OPERA | Quenque
Aku ingin berhenti. Namun yang ada, langkahku memaksa untuk mengikuti.
♣
Bagaimana rasanya bertemu dengan orang asing? Canggung bukan? Bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang harusnya saling menyayangi, tapi nyatanya menjadi asing? Selain lebih canggung, pastinya ada rasa sakit yang sulit dihindari, bukan?
Lessa mencoba keluar dari rasa canggungnya. Latifa yang menjadi ibu angkat setelah ibunya meninggal sampai sekarang masih membatu, keras kepala, bisu. Namun malam ini, entah kenapa perempuan itu kini menghampiri kamarnya, seperti akan mengutarakan sesuatu.
"Kalau ibu belum siap membicarakan hal yang mau disampaikan, ibu gak usah buru-buru. Lessa bisa nunggu sampai ibu siap." Lessa melirik jam dinding di kamar berwarna violet mudanya, sudah pukul sepuluh malam.
"Jangan panggil saya ibu, saya bukan ibu kamu!" tegurnya. Latifa menghela napas, "saya gak suka teman cowok kamu, bisa kamu jauhi dia?" tanya Latifa, ternyata itu poinnya.
Lessa mengerutkan kening, "Braga?" tanyanya ragu, karena Latifa pasti baru melihat Braga yang menjadi teman cowoknya.
Tanpa menjawab, Latifa keluar kamar, menutup pintu dengan tergesa.
Memangnya ada apa dengan Braga? Sampai belum mengenalpun, Latifa tidak menyukainya. Lagipula, apa peduli ibu angkatnya itu yang selalu menganggap Lessa tidak ada?
Ada-ada aja!
Gadis itu kini telungkup di atas kasurnya, lagipula, siapa yang dekat dengan Braga? Dirinya hanya kebetulan berada di tempat yang sama dengan waktu yang sama, apa itu salah?
Lessa mengubah posisinya menjadi berbaring. Ia memejamkan mata, lantas membiarkan kantuk menyergap dan malam melahap dirinya.
♦
Braga memukul bola hijau sebesar kepalan tangan itu dengan tongkat yang ia pegang. Pukulannya terlampau keras, ia berlari dengan cepat saat bola itu melambung. Bisa kalian menebak apa yang cowok itu mainkan sekarang.
Softball.
Ia sampai di base dua saat bola berhasil ditangkap. Braga membenarkan topi putih yang kini menghiasi kepalanya. Cahaya matahari yang menyengat membuat para siswa 12 IPA 1 kewalahan. Peluh menetes dari pori-pori kulit mereka, berapa bahkan sudah mengenakan kaus olahraga yang basah oleh keringatnya sendiri.
Suara menggema dari Pak Danar terdengar, menimbulkan protes dari para pemain karena jam olahraga mereka telah selesai.
Brisia yang mengenakan pakaian olahraga juga topi yang sama kini melangkah mendekat, menghampiri Braga juga Nael yang belum beranjak dari tengah lapangan.
Nael memandang Brisia lurus, cowok yang merupakan atlet baseball itu tersenyum saat kontak matanya bertemu.
"Manis!" desis Nael saat Brisia justru menghampiri Braga.
"Boleh gue pulangnya bareng lo, Ga?" tanya Brisia ikut duduk di samping Braga.
Brisia tau jawaban apa yang akan di dapatnya, namun gadis itu selalu saja bersikukuh membuat Braga mengantarnya pulang.
Braga tampak berpikir, "gue ada-"
"Acara?" potong Brisia merasa basi.
"Lo tau," jawab Braga artinya dia menolak.
Brisia bangkit, tanpa menoleh ke belakang lagi. Sampai kapan cowok itu akan beku pada setiap perempuan?
Nael terkekeh hambar, "sejenis Brisia aja lo tolak, tipe lo kek apasih, Ga?"
Braga hanya menatap temannya itu, "sejenis lo!" ucapnya bercanda diiringi pijakan kaki yang terdengar, Braga menjauh dari lapang sementara Nael bergidik ngeri.
Mereka sampai di kantin bersamaan, Braga yang sedang mengantri untuk membeli minuman kini merasa terganggu. Siswi yang mengantri di belakangnya bergerak ricuh, beberapa kali mendorong tubuh tegapnya untuk tetap menjaga jarak dari gadis yang mengantri di depannya.
Brukk!
"Awhh!" gadis di depannya itu meringis, mungkin karena belakang kepalanya mengenai dada Braga.
"Sorry," cowok itu berucap sopan.
"Modus!" desis gadis di depannya yang memutar bola mata.
"Apa?" tanya Braga berharap ia salah dengar.
"Udah sering modus, budek lagi!"
Braga mengerutkan kening, Nael yang sudah duduk di salah satu meja kantin kini tertawa meledek, keadaan kantin cukup ramai namun kondusif.
"Lessa! Ngapain ngantri disini! Ayo, kopi gak baik buat kesehatan lo!" Anna mencoba menarik lengan sahabatnya itu.
"Ihh, gue lagi pengen, jangan jadi protektif gitu deh Na," protes Lessa,
"Mau kopi apa?" tanya seorang mbak-mbak kantin yang cukup muda.
"Hitam mbak!" jawab Lessa antusias.
Anna mendesah frustrasi. Temannya itu memang kurang liburan sepertinya. Nael yang melihat kejadian tersebut ingin terkekeh, namun ia tahan.
Mbak-mbak itu memberikan kopi pada Lessa, yang disambut Lessa lebih antusias dari sebelumnya. Ia seperti anak kecil yang menemukan seekor kelinci, matanya berbinar.
Brukk!
Satu dorongan lagi dari belakang berhasil membuat Braga menabrak gadis yang antusias di depannya. Kelinci yang ditemukan anak kecil itu telah meninggal.
"Kamu!" geram Lessa menatap Braga tajam.
"Bukan gue! Yang belakang yang ricuh!" Braga melihat tumpahan kopi hitam yang kini terukir cantik di seragam olahraganya.
Bug!
Satu tonjokan berhasil Lessa daratkan pada dada cowok itu, "Nyebelin!" Lessa menginjak kaki Braga, cowok itu meringis, kenapa, sih?
"Anna seragam gue kotor!"
Anna memutar bola matanya, "gue bilangin juga, gak usah beli kopi. Item lagi, kayak bapak-bapak tau gak!" Gadis itu menarik Lessa untuk duduk di salah satu meja kantin, hampir pojok.
"Lo kok kaya yang udah kenal Braga deket gitu sih, Les?" Anna menyuapkan satu sendok besar mie ayam favoritnya.
"Gue gak tau, kok gue tadi jutek gitu sih Na?" resah Lessa.
"Makannya tuh penyakit sembuhin!" sindir Anna, membuat Lessa yang di depannya mengaduk mie ayam tidak berselera.
Di sisi lain, kekehan Nael tidak bisa ditahan. "Baju lo, Ga! Tumben gak ngamuk!"
"Lagi gak mau marah-marah, gue."
Brukk!
"Woii!" Braga bangkit dari duduknya tat kala seorang cowok berkacamata terpeleset, menumpahkan jus dan sebuah roti berselai stroberi ke punggung tegap cowok itu.
"Mata lo masih kurang banyak, ha?" ucap Braga emosi.
Nael diam seketika, ingin mengumpat. "Gak mau marah-marah, katanya," cibir Nael pelan.
"Maaf, Kak!" cowok itu bangkit dari posisinya yang terjatuh.
Seisi kantin senyap seketika. Termasuk Lessa yang juga ikut menyimak. Anna meminum air mineral sampai tandas setengah, "jhaa berantem lagi," Gadis itu menepuk bahunya, kemudian menggeser kursi agar dapat melihat dengan jelas.
"Itu kan Arka," Lessa memicingkan matanya, memperjelas penglihatan.
"Yup! Abis babak-belur tuh cowok!" Anna mengeluarkan ponsel.
Lessa bangkit dari kursi yang ia duduki.
"Eh Less, lo mau kemana?" teriak Anna yang sama sekali tidak di gubris.
Gadis itu menghampiri Arka yang sudah berkeringat dingin, "Ayo Ka, bentar lagi pelajaran Bu Fia, kalau telat nanti dihukum." Lessa menarik tangan Arka menjauh.
"Lo pikir lo siapa? Apa urusan lo udah selesai sama gue?" Braga menghentikan langkah Arka yang setengah di seret.
Lessa berbalik, "Kak Braga, dia kan udah minta maaf."
Braga mengangkat dagunya, emosinya meluap. Ia melihat gadis itu dari atas sampai bawah, menelitinya.
Aroma gadis itu menenangkan. Wanginya sama seperti ibunya dulu. Braga tersenyum meremehkan, lebih tepatnya ia mendengus geli, "gak usah jadi pahlawan!" tekan Braga.
Jujur, Lessa gemetar kini. Langkah cowok itu mendekat. Braga melepaskan tangan Lessa yang bertaut dengan Arka, lantas, menarik gadis itu menjauh.
Lessa ingin berhenti, namun rasa yang mendesak muncul justru memaksa langkahnya tetap mengikuti langkah besar Braga.
♥
TBC
Jadi spoilernya, ntar bakal ada kasus gitulah. Ya gitudeh, tungguin ajasih.
Aaa ♥ u all!
Bellayourbae XOXO
(bandung, 20/11/18)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro