Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Recovery

Hari ketiga dia sudah boleh pulang oleh dokter Pram dan dokter Reyn. Itu pun karena dia terus memaksa. Ini bukan pertama kali dia terluka begini, sekalipun kata dokter Pram ini lukanya yang paling parah. Ya, karena pisau itu menancap dan hanya meleset beberapa senti saja dari organ penting dalam tubuhnya.

Leo menelpon setiap hari namun dia masih berada di luar kota untuk bertugas. ADS sedang sibuk-sibuknya seolah saat ini semua orang kaya merasa tidak aman sehingga banyak menyewa tenaga penjaga. Hanya tim taktis yang dipimpinnya dan juga tim Black Command yang terbebas dari tugas jenis itu. Fokus mereka memang lebih kepada membantu pihak kepolisian dan juga langsung turun tangan membantu kasus-kasus yang ditangani Arsyad. Tapi belakangan ini, keadaan memang sedang ramai dalam konteks yang tidak menyenangkan.

Dia dan Hanif sedang berkendara di dalam mobil menuju apartemennya ketika ponsel itu berbunyi. Dia hanya diam menatap layar.

"Siapa? Kok nggak diangkat?" Hanif menoleh sambil masih menyetir mobil.

"Nanti aja." Dia mematikan ponsel itu kemudian menoleh menatap Hanif.

Semua terasa aneh sekali. Bukan soal pekerjaan atau lukanya saat ini. Tapi keberadaan Hanif sendiri. Hanif adalah adik dari pemilik ADS juga salah satu pengajar di sana, dia juga menjalankan bisnis non-profit milik keluarganya, belum lagi Hanif punya andil juga di perusahaan teknologi milik keluarganya. Intinya, Hanif punya banyak hal untuk dilakukan, tapi kenapa laki-laki itu malah ada di sini? Itu aneh kan.

"Ada apa ngeliatin saya gitu?"

"Harusnya lo punya banyak urusan, kenapa malah buang-buang waktu begini?"

Hanif diam sesaat, berpikir baik-baik tentang apa yang akan dia ucapkan. "Saya sudah bilang, Arsyad meminta saya..."

"Untuk membuang-buang waktu?"

"Saya masih bekerja dan pergi ke kantor..."

"Tapi malamnya kamu tidur di ruangan sebelah. Padahal banyak suster dan dokter di MG kan?"

Hanif berdehem. "Ya Arsyad yang minta begitu. Katanya potensi kamu kabur kayak dulu itu bisa terulang lagi."

Dia tertawa. "Lo nggak jago bohong."

"Loh tapi ini benar permintaannya Arsyad."

Kemudian dia tersenyum, hatinya menghangat. "Itu gue percaya."

Dahi Hanif mengernyit sambil meliriknya. "Kenapa senyum-senyum?"

Nafasnya dia hela sebelum dia bicara. "Mungkin buat lo, punya seseorang yang perhatian dan perduli itu sudah biasa. Tapi buat gue, setiap perhatian kecil apalagi dari Bang Arsyad itu buat gue seneng."

Ekspresi wajah Hanif berubah kesal. Tangannya bahkan mencengkram setiran kuat. Faya yang tidak mengerti hanya diam saja sepanjang perjalanan.

***

Apartemen Faya

Barang Faya tidak banyak, hanya satu tas ransel ukuran sedang berisi pakaian yang sebelumnya diantar oleh salah satu tim perempuan lain ke MG. Dia jarang sekali pulang ke apartemennya sendiri. Karena dia merasa tempat tinggalnya adalah markas besar ADS, bukan di sini. Dia menatap Hanif yang masih berdiri di pintu.

"Loh, nggak mau masuk?" tanya Faya,

"Ini apartemen perempuan bagaimanapun. Saya nggak mau main nyelonong gitu aja," jawab Hanif sambil melangkah masuk.

"Gue tinggal bareng Leo kok, santai aja."

Hanif terbatuk tiba-tiba. "Gimana? Lo tinggal sama Leo?"

Tubuhnya sudah berada di dapur dan sedang mengambil air minum di dalam kulkas yang kosong. "Iya, sama Leo. Emang kenapa?" Dia menyodorkan sebotol air mineral dalam botol dingin ke meja dekat mereka.

"Faya, kamu itu perempuan. Nggak bisa tinggal sama laki-laki..."

"Hey hey, Leo itu bukan laki-laki brengsek. Sembarangan aja. Lagian lo yang biasa bergaul sama bule-bule kan? Bukannya harusnya terbiasa sama gaya hidup begini?"

Wajah Hanif tampak kesal lagi. Kenapa laki-laki ini sikapnya aneh sekali.

"Keluarga kami dididik baik untuk nggak..."

"Gue percaya kalau itu elo, Arsyad dan Mahendra. Kelihatan kalau kalian cowok baik-baik. Nggak kayak Mareno." Tubuhnya sudah duduk di kursi meja makan kecil.

"Mareno adik saya, hati-hati bicaranya," Hanif duduk di kursi lain.

"Iya maaf. Leo juga saudara gue. Dia bukan orang lain Nif. Lagian menurut lo kalau Leo mau macem-macem dia bisa sentuh gue gitu aja?"

Hanif masih terlihat kesal namun menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Leo mungkin nggak, tapi saya bisa jatuhkan kamu gampang."

Dia tertawa. "Serius? Lo ngomong begitu disaat gue nggak bisa lawan lo? Nggak gentlemen. Menurut lo gue jadi pimpinan tim taktis karena apa?"

"Kesayangannya Arsyad."

"Menyebalkan." dia terkekeh saja. "Tapi gue seneng sih lo bilang begitu. Kayak gue itu orang penting buat Arsyad."

Kemudian Hanif meneguk minumannya sambil menatapnya dalam tanpa ekspresi. Mata laki-laki itu yang coklat muda benar-benar memikat. Dengan cepat dia mengalihkan pandangan.

"Gue nggak punya makanan karena memang jarang ke sini. Leo juga selalu di markas besar. Jadi kayaknya gue mau turun dulu beli kebutuhan dasar."

"Oke," sahut Hanif sambil masih menatapnya.

"Lo balik kan?"

"Gampang."

"Maksudnya gampang?"

"Kalaupun balik jaraknya cuma dua langkah."

"Gimana? Gue nggak ngerti beneran."

"Saya sewa tempat di sebelah."

Otomatis tubuhnya tegak berdiri. "Hanif seriusan. Kalian udah benar-benar keterlaluan. Gue bukan anak kemarin sore yang mesti dijaga begini. Gila..." Tubuhnya yang resah sudah berjalan mondar-mandir sambil menatap Hanif marah. "Gue orang nomor tiga setelah Niko di ADS. Gue komandan tim taktis. Gue bisa jatuhin lo kalau gue sedang fit. Jadi nggak bisa begini. Lo harus pulang."

"Saya dan Arsyad yang punya ADS. Itu bikin saya jadi big bosnya kamu." Hanif juga berdiri sambil tersenyum tipis menyebalkan. "Ini bukan permintaan Fayadisa, ini perintah. Paham?"

"Hanif, apa lo selalu begini?"

"Sebagai anak buah yang baik, kamu nggak boleh bertanya kalau saya nggak mengijinkan. Ayok."

"Ayok?" tatapnya tidak mengerti dan kesal sekali.

"Iya, ayok belanja ke bawah."

"Hanif, pulang cepet sana."

Laki-laki aneh dan menyebalkan itu malah diam saja sambil tersenyum kecil dan melangkah ke luar apartemennya.

Di supermarket

Karena kesal dia diam saja. Dia paham satu tangannya masih tidak berfungsi. Tapi dia benar-benar marah mengetahui bahwa Arsyad dan Hanif memperlakukannya seperti anak kecil begini. Dia bisa saja menelepon Arsyad, tapi itu tidak sopan. Maksudnya, mereka selama ini sudah bersikap sangat baik padanya. Apalagi Arsyad. Apa pantas dia mengeluh untuk hal kecil begini sementara Arsyad pasti sedang sibuk dengan semua urusan pentingnya.

Hanif berjalan dalam diam sambil mendorong trolley. Ini hal-hal yang biasa dia lakukan dengan mama atau dengan Sabiya. Tapi biasanya dia tidak canggung begini. Kenapa dia aneh sekali? Bagaimana tidak aneh, dia meminta Arsyad untuk menjaga Faya. Gadis itu memang sedang terluka. Bahunya saja masih dibebat dan tangannya tidak bisa digunakan, tapi entah kenapa dia merasa aneh pada reaksi dirinya sendiri ketika bersama Faya. Sejak saat mereka ditempatkan pada misi yang sama, matanya mulai selalu mencari.

Sebut saja ketika dia sedang mengajar anggota baru ADS beberapa minggu lalu sebelum Faya terluka. Dia memperhatikan Faya dari jauh. Bagaimana dia tertawa di ruang santai sambil memegang gelas kopi. Atau bagaimana Faya yang sedang berlatih bersama Max dan Leo dengan rambut kepang tingginya itu yang khas sekali. Entah sejak kapan, ada sesuatu di dalam diri gadis ini yang menarik minatnya. Belum lagi saat Faya terluka dan berdarah-darah di pangkuannya. Jantungnya seperti pergi meninggalkan raga. Dia benci melihat Faya terluka.

Faya mulai memasukkan beberapa makanan instant dan dia langsung mengembalikannya lagi.

"Serius? Komandan tim taktis makannya begini?" Dia menggelengkan kepala tidak percaya. "Saya sendiri yang training kalian soal makanan sehat. Apa yang boleh dan apa yang tidak. Big no Faya."

"God...hrrrggghhhh." Faya sudah keluar dari supermarket meninggalkannya.

Dia menyelesaikan belanja itu sendiri. Membeli bahan makanan dasar yang fresh dan sehat setelah itu dia kembali ke apartemen Faya. Pintu itu dia ketuk. Kemudian terbuka dengan wajah Faya yang masih marah.

"Hanif..." Faya berdehem sejenak. "Saya paham kamu atasan saya. Tapi serius ini sudah kelewat batas. Tolong bilang ke Arsyad saya sangat berterimakasih dengan segalanya. Saya juga terimakasih sama kamu. Tapi tolong stop ini semua."

Hanif tersenyum mendengar Faya yang menggunakan bahasa sopan begitu. Dia menggeser tubuh Faya ke samping dengan satu tangan yang tidak membawa belanjaan kemudian masuk ke dalam.

"Kamu harus lebih sering berbicara sopan begitu. Saya senang dengarnya."

"Saya harus bisa bersikap sesuai dengan kebutuhan." Faya menatap Hanif yang masuk dan meletakkan belanjaan di konter dapur. "Saya sedang meminta baik-baik pada atasan saya yang sangat perhatian. Karena itu saya mencoba berbicara dengan sangat sopan, mungkin dia mau mengerti."

Hanif menghirup nafas panjang. "Oke. Saya sudah belikan bahan makanan dasar karena saya nggak paham kamu mau makan apa sekarang."

"Saya sudah pesan."

Lagi-lagi dia menghirup nafasnya. "Oke. Saya biarkan kali ini. Besok kamu harus masak sendiri atau biarkan saya membantu." Hanif melangkah kembali ke pintu. "CCTV sudah dipasang kecuali di kamar kamu pastinya. Hanya untuk memastikan kondisi kamu. Jangan salah paham. Saya di sebelah kalau kamu butuh apa-apa."

"Terimakasih Hanif."

Dia hanya tersenyum lalu pergi ke luar.

Di dalam apartemen sebelah Faya

Dia sudah selesai mandi dan solat ketika pintu itu diketuk. Tangannya membuka pintu lalu sosok Faya muncul dihadapannya dengan bungkusan makanan.

"Ini, saya beliin buat kamu. Tadi kamu nggak bawa belanjaan apapun untuk diri kamu sendiri."

Hanif tertawa kecil. "Kayaknya kamu pakai bahasa slank aja. Kedengerannya aneh."

Mau tidak mau Faya juga tertawa. Gadis itu menghela nafas lega. "Serius boleh elo-gue lagi?"

"Boleh asal temenin saya makan. Gimana?"

Faya menghela nafasnya. "Oke."

Gadis itu masuk dengan canggung ke dalam apartemen Hanif. Ukurannya sama dengan miliknya, 40-meterpersegi. Entah bagaimana apartemen itu sudah didekor sedemikian rupa hingga fungsional dan nyaman sekali.

"Ini harusnya apartemen sewa kan? Kok nyaman banget?"

"Saya punya apartemen sendiri di tempat lain. Ini hanya sementara. Tempat kamu juga nyaman." Mereka berjalan ke meja makan dan Hanif menyiapkan makanannya.

"Eh maaf ya, gue bantu apa?"

"Nggak perlu, ini makanan udah jadi kan." Hanif meletakkan piring berisi makanan dan juga gelas dengan air. Mereka mulai duduk dan makan. "Jangan lupa berdoa."

Faya tertawa kecil. "Iya Pak Guru."

Hanif juga tertawa.

"Apa lo selalu sebaik dan seperhatian ini sama anggota ADS kalau ada yang sakit?" Faya bertanya. Dahi gadis itu mengernyit sejenak. "Kayaknya bulan lalu Deana masuk MG lo cuma nengok doang."

"Deana punya Alex, nanti saya diomelin sama Alex lagi."

"Oh, jadi karena gue nggak ada yang ngurusin jadi lo empati ya?"

"Nggak usah menganalisa dan mencari alasan kenapa seseorang berbuat baik. Karena itu bisa menyinggung perasaan orang itu."

"Sorry, gue nggak maksud begitu. Tapi gue selalu merasa aneh kalau ada yang terlalu baik berlebihan."

"Arsyad maksudnya?"

"Sikap Bang Arsyad professional banget. Leo udah kayak saudara, tapi Max atau Brama mereka perhatian dan rasanya aneh." Faya segera menghentikan kalimatnya. Seperti merasa sudah terlalu jauh bicara.

"Perhatian gimana?"

"Udahlah nggak usah bahas." Mata Faya menatap Hanif lagi. Kemudian segera menyadari bahwa Hanif menatapnya kembali jadi dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Wow, lo punya piano di sini."

Hanif tersenyum. "Itu yang elektrik, bukan yang grand."

"Apa bedanya?"

"Beda banget, suara yang dihasilkan lebih bagus yang grand piano. Saya suka susah tidur. Jadi biasanya main piano bikin saya sedikit rileks dan akhirnya ngantuk."

Faya tersenyum kecil. Hanif seperti sosok laki-laki yang nyaris sempurna. Wajahnya tampan, harta jangan ditanya, hatinya baik dan Hanif tidak pernah menyombongkan segala yang dia punya, sikapnya biasa saja. Faya juga yakin ketika dia datang tadi laki-laki ini habis menunaikan solat karena rambutnya yang setengah basah. Kemudian piano? Ya Tuhan, laki-laki ini hidup di dunia yang sangat jauh berbeda dengannya.

"Kenapa?"

"Gue senang dengan kenyataan tentang kalian. Elo, Bang Arsyad, Mahen, bahkan Mareno yang playboy itu. Kalian itu nggak seperti banyak orang. Ngeliat kalian itu bikin iri."

Hanif tertawa kecil. "Kita juga sering berantem, jangan salah."

"Kalian baik, orang-orang baik," Faya menyudahi makannya dan dia membereskan piring dan meletakkan di dapur.

"Gimana perasaan kamu?" Hanif yang juga sudah berdiri bertanya.

Tubuh Faya membeku sejenak. Awalnya dia mencoba mencerna apa arti pertanyaan itu, kemudian merasa bodoh sendiri. "Gue baik-baik aja. Masih nggak bisa gerak, nanti gue usahakan latihan biar cepat pulih, tenang aja."

"Jangan terlalu dipaksa, ingat apa kata dokter Reyn."

Mereka berjalan beriringan ke arah pintu. Faya menghirup nafas dalam kemudian menatap Hanif lalu mulai merutuki sikapnya yang aneh sekali. "Terimakasih Hanif."

Setelah Faya berlalu, Hanif menutup pintu, kemudian juga menghembuskan nafasnya yang rasanya seperti dia tahan sedari tadi. Apa-apaan ini?

***

Naaah kaaaan...nah kaaan. Hmm...ini belum apa-apa. Stay tune terus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro