Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

OPERA 🎭 Quindecim

Aku suka hujan, tapi lebih suka teduh.
Aku suka senja, tapi lebih suka aurora.
Aku suka kamu, tanpa tapi.

🎭

Sengat cahaya matahari terasa membakar kulit semua murid yang kini berada di lapangan. Anna mengamuk-ngamuk karena Pak Tiger, guru olahraga kelas 11 itu tidak memberikan jeda ketika mereka berolahraga. Seperti sekarang, mereka masih saja diharuskan memainkan bola voli, Anna tidak mahir tentu saja, apalagi Lessa.

Semenjak kejadian itu, hampir tiga hari yang lalu. Lessa sama sekali tidak bertegur sapa denga Braga. Murid-murid disinipun menatap dirinya dan Anna seperti kuman, termasuk teman satu kelasnya. Anna sama sekali tidak memerdulikan itu karena prinsipnya adalah 'mereka yang membutuhkan Anna' hingga akhirnya, dengan ogah-ogahan Lessa mengikuti prinsip Anna, meskipun sebelumnya ia sedikit tertekan.

Ada dua paket yang sampai kerumah, namun ia sama sekali tidak berniat membukanya. Ada yang kurang ketika ia akan membuka paket tersebut.

Awassss!

Bug!

Sebuah bola voli mendarat tepat di kepala Lessa, membuat lamunan sekaligus pertahanannya buyar.

"Ahh headshot!" Pekik Anna melihat kejadian tersebut.

Lessa terjerembab diatas lapang sekarang. Rasa pusing menyergap seketika, silaunya terhalangi oleh siluet-siluet orang yang kini berkerumun. Tubuh tinggi itu berhasil ia tangkap sebelum gelap sepenuhnya datang, kemudian Lessa merasa dirinya terbang dalam gelap. Lessa pingsan.

Setelah cukup lama, cahaya remang itu membuat mata Lessa berdenyut silau, lama-lama menjelas. Terlihat dari ruangan yang serba putih, bisa ia pastikan kini dirinya berada di UKS. Cowok disampingnya masih duduk, meneliti Lessa seperti baru pertama kali melihat makhluk hijau yang keluar dari kubangan lumpur, menatapnya aneh.

"Kamu ngapain disini?" tanya Lessa yang kemudian terduduk.

Braga hanya menatapnya, tatapan biasa yang bisa membuat kepala Lessa seakan bolong. "Kenapa?" tanya Braga geli.

Lessa mendengus kecil, kemudian mencoba turun dari bankar dan dunianya seakan berputar. Ia masih pusing. "Kemana?" tanya Braga berniat memegangi gadis itu.

"Bukan urusan kamu." Lessa kembali berjalan, hampir terhuyung diambang pintu.

Braga mengekor dari belakang. Dan benar saja, dibelokan koridor Lessa jatuh terduduk, tentu saja dengan posisi tidak elit. Cowok itu langsung membantu Lessa berdiri, Lessa tidak menolak, ia menjabat tangan Braga.

"Kamu ngapain ngikutin? Aku gak suka kamu Ga!" ujar Lessa dengan nada cukup keras.

"Okay." Braga melepaskan tangan yang coba dibantunya, kemudian mengangkat kedua tangan seolah ia sedang tertangkap polisi.

Lessa berjalan gontai, seperti orang mabuk dan tolol. Kenapa mulutnya berkata demikian? Lagi-lagi ia tidak mengerti. Kenapa bisa rasa yang ingin dekat ini justru memaksanya untuk menjauh?

Ia sampai di kelas dan ternyata kelasnya hampir kosong. Hanya ada Anna disana, sedang tidur dengan kepala yang ia topang di atas meja. Ia baru ingat, pelajaran olahraga itu jam terakhir, pasti yang lain sudah pulang.

Dari dekat, Lessa sedikit terkejut, satu tetes air mata jatuh dari sudut mata Anna, gadis itu menangis dalam tidurnya.

"Anna.." panggil Lessa menggoyang bahu Anna. Setengah tersentak ia mengadah, menatap Lessa bingung, sedetik kemudian barulah kesadarannya kembali.

Anna menyandarkan punggung pada kursi lantas menepuk bahunya pelan.

"Lo nangis?" tanya Lessa pelan.

Anna memegang pipinya yang terasa basah, juga pelupuknya. "Gak tau, sering gue kaya gini," jawab Anna jujur.

Lessa hanya mengangguk pelan, siapa diantara mereka yang memiliki hidup lebih kacau? Tak satupun dari mereka mau tahu dan peduli, mereka hanya berharap kebahagiaan yang akan menyambut mereka kedepannya.

"Lo gak pulang?" tanya Lessa membereskan tasnya.

Anna menggeleng, "Gue langsung ke Massion Parry aja ya? Boleh gue nginep disana Sa?"

Lessa mengeluarkan kunci lantas mengangguk pelan, "ini." Gadis itu memberikan kunci toko pada Anna, "jangan lupa kasih tau Tante Nora, jangan buat dia khawatir." Lessa tersenyum di akhir kalimatnya.

Anna mengangguk seadanya lantas mengusap wajah, bertanya-tanya ia mimpi apa sampai dalam tidurpun ia menangis.

"Gue ke teater, mau bareng kedepannya?" Lessa menyampirkan tas pada bahu.

Gadis yang ia ajak bicara menggeleng, "lo duluan aja!"

Akhirnya Lessa berjalan sendirian, menunggu bis yang biasa mengantarnya menuju teater.

Di sisi lain, sepasang mata memerhatikannya. Menunggu Lessa menaiki tumpangan yang benar. Saat sedang asik memerhatikan, ponselnya bergetar. Braga melihat sebuah pesan masuk.

Sir: Sudah pulang? Bisa antarkan titipan saya yang waktu itu ke rumah?

Dengan cepat Braga mengetik pesan balasan, 'iya'.
Setelah melihat Lessa yang sudah memasuki bis, Braga menyalakan mesin motornya lantas melaju membelah jalanan kota yang cukup padat.

Air dingin mengguyur tubuhnya yang cukup panas. Braga menikmati setiap tetes air yang turun dari shower atas kepalanya. Setelah selesai membersihkan diri ia mengenakan pakaian dan duduk di atas sofa sekedar mengeringkan rambut. Entah angin dari mana yang membawa kantuk, namun sepertinya itu menerjang cepat karena kini, Braga tertidur kelelahan.

Matanya terbuka pada pemandangan berjalan yang ia lihat sekilas. Ia tersenyum, sebelum senyumnya lagi-lagi berubah menjadi pecahan tangis. Akibat suara berdebam hebat beberapa detik lalu. Tubuhnya bergetar hebat apalagi ketika suara tembakan berhasil membuat kepala ayahnya pecah. Ia merapatkan tangan pada lutut memeluk dirinya agar getaran itu semakin berkurang.

Braga tersentak ketika membuka matanya. Lagi-lagi cuplikan mimpi sialan itu. Ia meraba ponsel di atas sofa yang sama, ternyata ponselnya bergetar sedaritadi, menampakan sebuah nama yang tidak asing. Setelah mengatur napasnya yang tidak karuan, ia baru merapatkan benda tipis itu ke telinganya.

"Saya segera kesana Sir," ucap Braga mengusap wajah, kepalanya sedikit berdengung.

Akhir-akhir ini ia memang seperti itu, lebih sering menangkap mimpi buruk. Kembali mengingat orang tuanya dan kembali merasa sendiri. Lukanya tidak pernah sembuh.

Sebuah kayu kotak ia keluarkan dari dalam lemari televisi. Braga membukanya, menyentuh benda dingin berwarna silver tersebut. Tidak lama, ia kembali memasukannya dan bersiap mengantarkan benda itu pada pemiliknya yang sedaritadi sudah menunggu.

🎭

Lessa tidak lama berada di teater, ia hanya tidak ingin pulang langsung entah kenapa. Dan kini, ia melihat alasan kenapa ia tidak pulang langsung. Latifa pulang.

Gadis itu mengetuk pintu, suara perempuan melengking mendominasi. Bisa dipastikan, ayahnya sedang bertengkar hebat dengan Latifa. Hingga akhirnya, Lessa enggan masuk.

Lessa duduk di atas kursi rotan yang berada di teras rumahnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara deruan motor yang tidak asing di telinga gadis itu. Benar saja, tepat saat Braga menghentikan motornya di depan gerbang, Dahlan keluar dan sedikit terkejut melihat Lessa yang tengah duduk.

"Sudah pulang?" tanya Dahlan yang jelas-jelas melihat keberadaan Lessa.

Lessa itu tersenyum mengangguk, menyalami tangan ayahnya. "Ayah mau kemana?" tanya Lessa melihat pakaian formal Dahlan.

Pria itu melirik Braga sekilas,"Ayah ada urusan, baik-baik di rumah." Dahlan mengusap puncak kepala Lessa.

Lessa melihat Braga yang memberikan sebuah kotak pada Ayah, kemudian Braga pergi lagi seperti buru-buru. Ketika Lessa masuk, Latifa sedang duduk di sofa, wajahnya memerah tampak sudah menangis.

"Ibu pulang?" tanya Lessa memberikan senyum terbaiknya.

"Kita harus pindah dari sini," ucap Latifa tiba-tiba membuat dahi Lessa berkerut, rumah ini masih baru dibelinya.

"Rumah ini ada terornya, menyebabkan kesalahpahaman," ujar Latifa namun Lessa tidak menemukan sebuah kebenaran, rumah ini memang dapat teror, tapi tidak menyebabkan kesalahpahaman, melainkan menampakan kebenaran. Lessa jadi bingung sendiri, apa yang menerornya orang jahat betulan atau orang baik.

🎭
TBC..

Aku hopeless buat terusin cerita ini. Karena karakter Lessa tuh ngebuat capek, cz itu bukan aku banget. Aku justru lebih suka Anna yang blak-blakan dan sedikit tolol.

Jadi, baiknya aku terusin atau jangan? Kalau terusin, kasih alesan dong, hehe.

Apa yang kurang dari cerita ini?

Aku susah bikin candaan kalo karakter Lessanya kaya gitu:(

Tapi, kayaknya aku bakal unpublish deh:)
Kalo ini yang terkhir, gapapa oke?

Bellaanjni
Penulis jahat yang kecapean.

Bandung, 1 Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro