Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Runaway

Masih Dulu

Tubuhnya diguncang oleh seseorang. Mulutnya ditutup agar dia tidak menjerit.

"Ssst...ikut saya," suara laki-laki itu.

"Hanif?"

"Ya, ayo cepat."

Jam di dinding kamarnya menunjukkan ini pukul 1.30 pagi. Di luar sepi karena memang aktifitas tempat ini akan mulai bangkit lagi di jam 3 pagi.

"Bawa ranselmu," bisik Hanif padanya.

"Gue nggak bawa apa-apa ke sini."

"Bagus. Pakai ini dan ini." Hanif menyerahkan jaket hitam ADS dan topi. "Masukkan rambut kamu ke dalam topi."

"Kita mau kemana?"

"Saya mau kasih apa yang kamu inginkan selama ini."

"Apa?"

"Pergi dari sini?"

"Serius?"

Faya menatap matanya. Laki-laki ini memiliki mata coklat yang mempesona. "Ini bukan jebakan kan?"

"Bukan, saya yang jamin."

"Oke."

Dia tidak mau banyak bicara karena ini adalah kesempatan yang selama ini dia tunggu. Jadi dia sudah berjalan di belakang tubuh Hanif. Tentu saja laki-laki ini memiliki semua akses ruangan. Arsyad sudah bilang padanya bahwa dia adalah pemilik Ares Defense Services atau ADS, perusahaan jasa yang bergerak di bidang pertahanan keamanan. Dia juga sudah tahu dari Max dua hari lalu tentang Hanif. Anak kedua dari empat bersaudara Daud. Ya, ini sudah satu minggu dari terakhir dia dan Hanif berbicara. Dia masih belum mau ke luar ruangan. Tapi kali ini intuisinya berkata bahwa dia berada di tempat yang aman. Sesungguhnya sejak pertama intuisinya itu benar, tapi dia hanya tidak bisa berlama-lama berada jauh dari Leo. Leo membutuhkannya. Jadi dia harus pergi.

Mereka berjalan dalam diam sementara dia menundukkan kepala. Hanif menyapa satu dua orang yang melewati mereka. Kemudian di lapangan parkir dia masuk ke dalam mobil SUV hitam yang kemudian Hanif kendarai. Ketika mereka sudah berada jauh, nafasnya menghela lega.

"Kenapa?" matanya menatap Hanif penasaran.

"Saya nggak suka abang saya buang-buang waktu untuk orang yang nggak mau berada di ADS. Kita punya banyak misi penting dan banyak orang lain yang bersedia berada di sana dan juga lebih mampu dari kamu."

"Masuk akal." Dia diam sejenak. "Gue nggak bisa di sana. Ada seseorang yang sangat butuh gue."

"Saya paham, karena itu lebih baik begini."

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Empat puluh menit kemudian, Hanif menghentikan mobilnya.

"Area Barat, sudah sampai dan ini daerah kamu. Ini tempat dimana Arsyad menemukan kamu. Saya yakin kamu bisa cari jalan pulang sendiri."

Dia mengangguk lalu menatap mata Hanif. "Ya, gue bisa. Terimakasih Hanif."

"Hati-hati. Kita tidak akan ada untuk kamu lagi."

Dia terkekeh kering. "Selama ini, nggak ada yang pernah ada untuk gue. Jadi jangan khawatir."

Hanif mengangguk kemudian melihat Faya turun dan menghilang di salah satu gang.

Dua hari kemudian. Ponselnya berbunyi, Mahendra.

"Ya?"

"Siap-siap, Abang bener-bener ngamuk. Dia emosi berat dan dateng ke lab kemarin buat ngamuk ke gue," Mahendra tertawa. "Apalagi waktu dia tahu ini ide kita berdua. Jadi abis itu giliran lo."

Hanif mengerti resiko atas apa yang dia lakukan. "Oke."

Tubuhnya terus melangkah mantap menuju ruangan Arsyad. Abangnya memang memanggil dan dia sudah bisa mengira apa alasannya. Pintu tidak perlu dia ketuk karena teknologi yang dipasang Mahendra sudah langsung mengumumkan kedatangannya. Arsyad berdiri di ujung ruangan sambil merokok dan bicara pada Niko ketika dia masuk. Kemudian abangnya itu sudah menghampirinya cepat sambil melempar rokok yang tadi dia hisap.

"Dasar brengsek lo!!"

Satu dua pukulan dia terima. Pukulan ketiga dia menahan tangan Arsyad. "Lo itu mirip kayak Mareno Bang, emosian."

Arsyad makin mengamuk. "Lo tahu nggak lo kasih Faya kemana? Apa lo tahu akibatnya?"

Niko sudah berusaha menarik dan menahan tubuh Arsyad. Dia menghela nafas dalam. "Lo mau dengerin gue dulu?"

'BRAK!!' Arsyad menghantam meja karena murka tapi tidak mau melukai adiknya.

"Reisandy yang pegang area Barat. Lo tahu Sandy itu model preman kayak apa? Lo tahu kalau Sandy bersumpah buat rusak Faya karena Faya nggak mau dijadiin gundiknya. Dasar gila lo Nif!!"

Oke, ini fakta baru yang juga mengejutkannya. Ya, dia tahu Faya dikejar oleh Sandy di penguasa daerah Barat. Tapi dia pikir masalahnya tidak sepelik itu dan sungguh dia punya rencana di balik semuanya.

"Berdoa aja, saat gue bisa temuin dia, Faya baik-baik aja," tangan Arsyad bergetar ketika menunjuk ke arah Hanif. "Atau, gue beneran nggak bisa maafin lo Nif."

"Siapa Faya, Bang? Siapa dia?"

"Pertanyaan yang sama buat lo Nif. Siapa Sabiya? Apa kalau gue mau menyelamatkan nyawa, orang itu harus orang penting?"

Pertengkaran mereka berhenti karena ponsel Niko berbunyi. Niko berbicara sambil melangkah ke luar cepat-cepat dan mereka berdua mengikuti. Ponselnya ditutup lalu Niko mulai berlari.

"Kordinatnya sudah dikirim Mahendra. Bapak besar sudah di sana dan masih belum ketemu," jelas Niko.

Mereka kemudian menuju aula yang berisi seluruh alat transportasi milik ADS lalu menaiki motor masing-masing. Setelah itu mereka melaju, berburu dengan waktu.

Di bagian lain daerah Barat

Mata Faya nanar menatap Leo yang sudah hampir mati. Atau sudah mati? Entah. Kedua tangannya diikat merentang ke atas dengan tali kuat, sementara tubuhnya bertumpu pada lutut di lantai bawahnya. Mereka berada di salah satu gudang tua daerah Barat. Setelah dia dan Leo berusaha kabur dari sana tapi kemudian tertangkap.

Darah, peluh dan asap rokok mendominasi indra penciumannya. Dia kembali untuk Leo, karena mereka selalu bersama sejak kecil. Leo adalah sahabatnya dan dia tidak akan pernah meninggalkan sahabatnya.

"Manis banget sih, kalau berdarah-darah begini," salah satu kacung Bang Sandy menyentuh pipinya kasar sambil tertawa.

"Jangan pegang-pegang, si Bos sebentar lagi datang. Ngamuk nanti dia kalau kita cobain sebelum si Bos cobain," ujar kacung lainnya.

Faya tertawa keras sekali. "Bilang tu sama si bangke Sandy, mimpi sana bisa jadiin gue gundiknya." Dia meludah ke samping lalu terkekeh lagi.

"Heh, Bang Sandy udah nggak mau sama lo. Dia cuma mau lihat kita semua cicipin lo. Sabar ya, Sayang."

Dia tambah tertawa geli. "Emangnya gue takut? Kayak kalian sanggup aja ngelayanin gue."

Si kacung satu sudah emosi dan menampar wajahnya lagi. Matanya menatap orang-orang Sandy yang berada di situ. Para laki-laki dengan wajah yang menyeramkan. Apa dia takut? Tidak. Sejak kecil dia hidup di jalanan bersama Leo. Kemudian dia bertemu Sandy dan dia pikir Sandy ingin menolongnya. Tapi ternyata, manusia keparat itu hanya menunggu tubuhnya tumbuh dewasa. Mekar sempurna. Ketika dia sudah menginjak umur 17, dia baru tahu maksud Sandy sebenarnya.

'Manusia terkutuk,' geramnya dalam hati.

Kemudian dia berusaha melarikan diri ke daerah lain. Sandy selalu bisa menemukannya dan kaburnya dia justru membuat Sandy gembira. Psikopat itu seperti bermain-main dengannya. Katanya itu yang membuat dia tambah berhasrat. 'Orang gila.'

Apa rencananya? Tidak ada. Melarikan diri itu sulit, melihat banyak kacung-kacung Sandy bertebaran di sini sekarang. Dia juga bersikukuh tidak ingin meninggalkan Leo. Jadi apa kemudian? Mati sekarang jauh lebih baik. Tapi dia tahu bagaimana cara memancing api dan itu akan membuat Sandy membunuhnya lebih awal. Setelahnya dia pikirkan nanti kalau dia masih hidup.

Untuk kebanyakan orang, hidup itu berharga. Karena mereka memiliki uang, kuasa atau paling tidak keluarga. Ya dia juga tidak mau mati konyol, tapi dia tidak terlalu perduli soal hidup dan mati. Fokusnya hanya pada mengisi perutnya dan menjaga kehormatannya yang makin lama makin sulit sekali. Kemudian yang ditunggu datang, masuk dengan gaya perlentenya.

"Hai Sayang," Sandy melepas kacamata hitamnya lalu tersenyum miring.

"Apa gue tambah seksi?" Matanya yang bengkak hanya terbuka setengah saja. Lagi-lagi dia tersenyum menyambut malaikat mautnya.

Tawa sengau Sandy membahana. Laki-laki itu berpakaian norak sekali dan sekarang sedang berjalan mondar-mandir tidak jauh dari tempatnya.

"Aku kangen kamu, Sayang."

"Kalau lo betulin cara lo berpakaian dan nggak dangdut begitu, mungkin...kemungkinannya satu persen gue bakalan suka sama lo," dia terkekeh lagi kemudian mulutnya dibungkam oleh tamparan keras Sandy.

"Siniin," teriak Sandy pada kacung-kacungnya. Salah satu dari kacung itu menyerahkan ember yang penuh berisi air dengan sedikit bau alkohol. "Mandi dulu, sebelum senang-senang sama gue."

Dia memejamkan mata paham Sandy akan mengguyurkan ember itu padanya. Rasa sakit dan perih langsung menyengat seluruh luka yang dia punya. Sandy terus menyiramnya, bibirnya bergetar menahan sakit. Tapi dia tidak akan menjerit karena tidak ingin memberi kepuasan pada mereka.

"Keluar. Semua keluar. Habis gue, nanti gue panggil siapa giliran selanjutnya. Bawa tu mayat Leo dan buang ke sungai."

Kacung-kacung itu keluar dan Sandy tidak membuang waktu. Laki-laki bejat itu mulai merobek pakaiannya dan menyisakan baju dalam saja sambil berujar.

"Nggak salah emang nungguin lo selama ini..." Sandy juga mulai melucuti pakaiannya sendiri. "...gue nggak ngerti kenapa lo nggak mau sama gue. Apa kurangnya gue? Gue penguasa di sini. Harusnya lo rela-rela aja jadi hidup lo gampang kan? Pake segala mau menjaga kesucian. Belagak lo."

"Terus kalau lo bosen gue bakalan dilempar ke rumah singgah keparat itu juga kan? Buat ngelayanin anak buah lo? Apa bedanya, bego!"

Satu tali tangannya sudah dilepas karena dia tahu Sandy ingin menidurinya di lantai. Kemudian suara gaduh itu terdengar dari luar. Pintu gudang terbuka dan beberapa kacung Sandy sudah merangsek masuk karena berkelahi.

"Keluar," kemudian mata Sandy menatap siapa yang datang. Dia mengambil pakaiannya dan terburu-buru mengenakan celana dan baju lalu ikut menerjang.

Matanya mengerjap perlahan. Kenapa dia bisa melihat Arsyad samar-samar, juga Hanif, Max, Niko, juga satu laki-laki bertubuh besar dan lebih tua. Siapa dia? Apa juga yang si aneh itu lakukan di sini?

"Faya, bangun," Hanif menutupi tubuhnya dengan jaket yang dia kenakan. "Pakai ini."

Kemudian Hanif sibuk lagi karena memang anak buah Sandy hampir semua ada di sini. Dia berusaha bangkit tapi satu tangannya masih terikat. Jadi dia hanya bisa bersandar pada peti besar tempat tangannya terikat itu sambil satu tangan lainnya menutupi tubuh dengan jaket Hanif. Matanya dengan jelas melihat Arsyad dan Hanif mengamuk. Teknik tangan kosong mereka luar biasa. Sandy yang sadar mulai terdesak, kemudian menghampirinya dan menjadikannya sandra.

Dia berusaha melawan tapi tenaganya sudah terkuras habis dan tangannya masih terikat. Sandy mulai menembakkan senjata ke langit-langit. Mereka berhenti. Kacung-kacung Sandy sudah bergeletakan di lantai. Kemudian laras pistol itu mengarah ke kepalanya. Dia meronta sekuat tenaga dan Sandy menembakan pistolnya lagi ke atas.

"Diam, Sayang. Kita kabur dari sini dan teruskan yang tadi nanti," Sandy terkekeh. Kepalanya menoleh ke arah kelompok Arsyad dihadapannya. "Maju, gue pecahin kepalanya atau gue tembak lo semua."

"Bagus, bunuh dia setelah itu gue kulitin elo." Arsyad malahan berlari menuju ke arahnya.

Hanif berusaha menghentikan Arsyad karena tahu abangnya tidak menggunakan pakaian pelindung. Namun gagal karena Sandy sudah menembakkan senjatanya ke Arsyad. Tubuh Arsyad bungkuk menerima satu peluru yang menggores perutnya dan satu lagi di bahu, kemudian dia bangkit lagi dan makin berlari menerjang tidak perduli. Sementara sudah ada yang menembak Sandy dari belakang.

Tangan Arsyad sempat melayangkan pukulan keras pada wajah Sandy sebelum dia ambruk ke lantai, jatuh dihadapannya, berdarah-darah untuknya. Hanif benar, laki-laki aneh ini rela mengorbankan nyawa untuknya yang bukan siapa-siapa. Kemudian mulutnya sudah berteriak ngeri. "Arsyaaad!!"

Seumur hidupnya dia tidak pernah menangis, tidak pernah sama sekali. Tapi saat ini seluruh persediaan air matanya keluar. Satu tangannya yang tidak terikat berusaha menggapai tubuh Arsyad yang sudah ditopang oleh Niko dan Hanif. Dia terus menjerit memanggil nama Arsyad.

Kaki bapak besar menginjak kepala Sandy yang sudah menangis. Dia tadi yang menembak Sandy hingga hampir mati. Bapak besar berjongkok dekat dengan wajah Sandy di lantai. Dia menghisap rokoknya kuat.

"Menurut lo, siapa yang bisa gantiin lo?" dahinya mengernyit seperti berpikir. Dia tidak menghiraukan Sandy yang sudah mengiba-iba padanya. Iwan Prayogo mengokang senjatanya. "Kasih gue nama, cepet."

Terbata-bata Sandy menyebutkan satu nama.

"Gue nggak setuju, tapi nanti gue pikirin lagi." Dia menghembuskan asap rokok itu. "Sekarang lihat gue. Gue mau lo ingat benar, siapa yang bunuh lo. Paham?"

Sandy makin menjerit ketakutan. Mata Iwan bisa melihat Arsyad sudah dibawa pergi ke luar gudang, juga Fayadisa yang dipapah oleh Hanif. Hanya tersisa beberapa tim ADS yang sedang membekuk kacung-kacung dari manusia yang sekarang mengiba padanya. Iwan Prayogo sudah berdiri dan berteriak keras. Tim ADS yang masih berada di dalam gudang dan juga preman-preman menatapnya.

Dia menyebutkan satu nama, orang kepercayaan Sandy dan yang tadi menyiksa wanita itu. Orang yang disebut diseret maju mendekat padanya oleh Jata.

"Kalian yang lain, silahkan bermalam indah di penjara. Tapi ketika kalian keluar, ingat baik-baik siapa saya."

Kemudian dia menoleh pada Sandy dan menembakkan senjatanya di kepala. Lalu dia beralih ke satu kacung tidak berguna itu, kemudian dia melakukan hal yang sama. Setelah itu, dia keluar sambil berujar pada Rajata.

"Jata, sampaikan pesan ini sebaik-baiknya pada semua penguasa daerah. Saya akan pikirkan siapa pengganti Sandy."

Iwan Prayogo ke luar dari gudang itu sambil membuang rokok dan menyimpan senjata.

Di rumah sakit

Mereka berada di kamar tunggu khusus. Arsyad sudah masuk ke ruang operasi. Tubuhnya duduk tegak, kaku. Luka-lukanya sendiri sudah diobati dan dibebat oleh perawat beberapa jam lalu. Leo juga sudah dalam perawatan intensif. Tapi ini semua tidak sebanding dengan apa yang terekam jelas pada ingatannya. Tentang bagaimana laki-laki asing dan aneh itu berusaha keras menyelamatkan hidupnya. Padahal dia siapa? Sedikitnya dia setuju dengan Hanif bahwa dia hanyalah orang yang tidak penting hingga membuat Arsyad buang-buang waktu.

"Kamu nggak apa-apa?" Hanif sudah menarik satu kursi untuk duduk dihadapannya.

Tangannya mengepal kuat. "Gue benci basa-basi."

Hanif mengangguk mengerti. "Kamu harus istirahat. Tebakan saya kamu ditangkap mereka enam-delapan jam sampai kita datang. Kamu bahkan belum makan sedari tadi."

"Kenapa Arsyad bego banget? Kenapa dia begitu?" Tangannya basah karena titik-titik air mata jatuh lagi.

"Abang saya itu ahli strategi dan punya banyak keterampilan lainnya. Bego bukan salah satunya."

"Menerjang peluru, dia bahkan lebih bego daripada gue."

"Arsyad berhitung cermat. Peluru di senjata Sandy habis saat dia terima dua tembakan itu. Itu membuat dia bisa melumpuhkan Sandy jadi Sandy tidak bisa menyakiti kamu lagi. Dia membiarkan dirinya hilang kesadaran karena sudah tahu Sandy sudah nggak berdaya. Itu bukan bego, itu strategi."

Hanif menghirup nafas dalam kemudian berdiri. "Hapus air mata kamu. Arsyad benci orang cengeng." Kemudian Hanif berlalu.

Dia kembali ke markas besar ADS dan hanya bisa tidur sejenak dua malam berikutnya. Memaksa dirinya tetap hidup karena ingin menepati janjinya dulu. Kemudian dia mendengar kabar Arsyad bangun di hari kedua. Kakinya langsung berlari ke ruang rawat Arsyad. Dia mantap masuk setelah mengetuk pintu.

Niko, Hanif, Mahendra dan Arsyad yang duduk di tempat tidur menoleh dan berhenti dari pembicaraan mereka. Dia berjalan ke dekat Arsyad dan berdiri tegak.

"Fayadisa Sidharta, datang melapor."

Arsyad menghela nafas kecil kemudian menatap matanya. "Tidak akan ada jalan kembali ketika kamu sudah menjadi bagian kami."

"Saya tidak ingin kembali."

Arsyad diam sejenak. "Saya akan buat hidupmu terasa di neraka."

Dia tersenyum kecil, matanya tetap menatap lurus ke depan. "Saya sudah tinggal di neraka sejak kecil."

"Baik."

"Gue info Max untuk siapkan..." Niko berujar.

"Jangan. Gue akan latih dia sendiri. Siapkan tempatnya."

***

Fayadisa Sidharta

Pimpinan tim taktis ADS. Hobi: menghabiskan waktu di sasana. Kemampuan bertarung dan bertahan hidup sedikit di bawah Niko Pratama. Keras kepala dan keras hati, persistence, fokus, disiplin tinggi. ADS adalah hidupnya. Sahabat Leo sejak kecil dan sangat menghormati Arsyad.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro