6. The Matchmaker
Saat ini
"Kenapa Nif? Ada yang salah?" Faya menatapnya heran.
Pikiran Hanif seperti langsung kembali ke misinya saat ini. Dia tersenyum kecil. "Nggak."
"Kita harus cepat Nif. Entah kenapa gue punya feeling nggak bener soal ini."
Dia mengangguk kemudian turun dari mobil.
"Lo mau ngapain?" tanya Faya heran.
"Improvisasi. Kelamaan kalau nunggu sepi. Kita bukan buronan kan dan kenal dengan timnya Toto," Hanif membuka topi dan meletakkannya di dalam mobil.
"Justru karena kenal mereka akan curiga nggak?" Faya ikutan turun dan mengunci mobil.
"Asumsi itu belum benar, mari kita buktikan aja. Daripada buang-buang waktu di sini. Duplikatnya saya yang bawa."
Mereka berjalan menuju gedung kepolisian itu. "Saya yang kecoh mereka dan kamu yang masuk cari tahu, oke?"
Faya mengangguk kecil. Hanif memang laki-laki dengan aura yang positif sekali, senyumnya cerah dan ramah, dia dekat hampir dengan semua orang yang Faya kenal di ADS ataupun di kepolisian.
Hanif berbasa-basi sejenak dengan penjaga di depan. Kemudian salah satu penjaga memintanya langsung naik ke ruangan Toto, si Kepala Pelaksana Operasional.
"Hey Nif, tumben kamu mampir?" Bung Toto tadinya sedang mengetik-ketik sesuatu di komputer sambil merokok sudah berdiri dan tersenyum. "Ada kabar?"
Mereka berjabat tangan sejenak kemudian asyik mengobrol ringan. Faya berdiri dan memperhatikan sekeliling mereka. Hanya tersisa dua-tiga orang staff karena mungkin ini sudah jam 9 malam. Matanya menyisir seluruh area dan tidak menemukan barang yang mereka cari.
'Kecil kemungkinan barang itu masuk ke ruang barang bukti. Karena kasus ini masih sangat baru, harusnya ada di bagian forensik,' gumam Faya dalam hati.
"Maaf, saya mau ke toilet ada dimana ya?" Tubuhnya mendekat pada Hanif dan menepuk punggung laki-laki itu perlahan. Gerakan tangannya cepat sekali memindahkan apa yang Hanif letakkan di balik jaket laki-laki itu keluar dan menyembunyikan duplikat itu di balik jaketnya sendiri. Keterampilan pick pocket-nya selalu bisa berguna.
"Di ujung lorong Faya. Ada tulisannya besar. Jangan salah masuk ya." Toto tersenyum dan berkelakar.
Faya tertawa kecil lalu mengangguk. Dia berjalan menuju ke tempat yang dimaksud kemudian segera berbalik arah ketika dia yakin dia sudah tidak pada jangkauan pandangan Toto. Dia masih ingat benar peta ruangan gedung ini. Bagian forensik berada di lantai yang sama. Matanya sudah bisa melihat dimana ruangan yang dia cari.
"Slow down Faya," Suara Mahendra ada pada earphonenya. "Saya matikan dulu CCTV nya sebentar."
Dia memperlambat langkahnya.
"Duplikat sudah dibawa kan?" tanya Mahendra.
"Beres."
"Yak, done. Silahkan masuk."
Tubuhnya sudah berdiri di depan pintu dan ketika dia ingin masuk, tubuhnya ditarik oleh seseorang dan dibawa ke area tangga dekat dengan pintu ruang forensik tadi untuk bersembunyi. Tangan Hanif membungkam mulutnya.
Hanif memang memeriksa Faya setelah Bung Toto menerima telpon di mejanya. Dia melihat gagang pintu itu bergerak sebelum Faya sentuh. Benar saja, salah satu staff forensik keluar dari situ. Tubuh mereka dekat sekali, berdiri berhadapan dengan punggung Faya yang menempel ke dinding. Dari jarak sedekat ini, Hanif bisa melihat anak-anak rambut Faya pada dahinya. Juga rahang wajah gadis ini yang yang membingkai pas sekali. Mata hitam Faya lurus menatapnya berani. Gadis ini berbeda, benar-benar berbeda karena tidak ada sorot pengharapan atau kelembutan apapun di matanya. Hanya ada api yang menyala.
Tangan Faya menurunkan tangan Hanif dari mulutnya. Mereka tahu orang itu sudah pergi dan Faya segera meninggalkan Hanif yang masih menatap tubuhnya yang menghilang di pintu ruang forensik.
Lima belas menit kemudian seluruh basa-basi dan misi mereka selesai. Mereka sedang berjalan ke arah keluar ketika berpapasan dengan Brama.
"Faya?" Senyum Brama terkembang.
"Hai," Faya membalas singkat.
"Hai Nif, ada urusan sama Bung Toto?
Hanif mengangguk setelah mereka berjabat tangan. "Iya, udah selesai."
"Leo mana?" Kepala Brama kembali ke Faya.
"Emangnya saya istrinya Leo jadi bawa-bawa Leo kemana-mana?" wajah Faya datar saja.
Brama tertawa. "Ya, untungnya bukan."
Hanif memindai gestur tubuh Brama. Laki-laki ini tertarik pada Faya, jelas sekali. "Kita pamit Brama." Dia melangkah lagi.
"Faya, tolong balas chat saya kemarin. Thanks." Brama kemudian berlalu dari situ.
Kepalanya menggeleng sambil tersenyum. "Jadi Brama?"
Faya mendengkus saja. "Urus urusan lo sendiri."
Mereka berjalan menuju mobil lagi. Entah kenapa Hanif jadi penasaran tentang kehidupan pribadi Faya. Setelah masuk ke dalam mobil dia bertanya lagi.
"Tapi saya jadi penasaran. Kamu itu dekat banget dengan Leo kan?"
"Mind your own business."
Hanif terkekeh ingin meledek Faya dan mencairkan wajah dingin itu. "Kamu udah pernah punya pacar? Atau jatuh cinta mungkin?"
"Kalau lo mulai bahas kehidupan personal, gue keluar dari sini sekarang."
Wajah Faya yang kesal membuat Hanif tersenyum tambah lebar. Dia selalu menikmati menggoda Faya begini. "Jadi, udah pernah berapa kali pacaran?"
"Hanif." Nada suara Faya mengancam. Kemudian dia menyalakan earphonenya lagi. "Mahen, kita lagi jalan ke sana."
"Fa, Hanif emang usil sama lo dari dulu. Cuekin aja." Faya bisa mendengar suara Mahendra melalui earphone.
"Gue juga heran kenapa dia usil banget."
"Suka kali sama lo...ciyeee Fayaa."
"Kalian itu benar-benar...hrrrggghhhh."
Hanif dan Mahendra tertawa. Kemudian Hanif melajukan mobilnya. Beberapa kali Hanif menolehkan kepalanya ke Faya yang berada di samping. Menebak dan mengira-ngira apa yang sedang gadis itu pikirkan.
"Kenapa sih lo cuma manggil Abang ke Arsyad doang? Lo seumuran sama Mahen, ya sudahlah, jadi nggak panggil dia Abang. Tapi gue? Hey anak kecil, panggil gue Abang," Hanif mendengkus kesal tiba-tiba.
Tanpa dia duga Faya tertawa. Dia tidak pernah sama sekali melihat Faya tertawa, atau bahkan tersenyum. Jadi wajah gadis di sebelahnya ini tiba-tiba manis sekali.
"Kenapa ketawa?"
"Lo nggak cocok ngomong slank Nif. Kalian itu bangsawan berdarah biru, konglomerat dari lahir. Jadi nggak cocok ngomong slank. Kecuali Bang Arsyad pastinya."
"Kenapa jadi diskriminasi Arsyad boleh terus saya nggak?"
"Buat gue, Bang Arsyad bisa jadi apa aja dan boleh bicara atau melakukan apa aja."
Wajah Faya masih tersenyum menatapnya dari samping. Ada rasa bangga yang dia lihat jelas dari pancaran wajah Faya ketika gadis itu mengucapkan nama Arsyad barusan. Dia tidak menyalahkan, karena abangnya memang seorang alpha sejati. Tapi entah kenapa kali ini, hatinya merasa sedikit tidak suka.
***
Di sebuah restoran beberapa hari kemudian
"Halo Bang," Sabiya menyambutnya berdiri lalu mereka berpelukan sesaat.
"Hai Bi," dia tersenyum sambil mengacak rambut Sabiya.
"Abang, jadi berantakan nih. Nyebelin deh."
"Maaf kebiasaan," dia tersenyum kemudian matanya beralih pada satu wanita lagi dihadapannya.
"Eh iya, ini teman aku. Namanya Carol."
Wanita cantik itu berdiri sejenak lalu menjabat tangannya. Dia menyambut uluran tangan itu. "Hanif."
Mereka duduk kembali. Ya, dia memang sudah menyetujui ide konyol Sabiya untuk berkenalan dengan teman-temannya. Jamak? Ya, karena ternyata bukan hanya satu, ini sudah kali ketiga Sabiya berusaha menjodohkannya. Wanita kesayangannya itu memang konyol sekali. Tapi dia mencoba menikmatinya saja. Apa salahnya memiliki teman baru.
Kemudian obrolan mereka berlanjut, ringan dan santai. Carol berbeda, wanita ini bersikap sempurna. Ramah, menyenangkan dan juga sopan. Jangan tanya perihal fisiknya. Mungkin wanita ini adalah yang tercantik dibandingkan dua sebelumnya. Saat mereka selesai makan malam, tagihan itu datang ke meja mereka. Dia mengambil folder kecil hitam dan Carol langsung merebutnya.
"Saya saja," ujar Carol.
"Oh maaf, ini urusan laki-laki," dia berusaha meminta kembali dengan sopan.
"Tidak bisa, saya tidak pernah jadi pengemis dan itu tidak akan dimulai dari hari ini."
"Wow, saya nggak bermaksud begitu." Hanif membiarkan Carol membayar karena tidak mau bertengkar.
"Kamu tahu siapa keluarga saya?" Carol menatapnya setelah selesai membayar.
Dia terkejut tapi berusaha menahan tawa sambil menghirup nafas dalam. Matanya melihat Sabiya yang juga menatap Carol heran.
"Mari kita tidak perlu membawa nama keluarga. Saya pikir itu tidak terlalu penting," jawabnya singkat sambil tersenyum.
"Salah, darah biru akan tetap biru. Saya hanya ingin bertemu denganmu karena kamu seorang Daud. Kita sama."
"Kita tidak sama, sayang sekali. Saya tidak suka wanita sombong yang tidak punya prestasi tapi hanya mengandalkan darah birunya saja."
Mata Carol menatap Hanif marah, "Dasar..."
"Cukup, pergi!!" Sabiya menatap Carol galak. "Pergi sekarang atau saya panggil security."
"Kalian akan menyesal."
"Saya yang menyesal sudah membawa kamu ke sini. Selamat malam." Sabiya sudah berdiri emosi.
Setelah itu Carol berlalu pergi.
"Sayang, duduk dulu. Jangan emosi begitu."
"Ya ampun Baang, maafin aku. Aku nggak sangka Carol tipe perempuan seperti itu."
Hanif tertawa. Satu tangannya menarik lengan Sabiya untuk kembali duduk.
"Oke, babak penilaian." Hanif menatap Sabiya yang wajahnya masih memerah. "Dita itu menarik. Pintar, mandiri, pipinya ada lesung yang menawan. Tapi sayang dia nggak bisa berhenti bicara." Hanif tertawa lagi mengingat wanita pertama yang dibawa oleh Sabiya.
"Itu aku setuju." Entah kenapa Sabiya juga tertawa mengingat itu semua.
"Terus, Indah. Fisiknya standar aja tapi wajahnya manis. Hatinya baik mungkin karena itu dia jadi dokter hewan. Sayangnya, saking baik hatinya waktu aku anter dia pulang, dia minta berhenti dan turun terus nangis di pinggir jalan waktu lihat tikus yang mati karena terlindas mobil. Dia dengan sukses membuat kita jadi pusat perhatian. Suer itu konyol banget Bi."
Tawa mereka membahana.
"Yang terakhir..."
"Nggak usah dibahas, aku maluuu. Udah ah," Sabiya mencebik sebal.
Tawa Hanif sudah berangsur mereda. Dia menatap Sabiya hangat. "Biya, terimakasih karena kamu sudah perhatian banget. Kamu sudah mencoba, aku sudah mencoba. Tapi mungkin memang belum ketemu aja yang cocok."
"Padahal aku udah cari yang sesuai profil perempuan kamu."
"Apa profil perempuan aku emangnya? Jangan sebut Daranindra lagi, itu udah lewat. Udah rela."
"Bang, yang aku tahu kamu nggak menilai wanita dari fisiknya. Kamu suka wanita yang hangat, ramah, baik hati dan nggak sombong. Cewek rumahan dan nggak metropolitan. Beda sama Bang Reno."
"Udah Bi, mendingan sekarang kita pulang deh. Aku anter yuk."
"Apa mungkin selera kamu yang berubah Bang? Siapa tahu kamu tiba-tiba penggemar cewek seksi kayak Bang Reno, atau malah yang galak gahar gitu?" Sabiya masih terus mengoceh dan Hanif menggelengkan kepalanya saja.
***
Brayuda diam menatap laporan di meja dari Rajata, orang kepercayaan ayahnya. Dia sudah menghubungi Niko karena benar-benar merasa terganggu dengan apa yang sedang terjadi. Siapa yang berada di balik Wongso si pemilik daerah Utara. Tidak mungkin preman-preman seperti itu berani bergerak jika tidak ada yang memberi perlindungan. Ini bukan gaya mereka.
Ayahnya masih berkuasa dan masih memiliki pengaruh kuat. Sementara dia benar-benar tidak ingin masuk ke dunia hitam itu. Paham benar resiko yang harus ditanggung besar. Lihat ibunya yang mati karena salah satu musuh ayah dulu. Karena itu selama ini ayah selalu sendiri. Menutup diri dari siapapun yang dekat dengannya. Kecuali keluarga kecilnya pasti. Dia tidak sanggup membayangkan Reyna istrinya atau Nanda dan putri kecil mereka yang belum lama lahir harus bersinggungan dengan bahaya. Dia bisa berubah menjadi pembunuh seperti dulu ketika ada yang melukai mendiang Anisa.
Jadi mungkin juga karena itu ayahnya sering bergerak sendiri hanya bersama Rajata saja, tanpa bilang padanya. Tapi kali ini, salah satu tangan kanan Wongso dibunuh. Entah kenapa dia dan ayah tahu, bahwa yang membunuh Suhandi adalah orang dalam di area Utara. Apa mungkin Wongso sendiri? Karena Suhandi ingin melaporkan sesuatu pada ayahnya sebelum dia ditemukan mati. Ya, ayahnya menerima panggilan dari seseorang yang minta perlindungan, dari Suhandi. Ada yang tidak beres. Ponselnya berbunyi.
"Hai Horney, kamu udah makan? Ini sudah hampir jam 6 sore Yud."
Senyum di wajah Yuda langsung terkembang mendengar suara di seberang sana. "Sudah." Dia menatap makanan yang disajikan Rani sekertarisnya yang masih belum dia sentuh.
"Yud, dimakan beneran ya. Aku cek ke Rani nanti. Kamu susah makan belakangan ini. Ada apa sih Yud?"
"Gimana si little princess, lagi apa?"
Reyna tertawa. "Lagi diajarin lagu Korea sama Nanda tuh dan kamu nggak boleh mengalihkan perhatianku. Aku serius Brayuda. Kalau timbangan kamu turun lagi, aku datang tiap hari dan suapin kamu di kantor. Mau?"
"Mau banget. Pakai lingerie seksi ya jangan lupa. Biasanya kalau udah kenyang makan aku laper yang lain."
"Yudaaa...serius dong."
Dia terkekeh geli mendengar nada kesal Reyna. Kemudian tawanya berangsur reda.
"Kamu nggak pulang malem lagi kan?" tanya Reyna.
Tubuhnya dia senderkan di kursi. "Rey, kalau aku nggak ada..." Yuda memberi jeda. "Kamu harus bisa jaga diri. El Rafi dan Niko akan lindungi kamu, kamu aman dengan mereka. Pergi ke tempat mereka Rey."
Reyna menarik nafas dalam. "Kamu itu Brayuda. Laki-laki yang paling tangguh yang pernah aku kenal. Papa Iwan sudah kasih semua bekal, aku yakin." Reyna diam sejenak di sana. "Sayang, jangan kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu dan Papa Iwan kerjakan. Aku hanya selama ini diam. Hidup tanpa kamu akan sulit dan hutang kamu soal Rio dulu tidak akan pernah lunas. Kamu sudah janji jaga aku setelah Rio kamu buat pergi. Iya kan? Jadi, kalau kamu mau mangkir dari dunia ini, aku akan seret kamu balik. Paham?"
Dia terkekeh, "I love you sexy. You're the best."
"Yes I am, and I love you too Horney. Come home soon, I'm waiting."
Setelah ponselnya dia letakkan, benda itu berdering lagi. Arsyad.
"Ya Bang."
"Yud, dimana Bapak besar?"
Tubuhnya sudah berdiri mengambil jaket kulit dan segera berlari ke luar.
***
Ada yang kangen Brayuda?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro