Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

OPERA 🎭 Septemdecim

Jika dekat saja bisa membuat harap lebih yang sulit untuk dicapai. Apa dengan menjadikanmu pilihan itu adalah sebuah kesalahan?


Daun satu-persatu jatuh, hembusan angin cukup kencang dengan suhu tidak panas. Seusai membeli lateks dan masker, Braga menuju parkiran dan sudah melihat Lessa disana yang mungkin saja menunggunya.

"Jadi, ada apa?" Lessa bertanya, sedikit aneh saja. Setelah ini dirinya akan diantar pulang oleh Braga.

"Gue punya satu," ucap Braga selalu terdengar taksa.

"Apanya yang kamu punya satu?"

Braga mendengus geli, "ikut dulu aja," ucapnya menyalakan mesin motor. Akhirnya Lessa menurut juga. Ia menaiki motor Braga dan melesat jauh keluar sekolah. Jalan yang dilalui tidak cukup asing. Ia sering lewat jalan tersebut ketika pulang.

Hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah bercat putih. Braga membuka pagar, kemudian masuk. Lessa awalnya enggan namun Braga meyakinkan bahwa tidak ada apa-apa di dalam sana.

Sampai di dalam, Braga membuka lebar gorden berwarna maroon, membiarkan cahaya sepenuhnya menyelusup masuk. "Rumah kamu?" tanya Lessa penasaran, tidak terlalu jauh dari rumah Lessa.

Braga tidak menjawab, ia kemudian menarik tas yang masih tersampir di punggung Lessa. Melihat gantungannya. "Ini," Braga menunjuk gantungan tersebut. "Aku punya satu," lanjutnya.

Lessa melepas kacamata yang ia kenakan. "Kok bisa?"

Braga membuka sebuah kotak kayu, memerlihatkan isinya pada Lessa. "Sekarang hilang," ucapnya datar.

Lessa sedikit bergidik, "sumpah aku gak nyuri, kok." Lessa membentuk angka dua di jarinya dan justru Braga mendengus geli. "Gue tau, gue juga lupa kapan ngecek itu, gue kira punya gue masih ada."

"Aku dapet dari kiriman paket," ucap Lessa memerhatikan gantungan yang kini disematkan di tasnya.

Braga sedikit tercekat, "kiriman paket itu? Teror itu?" tanyanya memastikan yang dijawab Lessa dengan anggukan.

Lessa berpikir sejenak, "jangan-jangan yang kirim paket itu.. Braga ya?" Gadis itu memicingkan mata.

"Ha?" Braga mendekat, duduk di samping Lessa.

"Soalnya aku gak ngerasa terancam sama paket itu. Kadang aku mikir kalau paket itu cuma ngungkapin sebuah kebenaran." Lessa berujar yang sangat disimak Braga.

Cowok itu hampir merangkul Lessa, namun Lessa sedikit bergerak maju, jadi yang ada ia menempatkan tangannya pada punggung sofa.
"Gue gak sepengecut itu kalau cuma buat ngungkap kebenaran," ucap Braga dengan penekanan, membuat Lessa terkesiap.

"Kalau gitu, aku takut. Berarti ini ada hubungannya sama kamu. Berarti orang ini pernah masuk ke rumah kamu, berarti bisa aja sekarang dia ada disini," ucap Lessa tampak biasa saja.

Braga menatapnya lekat, "lo laper?" tanya Braga yang lagi dihadiahi anggukan. "Sama, gue juga 'laper'." Tentu saja laper yang dimaksud Braga dan Lessa itu berbeda.

Dan disinilah mereka sekarang, di dapur. Memasak mie rebus. "Lo tau?" Braga melirik Lessa yang mengambil dua piring. "Apa?" tanya Lessa menoleh sedikit.

"Hipotesis lo bener semua." Braga kini mendekat, "ada orang yang pernah masuk rumah gue dan tau persis letak gantungannya. Itu bukan punya gue, punya Ibu gue dulu." Jelas Braga membuat ruang gerak Lessa semakin sempit karena posisi Braga yang semakin dekat.

Braga melingkarkan tangannya pada pinggang Lessa. Membuat Lessa menahan napasnya seketika. Saat itu juga, Braga menaikan Lessa pada meja, hingga gadis itu duduk dan sejajar dengannya.

"Sekarang ibu kamu kemana?" tanya Lessa bingung. Braga masih enggan menjauhkan dirinya.

Braga diam sesaat, menatap lekat manik mata coklat gelap dihadapannya. "Mati," ucapnya sangat pelan seolah menstabilkan emosi.

Oke, Lessa tidak tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Turun dari meja yang ia dudukipun sepertinya tidak bisa karena kedua tangan Braga berada di sampingnya dan yang paling menyebalkan adalah Braga masih saja menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Lessa menunduk, kemudian dagunya diangkat, diteliti. Gadis itu mengusap pipi Braga, banyak luka yang tersirat dari tatapan cowok itu. Lessa menyatukan dahinya dengan dahi Braga, merangkul leher Braga. "Kamu bisa cerita kalau kamu siap," ucap Lessa berupa bisikan.

Sadar dengan posisinya sekarang, Lessa melepaskan tangan yang ia lilitkan pada leher Braga. "Mienya udah mateng, Ga!" ucap Lessa membuat Braga mundur beberapa langkah dan membiarkannya turun.

Satu hal yang terbersit di pikiran Lessa sekarang adalah. Kenapa Braga tidak menciumnya? Padahal, Lessa tidak keberatan jika itu terjadi.

Dan yang sekarang Lessa sesali adalah, kenapa pula pikiran itu terlintas di benaknya?

Braga memerhatikan gerak-gerik Lessa yang menurutnya lucu. Setiap ekspresi gadis itu lucu, semuanya lucu. Lessa berbeda, dia tidak seperti perempuan lain. Ia tidak ingin mencium Lessa setidaknya untuk sekarang, karena apa? Ia tidak akan puas hanya dengan sebuah ciuman.

Jelas bukan?

Setelah makan Braga memutuskan untuk mandi. Tidak baik memang, harusnya mandi dulu baru makan tapi kali ini tak apa. Lessa menunggu sambil menonton film Coraline dan terlelap ketika adegan Coraline dihadiahi sepasang kancing untuk mengganti matanya.

Braga yang kala itu mengenakan kaus berwarna abu diam di samping Lessa. Sampai kemudian Lessa bangun karena mencium aroma maskulin yang menggelitik cuping hidungnya.

"Udah?" tanya Lessa memerhatikan.

"Kalo belom, gue masih di kamar mandi, Sa." Braga mematikan televisi. Melihat pada Lessa yang lagi-lagi menunduk, Lessa malu? Biasanya orang banyak menunduk karena ia malu atau sedih.

"Braga, aku mau pulang." Lessa baru melihatnya, "pulang aja," jawab Braga ringan. Lessa mengerucutkan bibir kemudian mengambil tas. Dan yang sekarang Braga nilai adalah, Lessa jelek kalau mengenakan seragam. Braga terkekeh, menahan lengan itu untuk pergi lebih jauh lagi. Sebenarnya Lessa tidak ingin pulang, tapi berada bersama Braga itu sama saja seperti menumbuhkan harapan-harapan yang sulit untuk dicapai.

Lessa melihat Lengannya yang disentuh tangan hangat Braga. Ia menoleh, "jangan sekarang," ucap Braga kembali menuntun Lessa untuk duduk.

"Sa," Panggil Braga sengaja menggantung kalimatnya, Lessa menoleh. "Iya?"

"Gue gak suka ini," Braga mengusap rambut Lessa. "Juga ini," kini ia mengusap bibir Lessa. "Ini, ini, ini dan ini." Intinya, Braga tidak suka semua yang berada pada Lessa.

"Gue gak suka itu semua, karena itu bukan milik gue, Sa." Braga kembali menatap lekat manik mata Lessa dan Lessa rasa, disini terlalu gerah.

"Gue mau lo jadi milik gue," ujar Braga terdengar tulus dan sepertinya Lessa sudah seperti kepiting rebus sekarang.

Baru saja Lessa akan membuka mulutnya untuk berucap, Braga meletakan telunjuknya depan bibir gadis itu. "Gak usah sekarang, pikirin baik-baik, gue gak mau lo bareng gue dan itu ngebuat lo nyesel kalau dengan milih gue, itu adalah sebuah kesalahan."

Lessa kembali bungkam, dan tepat saat itu, sebuah sirine polisi terdengar. Makin lama semakin jelas dan berhenti tepat di depan rumah Braga.

Langkah beberapa orang terdengar dengan sekali gebrakan, pintu yang jelas tidak dikunci itu terbuka.

Lessa melihat keberadaan Latifa disana, dengan wajah yang sangat murka.

"Ibu?" tanya Lessa terkejut. Dua orang polisi dibelakangnya mendekat ke arah Braga. "Saudara Braga, anda kami tahan," ucap salah satu polisi yang langsung menarik tangan Braga ke belakang. Sementara Lessa ditarik oleh Latifa.

"Bukannya saya sudah bilang untuk tidak mendekati dia?!" Bentak Latifa. "Dia itu jahat! Ayah kamu koma sekarang di rumah sakit!" ucapnya masih berteriak.

Lessa menatap Braga yang juga tampak terkejut. Braga menggeleng sedikit kemudian menatap Latifa yang terlihat sangat membencinya. Saat melewati Latifa, Braga mencium aroma yang tidak asing, sampai memasuki mobil polisipun, Braga masih menatap Latifa dengan tatapan menyelidik, lebih tepatnya benci.

Jadi, perempuan itu ibunya Lessa?

🎭
TBC..

Akhirnya..

Informasi lebih lanjut, follow instagram penulis: bellaanjni

Bellaanjni
Author jahat yang harus jadi venom biar kuat.

Bandung, 20 Januari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro