Prolog
Suasana ruangan itu gelap, gelap sekali. Hanya sedikit cahaya di sana. Tapi dia masih bisa melihat wajah murka Mareno adiknya. Mareno sedang berkelahi, dengan seseorang yang wajahnya tertutup bayangan. Dia berusaha melerai tapi tubuhnya didorong kasar. Kemudian laki-laki asing itu menarik Mareno ke dalam bayangan. Adiknya dipukuli, dihantam. Dia berusaha membela dan memukul kembali laki-laki itu. Tapi dia hanya memukul bayangan hitam. Tanpa wujud nyata.
Kemudian matanya beralih ke tubuh Mareno yang berada di lantai. Adiknya terluka. Dia berjongkok di sisi Mareno kemudian Mareno mulai memuntahkan sesuatu. Darah dan salah satu giginya.
Tubuhnya sudah duduk tegak sambil terengah-engah. Keringat membasahi mimpinya. Wajahnya menunduk memeriksa telapak tangannya. Tidak ada darah. 'Ya Tuhan itu mimpi. Mimpi yang buruk sekali.'
Berkali-kali dia beristigfhar untuk menenangkan dirinya sendiri. Sambil mengusapkan kedua tangan ke wajah. Ini sudah tiga kali. Dia memimpikan Mareno dan Antania. Kenapa begini? Matanya melirik jam di dinding. Dua tiga puluh pagi. Dia bangkit untuk mengambil segelas air minum dan duduk di sofa ruang tengah. Berusaha mencerna apa arti firasatnya kali ini.
'Mareno dan Tania sudah bahagia. Mereka akan menikah dalam waktu dekat. Tapi kenapa firasat itu mulai datang dan makin kuat. Ada apa ini?'
Kemudian dia berujar pada Lexi, artificial intelligence yang terpasang di safe house milik mereka.
"Lexi, hubungi Arsyad."
"Baik, menghubungi Tuan Arsyad."
Satu tangannya sudah memasang wireless earphone ketika nada sambung itu terdengar. Abangnya pasti sudah bangun untuk tahajud. Ya, Arsyad tidak pernah melewatkan satu tahajud pun.
"Bang."
"Ada apa?"
"Gue nggak paham ada apa. Tapi, gue punya firasat buruk soal Mareno, Bang."
"Mareno?"
"Ya."
"Misi terakhir kita berhasil Nif. Ya, memang Herman masih berkeliaran dan kita belum selesai. Mungkin lo terlalu cemas dan gugup soal salah satu adik kita yang mau married dan menyusahkan itu."
"Sudah tiga kali. Tapi gue nggak pernah tahu apa artinya."
"Jangan mulai mengartikan mimpi. Banyak doa dan solat aja, Nif."
Dia diam saja, masih cemas.
"Nif, gue paham firasat lo jarang sekali salah. Tapi terkadang, bisa jadi itu juga bukan berarti apapun. Dulu waktu kebakaran di pondok, lo malah nggak punya firasat apapun."
"Tiga hari sebelum kebakaran di pondok gue mimpi lihat Mama nangis Bang. Gue nggak mau cerita karena kalian pasti pikir gue cengeng."
Arsyad diam sejenak.
"Insya allah nggak ada apa-apa Nif. Percaya semua sudah ada yang atur. Mareno lagi kayak orang mabok kepayang begitu. Sampe kesel lihatnya."
Mau tidak mau Hanif tertawa karena sikap Mareno memang benar-benar berbeda.
"Semoga. Gue juga nggak mau ada apa-apa."
"Solat sana. Daripada mikir yang nggak-nggak. Lo terlalu cemas mungkin karena serius banget mikirin proyek lo dan misinya Faya."
Dia menghirup nafas dalam berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Iya. Makasih Bang."
"Anytime, Big Bro. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
***
Lima minggu setelah kejadian di tebing
Dia duduk bersimpuh dan berdoa. Memohon hampir mengiba. Mareno hampir seperti orang gila setelah berminggu-minggu pencarian Antania tanpa hasil. Ya, firasatnya terbukti benar. Dia benci itu. Kesalahpahaman fatal yang terjadi antara Tania dan Mareno, adiknya.
Mereka mencari, terus mencari. Melebarkan perimeter, menyebarkan informasi pada seluruh penduduk yang ada di sana. Mareno bahkan tidak mau beranjak dari tempat itu sampai akhirnya Arsyad mengambil tindakan dan dia menawarkan diri untuk tetap tinggal dan berburu jejak. Mengais pada kemungkinan yang paling kecil. Tahu benar dia harus menyelamatkan adiknya dari kegilaan.
Saat ini, dia sudah menumpang pada satu rumah penduduk. Peta yang ada pada dinding kamar sederhana itu menunjukkan cabang sungai yang lain. Juga hutan-hutan. Jadi dia tahu dia berada di medan yang dia pahami dan suka. Setelah solat dan membereskan bekal pada tas ranselnya. Tiga puluh menit sebelum matahari menampakan diri, dia sudah keluar dan berpamitan pada sang pemilik rumah.
"Assalamualaikum Pak, saya mau berangkat dulu." Dia menyapa Pak Saki yang baru saja membuka pintu rumah setelah pulang dari mushola terdekat.
"Ya ya. Baiknya ambil arah utara. Kemarin kan sudah menyusuri arah lainnya. Hari Jumat begini, insya Allah hari berkah. Semoga apa yang kamu cari ketemu, saya ikut mendoakan setiap hari."
"Terimakasih Pak."
"Ini, ini tunggu dulu," istri Pak Saki dari dalam sudah berjalan tergopoh ke luar. "Bawa bekal untuk sarapan di jalan. Teh hangat dan pisang goreng."
"Iya Bu, terimakasih," Hanif tersenyum sambil mengambil bungkusan yang disodorkan wanita paruh baya baik dihadapannya. "Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Pak Saki dan istri melihat tubuh Hanif menjauh dan menghilang di belokan.
"Ya Allah Bu, kesian ya orang baik begitu. Semoga Ibu Dokter itu cepet ketemu."
"Ketemu gimana Pak? Ini udah berapa minggu?"
"Tapi masa jasadnya juga nggak ada Bu. Paling enggak kalau ada jasadnya bisa dimakamin dengan layak."
"Iya amin Pak, kita doain aja."
***
Bayu Tielman, ayah dari Antania Tielman sedang duduk di kamarnya. Menatap kosong dan hampa. Mencoba mencari satu saja alasan agar dia tidak gila. Tangannya menggenggam foto anak satu-satunya. Hartanya yang paling berharga. Setelah dia kehilangan istrinya, tertatih dia berusaha bertahan. Dia memiliki Tania. Gadis kecil yang riang dan pintar. Gadis itu tumbuh dewasa, sempurna di matanya. Kemudian seperti semua gadis-gadis lainnya, Antania-nya ingin menikah. Gadis kecilnya sudah melabuhkan hati pada seorang laki-laki. Kemudian kenapa bisa itu semua terjadi? Kesalahpahaman bodoh itu? Kenapa bisa?
Semua tirai jendela dia tutup, kamarnya gelap sekalipun hari sudah pagi. Cahaya matahari pagi masuk melalui sela-sela gordyn yang panjang. Kemudian pintu kamarnya diketuk. Supir keluarganya yang sudah bekerja puluhan tahun bersamanya masuk ragu-ragu.
"Bapak, maaf."
"Pak Diran, keluar saja. Saya nggak pingin makan."
Pak Diran berjalan ragu mendekat, menyodorkan ponsel tua miliknya itu pada Bayu.
"A-ada telpon Pak," ujar Pak Diran terbata-bata.
"Pak Diran, saya sedang tidak bercanda."
"Ta-tapi ini dari Nona..."
"Pak Diran!!! Kamu keterlaluan!!" Tubuhnya sudah berdiri menatap orangtua ini murka. Dia marah sekali karena yakin benar Pak Diran berbohong.
Kemudian suara di ponsel itu terdengar.
"Papa..."
Matanya membelalak kaget, bulu kuduknya bahkan berdiri. Itu suara anaknya, dia tidak mungkin salah dengar. Kemudian dia berjalan maju dan mengambil ponsel itu. Bibirnya sedikit bergetar, dia bahkan sudah bertumpu pada kursi besar di ruang tidurnya lagi.
"Siapa..."
"Halo Pak Bayu."
"Siapa ini?"
Laki-laki di sana menghirup nafasnya. "Apa bisa kita bertemu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro