Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. The Fight and Your Bestfriend

Iwan melepas jas mahal itu dan melemparkan begitu saja ke pinggir jalanan. Anak buahnya berada di belakang, sementara Rajata berada di sisinya. Matanya menatap Wongso dan kacung-kacungnya dihadapan mereka. Rokok yang sebelumnya dia hisap kuat sudah dia matikan dengan kaki. Kemudian kedua tangannya menyingsingkan lengan kemeja hitam yang dia kenakan. Memperlihatkan tato yang melingkari tangan.

Terkadang, turun lapangan diperlukan. Satu, agar para kunyuk ini mengerti bahwa dia masih hidup dan mampu mendisiplinkan mereka. Dua, ini sangat menyenangkan. Adrenalinnya terpacu dan itu membuat hatinya senang. Dia seperti kembali muda lagi.

"Bang, kenapalah lo mesti ikut campur?" ujar Wongso dihadapannya serba salah.

Dia tersenyum miring. "Saya senang ikut campur. Jadi kapan barangnya datang?"

"Gue nggak tahu, Bang."

Iwan tertawa geli. "Nggak tahu, area lo yang punya Pelabuhan, bego. Dikasih berapa?"

"Bang, gue nggak terima apapun. Sumpah."

Dia tertawa lagi. "Habis ini lidah kamu, saya potong."

Tubuhnya berjongkok mengambil segenggam tanah di bawah. Ini selalu dia lakukan sebelum mulai menghantam. Merasakan bumi yang dipijaknya, meminta bumi membantunya atau menutupi jejak darahnya nanti. Kemudian dia berdiri lagi.

Dia menarik nafas dalam. "Satu kesempatan lagi, kapan kapal itu datang? Dan siapa orangnya?"

"Bang, gue udah bilang..."

"Suhandi menghubungi saya, jadi sudahi sandiwara murahan kamu."

Kemudian Wongso tertawa kecil dan menghela nafas. Ekspresi wajahnya berubah 180 derajat. "Keparat tua, lo tahu gue nggak akan ngomong. Dia kasih lebih banyak dari yang lo kasih. Oh salah-salah, lo nggak pernah kasih apa-apa."

"Menjabat tanpa upeti, saya pikir saya sudah cukup murah hati. Tapi bangsat serakah seperti kamu, tetap ingin lebih rupanya. Bagus."

"Dia yang akan berkuasa nanti. Lo pensiun aja sana," Wongso meludahkan salivanya ke tanah dan itu membuat Rajata murka.

Tidak ada yang boleh menghina Iwan Prayogo dihadapannya. Jadi Rajata yang lebih dulu berlari maju di susul dengan anak-anak buahnya.

Pertarungan sengit di salah satu area Utara kota tidak bisa dihindari lagi. Dia pun sudah bergerak dan bersenang-senang sambil terus menghantam. Tubuhnya bergerak dan langsung mencari yang dia tuju. Wongso, bedebah itu.

Mereka berdiri berhadapan di antara semua carut marut perkelahian sambil saling tersenyum. Mengetahui bahwa ini yang mereka tunggu. Wongso benar-benar ingin menjajal harimau besar yang selama ini tidak pernah tersentuh. Sedangkan Iwan Prayogo hanya ingin bersenang-senang. Semua masalah yang tiba-tiba muncul beberapa bulan ini sungguh menggugah seleranya. Membangkitkan semua kenangan lama dan nostalgia. Sekalipun dia paham dia tetap harus berhati-hati karena Wongso lebih memiliki stamina.

Kemudian mereka mulai saling menghantam. Iwan memancing Wongso untuk terus bergerak dan menghabiskan staminanya. Sementara dia hanya menghindar dan menahan serangan.

'Anak muda jaman sekarang, digerogoti oleh ambisi dan emosi. Itu membuat gerakannya mudah sekali terbaca,' gumam Iwan dalam hati.

Tidak lama Fayadisa dan Leo muncul entah darimana. Kemudian rasa khawatir mulai menjalar memburamkan fokusnya. Dia tidak nyaman dengan kehadiran Fayadisa. Kenapa mereka selalu ikut campur. Tidak cukup Fayadisa, kemudian Arsyad dan Mareno Daud juga datang.

'Sialan, kenapa mereka tidak sekalian mendatangkan Ibrahim. Kenapa jadi banyak orang begini?'

Pikirannya yang sempat teralihkan itu membuat dia lengah. Wongso melempar dua pisau ke arahnya. Arsyad berlari maju dan satu pisau itu menancap di pundak belakang. Satu lagi pergi ke tempat yang dia tidak mau.

"Bajingaaan!!!" Brayuda datang dan mulai menghantam. Murka karena melihat Arsyad dan ayahnya berdarah di sana, juga tubuh Fayadisa yang ambruk ke tanah.

Iwan berlari menuju tubuh gadis itu. Pertarungan selesai karena Hanif datang membawa tim ADS. Tapi dia tidak perduli, gadis ini tidak boleh mati.

"Faya, sadar," Hanif yang juga sudah berjongkok berteriak membangunkan Faya.

Mata gadis itu menatap Iwan dan Hanif bergantian. "Terimakasih, dulu anda yang menyelamatkan saya." Lalu mata itu menutup perlahan.

Hanif langsung mengangkat tubuh Faya, sementara Niko memeriksa Arsyad. Hanif berlari menuju ambulance ADS yang sudah tiba. Gadis ini tidak boleh mati. Dia tidak mau Faya mati.

***

Dia berdiri di selasar rumah sakit MG, menunggu. Berjalan mondar-mandir cemas. Tangannya yang berlumuran darah sudah dia cuci, tapi hangat tubuh Faya yang tadi ada di pangkuannya masih bisa dia rasakan jelas sekali. Bagaimana mata hitam itu terpejam, atau rambut kepang tinggi yang sedikit berantakan, atau wajah minim ekspresinya yang pucat sekali. Dadanya berdebar kencang, paham benar dulu, dia pernah berada di posisi ini saat Daranindra berjuang di ruang operasi. Ya Tuhan, Faya.

Mareno sudah membawa Arsyad ke safe house dan dokter Reyn langsung menuju ke sana. Dia memutuskan untuk menghubungi Mareno untuk sedikit mengalihkan pikirannya.

"Gimana Abang?" tanyanya cepat.

Mareno menarik nafasnya. "Abang baik, buat dia itu cuma luka gores aja. Dia marah karena masih belum dapet petunjuk soal penyelundupan itu. Faya gimana?"

"Sial, pisau itu nancep terlalu dalam di dadanya. Aryan bilang ini serius. Dokter Pram juga ikutan operasi."

"Wongso hilang," ujar Mareno.

"Loh kok?"

"Diambil Rajata, gue yakin atas perintah Bapak Besar. Mereka di sana?" maksud Mareno adalah Brayuda dan Iwan Prayogo.

"Mungkin, tapi gue belum lihat."

"Nif, kita butuh informasi dari Wongso soal rencana penyelundupan itu."

"Ya, gue akan ngomong ke Bapak Besar dan Yuda.

"Niko, Max dan Leo udah sampai?"

Matanya menangkap Leo datang berlari dari ujung Lorong. "Leo udah. Niko dan Max belum." Dia menarik nafas lagi, dadanya terasa sakit. "Gue terlambat. Brengsek, gue terlambat," tangannya sudah memijit dahi.

"Nif, lo nggak bisa selalu nyalahin diri lo sendiri begitu. Lo persis kayak Abang soal itu. Namanya firasat itu kadang bisa datang kadang nggak. Kecuali kalau elo dukun atau cenayang beneran. Jadi ini bukan salah lo Nif."

"Kalau sampai..."

"Faya itu bisa dibilang hampir sama kuatnya seperti Max atau Niko. Bayangin, mereka berdua dedengkotnya ADS, termasuk Faya. Dia pimpinan tim taktis kalau lo lupa."

"Tapi dia tetap perempuan Ren."

Mareno terkekeh kecil. "Kadang bahkan gue nggak ngerasa dia perempuan, sorry. Tenang Nif, dia akan baik-baik aja. Arsyad tadi mau ke sana, tapi gue dan Niko larang. Dia tenang karena lo ada di sana. Tolong kasih kabar soal Faya."

"Ya." Hanif menyahut pendek lalu menyudahi hubungan itu.

Aryan ke luar dari ruangan operasi kemudian Hanif dan Leo sudah mendekat ke arahnya.

"Leo, apa Faya alergi sesuatu?" tanya Aryan.

"Kacang dan anggur," sahut Leo.

"Obat-obatan tertentu?"

Leo menggeleng. "Faya jarang sekali sakit, hampir tidak pernah. Dia memang sering terluka begini, tapi biasanya cukup ditangani di markas saja dan tidak ada reaksi alergi terhadap obat apapun."

Aryan mengangguk mengerti. "Dia kehilangan banyak darah."

"Ambil darah saya, semuanya," Leo langsung berujar kemudian Hanif menatap Leo tidak suka.

Golongan darahnya AB rhesus negative, salah satu yang terlangka di dunia sedangkan golongan darah Faya B. Jadi dia tidak bisa menyumbangkan darahnya.

"Kita sedang cari golongan darah yang antigennya cocok. Untuk menghindari reaksi alergi. Saya yakin kami masih ada persediaan."

"Jadi bagaimana dia Yan?" Hanif bertanya cemas.

"Kita tunggu saja," kemudian dia kembali masuk ke ruang operasi.

Matanya menatap Leo yang mungkin terlihat lebih pucat dari biasanya. Lalu pikirannya mulai menduga-duga. Apa jenis hubungan mereka? Teman kecil? Seberapa dekat?

"Kamu tahu Faya," dia bersuara.

"Saya tahu segalanya. Dia adalah orang paling penting dalam hidup saya," Leo menatapnya kemudian dia duduk.

"Kalian teman kecil?"

Leo meringis tipis. "Kami teman, sahabat, saudara, belahan jiwa. Cengeng kedengerannya? Nggak masalah. Karena memang begitu kenyataannya. Kalau nggak ada dia, saya bisa gila."

Lagi-lagi, dadanya mulai berdebar seru dengan debar yang dia tidak suka. Hubungan Faya dan Leo lebih dalam dari yang dia duga. Entah kenapa kenyataan itu membuat dia tidak nyaman. Padahal dia tahu perihal ini sejak dulu, kenapa sekarang rasanya aneh sekali.

"Seperti apa Faya kecil dulu?" Hanif duduk di sebelah Leo namun matanya menatap lurus ke depan.

"Kamu akan bosan dengar cerita saya nanti, Bang."

"Saya butuh mengalihkan pikiran saya."

"Saya ketemu dengan Faya saat dia berusia 12 tahun. Kabur dari rumah karena sering dipukuli ayah tirinya. Dia kabur karena ingin diperkosa." Leo diam sejenak. "Dia lagi ada di tong sampah belakang restoran cepat saji. Rebutan makanan sisa dengan kucing di sana."

Kepala Hanif menggeleng, hatinya nyeri sekali mendengar kenyataan itu.

"Dari situ kita kenal dan dekat. Dia tinggal dengan kami."

"Kami?"

"Ya kami, para pengemis, pengamen, pencuri kecil dan pencuri besar, juga satu orang pembunuh dan mantan narapidana yang tobat. Namanya Bang Faiz, dia pelindung kita semua dan paling sering nasihatin kita biar tobat juga." Leo memberi jeda. "Terus Reysandy si terkutuk itu datang, karena kepala preman sebelumnya mati. Semua berubah. Kami diminta kasih setoran yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang kami dapat. Hidup kami makin susah, parah. Bang Faiz bahkan sering dikroyok sama anak buahnya karena melindungi Faya dan Risa. Kami punya satu teman perempuan lain di sana."

"Faya tahu dia nggak bisa terus ada di sana karena Sandy incar dia sudah lama. Karena itu saya dan dia pergi. Kabur. Bukan hanya untuk menyelamatkan diri tapi juga untuk menyelamatkan yang lainnya biar mereka nggak dipukulin lagi."

"Kenapa kamu pergi sama dia?"

"Saya sudah bilang, kami nggak bisa dan nggak mau pisah. Awalnya Faya marah-marah dan tolak saya. Minta saya kembali ke tempat Bang Faiz, tapi saya nggak mau. Saya orang susah, nggak punya apa-apa, tapi saya punya hati. Saya bahkan nggak perduli kalau saya nggak makan tiga hari. Selama bisa melindungi Faya."

Tanpa sadar Hanif menelan salivanya. Dia harus mengakui, hubungan mereka luar biasa.

"Saya tahu karena saya sudah bekerja beberapa tahun di ADS. Kalian si empat saudara. Ikatan kalian luar biasa. Kalian seperti saling melengkapi, saling melindungi dan saling membutuhkan. Apa kamu bisa hidup tanpa saudara-saudara kamu, Bang?"

Hanif terkekeh kecil. "Arsyad mau kita bisa hidup sendiri-sendiri. Tapi kami tahu, ikatan itu terlalu kuat untuk dilepas begitu saja."

"Sama, itu juga yang saya rasakan dengan Faya."

Dadanya sedikit sesak, tapi dia ingin sekali bertanya. "Apa kamu..." dia menghela nafasnya sebelum melanjutkan. "...cinta Faya?"

"Apa itu cinta Bang? Saya nggak paham. Saya dan Faya tidak dibesarkan dalam kehangatan keluarga." Leo diam sejenak. "Kalau cinta itu berarti saya rela melakukan apa saja asal dia tertawa, kalau cinta itu berarti saya mau mati untuk dia, mungkin..."

"Mungkin bukan cinta," Hanif memotong cepat, tidak mau mendengar kelanjutan kalimat itu.

Leo tersenyum. "Entah, saya nggak perduli dengan itu. Saya hanya perlu memastikan Faya bahagia selama-lamanya, itu aja."

Hanif mengangguk. Dadanya terasa sesak lagi. Kenapa begini? Kemudian dia melihat sosok Iwan Prayogo berjalan mendekati mereka dengan Brayuda di belakangnya. Kemeja hitamnya terlihat berantakan karena darah dan juga tanah. Mereka berdiri berhadapan.

"Bagaimana Faya?" tanya Iwan padanya.

"Pendarahan."

"Apa persediaan darah cukup?" Brayuda kali ini.

"Aryan akan kabari lagi jika dia butuh," jawabnya.

"Harusnya kalian tidak datang. Saya bukan anak kemarin sore yang butuh pertolongan," ujar Iwan sambil menahan emosinya.

"Pa..." Brayuda menahan Iwan. "...jangan emosi."

Kemudian tubuh Iwan berbalik ingin pergi.

"Om, dimana Wongso?" tanyanya

Kepala Iwan menengok sedikit. "Bukan urusan kalian. Wongso milik saya. Bereskan saja mayatnya nanti."

Kemudian Iwan pergi dari sana. Menyisakan dia yang menahan lengan Yuda.

"Yud, kami harus tahu apa informasi yang bisa didapat dari Wongso. Kami sangat butuh itu."

"Saya paham, tapi Ayah saya murka. Semoga dia cukup sabar jadi Wongso bicara sebelum Ayah sendiri habisi."

"Kenapa Wongso bunuh anak buahnya sendiri Yud. Apa motifnya?" tanya Hanif lagi. Karena setelah mereka berhasil membawa barang bukti ke Mahendra, ada sidik jari Wongso di sana.

Yuda tersenyum miring. "Karena itu Ayah saya murka. Kalian nggak perlu tahu apa motifnya. Menurut kalian, kenapa Ayah pergi ke sana? Karena kami tahu dari awal Suhandi terbunuh, pelakunya adalah Wongso sendiri."

"Jangan bertindak gegabah lagi Yud. Paling nggak kita bisa saling tukar informasi. Jangan bergerak sendiri-sendiri," ujarnya sambil menatap Yuda.

Brayuda menatap Hanif tajam. "Jangan pernah ajari kami cara bertindak. Kami bukan polisi, juga bukan penumpas kejahatan seperti kalian. Kami punya gaya sendiri. Biarkan apa yang berasal dari jalan, berada di jalan."

"Yud, kamu tahu Arsyad selalu berusaha membantu."

"Kami tidak butuh bantuan kali ini. Jika nanti kami butuh, kami akan hubungi." Brayuda kemudian juga pergi dari sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro