Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. No Option

Iwan duduk diam di kamar. Dia sudah menyelesaikan apa yang harus dia lakukan pada Wongso sekalipun kali ini dia kelepasan karena akhirnya dia membunuh si brengsek itu terlalu cepat. Rajata juga sudah mengirimkan pesan ke penguasa daerah lain. Untuk memperingati mereka, bahwa dia kali ini tidak main-main. Jika penyelundupan itu akan terjadi dan barang yang datang benar-benar senjata, maka ini perkara besar. Bukan hal sepele lagi. Senjata bukan sesuatu yang gampang dimusnahkan. Terlalu menarik, terlalu berharga dan menggoda. Bahkan untuk polisi sendiri.

Dia juga sudah meminta Rajata mengawasi Fayadisa di MG. Gadis pemberani yang tidak takut mati. Dia ingat benar bagaimana mata hitam kelam itu menatapnya. Tidak ada ketakutan sama sekali, padahal pisau itu sudah menancap di dada dan dia bisa mati. Gadis ini berbeda, ya dia tahu itu karena dia tahu siapa Fayadisa. Ponselnya berbunyi.

"Pak," suara Rajata di sana.

"Bagaimana?"

"Operasi selesai dan sukses, tapi Faya belum bangun."

"Kabari saya lagi nanti."

"Baik."

***

Hanif kembali ke MG setelah pulang sejenak untuk berganti pakaian dan bebersih diri. Arsyad dan Mahendra juga sudah di sana. Mereka berada di ruangan dokter Reyn. Dokter kawakan itu sedang menjelaskan kondisi Faya.

"Operasi berjalan lancar dan waktu kejadian memang langsung ditangani." Dokter Reyn diam sejenak. "Faya ini berbeda, kalian pasti tahu maksud saya."

"Ya, dia selalu tangguh," ujar Arsyad.

"Keinginan hidupnya kuat kali ini, berbeda saat saya pertama bertemu dia dulu. Tubuhnya yang prima juga sangat membantu proses pemulihan. Entah kenapa Pram bilang pada saya dia merasa Faya juga berusaha untuk bangkit lagi. Terkadang dokter-dokter bisa merasakan hal itu ketika sedang mengoperasi. Aura Faya kuat sekali, persis seperti kamu Syad. Atau Iwan, atau Brayuda. Aura kalian sama. Bedanya yang ini perempuan."

Dokter Reyn melanjutkan. "Tapi, dia benar-benar nggak takut mati dan itu berbahaya. Kejadian ini bisa terus berulang apalagi kondisi saat ini sedang panas. Nyawa dia dan kalian sedang jadi taruhan, tidak aman. Perlu diingat, Faya tetap seorang perempuan. Batasan kekuatan fisiknya tetap berbeda. Kalian punya serum dari Mahendra untuk membantu pemulihan. Faya tidak punya. Jika terjadi hal berbahaya lagi padanya, bisa berakibat fatal. Tubuhnya sudah melalui banyak trauma karena misi-misi kalian."

"Dia masih muda," ujar Arsyad.

"Ya benar. Tapi lagi-lagi ingat Arsyad, Fayadisa itu perempuan."

"Dia akan mengamuk kalau posisinya saya ganti."

Dokter Reyn tersenyum. "Saya juga mengerti itu. Kalau gitu, bangun kesadaran dia untuk bertahan dan tidak langsung menerjang bahaya. Saya paham benar itu gayanya siapa." Matanya menatap Arsyad dalam.

"Syad, peringatan ini bukan hanya untuk Faya. Tapi juga untuk kamu." Tubuh dokter Reyn condong ke hadapan Arsyad. "Takut mati itu baik, untuk menjaga kamu tetap hidup, jadi kamu waspada."

Arsyad tersenyum. "Dok, sepertinya saya sudah mengerti itu. Mungkin ingatkan Faya saja Dok."

"Saya paham kamu sangat mengerti soal itu. Saya hanya mengingatkan. Karena terkadang kita semua butuh diingatkan. Jangan letakkan semua di bahumu Syad. Pikirkan bagaimana yang lain kalau kamu celaka."

"Saya setuju," Hanif menatap abangnya. Hanya dokter Reyn yang bisa menasihati Arsyad perihal ini. Karena orangtua mereka tidak tahu, karena mereka semua tidak akan didengarkan Arsyad, dengan dokter Reyn berbeda. Arsyad mendengarkan dan diam. Seperti ketika mama bicara soal hal yang lainnya.

Arsyad menghela nafas. "Jadi, pemulihan Faya berapa lama Dok?"

"Jangan libatkan dia dengan misi apapun hingga satu bulan. Mungkin satu-dua minggu pertama dia harus dibantu. Karena tangannya akan sedikit kebas dan kaku. Dengan siapa dia tinggal?"

"Sendiri," jawab Arsyad.

"Minta dia tinggal di markas atau harus ada seseorang yang menemani dia. Saya yakin begitu bangun, dia langsung lari ke luar rumah sakit. Faya nggak pernah betah di sini."

"Tugas yang berat. Menjaga The Lioness kayak begitu," Mahendra berujar.

"Gue bisa minta Leo..." Arsyad memutuskan.

"Gue bisa bantu," potong Hanif.

Arsyad menoleh kepadanya.

"Jangan punya pikiran macem-macem, Bang. Maksud gue, Leo? Common."

"Mereka teman kecil. Jadi kemungkinan aneh-aneh..."

"Stop. Maksud gue, gue sewa tempat di sebelah Faya untuk cek dia. Bukan tinggal bareng," dia sendiri mulai tidak paham kenapa dia ngotot begini.

"Oke," jawab Arsyad pendek.

"Ya sudah, sekarang kita tunggu The Lioness bangun," ujar dokter Reyn sambil berdiri dan bersiap ke luar ruangan.

***

Satu hari kemudian Faya bangun dan prediksi dokter Reyn benar. Faya bahkan langsung berusaha berdiri dan mengenakan pakaian untuk pulang.

"Faya, berhenti atau saya ikat kamu di kasur," dia memperingatkan.

Faya menatapnya kesal. "Dimana Leo?"

"Dia sedang ada tugas dari Arsyad."

"Arsyad sudah sembuh," Faya tersenyum kecil.

"Apa hanya ada Leo dan Arsyad di pikiran kamu?"

"Ya. Ada masalah?"

Dia mendengkus kesal. "Maksud saya kamu harus mulai pikirin diri sendiri."

"17 tahun gue hidup mikirin diri sendiri. Egois, jadi pencuri yang penting makan. Jadi copet padahal orang yang gue copet bukan orang kaya kayak kalian. Gue berakhir dimana? Penjara atau tempatnya si Sandy sialan. Jadi gue nggak mau mikirin diri gue sendiri lagi."

"Luka kamu kali ini parah Faya. Kamu harus dengarkan tubuhmu juga sekali-kali."

"Kenapa lo jadi bawel?" Faya berusaha menggerakkan tangannya dan gagal. Tubuhnya juga terasa sakit sekali.

Kepalanya sudah menggeleng. 'Kenapa wanita ini keras kepala sekali, hrrrghhh.'

"Kamu mau pulang?" tanyanya lagi.

"Ke markas," jawab Faya sambil mendesah pasrah. Paham dia tidak akan bisa kemana-mana karena kondisinya.

"Markas?"

"Arsyad pasti butuh gue, juga tim gue."

"Mereka akan baik-baik aja. Semua sudah di atur. Kamu nggak bisa tugas sebulan sementara ini."

"Whaaat?? Sebulan? Lo bercanda apa gimana?" Tangan Faya langsung meraih ponsel di sebelah mejanya.

"Halo, Bang."

Tebakan Hanif Faya menghubungi Arsyad. Dia hanya berdiri sambil melipat tangannya di depan dan melihat gadis keras kepala itu melakukan apa yang dia mau. Faya diam mendengarkan penjelasan Arsyad. Tapi rahang wajah wanita itu mengeras seperti menahan kesal. Sedikit banyak dia menikmati pemandangan dihadapannya ini.

Rambut hitam Faya yang biasanya selalu diikat ke atas atau di kepang satu kencang saat ini tergerai dan sedikit berantakan. Wajah Faya selalu tanpa make up, tapi rona di pipinya karena dia sedang menahan marah terlihat jelas. Bibirnya yang merapat sempurna bungkam menahan semua kata, juga mata hitam dan dalamnya itu yang memancarkan kekerasan hidupnya dulu. Faya terlihat kuat, berantakan, sedikit seksi dan...cantik. Ya Tuhan ada apa dengannya.

"Baik Bang, saya mengerti," ujar Faya pada Arsyad di seberang sana.

Ketika selesai, Faya menggenggam ponselnya erat dengan satu tangan yang tidak dibebat dan memukulkan tangan itu ke kasur rumah sakit sambil menggeram marah. Hanif tersenyum kecil melihat pemandangan itu. The Lioness, julukan Mahendra tepat sekali.

"Masih mau ke markas?" tanyanya sambil duduk di sofa.

Faya menggeleng. Menampakkan dirinya yang terluka dihadapan rekan team yang lain harus dia hindari, Arsyad benar. Kemudian matanya menatap Hanif heran.

"Lo nggak ada kerjaan?"

"Nggak usah khawatir soal kerjaan saya. Saya bisa kerja darimanapun, beda dengan kamu dan Arsyad."

"Terus ngapain lo di sini?"

"Pilihannya kamu dirantai ke kasur atau saya yang jaga di sini untuk memastikan kamu istirahat."

Faya terkekeh sinis. "Babysitter for me? Arsyad bercanda atau gimana?"

"Kamu pikir ini saya yang mau? Siapa suruh terjang pisau begitu jadi luka? Kamu itu ceroboh, paham?"

"Karena Arsyad sudah terlanjur terima satu, gue nggak bisa biarin dia terima semua. Nggak akan lagi." Faya diam sejenak. "Wongso gimana?"

"Sudah ditangkap." Dia menutupi kenyataan kondisi mayat Wongso yang mengenaskan.

"Ditangkap? Nggak mungkin. Bapak besar nggak pernah memaafkan pengkhianat. Apa Pak Iwan baik-baik aja?"

"Ya, Bapak Besar aman. Jangan khawatir," jawab Hanif. Kemudian dia berujar lagi, "Jadi, gimana sekarang?"

"Apa yang gimana? Apa kalian kasih gue pilihan selain dijagain kayak anak kecil begini? Minta Leo aja di sini. Kenapa mesti lo, Nif?"

"Saya bukan anggota inti ADS, tapi Leo iya. Arsyad sedang butuh banyak bantuan, jadi dia masih butuh Leo."

Faya menarik nafas berat. Dia tidak bisa membantah fakta itu. "Lo nggak bisa buatin serum buat gue gitu? Minta sama Mahendra?"

"Arsyad sudah pikirkan itu untuk kamu dan anggota team yang lain. Tapi Mahendra butuh waktu panjang untuk riset. Katanya dia sudah mulai dari tahun lalu diam-diam, tapi tetap masih belum bisa sekarang."

Satu tangan Faya sudah memijit dahinya kesal.

"Kapan terakhir kamu istirahat?" tanyanya pada Faya.

"Maksudnya?"

"Ya istirahat. Tidur atau melakukan hal-hal yang lebih santai dan nggak mengancam nyawa."

Dahi Faya mengernyit mencoba mengingat-ingat. Sayangnya dia tidak bisa ingat dia pernah melakukan hal itu. "Nggak tahu, lupa. Lagian gue nggak menganggap pekerjaan gue itu berat. Max, Leo, Elang dan yang lain itu sahabat gue. Markas besar rumah gue. That's it."

Hanif diam. Ya, Faya tidak memiliki siapapun yang menunggunya di rumah.

"Kamu punya apartemen setahu saya. Jadi Arsyad bilang pilihannya dua. Ke markas besar tapi istirahat, atau ke apartemen kamu juga istirahat."

"I hate those options."

"Pikirin baik-baik. Saya di ruangan sebelah ada meeting dengan tim di kantor. Ruangan ini dipasang CCTV atas perintah Arsyad, katanya biar kamu nggak kabur dan benar-benar istirahat. Kecuali kamar mandi." Dia berbohong, itu semua dia yang meminta. Bukan Arsyad.

"Nooooo...he gave me hell."

Wajah pasrah Faya membuat Hanif tertawa. Kemudian dia berlalu ke luar ruangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro