Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

OPERA | Sex

Di play ya mulmednya! Vomment!!

Buat yang merasa terganggu sama nama chapternya, bisa kalian abaikan. Bahasa Yunaninya enam itu Sex.

▪▪▪

Ada ruang dimana aku merindukan kehadiran mereka. Tapi, kehadirannya di dalam mimpi justru membuat diri seperti kembali merobek luka yang hampir sembuh. Aku menyayangimu, Ayah, Ibu. Karena kini, hanya doa yang dapat tertuang untuk mengenang kalian, yang sudah damai di surga sana.

-Tertanda, Anak bandal yang akan menegakan keadilan atas kasus kematian kalian-

-Braga Folken Bolide.

Suasana kelas cukup senyap, oleh Bu Fia, guru geografi itu menyuruh muridnya mengerjakan tugas buku paket. Berbeda dengan murid lain yang tenang, Lessa justru merasa sedikit gelisah. Ia menunggu bel pulang berbunyi, berharap waktu bisa berputar dua atau tiga kali lebih cepat dari biasanya.

Lessa meremas buku kukunya yang mendingin. Di bawah meja ia menenggelamkan kedua lengannya, mencoba menghilangkan kegugupan.

"Kenapa?" tanya Anna yang mencurigai Lessa, ada yang salah dari teman sebangkunya itu. Pasalnya, sedaritadi ia melihat Lessa tidak mau diam, seperti orang yang sedang ketakutan.

Lessa hanya menggeleng cepat.

"Lo diapain sama Braga?" Anna bertanya lagi, namun yang ia dapatkan hanyalah sebuah gelengan kepala, berulang.

"Gue gak tau Na, sampe sekarang gue deg-degan!" jujur Lessa.

Anna mengerutkan keningnya, "kenapa, sih?"

"Tadi, dia narik gue sampe rooftop,"

"Terus?" tanya Anna semakin penasaran.

"Di atas, gue kira dia bakal marah, ternyata dugaan gue salah. Dia larang gue pake lagi parfum yang gue pake sekarang." Lessa semakin bingung, apa ia harus melanjutkan ceritanya atau tidak.

"Lah? Apa hubungannya?"

"Awalnya braga gak mau ngasih tau alesannya waktu gue tanya, tapi akhirnya, dia ngomong sesuatu yang gak gue duga sebelumnya." Lessa menggigit bibir bawahnya.

"Apaan?" Anna semakin serius menyimak.

"Anak-anak, pelajaran hari ini ibu cukupkan sekian," Bu Fia beranjak keluar kelasnya.

Lessa membereskan semua buku diatas meja. Ia menyampirkan tas miliknya pada bahu kanan, "gue duluan Na!" gadis itu keluar kelas dengan buru-buru.

Anna mendengus, "kebiasaan tuh bocah, gak selesaiin ceritanya!"

***

Lessa menyusuri lorong serba putih berbau khas obat-obatan itu seraya menelaah, mencari ruang teman-teman satu teaternya dirawat. Selain membawa keranjang buah, gadis itu juga membawa satu buket bunga lily berwarna kuning cerah.

"Dugaan kamu tepat, belajar dimana?"

Lessa melihat pria berambut putih dengan jas labolatorium, dan pria itu memang baru keluar dari lab yang ada di rumah sakit ini.

Langkah Lessa terhenti seketika, tatkala beberapa meter di depannya, dari lab keluar seorang lelaki muda yang tersenyum, "bakat," jawab cowok tersebut menjawab pertanyaan sebelumnya.

Kenapa waktu mereka selalu bersinggungan?

Lessa membatin, kemudian membalikan langkahnya. Cukup tadi pagi ia berurusan dengan Braga Folken, sore ini tidak boleh.

Braga mencium kehadiran ibunya disini, sedaritadi pria berambut putih mencercanya dengan berbagai pertanyaan, namun fokus Braga pecah. Ia harap percakapannya masih nyambung.

Ia kemudian menatap lurus kedepan, seorang gadis yang ia yakini Lessa itu berjalan dengan cepat. Namun, Braga menyusulnya lebih cepat setelah ia pamit pada pria berambut putih.

Penutup kepala yang terdapat pada jaket berwarna biru yang dikenakan gadis itu ia tarik. Hingga pemiliknya berhenti melangkah.

"Aneh," ucap Braga meneliti makhluk didepannya, kali ini Lessa merasa seperti seorang alien yang baru saja mendarat di bumi dan menjadi tontonan aneh orang di depannya sekarang.

Lessa mendengus sebal, "kenapa harus kamu lagi sih?"

Braga berjalan disampingnya, "Gue gak peduli siapapun orang yang gue temui, dimanapun itu, lantas kenapa ini jadi masalah?"

Lessa diam sesaat, kenapa ini jadi masalah? Ya, kenapa? Bahkan Lessa sendiripun tidak tahu kenapa, hanya saja ia tidak menyukai detak jantung yang selalu saja tak seirama jika di dekat Braga.

"That's not a problem, semacam ada rasa kurang nyaman," jawab Lessa membuat Braga yang disampingnya menatap gadis itu sebentar.

Menyadari tatapan aneh itu, Lessa berdehem kecil, "maksudnya, aku gak terbiasa dengan orang baru," jelas Lessa.

Braga mengangguk sedikit, mereka sekarang sudah berada di pintu keluar rumah sakit. "Jadi, apa tujuan lo dateng kesini? Bawa bunga sama buah terus jalan-jalan aja?"

Ya tuhan! Lessa bahkan lupa untuk apa kehadirannya disini, ia gelagapan, "aku mau jengukin anak teater yang masih dirawat," jawab Lessa jujur.

Braga memasukan kedua lengan pada saku jaketnya, ia yang kala itu memakai penutup kepala mendongak ke atas langit, "well, sampai ketemu nanti!" ucap Braga lantas melangkahkan kakinya menuju parkiran, tanpa menoleh lagi.

Lessa memandangi tubuh tegap yang berlalu, ia mengembungkan pipi dan berusaha menetralkan detak jantungnya, setelah semua kembali normal, ia menjelajahi kridor rumah sakit, mencari ruangan yang seharusnya setengah jam yang lalu ia datangi."

Lantas, kenapa Braga ada disini?

Decitan mobil yang memaksa berhenti kini terdengar nyaring. Setelahnya, terdengar bunyi berdebam yang amat keras, membuat jeritan orang-orang yang berada didalam mobil semakin menjadi.

Tangisan seorang bocah laki-laki tidak dapat terbendung, kini senyap menyergapi. Setelah bunyi keras juga teriakan yang terjadi sangat cepat, suasana sekarang terlalu senyap untuk menggambarkan kehadiran empat orang yang ada.

Braga menangis, ia lantas memeluk Tante Marlin yang kini terpejam kaku disampingnya. Ia juga melihat kedepan, ke arah bangku kemudi, namun juga senyap yang menyambutnya.

Ibunya bergerak sedikit, lantas dari luar, ada seseorang yang memecahkan kaca, sontak Braga kembali duduk di bangkunya dan mencoba membungkam mulut. Tepat dihadapannya, sebuah pistol terarah.

Dorr!

Braga semakin erat memegangi mulutnya, ia tenggelam di kursi, setelah itu, dua tembakan kembali terdengar, menembak Ibu, Ayah, juga tante Marlin.

Parfum berbau menyengat milik seorang berpistol itu terciumnya, sejenis wewangian dari minyak kacang almond yang dicampur minyak vitamin e kini mulai memudar, seiring dengan perginya orang tersebut.

Braga ketakutan sekarang. Jalanan disini sepi, ia bersama dengan tiga orang yang ia sayangi namun mereka semua terbujur kaku. Ia menangis semalaman, sampai fajar mulai menyinsing dan ia melihat kaca mobilnya diketuk-ketuk oleh beberapa orang.

Anak laki-laki itu menangis lagi, orang-orang terlalu banyak yang berkerumun. Salah satu dari mereka mengambil batu besar yang kemudian ditimpahkan ke atas kaca depan, membuat suara keras khas kaca yang remuk, pecah.

Sebuah tangan mencoba menggapainya, Braga tidak mau menyambut tangan tersebut. Ia ketakutan.

Sampai ia melihat laki-laki berseragam itu, baunya familiar seperti ayah, ibu, maupun tante Marlin. Jadi, ia memutuskan menyambut tangan hangat besar yang kini menggapainya.

"Ayah, ibu!" ucapnya parau memanggil kedua orangtuanya yang kini dibawa oleh orang berseragam polisi.

"Ayah! Ibu!" Braga kembali bergumam.

"Ayah disini!"

Sontak, Braga membuka matanya yang terpejam. Keringat dingin mengucur di dahinya, napasnya menderu seolah ia telah berlari kencang berkilo-kilo meter.

Ia melihat sekeliling ruang tamunya, ternyata ia ketiduran diatas sebuah sofa berwarna abu, lalu tirai berwarna maroon itu tersingkap. "Mimpi buruk lagi?" tanya seorang pria yang muncul dari balik tirai.

Braga melempar bantal pada pria itu sekarang yang disambut kekehan oleh pria yang dengan sigap menangkap bantal tersebut.

"Sir," Braga memposisikan dirinya duduk, ia mengambil kaus putih polos dan mengenakannya sekarang, karena sebelumnya ia tidur dengan bertelanjang dada.

"Maaf saya lancang, tapi saya ada tujuan datang kesini, saya khawatir kamu tidak memiliki kamar," sarkasnya.

Braga menghela napas, "ada apa?"

"Saya mau menitipkan senjata, karena hanya kamu yang bisa saya percayai."

Braga menatap Pak Dahlan lamat-lamat, lantas membiarkan pria paruh baya itu menyimpan kotak kayu didalam lemari dibawah televisinya.

"Sudah! Saya pulang, akan saya ambil minggu depan!" ia melirik arloji.

Braga mengantar Pak Dahlan sampai pintu, pria itu kembali pada mobil coklat klasiknya.

"Oh iya! Jangan lupa minggu ini! Datang ke acara peresmian toko parfum baru anak saya!" ucapnya dengan senyum yang tidak menghilang.

Braga hanya mengangguk ala kadarnya. Ia menutup pintu rumah, menatap langit-langit putih yang bercahaya. Mungkin malam ini, ia merindukan kedua orang tuanya. Tapi percayalah, memimpikan mereka sama saja dengan kembali merobek luka yang hampir sembuh.

TBC!!

Buat kalian yang gak tau Private Investigator itu apa, itutuh kaya job buat orang-orang yang nanganin kasus. Biasanya perusahaan swasta yang bikin atau nampung orang-orang yang bekerja dibidang itu.

Atau lebih dikenal sebagai DETECTIVE

Uwuww uwuww!!

VOMMENT

Bellaanjni
Author jahat yang lagi senam, cape astoge,-

Bandung, 20/11/18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro