus melangkah keluar dari ruang setting. Laguh-lagah di ruang tertutup yang diisi banyak orang tak membuat perasaannya girang. Di tengah ramainya orang, ia masih merasa hampa. Padahal ini hanya masalah sepele.

Entahlah. Bisa jadi kecewa karena gagal dengan rencananya hari ini 'tuk mendekati So Hyun, bukan karena wanita itu sudah memiliki pria lain ketimbang dirinya.

**

"Ramyeon? Apa benar ini traktiran yang kaumaksud?"


Seung Youn merengut bak anak kecil. Padahal beberapa menit lalu ia melompat girang saat So Hyun mengatakan akan mentraktirnya. Di kepalanya, sudah berisikan beberapa alternatif makanan yang membangkitkan selera. Termasuk selera untuk bekerja lembur yang harus dilakukan keduanya.

"Yak! Kalau kau tidak mau, jangan makan!"

So Hyun tadinya berniat menarik cup milik Seung Youn, sebelum kalah cepat dengan tangan pria Cho yang mengambil dan langsung menyeruput satu sumpit besar ke mulutnya.

"Tapi aku tidak bilang tidak akan memakannya." Mulut pria Cho itu masih penuh dengan makanan yang belum utuh terkunyah. Beberapa tetes kuah ramyeon berjejak berantakan di sekitar mulutnya.

"Apa kau ini masih bayi, huh?"

Meski So Hyun mengomeli Seung Youn, tetap saja ia yang menyeka bibir Seung Youn dengan selembar tisu.

Seung Youn menyengir lebar. Ia suka So Hyun yang perhatian. Meski sering terkesan galak, tapi sebenarnya So Hyun adalah orang yang sangat perhatian.

Duduk bersama di depan mini market 24 jam yang dekat dengan gedung keduanya bekerja, di situlah keduanya menghabiskan jam makan malam bersama. Bahkan di hari pertama So Hyun bekerja sebagai asistennya, Seung Youn sudah mengajaknya untuk lembur. Derita atau sukacitakah ini?

"Apa kau masih ingat saat pertama kali kita menerima gaji dan menghabiskannya di sini? Membeli beberapa cemilan, ramyeon, dan bir. Sama seperti sekarang, kita tertawa lebar untuk jerih payah kita." Seung Youn membuka kenangan keduanya.

So Hyun menerawangkan perhatiannya ke langit. Beberapa bintang tampak cantik menghiasi langit Seoul. Yang diucapkan Seung Youn, tentu saja ia ingat.

So Hyun dan Seung Youn, awalnya tidak begitu akrab di masa kuliah. Berawal diterima di tempat kerja yang sama-saat itu keduanya masih sama—sama menjadi pekerja paruh waktu—saat itulah yang membuat keduanya menjadi lebih dekat. Seiring waktu berjalan, garis nasib So Hyun tidak sebaik Seung Youn. Pria jangkung itu meninggalkan garis start lebih dulu darinya. Seung Youn melangkah maju—sedikit  demi sedikit. Tiba di suatu titik, So Hyun tersadar hanya ia yang tidak beranjak dari garis awal. Sementara Seung Youn, punggung belakangnya terus berjalan menjauhinya.

"Kadang aku berpikir untuk berhenti. Mungkin saja aku tidak memiliki keberuntungan di dunia yang kugeluti sekarang."

Seung Youn menatap wajah samping So Hyun. Walau kepala wanita Kim itu menengadah ke atas, ucapannya yang barusan itu pastilah suara hatinya. Raut lelahnya tersamarkan wajah cantik yang memesona.

"Keberuntungan tidak ada hubungannya dengan takdir yang akan kaujalani. Kalau saat ini kau berpikir belum melakukan banyak hal, maka kau salah."

So Hyun bergerak menatap Seung Youn.

Pria yang kerap tersenyum padanya, kali ini memasang wajah serius. Sosok lain yang jarang ia tampilkan. "Kau sudah berjuang sejauh ini, apa menyerah menjadi jalan keluar? Bukankah itu hanya jalan termudah untuk menyalahkan semua hal yang tidak berjalan seperti keinginanmu? Ibarat mendaki gunung, butuh beberapa langkah lagi demi mencapai puncak. Apa kau tidak takut dan menyesal sebelum bisa merasakan bagaimana melihat matahari dari puncak?"

So Hyun kehilangan kata-kata. Rasanya ajaib karena ucapan Seung Youn melonggarkan hatinya yang sempat tertumpuk dengan beban yang dia pikirkan sendiri.

"Kau bisa memberikanku satu cup ramyeon lagi kalau ingin berterima kasih," lanjut Seong Youn.

So Hyun tergelak. Seong Youn tetaplah Seong Youn. Meski sekilas tadi ia berhasil memukau So Hyun dengan perkataannya, tetap saja sosok serius itu tak akan bertahan lama. Sisi ceria pria Cho tersebut lebih dominatif. Beruntung malam ini ia habiskan bersama Seung Youn. Rasa takut yang bergelimang di hatinya, sedikit terkikis karena kehadiran Seung Youn.

Sama seperti Seong Youn, melihat So Hyun tertawa, jauh melegakan dibandingkan wanita Kim itu terus menyimpan beban sendiri. Seong Youn ... ia ingin So Hyun bisa mengandalkannya. Setidaknya melihatnya sebagai tempat untuk bersandar.

**

Kalau tidak ada ramalan itu, apa mungkin aku memiliki keberanian mendekatinya?

Menyeduh kopi buatan sendiri, Song Kang terus berpikir tentang pertemuannya dengan So Hyun. Memikirkan kembali bahwa wanita itu memiliki kemungkinan sebagai pembawa keberuntungan-seperti kata peramal-membentuk garis lengkung di bibirnya. Lucu dan terkesan ganjil, layaknya selingan dalam rentetan kerja yang ia miliki.

"Kau sudah bangun rupanya. Tumben sekali."

Manager Song Kang, terperangah saat menemukan pria berbahu lebar itu berdiri di dapur. Pria Han-sang managertinggal beberapa blok dari apartement Song Kang. Pria itu juga memiliki akses keluar masuk rumahnya. Alasan kepraktisan, katanya.

"Hyung, bukankah hari ini aku tidak ada jadwal kerja? Aku berencana menghabiskan waktu di luar."

Pria matang itu menatap Song Kang. Tidak lama, tidak pula singkat. Sekitar sepuluh detik, dengan air mukanya yang masih terpasang datar. Seolah tengah berpikir.

"Kau keluar? Sejak kapan? Bukankah kau paling menyukai rumahmu sendiri? Jadwal kosong seperti ini pun, biasanya kau akan menghabiskan dengan bersantai di rumah. Kenapa sekarang berubah?"

Sedikitnya Song Kang tertohok. Celetukan sebagai anak rumahan terlanjur melekat sebagai image. Untuk ukuran pria dewasa—25 tahun—diduga minatnya lebih besar mencari ketenangan di rumah.

Masalah kekasih? Tentu saja ia pernah berpacaran. Sejauh ini, sudah beberapa kali. Namun, tidak ada yang bertahan lama. Enam bulan paling lama, dua minggu yang tersingkat. Itu pun tidak banyak, baru tiga kali. Di luar kisahnya dengan Kim So Hyun.

"Aku akan berkencan hari ini."

Pengakuan dengan senyum lebar terbit di parasnya. Sementara manager-nya masih tertegun. Ia memang tidak pernah intens melarang Song Kang untuk menjalin hubungan dengan seseorang. Selama tidak mengganggu pekerjaan.

"Kali ini siapa? Model? Idol? Aktris? Siapa yang menjadi teman kencanmu?" Masih pria Han itu mengusut lebih detail.

Song Kang mengulum senyum. Ia tidak ingin terlihat antusias, meski sebenarnya dalam hati memekik girang.

"Jangan bilang ... wanita kesepuluh?" tebak sang manager yang lantas diabaikan Song Kang. Dari geriknya saja sudah bisa terjawab. Pasti wanita itu lagi. Sangat kentara.

**

"Bagaimana?"

So Hyun meremas jemarinya. Cemas, satu kata yang menggambarkan perasaannya sekarang. Walau yang akan menilai hasil kerjanya adalah Seung Youn, rekan kerja terdekatnya, tapi tetap saja ia gelisah. Di dalam kantor, selama jam kerja, Seung Youn yang sekarang adalah atasannya. Sikap profesional tetap menjadi  prioritas.

"Hmm ...."

Dahi Seong Youn berkerut, mulutnya terkatup rapat, alisnya ikut bertaut, hanya menambah cemas yang dirasakan So Hyun.

"Lumayan," akunya singkat.

Ada rasa lega diikuti senyum tipis terulas. So Hyun benar-benar lega hasil kerja pertamanya diakui.

"Ini benar-benar rapi. Aku suka."

Seong Youn mengacak poni depan So Hyun. Keduanya tertawa bersama. Rasa lelah setelah menghabiskan lembur berjam-jam, syukurlah tidak berakhir sia-sia.

Tok! Tok!

Atensi keduanya teralihkan saat seorang wanita muda menyela masuk ke dalam ruang penataan musik.

"Kim So Hyun-ssi, ada seseorang yang menunggumu di lobby."

Seung Youn dan So Hyun saling bertukar pandang. Seingatnya, dia tidak memiliki temu janji dengan sesiapa pun. Tidak pula menemukan adanya notifikasi pesan masuk di ponselnya hari ini.

"Kau punya janji dengan seseorang?" tanya Seung Youn.

So Hyun menggeleng pasti. Ia sangat yakin.

"Song Kang, sang model. Dia yang menunggumu," tutur wanita yang sama memberi pesan.

"Song Kang?"

**
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro