
ORACLE - 02
"Wanita kesepuluh? Apa maksudnya?"
Song Kang boleh berlagak tidak peduli. Padahal, ia sangat memikirkan kata peramal yang ia temui kemarin. Bukan tanpa dasar. Menilik pada kurangnya pekerjaan yang diterima belakangan ini, ia merasakan karirnya sebagai model agak meredup. Faktor usia diyakini bukan penyebab mayor. Ia masih berusia 24 tahun. Selain itu, berpostur tinggi-184 cm-hidung mancung, bibir merah dan tebal, dan perawakan mungil dengan mata yang besar, bagi Song Kang, faktor-faktor tadi sudah memenuhi syarat untuk mengakui bahwa ia tampan.
Jadi di mana masalahnya sekarang?
Faktor keberuntungankah? Seperti yang dikatakan peramal berpakaian gypsy kemarin?
"Maaf, aku terlambat."
Seorang wanita muncul. Dia adalah wanita kesepuluh yang ditemuinya sejauh ini.
"Dia asistenku, Kim So Hyun."
Nama yang tidak asing. Pun dengan wajahnya. Menghadirkan sensasi pelik hingga menghambat suaranya 'tuk keluar.
Mantan kekasih. Keberuntungan. Diakah orangnya?
***
"Ayo putus."
"Kenapa?"
"Aku lelah."
"Lelah? Denganku? Hah ... bukankah ini hanya alasan agar kau bisa berpacaran dengan pria lain?"
Terus begini. Perdebatan kerap menjadi bahasan saat mereka bertemu. Alasan yang sama yang berangsur mengikis rasa suka menjadi jemu. Ketika ketidakpercayaan lebih berdasar ketimbang kenyamanan.
Song Kang mendesah panjang. Pikirannya berkelebat dengan kenangan lama; tentang dirinya dan mantan kekasihnya, Kim So Hyun. Sepenggal kisah singkat yang masih berjejak lekat di ingatan. Layaknya memutar lagu lama yang pernah ia sukai.
Sebelum akhirnya suara lain menyadarkan lamunannya. Suara langkah seseorang yang tiba dan berada di lorong yang sama dengannya. Sosok yang sama yang berhasil membuat perasaannya berkecamuk.
So Hyun terpaku. Langkahnya terhenti melihat sosok jangkung itu bersandar di depan pintu masuk ruang kerjanya. Song Kang, pria yang kini menyadari kehadirannya, tampak seperti menunggu. Tatapannya masih saja tetap tajam. Terasa menyudutkan So Hyun yang diperlakukan bak tersangka.
Selangkah demi langkah membawa keberanian So Hyun mendekatinya. Yang perlu ia lakukan hanyalah bersikap normal. Layaknya teman lama yang bertemu kembali. Atau mungkin memperlakukannya tak ubahnya rekan kerja baru.
"Lama tidak bertemu denganmu, Kim So Hyun," sapa pria itu mengawali kecanggungan yang terbentuk.
Suaranya terdengar dalam dan berat. Entah kenapa mendorong So Hyun tetap bungkam. Ingin rasanya membalas sapa, tapi suaranya tak berhasil lolos.
Song Kang masih memerhatikan paras wanita yang di depannya. Waktu boleh berjalan lama, tapi kecantikannya masih sama. Persis seperti dulu. Seakan waktu tak menjadi persoalan baginya. Tak takut menua atau sejenisnya.
"Kenapa? Kenapa kau dingin begini? Jangan bilang kau canggung karena kita adalah-"
"Lama tidak bertemu denganmu, Song Kang-ssi."
Akhirnya sapa itu tersampaikan; suaranya keluar. Meski terdengar seperti sebuah paksaan.
Song Kang tersenyum. Tepatnya, mencibir. Bibir atasnya membentuk sungging. Sudah jelas, wanita Kim itu tak ingin membahas kenangan mereka.
"Song Kang-ssi? Apa begitu caramu memanggilku sekarang?" sindir pria yang masih sama.
Tatapan keduanya beradu. Memancarkan kegelisahan yang hanya dimengerti masing-masing. Seperti So Hyun yang tidak merasa nyaman, begitu juga dengan Song Kang. Namun, pria berbahu lebar itu kembali diingatkan pada tujuan awal.
Tentang wanita kesepuluh. Itulah tujuannya menemui So Hyun. Ia cuma perlu memastikan bahwa wanita inilah yang akan membawa keberuntungan untuknya—kelak. Lalu, bagaimana caranya?
"So Hyun-ssi, apa kau bersedia makan siang bersamaku?"
So Hyun mendongak, menatap langsung pada pria yang masih menampilkan senyumnya. Kedua alisnya bertaut, sedang mencari di mana letak kesalahannya hingga pria itu tiba-tiba menawarkan makan siang dengannya.
"Kenapa? Apa kita tidak bisa memulai semuanya dari awal? Misalnya saja .... berteman. Aku ingin berteman denganmu."
Tangan Song Kang terulur. Dagunya terangkat; meminta So Hyun lekas menyambut ulurannya. Bagi Song Kang sekarang, karir lebih penting. Masa lalu adalah masa lalu. Sementara masa depannya, masih terbentang panjang. Keberuntungan salah satu faktor yang ia butuhkan untuk menjaga masa depannya seperti sekarang.
Alasan yang Song Kang butuhkan untuk memastikan So Hyun adalah wanita kesepuluh. Itu pun termasuk dalam caranya demi meraih keberuntungan.
***
"Kenapa dengan wajahmu?"
So Hyun mengambil duduk di posisi pria yang sejak pagi sibuk dengan komputer dan headset.
Pertanyaan Seung Youn, pria yang juga menjadi staff di stasiun ia bekerja, tidak tergubris. Tangan So Hyun masih meremat cup coffee yang sejak sejam lalu kosong. Ia hanya butuh gelas kertas itu untuk melampiaskan kegelisahan yang bertumpuk di dada. Bingung, cemas, gelisah, So Hyun butuh pencerahan sekarang.
"Yak!"
So Hyun mendelik sesaat kedua pipinya ditangkup telapak lebar Seung Youn. Mengarahkan wajahnya untuk bertatapan langsung dengan pria bermata kecil yang membantunya pagi ini.
"Lepaskan aku!"
Dorongan tidak begitu kuat, tidak akan ampuh melepaskan tangan Seung Youn dari wajahnya.
"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau berkata yang sebenarnya." Seong Youn menuntut penjelasan.
So Hyun menyerah. Setelah mengangguk dua kali, Seung Youn akhirnya melepaskannya. Bisa-bisanya Seung Youn terkekeh di saat So Hyun merasa pipinya sedikit kebas.
"Apa menurutmu aneh saat orang yang sudah lama tidak kautemui tiba-tiba mengajakmu makan siang?"
Seung Youn terdiam; tampak berpikir. Pertanyaan yang juga diharapkan So Hyun bisa mendapatkan titik terang dari rekan kerjanya itu.
"Tidak aneh."
"Apa?" So Hyun mengulang tak percaya.
"Bukankah tidak baik menolak makan siang gratis? Mau yang menawarkan itu adalah orang yang sudah lama tidak kautemui, tapi tetap saja kau sudah mengenalnya. Yang aneh adalah saat kau tidak membelikan kopi untukku, tapi selalu membelikan untuk Sutradara Hwang yang jelas-jelas selalu memarahimu."
"Yak!"
So Hyun merengut. Sia-sia bertanya pada Seung Youn. Pria itu tidak benar-benar menanggapi pertanyaannya dengan serius.
"Aku pergi!" So Hyun beranjak dari bangkunya. Seung Youn masih tertawa geli.
"Aku benaran pergi!" ulang So Hyun berniat mengancam. Sayang, sepertinya tidak mempan.
"Dasar, Cho Seung Youn! Kau menyebalkan!"
Cup coffee yang teremat-tak berbentuk lagi-dilempas tepat ke arah kepala Seung Youn. So Hyun pergi dengan menyisakan dongkol di dadanya. Salahnya yang mendatangi orang yang tidak tepat. Alih-alih ingin mendapatkan ketenangan, sebaliknya, ia malah membawa perasaan lain—kesal.
**
Memasuki rumah susun yang terdiri dari sepuluh lantai, di lantai kelima, di sanalah ia tinggal. Hidup mandiri sejak lulus sekolah, menjadi pilihannya. Selain alasan dekat dengan kampus-tempat ia meneruskan pendidikan—alasan praktikal lainnya menjadi pertimbangan kenapa ia enggan untuk pindah. Hingga detik ini.
Ransel berkulit coklat dilemparnya asal ke sofa yang tersusun di ruang tengah. Tungkainya diseret hingga menuju dapur. Lemari pendingin menjadi tujuan utama. Bersamaan tangannya lekas menggapai botol minuman dingin yang melepaskan dahaga di tenggorakkannya. Sensasi dingin menjalar hingga ke ubun kepala. Segar dan nyaman.
Walau sangat disayangkan, sensasi itu tidak bertahan lama. Pikirannya kembali tergerus pada Song Kang, mantannya. Bisa dibilang ia bukan memikirkan perasaan lamanya. Toh, semuanya sudah berlalu beberapa tahun lepas. Hubungan setahun yang tidak lebih dari cinta pertama di saat sekolah, terus So Hyun yakini perasaan itu tak ada lagi. Buktinya, beberapa tahun belakangan ini pun, gadis yang perlahan melonggarkan ikat rambutnya, ia pernah berkencan beberapa kali.
Namun, tetap saja kikuk. Bisa dibilang ini kisah perdana baginya untuk bekerja sama dengan mantan kekasih.
"Ayo putus."
Kalimat yang kembali berkelebat dalam benak. Membawa si wanita Kim terbang pada kenangan lima tahun lalu.
So Hyun lelah. Pria yang sempat menjadi sosok sandaran baginya, tak jarang membuatnya lelah. Khususnya belakangan ini. Song Kang terus dirundung kecemburuan yang tidak tertampung lagi.
"Baiklah. Kita putus. Aku juga lelah," sambung si pria, seiring sorot matanya berubah tajam.
So Hyun kembali mendesah. Ingatan yang payah. Sama sekali tidak menyenangkan. Apalagi seingatnya, setelah perpisahan itu, keduanya tidak lagi pernah bertegur sapa. Hingga pria itu lulus lebih dulu darinya, keduanya terus menjaga jarak.
Waktu terus berlalu dan So Hyun tidak ada lagi kabar tentangnya. Hingga suatu hari, So Hyun terkejut. Saat matanya tak lepas dari cover majalah. Saat itu pula ia sadar, bahwa dunia mereka berbeda. Song Kang, pria penyuka basket saat sekolah, kini menjajaki karir sebagai model. Perawakan tinggi dan wajah yang mumpuni, karir pria Song itu cukup cepat melejit. Berbeda dengan So Hyun yang masih membutuhkan usaha untuk menapaki jejak karirnya. Tertatih, itu bagian dari perjuangan yang ingin ia nikmati. Selagi bisa.
"Semangatlah, Hyun. Song Kang hanya teman kerja biasa. Kau tidak harus memerhatikan dia, cukup bekerja seperti biasa. Ah, benar! Seperti kata peramal waktu itu, kau harus hati-hati dengan lawan kerja kali ini. Terlalu dekat dengannya akan berbahaya. Kau pasti bisa, Hyun!"
Menyemangati diri sendiri, tangannya mengepal dengan senyum yang terbit di parasnya. Cukup memasukkan segala hal berbau positif, So Hyun yakin bisa menjalani proyek ini setenang mungkin.
***
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro