Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

OPERA 🎭 Quattuordecim

Aku menunggu gelap ketika kamu justru menantikan cahaya. Aku berada pada senja dan kamu terletak pada fajar. Seolah semesta membenarkan, bahwa; Detik kita tidak pernah bersinggungan.

🎭

Brisia masih menangis. Dikelasnya, ia bahkan lupa pada ponsel yang ia bantingkan di kantin.

"Lo gak seharusnya lakuin itu." Braga berdiri di ambang pintu, menahan sebelah tangannya pada tiang penyangga.

Brisia melirik ke arahnya, "lo gak tau seberapa kacaunya gue!" bentak gadis itu.

Braga mendekat, duduk di meja depan Brisia. Meneliti gadis itu dari atas sampai bawah lantas mengangkat dagunya. Cowok itu mendekatkan wajahnya, dan Brisia tampak menegang ketika Braga mendaratkan satu ciuman, tepat di bibir gadis itu. Hanya sebentar, dan gadis itu tampak memanas, wajahnya merah padam.

"Mungkin kali ini lo bilang hidup lo kacau. Tapi, ada kehidupan kacau yang lo bikin lebih kacau." Braga berucap pelan namun jelas karena kondisi kelas yang kosong, setelahnya ia beranjak meninggalkan kelas.

Tepat saat sampai di pintu, ia melihat Anna. Satu paket dengan Lessa namun kedua tatapannya berbeda. "Bukan Brisia yang bikin hidup kacau gue semakin kacau Ga!" Lessa berucap sangat pelan, bahkan hampir tidak terdengar jika saja Braga tidak melihat gerak bibir itu. Mungkin, menutupi suaranya yang bergetar. Dan baru kali ini, Lessa memanggil dirinya 'gue' di hadapan Braga.

Lessa berbalik, berjalan dengan cepat seraya menunduk tanpa ingin dikejar. Bodoh! Memangnya siapa yang akan mengejar Lessa? Sekarang, ia hanya berharap agar tidak menabrak murid lain seperti orang tolol.

Anna kini melipat tangannya di bawah dada. Menatap Braga dengan tatapan galak lantas mencuri pandang pada Brisia yang kini menelungkupkan kepalanya diatas meja. Tanpa berucap, Anna hanya menghela napasnya kemudian masuk kedalam kelas tersebut.

"Lo berlebihan!" Anna berdesis pelan. Brisia lantas menatap Anna dengan tatapan yang menyengat. "Anak jalang!"

Anna sudah terbiasa. Ia sama sekali tidak sakit hati, meskipun ia mengakui bahwa Brisia adalah kakak satu ayah dengannya, tapi Anna juga tidak bisa menerima kehadiran Brisia. Begitupun sebaliknya.

"Lain kali, kalau lo mau maki, pake otak! Jangan kaya manusia tolol yang nampakin ketololanya di depan orang banyak!" Anna pergi setelah mengucapkan hal demikian. Ia keluar kelas lantas menemukan beberapa kakak kelas termasuk Nael yang sudah menunggu diluar untuk masuk. Tanpa peduli, Anna melangkah pergi seraya memainkan ponselnya, mencari keberadaan Lessa.

Biasanya, Anna akan berpikir Lessa baik-baik saja. Karena kalian ketahui sendiri, saat sedih Lessa justru tersenyum tidak menampakan sedikitpun raut kesedihan.

Pesan Anna tidak dibalas namun tebakan Anna benar. Lessa berada di perpustakaan sekarang. Menenggelamkan kepalanya di depan sebuah buku. Anna memerhatikan, dan langsung menarik wajah Lessa untuk menoleh ketika sebuah cairan bening menetes di atas kertas buku berbahan murah yang sedang Lessa baca. Jelas, kacamata gadis itu beruap sekarang.

"Lo nangis?" tanya Anna sedikit tidak percaya. Lessa menggeleng cepat kemudian tertawa hambar, yang jelas tidak bisa membohongi Anna.

Tanpa Lessa duga, kini Anna memeluknya. Mengusap punggung Lessa pelan. "Lo waras juga ternyata, gue bangga!" Ingin sekali Lessa memenggal kepala Anna sekarang. Namun itu tidak akan ia lakukan karena Lessa tahu, sahabatnya hanya berusaha menghibur.

Hari ini cukup kacau untuk Lessa karena setelah kejadian tersebut sampai pulang, ia diatap aneh oleh hampir semua siwa Araswara. Mana mungkin semua yang berhubungan dengan Brisia tidak menjadi trending topik di sekolah ini. Lessa merasa dirinya seperti pemain antagonis di sebuah sinetron ketika mendapat tatapan itu, yang kemudian orang-orang menyumpah serapah dirinya agar cepat mendapat azab.

Lessa menoleh, ketika ia berjalan di koridor pulang, seseorang sudah berjalan di sampingnya. "Kan aku yang anter Sa," ucap Satya tanpa melihat Lessa.

Lessa menghentikan langkahnya, menatap Satya seperti orang bego. "Gue lagi gak mau Sat, sorry." Gadis itu kembali berjalan, meninggalkan Satya dan sedikit menggores dunianya. Kalau begitu, ia lebih suka menyakiti orang-orang agar sakitnya jelas, bahagianya jelas, moodnya tidak tertukar. Karena saat ini, Lessa merasakan hal demikian.

Lessa menaiki bis seperti sebelum ia sering diantar Braga. Lantas, turun di gedung teater yang kondisinya membaik. Garis polisi sudah tidak dipasang. Bagian yang hancur telah dibangun dan tinggal memoleskan tahap terakhir. Lessa masuk seolah itu hal yang wajar.

Beberapa anak kecil menyambutnya. Mereka sedang latihan menari di auditorium, mengompakan gerakan balet dan Lessa menonton dari kursi tribun. Uni Rose melambaikan tangan pada Lessa yang disambut anggukan oleh gadis itu.

Sesaat kemudian, sedikit kericuhan hadir disebelahnya. "Ups sorry," ucap Seorang cowok yang kini duduk di sampingnya, tersenyum manis. Lessa mengabaikan, lantas kembali menatap kedepan.

"Lucu ya!" Cowok itu menatap ke depan, lantas bertepuk tangan ketika seorang balerina melakukan putaran fouettés, yaitu gerakan berputar dengan satu kaki yang menginjak lantai. "Woahh!" ucapnya terkagum-kagum.

Lessa menggeleng pelan, cowok itu lantas melirik Lessa. "Lo anak teater?" tanyanya sok akrab. Lessa mengangguk, "yup!"

"Kenalin gue Ava," ujarnya menjulurkan tangan.

Lessa tersenyum sedikit, "yip-yip!" lantas terkekeh setelah menjabat tangan Ava.

Ava juga terkekeh, mengerti. "Bukan makhluknya Avatar Aang," Tambahnya membenarkan.

Uni Rose melambaikan tangan pada Ava, menyuruhnya mendekat. Dengan sigap cowok itu menuruti, setelahnya ia keluar dari auditorium dengan tersenyum pada Lessa terlebih dahulu.

Lessa kini beranjak, mendekati Uni Rose. "Siapa itu, Uni?"

Uni Rose tersenyum, "keponakan, dia kuliah disini semester sekarang."

Lessa hanya mengangguk, lantas melirik ke arah suara derap yang kini semakin dekat kemudian tepat dibelakangnya, Ava berdiri membawa tumpukan sayap-sayap peri yang langsung disambut anak-anak balerina.

Sejenak, Lessa lupa pada Braga. Yang kini sedang berada di puncak halma, menyaksikan lagit sendirian. Menghitung dosa.

Braga mendesah pelan, sebersit perasaan bersalah hinggap. Bersalah pada siapa? Cowok itu tidak menyangkal bahwa kini yang berada di kepalanya adalah Falessa Allura. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah merasa bersalah pada siapapun seusai mencium seorang gadis, ataupun lebih.

Ditatapnya langit yang mulai mejingga, lantas ia menutup matanya. Dan terlonjak kaget saat ia membuka mata, ketika siluet seorang gadis berhasil menutupi sisa penghabisan cahaya mentari.

Gadis itu tersenyum, lantas duduk di samping Braga yang berbaring dengan tangan yang menopang kepala. Mereka menyaksikan senja dengan hening, bergulat dengan pikiran masing-masing.

Lessa tidak pernah patah sebelumnya, jingga yang ditatapnya sudah hilang, berganti gelap. Dan cahaya-cahaya kecil mulai berdatangan, berkerumun diantara mereka. Sebegitu ajaibkah puncak Halma? Padahal, hanya sekumpulan kunang-kunang yang menghampiri mereka. Namun rasanya lain.

"Maaf," ucap Braga tanpa melihat Lessa.

Gadis itu menoleh, "untuk?"

Braga balas meliriknya, kemudian mendengus, "pertanyaan lo retoris."

Lessa terkekeh sebentar, "bukanya dalam hidup, ada tanya tanpa maksud mendapat jawaban?"

Braga masih menatap manik mata hitam itu, "karena semuanya udah jelas."

Gadis itu mengangguk, "gak usah minta maaf. Kamu gak salah." Akunya aja yang berharap lebih padahal tau kalau harapan itu sesuatu yang berbahaya. Lanjutnya dalam hati.

"Oh ya, dan sekarang cukup. Kamu cukup kerja sama ayah. Massion Parry gak cukup buat bayar kamu, apalagi masalah teror. Berhenti aja," Lessa berucap halus, ia tidak profesional, mencampur adukan pekerjaan dengan perasaan.

Braga sudah menduganya, gadis ini membawa perasaan. Lessa melihat ada sayatan dari tatapan Braga, namun ia tidak mau mengsalah artikan. Semua yang berhubungan dengan Braga itu berarti ganda.

Lessa benci dirinya. Benci karena ketika ia terluka, ia masih saja menghampiri Braga. Berkata halus bahkan sempat tersenyum dan membagi tawa saat seharusnya ia marah seperti gadis lain. Kemudian ia ikut membenci Braga karena ia tidak bisa membencinya.

Ya, ia benci Braga karena ia tidak bisa membencinya.

Ini sudah terlalu dingin untuk masih berada di puncak Halma. Cowok itu melepaskan parkanya, mendekat pada Lessa dan menyampirkan jeket tersebut pada bahu gadis itu. Tangannya masih merangkul dan merapat erat, sementara entah mengapa Lessa tidak bisa mengelak.

Ia menatap sorot mata Braga yang kacau sekaligus tenang. Tanpa kata, mereka mengartikan sendiri tatapan yang dilihatnya.

Hanya sebuah tatapan ingin memiliki. Mana mungkin?

Lantas, mereka mengenyahkan pikirannya jauh-jauh. Sejauh angin membawa musim pada gugur. Ketika daun berhembus, berlomba saling menjatuhkan diri agar daun baru tetap tumbuh. Saat suhu panas berubah menjadi semilir dingin, ada yang tidak mereka mengerti pada situasi ini.

"Semua yang berhubungan dengan lo itu taksa." Braga berbisik pelan, lantas beranjak, berniat membawa gadis yang mulai kedinginan itu pulang.

Lessa melihat punggung yang bergerak seolah punya tangan dan melambai pada Lessa, hingga gadis itu harus mengejarnya agar tidak ditinggalkan. "Semua yang berhubungan dengan lo juga sama taksanya, Ga!" desisnya pelan.

🎭
TBC

Retoris: pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban.
Taksa: Bermakna ganda atau lebih dikenal orang dengan sebutan ambigu.

Lumayanlah ya buat perbendaharaan kata.

VOMMENT DAN JANGAN LUPA TAMBAHIN KE READING LIST KAMU, BUKAN CUMA LIBRARY LOH YAA..
KALAU KALIAN NEMUIN CERITA SERUPA, BISA DM AKU YA 💕

Bellaanjni
Author jahat yang kemaren lupa Anniv satu taun nulis.

Bandung, 23 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro