Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

OPERA | Decem

Aku melihat ribuan burung jalak berformasi, membentuk sebuah pertahanan diri. Aku melihat kamu disini, dan ternyata, sesederhana itu rasanya terlindungi.

Seperti nyaman enggan menyingkir dari dirinya, Lessa malas beranjak menuju pintu keluar kelas meskipun bel pulang telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Kunci toko telah ia berikan pada Anna, menyuruh Anna agar gadis itu membuka toko terlebih dahulu bersama Nael.

Ponsel yang sedaritadi bergetar di atas meja hanya ditatap Lessa, entah ia gugup atau apa, namun perasaan aneh itu kini hinggap di dirinya.

"Lo tau kan fungsi inituh buat apa?"

Lessa dibuat tersentak kemudian mengadah, sejak kapan orang yang sedaritadi menelepon kini sudah berdiri di sampingnya?

Braga mengambil ponsel Lessa, menyimpan kontaknya yang belum tersimpan, ternyata. "Maaf, Kak." Lessa malu, ketahuan basah sedang mengabaikan telponnya.

"Jangan panggil gue kakak, berasa tua." Braga kini duduk diatas meja, meneliti gadis di depannya.

"Iya," jawab Lessa menunduk lagi.

"Yaudah, ayo." Braga masih duduk.

Lessa menatap manik mata hitam itu, "Ke puncak Halma mau apa?"

"Ada yang mau gue tunjukin," jawab Braga santai.

Jantung Lessa seakan dipompa lebih cepat sekarang, apa mungkin Braga akan..? Lupakan Lessa! Satu kesalahan yang Lessa sadari sekarang; ia berpikir yang tidak-tidak, semacam harapan. Bukankah harapan adalah sesuatu yang berbahaya?

"Oke!" Jawab Lessa menghiraukan lamunannya barusan, ia lantas beranjak.

Mereka menyusuri koridor bercat coklat pasi itu, menatap ubin yang dilewati karena sepanjang mereka berjalan, tidak ada yang membuka suara. Bahkan Lessa tahu ubin keberapa yang kini diinjaknya.

Brukk!

Lessa terhenti ketika bahunya tertabrak sesuatu, cukup keras. "Kalau jalan liatnya kedepan!" Bentak gadis di depannya.

"Maaf," Lessa mengalihkan pandangan dari Brisia yang kini memakai seragam kebanggan salah satu ekstrakulikuler sekolah, cheers.

"Tipe lo yang kaya gini, Ga?" tanya Brisia beralih pada Braga.

"Low class sih ya!" sambungnya lagi, lantas meninggalkan keduanya.

"Jangan pikirin," ucap Braga ketika sampai di parkiran.

"Nope, sama sekali gak pikirin." Padahal nyatanya, ucapan Brisia tadi menohok. Lessa tersenyum meyakinkan. "Lagian, kita juga cuma sebatas temen, dia aja yang salah paham. Tipe kamu juga pasti yang high class, makannya sampai sekarang masih sendiri." Lessa tertawa sekarang.

Jujur, Braga menikmati tawanya. Ia mengisyaratkan Lessa agar segera menaiki motor, gadis itu menurut lantas mereka melaju. Membelah keramaian jalan pada sore hari, memangnya, ada apa di Puncak Halma pada sore hari begini?

Pukul setengah empat, mereka sampai di puncak, menaiki motor tentu saja. Track yang dilalui mengizinkan kendaraan untuk naik. "Ada apa?" tanya Lessa tidak sabaran, ia hanya ingin menormalkan detak jantungnya, karena kini detakannya seperti berlari, entah rasa macam apa ini.

Braga tersenyum dan itu menyebalkan, karena membuat detakannya semakin menjadi.

"Engga apa-apa, emang kenapa?" jawab Braga lebih menyebalkan.

Lessa berdecak, "Braga..!" Panggilnya nyaring. "Main-main kamu sama aku?" kesal Lessa.

Braga terkekeh sekarang, dan tolong. Lessa tidak mau diabetes ditempat.

"Aku suka kamu, Les," ucap Braga kala tawanya berhenti.

Lessa seperti ingin mati saja sekarang, atau mungkin dirinya meledak.

"Aku juga suka kamu, kamu disukai semua orang." Perkataannya ambigu, sama saja, Braga juga berucap ambigu sebelumnya.

"Iya," jawab Braga singkat.

Hanya iya? Batin Lessa memintanya berkata lebih.

"Gue suka, terus itu bukan masalah kan?" tanya Braga datar.

Ayolah, udara disini dingin, tapi Lessa merasa dirinya terlalu gerah.

Gadis itu menggeleng, "itu hak kamu, hak semua orang. Mau suka atau engga sama aku, itu pilihan. Aku gak pernah keberatan atas pilihan semua orang." Lessa pintar, ya terlihat dari caranya berucap. Setidaknya, itu yang Braga nilai barusan.

Braga meluruskan kakinya lantas menatap lurus kedepan. Langit mulai mejingga, membuat mentari terlihat bulat sempurna, berwarna merah, menggebu.

Lessa melakukan hal yang sama, ia menatap hamparan langit di depannya. Hiruk pikuk perkotaan terlihat dibawah sana, berbeda dengan langit yang terlihat sangat tenang.

Gadis itu merapatkan kardigan hitam yang dikenakannya karena udara mendingin. Braga melirik arloji, hari mulai menggelap, sebentar lagi juga senja akan meninggalkan, berganti dengan warna aurora pada langit yang mendatangkan gelap.

"Aku mau kamu hitung sampai tiga." Braga melirik Lessa yang bingung disampingnya.

Lessa mengerutkan kening, "buat apa?"

"Hitung aja,"

"Okay, satu.."

Braga menatap lurus lagi pada langit, juga pada kota yang mulai menunjukan kelipan lampu.

"Dua." Lessa masih saja menunggu apa yang terjadi, langit hampir kehilangan jingga.

"Tiga." Tepat saat itu, matanya membulat sempurna.

Sekumpulan burung jalak membuat sebuah formasi yang tidak pernah Lessa lihat sebelumnya. Membuat matanya tidak berkedip sama sekali


"Braga," gumam Lessa terpukau, sungguh ini kali pertama ia melihat pemandangan demikian.

Ketika burung itu berhamburan, hilang dari pandangan, Lessa menatap pada cowok disampingnya. "Aku suka!" ucap gadis itu tersenyum.

Braga masih saja menatapnya, "kita pulang," Cowok itu bangkit akhirnya.

Andai saja ini berlangsung lama, batin keduanya.

Hampir pukul tujuh mereka baru sampai di toko. Anna sedang memakan kacang dengan majalah yang terus dibolak-balik.

"Pacarannya lama!" Sarkas Anna lantas menutup majalah tersebut.

Nael keluar dari kamar mandi, "ada paket," ucap cowok itu lebih berbobot, ketimbang ucapan Anna.

"Mana?" tanya Lessa, matanya menyapu seluruh ruangan.

"Tadi Om Dahlan kesini, paketnya dia yang bawa." Anna memakan kacang lagi.

Suhu di tubuh gadis itu mendingin seketika. Braga yang melihat perubahannya kini mendekat, "semuanya bakal baik-baik aja."

"Kenapasih?" tanya Anna bingung, tepatnya bertanya 'lo pada nyembunyiin apa?'

Lessa menghela napasnya, "aku harus pulang, toko tutup aja kalau mau." Gadis itu keluar dengan terburu.

Anna menatap Braga, meminta penjelasan. Namun cowok itu hanya mengedik, seolah tidak peduli.

Lessa menaiki bis yang langsung menuju rumahnya, pacuan detakannya semakin tak tentu. Ia tidak mau ayahnya tau, ayahnya terlalu baik untuk mendapat kabar teror. Ia hanya tidak ingin membuat Dahlan semakin terbebani pikiran.

"Halo!"

Gadis itu tersentak ketika seorang perempuan duduk disebelahnya.

"Tante Nora!" Lessa tersenyum menyambut, Nora adalah ibu dari Anna.

"Banyak pikiran?" tanya Nora melihat ekspresi gadis itu, Lessa tersenyum lantas menggeleng.

"Pulang kerja?" tanya Lessa pada Nora yang memakai blezzer abu cukup tebal.

"Iya, katanya Anna kerja di Massion Parry?"

Lessa mengangguk mengiyakan, "tante bisa liat dia kerja, dia bisa diandelin."

Nora mengangguk, kesenduan jelas terlihat namun seketika terganti oleh senyumnya, "bagus, makasih Lessa, itu lebih baik ketimbang dia harus keluyuran malam-malam tidak jelas." Nora menepuk bahu Lessa.

"Tante, harusnya Lessa yang berterimakasih."

Nora menatap gadis itu, "kamu sangat mirip ibumu," Perempuan itu tersenyum.

"Maaf Tante, Lessa harus turun, Tante mau mampir?" tawar Lessa tulus.

Nora menimang sebentar, lantas menggeleng. "Lain kali."

Setelah pamit, Lessa turun dan berjalan sekitar dua menit untuk sampai di depan pagar. Baru saja ia akan membuka pagar, Latifa, ibu angkatnya keluar dengan mata yang berair, menatap Lessa tajam kemudian berjalan cepat.

Ada apa?

TBC..

Hmm, gimana chapter ini menurut kalian? Kasih vote commentnya yuk!

Follow Instagram aku; bellaanjni

Next? Ayo komen yang banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro