OPERA | Novem
Detakan yang tercipta berkejaran dengan angin malam yang menembus tiap helai diri. Mencipta hangat asing yang tidak aku sadari. Bolehkah aku kini berlari? denganmu, seraya menautkan jari. Jadi, aku tidak akan lelah sendiri.
♥
"Lo gak seharusnya belain gue kaya tadi, Sa." Anna meletakan salah satu botol parfum di atas etalase.
Lessa yang sedang mengelap kaca tokonya kini melirik Anna. "Gue gak suka, terlebih ketika seorang meremehkan orang tua, engga beretika, kaya gitu yang namanya pelajar? Itusih, pelajar yang emang harus dikasih pelajaran." Lessa terlalu panjang menerangkan.
"Gue emang anak jalang, omongan Brisia sepenuhnya bener, lo jadi keseret ke masalah gue kan," gadis itu mengetuk kaca etalase dengan telunjuknya, menyusun pola tap-tap-tap, ia gelisah.
Lessa tersenyum, "gue tau resikonya," gadis itu menepuk bahu Anna. Meyakinkan sahabatnya kalau ia bisa menangani ini semua.
Tinn..!
Bunyi nyaring dari klakson mobil kini menghiasi ruang telinga, mata Anna membulat ketika sebuah mobil hatchback hitam bertengger, tidak asing. Itu milik Nael.
"Halo!" ucap Nael masuk, Lessa menyapa ala kadarnya.
"Katanya ada job buat gue?" Nael berucap tanpa basa-basi.
"Itu cuma saran Kak Braga, Kak." Lessa menjelaskan, kemudian kembali mengelap kaca tokonya.
Nael mengangguk, "selama gue bisa bantu, bagus deh."
"Kak Nael mau?" tanya Lessa dengan mata yang sendu,
"Lo gak suka?" tanya cowok itu mengartikan tatapannya.
Anna tertawa, "dia suka, moodnya kadang terbalik, jangan heran, kelihatan gak suka padahal lagi seneng." Kali ini, Lessa bisa mengandalkan sahabatnya.
Nael hanya ber-oh ria. Cowok itu berdehem pelan, "soal tadi," ucapnya menggantung kalimat. Baik Lessa maupun Anna kini menyimak, "maafin Brisia ya," ucapnya tanpa basa-basi.
Baik Lessa maupun Anna kini memalingkan perhatian, "enggak usah dibahas, Kak." Lessa menyimpan kanebo pada atas kursi plastik berwarna biru.
"Kak Nael bisa bantu Anna rapihin etalase?" Lessa melirik keduanya, lantas cowok itu mengangguk.
Setengah jam tanpa pembicaraan, kemudian Braga datang memecah hening, membawakan empat burger dengan daging asap saus teriyaki di dalamnya.
"Sir di rumah?" tanya cowok itu meneguk minuman ringannya.
Lessa menggeleng, "Ayah lagi di teater, beresin data."
"Masalah semalam, lo bilang ke Sir?"
Gadis itu menggeleng lagi, "Kalau Ayah tahu, nanti dia khawatir."
Baik Anna maupun Nael tidak mengerti apa yang sedang Braga dan Lessa bicarakan.
"Laku berapa hari ini?" Braga melihat data catatan pengunjung yang tidak lebih dari dua puluh orang.
"Terjual lima belas botol, untuk ukuran toko baru, itu fantastic kan?" Lessa berucap datar.
Drtt.. Drtt..
Braga merogoh ponsel yang terdapat di sakunya. Sebuah panggilan masuk nampak di layar, lantas ia menempelkan benda tipis berwarna hitam itu ke telinganya.
"Saya kesana," ucap Braga di akhir sambungannya.
Cowok itu melirik ketiga teman yang ada, "gue ada kerjaan, sorry gue tinggal."
"Kemana?" tanya Lessa, siapa tahu bertemu dengan ayahnya.
"Teater," cowok itu membenarkan posisi jaketnya.
"Kalau ketemu ayah, jangan bilang apapun soal semalam," Lessa memperingatkan Braga, barangkali cowok itu lupa.
Braga diam sesaat, lantas mengangguk dan keluar ruangan.
"Emang semalem kenapa?" tanya Anna curiga sementara yang di dapatnya hanya gelengan pelan dan sebuah senyuman dari Lessa.
▪▪▪
"Ada tiga orang yang ditangkap," Dahlan menaikkan kacamatanya.
"Semuanya pelaku?"
Pria itu mengangguk, "kacau," desahnya lelah.
"Biar saya yang lanjutkan proses hukumnya, Sir. Anda bisa pulang dan istirahat." Braga tersenyum di akhir kalimatnya.
"Kamu bisa saya andalkan," pria itu balas tersenyum, lantas menaiki mobil coklat dan melaju setelah melambaikan tangan.
Braga menyandarkan punggungnya pada tembok, mengecek ponsel. Mengetikkan sesuatu, lantas mengirimnya.
Tidak lama, ponsel hitam miliknya bergetar,
Toko tutup pukul 8, ini siapa?
Seutas senyum tergambar di wajah cowok itu, ia lantas menekan tombol panggilan.
"Pukul sembilan, di puncak Halma, gue yang jemput ke toko, tanpa penolakan." Braga mematikan sambungan tersebut.
Ia tidak tahu saja, gadis di sebrang sana berusaha menahan letupan jantungnya.
Lessa sedikit membulatkan mata, pukul berapa sekarang? Setengah delapan. Melihat temannya yang gelisah, Anna menepuk bahunya. "Kenapa?"
Gadis itu menggeleng cepat, "lo pulang sama siapa?"
"Siapa lagi, tuh!" Anna menunjuk Nael dengan dagunya.
Lessa tersenyum, "hati-hati."
Anna mengangguk, "ketemu besok ya!" ia melambaikan tangannya lantas keluar toko bersama Nael.
Lessa memandangi mereka hingga memasuki mobil Nael, Anna tidak pernah menceritakan Nael padanya. Apa ia juga harus menutupi Braga yang belakangan ini berlaku aneh?
Pintu kaca itu terbuka, seorang dengan jaket hitam masuk, "Nona Falessa?" tanyanya bingung.
Lessa mengangguk, "itu saya," diakhiri senyuman.
"Ada paket, tolong tanda tangan disini," ucap seorang cowok bertubuh tinggi itu. Lessa yang kebingungan langsung menandatangani surat penerimaan.
Pintu kaca terbuka lagi, kali ini cowok berjaket parka warna hitam yang masuk.
"Dari siapa?" tanya Braga ikut bergabung, sementara laki-laki pengirim paket tadi dengan cepat bergegas, "pengirimnya minta dirahasiakan," jawabnya lantas keluar toko.
Mereka sama-sama memandangi kotak berwarna merah dihadapan mereka, "Gue yang buka." Braga mengambil gunting, lantas membuka pita yang membuat kotak tersebut tertutup.
Perlahan, Braga membukanya, namun lagi-lagi sebuah mawar yang mengering nampak, juga sepucuk surat.
Sudah temukan apa yang dibalik dinding? Percayalah, tulang itu nampak ingin disemayamkan.
-The Watcher
Gelisah nampak jelas, namun Lessa masih saja mencoba menenangkan dirinya. Ia menatap Braga yang menutup kembali kotak tersebut.
"Aku udah periksa dinding, dan gak ada apa-apa." Lessa menahan pelupuk matanya agar tidak berair.
"Yakin? Minggu gue periksa."
"Mana bisa!" jawab Lessa cepat, "Ayah gak mungkin biarin cowok manapun masuk kamar aku!" tambahnya cepat.
"Kalau kaya gitu, Pinta Sir buat ganti cat kamar lo," jawab Braga santai.
"Aku bisa sendiri kalau untuk ganti cat kamar," ujar Lessa sedikit bingung.
"Pinta aja, nanti Sir suruh gue," Braga mengutarakan maksudnya dan Lessa hanya mengangguk pelan.
"Aku takut," ucap Lessa pelan namun masih bisa di dengar jelas oleh Braga.
"Nada bicara lo gak nunjukin ada takut-takutnya tuh," cibir Braga, ya gadis itu seperti terlihat biasa saja.
Lessa tidak membahas lebih jauh, "kenapa ngajak ke puncak Halma?"
Braga tidak bisa menahan untuk tidak menuntun Lessa keluar toko, "kemaleman, besok aja pulang sekolah." Cowok itu membantu Lessa yang sepertinya kesulitan mengunci toko.
"Eh?" Lessa menerima kunci dari tangan cowok itu,
"Kita pulang aja," ucap Braga datar, lantas menaiki motornya.
"Aku bisa pulang sendiri," ujar Lessa masih diam di tempat, Braga menatap manik mata gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Gue percaya," jawab Braga mengisyaratkan Lessa untuk segera naik, seperti sebelumnya, Lessapun menaiki motor itu.
Bukannya seorang Brisia Fur saja ditolak menaikinya?
Lamunan Lessa terhenti tat kala sebuah tangan hangat itu menyentuh punggung tangannya, mengaitkan lengan Lessa pada pinggang cowok itu. Sebelum gadis dibelakangnya protes, Braga melajukan motornya hingga hanya suara mesin motornya saja yang terdengar sepanjang jalan, menutupi detakan keras yang juga muncul dalam dadanya. Ralat, dalam dada mereka.
♦
TBC..!!
Jadi? Siapa pengirimnya??
Vommentnya dong biar semangat update.
Hehe
Don't forget to follow my instagram account; bellaanjni
Pew! Pew!!
Hmm~
BellaAnjni
Author jahat yang lagi fokus UAS jhaa
Bandung, 25/11/2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro