Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

OPERA I Quadra

"Anak perempuan anda cantik, Sir."

A/n: jangan lupa tambahin cerita ini ke reading list kamu! ♥

Lessa melirik arloji coklatnya, kini ia berada dalam bus yang akan membawanya ke tempat teater seperti biasa. Gadis itu beranjak ketika bus menepi, beberapa orang turun termasuk dirinya.

Kawasan itu sudah cukup sepi, bahkan tidak ada aparat yang menjaga. Garis kuning yang menjadi pembatas itu disentuhnya, diturunkan perlahan kemudian ia langkahi. Lessa menyusuri gedung teater yang biasa ia tempati untuk berlatih. Area yang hancur adalah bagian tengah, tepat dimana terletak panggung penampil disana.

Langkahnya ia buat sehati-hati mungkin. Lantas, ia menyelinap ke ruang belakang panggung yang ternyata masih dalam kondisi baik-baik saja. Lessa tersenyum mendapati dirinya menghadap cermin, ia mengambil sebuah topeng berwarna putih keemasan beludru dengan gabungan warna pink berkilau di bagian lubang matanya kemudian mengusap pelan, mengagumi siapapun orang yang membuat topeng tersebut.

krek!

Lessa melepaskan topeng yang ia pegang hingga jatuh ke lantai. Seseorang yang membuka tirai itu membuatnya terkejut dan lebih terkejut lagi atas apa yang dilihatnya sekarang.

"Ngapain kamu disini?" tanya Lessa waspada.

Cowok itu tidak menjawab, ia melangkahkan kakinya mendekat, mencoba mempertajam penciumannya. Refleks, Lessa mundur dua langkah.

Sebenarnya Braga juga bingung kenapa gadis ini ada disini, namun pertanyaan dalam kepalanya ia tepis tatkala mencium senyawa campuran bom yang sepertinya baru mulai bereaksi.

"Jangan mundur!" ucap cowok itu tegas.

Lessa berdiri tegak, bingung. Braga melewatinya dan berjalan menuju sudut ruangan. Cowok itu kemudian menyingkap kain tipis diatas tumpukan dus yang berisi kostum.

Brukk!

Suara gerusuk dibelakangnya membuat Lessa tidak tahan untuk tidak menoleh. Ia melihat sebuah benda kecil terjatuh, dengan suara tit yang berulang-ulang juga lampu merah kecil yang menyala, tak lupa melihat Braga yang sekarang berlari mendekat, dua detik kemudian Lessa tidak sadar bahwa ia juga sudah ikut berlari. Semuanya berjalan terlalu cepat. Ia ditarik.

Lessa ditarik berlari. Oleh Braga. Saat ini.

Lengannya ditarik dan entah kenapa ia tidak meronta. Ia merasa sudah terlalu jauh karena kini mereka sudah berada di jalanan. Braga masih membawanya berlari, melewati gang sempit di belakang salah satu gedung apartemen.

Napas mereka menderu, mereka berhenti. Tepat saat itu. Bunyi ledakan terdengar.

Yang kini Lessa sadar adalah, posisi Braga yang terlalu dekat menurutnya.

"Kenapa?" tanya Lessa masih mencerna yang baru saja terjadi. Detak jantungnya tidak seirama.

"Sttt!" Braga hanya mengacungkan telunjuknya tepat di depan bibir gadis itu.

Cowok itu menyandarkan punggung pada tembok belakang gedung, bisa Lessa lihat peluhnya menetes dari dahi.

"Andai kita telat satu detik, bisa gue pastiin, kita hancur." Braga melepas kaus biru tua yang ia pakai sekarang.

Lessa mengutuk dirinya yang kini melihat Braga yang bertelanjang dada.

Sirine polisi terdengar, banyak. Langkah kaki beberapa orang juga terdengar sekarang.

"Jangan bergerak!" ucap salah satu polisi yang menodongkan pistolnya.

Tangan Lessa bergetar hebat, ia tidak pernah mengalami ini sebelumnya.

Braga mendekat pada salah satu polisi tersebut, memintanya menurunkan senjata yang diarahkan pada Lessa. Dengan catatan, kausnya masih belum ia pakai.

Satu polisi itu membawa Lessa, menggiringnya memasuki mobil. Satunya lagi mengawasi Braga yang kini juga dimasukan ke dalam mobil.

"Aku mau diapain? Salah aku apa?" tanya Lessa cemas, tangannya basah.

Braga sebenarnya mau tertawa, melihat ekspresi Lessa yang menurutnya lucu, namun ia juga kasihan pada gadis itu yang ketakutan.

Lessa tak kunjung mendapat jawaban, sampai mobil polisi yang mereka tumpangi itu berhenti, ia semakin cemas.

Mereka diturunkan kemudian digiring memasuki salah satu kantor polisi. Hari sudah mulai gelap sekarang.

Masuk kantor polisi bukan mencerminkan hal yang baik, maka dari itu sedari tadi Lessa meminta maaf pada orangtuanya dalam hati.

Tas berwarna coklat muda miliknya diambil. Salah satu polisi menyuruh Braga mengangkat tangannya, cowok itu menurut. Saku celana Braga dirogoh, kemudian beberapa lembar uang, dompet, juga sebuah bensin, kotak rokok, dan kawat kecil disimpan diatas meja.

Lessa melihat dirinya. Saku seragam miliknya hanya berada di dada kiri. Apa polisi itu juga akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pada Braga kepadanya? Dengan cara merogoh sakunya?

Lessa menepis pikiran buruk itu sekarang.

Tas miliknya digeledah, buku-buku di keluarkan. Sampai pembalut juga celana dalam cadangannya pun dikeluarkan, wajarkan seorang perempuan menyimpan benda seperti itu meskipun dalam tas sekolahnya? wajah gadis itu memerah sekarang.

Ia malu, karena diruangan ini semuanya laki-laki. Termasuk Braga yang seperti menertawainya.

Tempat pensil, tempat minum, tempat makan semua dibuka.

"Mereka bersih," ucap salah satu polisi yang menggeledah.

"Kenapa kalian berada di gedung apartemen itu? Ada orang yang melihat kalian keluar dari ruang teater." Polisi tak berambut itu melirik mereka, siap mengetikkan keterangan.

"Iya, kami lari dari dalam gedung teater, yang ternyata masih memiliki bom aktif." Braga terlihat sangat tenang, jauh berbeda dengan Lessa yang meremas rok seragamnya sekarang.

Ponsel milik Lessa yang berada di atas meja bergetar sekarang, menandakan panggilan masuk dari orang yang dinamainya, 'ayah'.

"Kenapa kalian bisa di dalam gedung?" tanyanya lagi.

"Anda bisa melihat dompet saya, saya sudah mendapat izin."

Lessa sedikit membulatkan matanya, benarkah? Kenapa? Apa braga anak dari pemilik teater?

Polisi itu membuka dompet hitam diatas meja, "Private Investigator Assistant, huh?" tanyanya menyimpan kembali dompet tersebut.

Polisi botak itu beralih pada Lessa, "bagaimana dengan Nona, apa urusan didalam teater?"

"Eh?" Lessa gugup, kemudian ia merasakan bahunya disentuh. Gadis itu melirik ke samping, terlihat sorot mata Braga yang meyakinkan.

Lessa berdehem pelan, "saya salah satu anggota teater," jawab Lessa akhirnya.

"Apa Nona tidak melihat garis kuning yang sudah ditandai polisi, apa Nona tidak mengerti kawasan berbahaya?" Polisi itu brrucap sedikit garang.

"Saya melihat, tapi bukankah seharusnya jika itu kawasan berbahaya, ada aparat yang menjaganya? Memangnya kemana aparat yang seharusnya bertugas sore tadi? Apa kalian seceroboh itu?" Lessa mengeluarkan isi pikiran yang mendesak sedari tadi.

Braga terkekeh sekarang, yang langsung mendapat tatapan tajam dari polisi botak.

Pintar, batin Braga.

Polisi itu kembali mengetikkan keterangan. Setelah merasa cukup, ia menyuruh polisi lain kembali memasukan benda di atas meja ke tempat yang seharusnya.

Lessa mendapatkan tasnya kembali.

"Kalian bisa pulang." Polisi tadi menyerahkan surat keterangan.

Baik Lessa maupun Braga, mereka mengabaikan surat itu, kemudian keluar ruangan. Menyusuri lorong kantor polisi dengan hening, hanya suara langkah yang kini mendominasi.

"Lo pulang-"

"Di jemput Ayah!" ucap Lessa cepat sebelum Braga menyelesaikan kalimatnya. Cowok itu mengangguk.

Di depan pagar kantor polisi, Lessa menunggu. Braga juga masih di sampingnya. Dan karena hal itu, Lessa merasa risih, bukan karena kehadiran Braga. Tapi risih karena detak jantungnya yang terus-menerus berdetak tidak karuan.

Sebuah mobil bergaya klasik dengan warna coklat berhenti di depan mereka. Sepertinya, itu tidak asing bagi Braga.

Kaca mobil tersebut di buka dan Braga yang menghampirinya duluan. Ia juga bisa melihat di kursi depan, ada seorang wanita paruh baya yang mendudukinya. Braga memerhatikannya sejenak, kemudian beralih pada pria yang tak lain adalah atasannya.

"Saya tidak berbuat macam-macam, Sir!" Braga menjelaskan, sementara orang yang dipanggil Sir itu tertawa.

"Saya tahu, lagi pula kedatangan saya kesini bukan untuk menegur mu berbuat macam-macam. Saya hanya ingin menjemput anak perempuan saya satu-satunya."

Braga sedikit mematung, kemudian melirik ke arah Lessa yang kini belum masuk juga.

Cowok itu tersenyum menggoda, "anak perempuan anda cantik, Sir." yang ditambahkan Braga dengan mengedipkan sebelah matanya.

Lessa yang kebingungan kini memilih masuk kedalam.

"Sialan!" Pak Dahlan terkekeh, lantas mengangguk untuk menaikkan kaca dan menarik parseling. Beberapa detik kemudian, mobil itu melaju.

Braga melambaikan tangannya sekali.

Jadi, Falessa Allura itu anak dari Privat Investigator menyebalkan itu?

Lagi, Braga tersenyum. Ia menyusuri jalanan kota untuk kembali ke gedung dekat teater, karena disana motornya terparkir.

Meskipun angin malam yang dingin menembus kaus tipis yang digunakannya, tapi entah mengapa Braga merasa hangat malam ini.

TBc
Wdyt bout this chptr?

I lv them so much!!

Bellaanjni
Author jahat yang lagi persiapan tes besok, doain yaa!!

Bandung, 19 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro