Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ORACLE - 01


"Keberuntunganmu akan segera berakhir."

Ucapan yang ingin dianggap bak angin lalu olehnya. Antara percaya atau tidak, ia masih menempatkan diri di ambang ketidakpastian.

"Tapi, semuanya masih bisa kaudapatkan dengan satu cara," sambung wanita matang yang ia temui tak sengaja sesaat pulang dari tempat kerja. Belakangan sering terlihat di sekitar area gedung agensinya. Peramal, beberapa staff di gedung begitu menamainya.

Alis tebal miliknya berjungkit kala wanita yang mengenakan baju ala gypsy menarik lengan baju. Sedikit memaksa.

"Wanita kesepuluh. Dia akan membawa keberuntungan dalam hidupmu. Kau tahu, keberuntungan yang sangat besar."

Diakhiri perempuan itu tersenyum. Atau tepatnya bersikap sinis padanya. Bibir atasnya membentuk sungging seolah tengah mencibirnya. Meninggalkan perasaan tak nyaman yang terlanjur ia sesap.

Atensinya masih memerhatikan punggung belakang perempuan yang terus berjalan menjauhinya. Semakin membuat jarak yang jauh.

"Jangan percaya omongannya. Ayo, kita pulang," ajak pria yang berdiri di sampingnya-manager-nya.

Song Kang awalnya memanggutkan kepala. Kakinya pun mengikuti langkah sang manager yang lebih dulu masuk ke dalam mobil.

"Wanita kesepuluh? Apa maksudnya?" gumam Song Kang sesaat belum masuk ke dalam mobil.

Langit gelap menjadi saksi di mana hatinya mendua. Hati kecilnya mengatakan ucapan wanita itu ada benarnya. Namun, tersisa bagian diri lainnya yang ikut menolak. Memperingatinya untuk tidak langsung percaya.

"Ayo!"

Suara pria yang sudah memegang kemudi, menyentak kesadaran Song Kang sekali lagi. Seturut ia akhirnya masuk ke dalam mobil yang sama.

**

Di salah satu lantai, di lain tempat, wanita muda itu tengah mengatur deru napasnya yang terasa berantakan.

"Song Kang?"

Tuan Hwang, itu namanya, pria yang juga menjadi atasannya, kini mengangguk. Ia baru saja mengabarkan pada asistennya bahwa ia menyetujui permintaan Esmood Entertainment untuk menggunakan Song Kang menjadi salah satu pemeran di layar lebar yang nantinya ia garap. Mengingat Song Kang, nama dan eksistensi pemuda itu cukup terkenal sebagai model di luar negeri. Melibatkan Song Kang dalam film yang direncanakan akan dipasarkan hingga ke luar Korea, menjadi faktor utama alasan diterimanya pemuda jangkung itu.

"Tapi—"

"Kudengar kau dulu satu sekolah dengannya. Jadi, bersikaplah ramah dengannya. Buat ia merasa nyaman, dan minta ia rajin mem-posting rencana film ini di akun medianya. Akan terlihat bagus untuk promosi di awal. Mengerti?"

So Hyun, nama gadis yang menjadi asistennya, berdecak kesal saat pria bertubuh gempal dan suka mengenakan topi newsboy untuk memberikan kesan vintage, seperti umurnya, pergi dengan tenang. Seolah yakin So Hyun akan mengiakan permintaannya.

Namun, berkaca pada posisinya saat ini, tetap saja ia tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Otoritasnya tidak sejauh itu. Jangan lupakan ia hanya seorang asisten yang bekerja di bawah perintah sang sutradara, pimpinannya.

Bagaimana bisa ia bersikap manis pada pria yang sudah mengambil first kiss-nya?

"Akh ... kenapa harus dia?"

Beruntung tidak ada siapa pun di sekitarnya. Jadi tidak masalah kalau penampilannya kini berantakan karena So Hyun mengacak surainya sendiri.

"Hindari lawan kerjamu yang berikutnya. Dia hadir bagaikan hujan dalam hidupmu. Terlihat menyejukkan, tapi akan membuatmu terluka. Bukannya berdiri di bawah hujan terlalu lama, tidaklah baik?"

Perkataan peramal waktu itu tiba-tiba berkelebat. Menghadirkan peringatan keras padanya yang sempat lupa.

"Sudah pasti ini maksudnya Song Kang. Hah ... tidak perlu diperingati pun, sudah jelas hubungan kami tidak akan baik," gumamnya bermonolog.

Meniup poni depannya, kakinya sengaja dihentak-hentakkan sembari keluar dari ruang kerja. Tak lebih dari bentuk pelampiaskan yang tidak tersampaikan.

***

"Ini naskahmu yang tertinggal."

Song Kang membuka maniknya yang masih terasa berat. Tentu saja, ia baru tidur dua jam yang lalu. Pemotretan di luar kota, membuat waktunya banyak tersita di jalan. Sialnya lagi, pada saat harusnya ia bisa beristirahat, pelupuknya malah enggan bersahabat. Salahkan juga ucapan si peramal yang membuat ia berpikir dua kali lebih keras.

"Hyung."

Suara serak pria Song itu mendominasi sapa. Telapak besarnya mengusap wajahnya yang masih tampak kusut.

"Cepatlah bangun. Kita harus bertemu dengan sutradaranya hari ini."

Pria yang berusia tiga tahun lebih tua darinya lantas mengecek jam tangan miliknya, lalu memberi pesan, "Kau punya waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap."

Setelahnya, ia pun pergi. Meninggalkan Song Kang yang masih rebah di tempat tidur empuknya.

Pekerjaan dan ketenaran, dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi terlihat menyenangkan, tapi di sisi lain sangat mengikatnya. Terutama belakangan ini, Song Kang merasa sulit bernapas. Jadwal padat yang tersusun apik sudah diputuskan tanpa meminta pendapatnya. Katanya, yang perlu ia perhatikan hanya kondisi fisiknya. Lihat saja jumlah vitamin yang bertumpuk di atas nakasnya. Satu pun tidak ada nama yang dia ingat. Semua itu digadang-gadangkan bagus untuk kesehatannya. Atau sebenarnya, permintaan secara halus agar dia dia tidak pernah sakit. Sakit sama artinya dengan merusak schedule.

Berpikir untuk mengeluh pun rasanya percuma. Kembali lagi pada dirinya yang sejak awal menyetujui terjun ke industri keras ini.

Sementara itu, di lain tempat, berlokasi tak jauh dari tempat kerjanya, gadis berponi kecokelatan itu masih menyempatkan waktu untuk membeli dua cup coffee dari gerai langganannya.

"Terima kasih," ucapnya santun seraya menerima dua cup coffee. Persis seperti pesanannya.

Wajahnya terlihat kuyu. Sejak semalam tidurnya tak pulas. Membayangkan hari ini akan berjalan seperti apa, terlalu banyak skenario yang melintas di kepalanya. Satu per satu menyita perhatiannya hingga tak sadar kantuknya ikut tergerus.

Bunyi getar dari balik saku jaket yang ia kenakan, menarik atensinya. So Hyun sedikit panik. Lihatlah tangannya penuh dengan dua gelas kopi berukuran medium! Sedangkan bisa saja telepon yang berdering saat ini merupakan panggilan penting.

"Aku bawakan!"

Kepalanya menengadah ke arah kanan. Sosok penyelamat yang menyela dari belakang dan menawarkan bantuan. Mengambil salah satu gelas yang dari tangannya. Timing yang tepat.

"Seung Youn-ah." So Hyun mengenalnya. Pria yang tengah menampilkan deretan gigi putih rapi miliknya, ia bukan orang asing untuk So Hyun.


Getaran yang sama dari balik saku, kembali menarik perhatian So Hyun. Dengan gerak sigap, ia menemukan nama ibunya di layar ponsel. Desahan pendek menggambarkan betapa enggan ia menerima panggilan tersebut. Berbeda dengan Seung Youn yang terkekeh pelan di sampingnya.

"Eoh, Ibu," jawab So Hyun terdengar sungkan.

"Kenapa belakangan ini kau jarang menghubungi ibu? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa masih menjadi asisten? Yak! Sebaiknya kau lekas pulang ke Busan dan menerima perjodohan yang ibu aturkan. Sampai kapan kau terus bekerja sebagai asisten orang lain. Kim So-"

"Maaf, Bu. Aku sudah dipanggil saat ini. Aku akan meneleponmu kembali. Aku mencintaimu, Bu."

Seung Youn, pria yang menemani langkahnya, tertawa lepas. So Hyun terlalu malas menanggapi cemeehan pria Cho tersebut. Beruntung pria itu adalah Seung Youn. Tidak alasan baginya untuk menutupi hal-hal yang berhubungan dengan keluarganya.

"Apa bibi masih bersikukuh menyuruhmu pulang?" tanya Seung Youn yang terbiasa menebak arti raut muka wanita Kim yang berjalan malas.

So Hyun mengangguk. "Seperti biasa. Selalu menyuruhku mengikuti perjodohan. Bukankah ini aneh sekali?" So Hyun menghentikan langkahnya. Pun Seung Youn melakukan hal yang sama. Keduanya saling bertatapan lurus.

"Kalau ibu sangat membenci aku menjadi asisten, kenapa dulu dia selalu mengirimkan uang kuliah untukku? Harusnya dia melarangku untuk kuliah. Atau segera menikahkanku. Kenapa sekarang dia begitu penuntut? Apa karena uang yang kukirimkan padanya setiap bulan masih sangat kecil?"

So Hyun tak usai berceloteh. Terus melampiaskan semua kekesalannya di pagi hari, di depan Seung Youn yang tak lagi aneh dengan perilaku So Hyun.

"Aigo ... kenapa kau jadi menggemaskan seperti ini."

So Hyun merengut. Seung Youn sama sekali tak membantu. Persis ibunya, selalu memperlakukannya bak anak kecil.

***

Bertempat di ruang meeting yang terletak di lantai tujuh, ruangan luas itu tampak kosong kala hanya ada dirinya dan sang manager yang menunggu. Ya, sedang menunggu Sutradara Hwang, sosok penting yang menggarap layar lebar perdananya.

Song Kang tampak bosan. Atensinya tersita pada layar pipih yang dipegangnya. Sudah sepuluh menit. Rasa kantuk sedikit demi sedikit mulai menjajah.

"Permisi ...."

Seorang wanita datang menemui mereka.

"Sutradara Hwang sudah menuju ke sini. Mohon bisa menunggu sebentar lagi," lanjut wanita yang sama. Diikuti anggukan dari Song Kang dan pria muda di sampingnya.

"Kesembilan."

Manager Han, pria di sebelahnya, toleh ke arah Song Kang.

"Apa kau menghitung jumlah orang yang bertemu denganmu?" tanyanya pada sang model, Song Kang.

Song Kang mengembalikan perhatiannya pada ponsel. Memeriksa notifikasi ataupun komen di media sosial, satu-satunya cara menghibur suasana hatinya saat ini. "Tidak semuanya. Hanya jumlah perempuan yang kutemui hari ini. Dia adalah wanita kesembilan sejauh ini," terang Song Kang santai.

"Yak! Jangan bilang kau memikirkan ucapan peramal waktu itu? Kau benar-benar mengira wanita kesepuluh itu membawa keberuntungan untukmu?"

Bahu lebar Song Kang terangkat bersamaan. Tampak acuh.

"Hyung, coba pikirkan. Apa kau tidak merasa belakangan ini kontrak yang kuterima untuk beberapa bulan ke depan berkurang? Apa salah jika aku mempercayainya? Lagi pula, aku tidak menyakiti siapa pun dengan bertemu wanita kesepuluh itu, 'kan? Sebaliknya, dia yang pastinya beruntung bertemu denganku. Bukan begitu?"

Song Kang sudah berpikir pagi ini. Lantas memutuskan untuk mendengarkan ucapan peramal waktu itu. Semacam petuah, tidak ada salahnya. Masalahnya sekarang, wanita kesepuluh itu dilihat dari sudut pandang apa?

Teman wanita? Kekasih? Atau wanita kesepuluh yang ia temui hari ini?

Pria Song itu menarik kesimpulan pada pilihan ketiga, mengingat sejauh ini ia tidak memiliki mantan kekasih hingga sepuluh orang. Setidaknya ia tidak begitu murah menebar pesona dan meminta seseorang menjadi kekasihnya. Pengecualian untuk kali ini. Saat ada pilihan untuk mendapatkan keberuntungan besar, maka pilihan itu bisa dipertimbangkan untuk si wanita kesepuluh.

"Maafkan aku."

Song Kang dan Manager Han berdiri menyambut Sutradara Hwang yang baru tiba.

"Apa kalian menunggu terlalu lama? Padahal aku sudah menyuruh asistenku untuk menemani kalian saat aku sedang dalam perjalanan. Dasar anak itu selalu—"

"Maafkan aku terlambat."

Pintu terbuka. Menampilkan sosok lain yang membuat kedua netra Song Kang membola.


Berbeda dengan sosok yang baru tiba. Rasa malas tergambar di rautnya saat berjumpa dengan model ternama tersebut.

"Ah, maafkan aku. Dia ini adalah asistenku, Kim So Hyun."

Wanita kesepuluh, apakah dia? Kim So Hyun?

Haruskah yang menjadi wanita pembawa keberuntungan baginya adalah mantan kekasihnya?

**

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro