49. Boom!
Finally, last part. Tarik nafas panjang.
***
Mereka berada di ruangan tertutup. Dia muak pada sikap Hanif yang benar-benar tidak mau mengerti. Bukan hanya Hanif, Arsyad, Leo, bahkan Mareno dan Niko juga setuju dengan apa yang saat ini mereka lakukan, mengurungnya kembali.
"Nif, Aryo melukai Sabiya. Ini Sabiya! Mungkin dia akan bunuh Sabiya dan tamunya juga kalau kita datang terlambat."
Tubuhnya berjalan mondar-mandir gelisah. Dia tertangkap oleh Leo dan timnya sendiri ketika sedang mengejar Aryo yang berhasil lolos saat insiden kemarin di butik. Murka sudah membakar akal sehatnya saat melihat Sabiya yang berdarah di lantai tidak sadarkan diri. Dia kalut, karena tahu itu semua terjadi karena Aryo menginginkannya dengan cara yang salah.
"Fa, ini nggak akan berhasil kalau kita jalan sendiri-sendiri. Aku sudah berulang kali bilang dan kamu selalu lupa."
"Tapi Sabiya terluka, Nif. Sabiya..."
"Fa, apa kamu tahu sekarang kami juga sedang mengurung Mahendra karena dia juga sama emosinya seperti kamu?" Hanif berdiri menatap Faya. Suara laki-lakinya itu sedikit bergetar. "Apa kamu pikir saya, atau Arsyad, dan juga yang lain tidak ingin langsung saja menghabisi Aryo? Saya bahkan membunuh untuk pertama kalinya, untuk Sabiya. Dan saya akan lakukan itu lagi jika memang dibutuhkan."
Dia menatap mata Hanif yang sama terlukanya. Atau betapa dia tahu bahwa Hanif akhirnya membunuh seseorang dan itu juga pasti melukai jiwanya.
"Biarkan aku pergi, Nif. Aryo ingin Fayadisa. Bukan yang lain."
Kepala Hanif menggeleng keras. "Lalu apa? Aryo kaki tangan Herman. Apa kamu pikir dia akan berhenti mencoba membunuh kami jika kamu sudah dalam kurungannya?"
"Tapi paling tidak..."
"Kamu tidak akan merasa terbebani. Begitu, Fa? Apa kamu tidak memikirkan perasaan tim yang lain? Perasaan Leo? Arsyad? Niko? Atau aku?" Hanif juga sudah mulai tinggi. "Demi Tuhan kami tidak akan berhenti memburu Aryo jika dia mendapatkan kamu."
"Jadi aku harus bagaimana? Bilang!!" Air matanya mulai meluncur satu-satu. Suaranya tinggi. "Kenapa semua kacau begini? Apa kamu tahu rasanya melihat orang lain terluka karena diri kamu sendiri? Apa keinginan aku itu relevan saat seperti ini? Paling tidak kalau aku ditangkap Aryo, aku bisa membunuhnya karena tahu dia tidak bisa menyakiti aku."
"Ya!! Benar. Setelah kamu dipaksa, dilecehkan dan dianiaya. Itu yang kamu mau Fa?" Hanif juga sudah berteriak emosi.
Kepalanya menggeleng. "Bahkan itu sudah nggak relevan lagi. Aku cuma ingin dia berhenti menyakiti orang-orang terdekatku."
"Lakukan, dengan cara yang benar, Fa. Saat kita sedang dikuasai emosi, seluruh penilaian bisa menjadi buram. Temukan titik dimana kamu bisa melihat jalan keluar. Jangan terjebak pada lingkaran gelap dan akhirnya sia-sia." Dua tangan Hanif sudah membingkai wajah Faya yang masih menangis.
Hanif melanjutkan "Kenapa sulit sekali meyakinkan dirimu untuk bekerja sama. Jangan berjalan sendiri-sendiri. Kita semua mempunyai tujuan yang sama. Tapi semua bisa hancur kalau kita bertindak sendiri-sendiri. Berhentilah berusaha mengorbankan diri, Fa. Dan mulai bekerja sama. Kami membutuhkanmu."
Kesadaran itu datang, menghantam tiba-tiba. Ini semua tidak akan berhasil jika dia terus didera emosi dan rasa bersalah. Cara terbaik adalah berjalan bersama. Karena mereka akan jauh lebih kuat dari siapapun di luar sana.
"Aryo berusaha mengganggu Sabiya. Paham benar dia adalah titik lemah kita. Paham benar seluruh orang akan pecah konsentrasinya. Lihat Mahendra, bahkan Niko. Arsyad pun gamang melihat kondisi Sabiya. Itu semua bukan salahmu, Fa. Aryo akan tetap memburu kami sekalipun kamu tidak bertugas kemarin. Aku memilih tidak terpancing pada permainan murahan itu, Fa. Aku butuh bantuan kamu. Bantu aku untuk berpikir jernih dan menyusun rencana. Saat semua orang tidak bisa."
Lalu dia memeluk Hanif kuat. Betapa laki-laki ini sangat hebat perihal mengendalikan emosi. Saat semua panik, saat Aryo meledek dan mengancam dengan cara yang paling kejam, hanya Hanif yang bisa berpikir tajam. Benar-benar menganalisa segalanya cermat. Bukan karena dia tidak perduli dengan Sabiya, karena sungguh Sabiya adalah adik kesayangannya. Semua orang tahu. Hanif bahkan membunuh untuk pertama kalinya. Tapi justru kerena itu, dia berusaha bertahan dari dera batinnya sendiri, untuk mencari solusi dan menangkap Aryo Kusuma.
"Maafin aku."
Hanif memeluknya sama erat. Seperti berusaha membagi sedikit sisa asa yang dia punya. "I need you, don't go there."
Kepalanya mengangguk.
"Promise me. No stupid things anymore," bisik Hanif di telinganya.
"I promise."
***
Beberapa hari kemudian
Mareno menatap wajah Tania dari samping. Mereka berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang dari MG. Ini sudah beberapa hari dari insiden Sabiya di butik. Istrinya terlihat lelah sekali, karena benar-benar mengawasi kondisi Sabiya yang masih belum sadar. Kemudian satu tangannya yang tidak sedang mengemudi menggenggam lembut tangan Tania.
"Sayang, bagaimana kondisi Sabiya?"
"Persis seperti kamu dulu, Ren." Mata Tania menerawang ke depan. Seolah pikirannya tidak sedang bersama raganya sekarang.
"Sayang..." Mareno berusaha mengembalikan kesadarannya lagi.
"Maaf." Kepala Tania menggeleng sesaat, seperti mengusir bayangan kelam yang lalu. "Seluruh prosedur cepat dan tepat sudah dilaksanakan. Aku nggak mau bikin kamu pusing dengan istilah kedokteran. Tapi, Sabiya masih kritis karena kehilangan banyak darah. Terlalu banyak."
Dia bisa merasakan tangan Tania mengenggamnya erat. Wajah istrinya itu bahkan menatap dari samping.
"Serum Mahendra?"
"Belum bisa langsung diberikan. Apalagi ini kali pertama serum itu digunakan, kami harus sangat hati-hati karena belum diuji coba pada pasien sendiri. Jadi tim dokter memutuskan untuk menunggu hasil test Sabiya lebih baik dari sekarang. Setelah itu kami akan berikan."
Refleks tangannya mencengkram kendali mobil kuat. Aryo Kusuma memang benar-benar bajingan.
"Ren, apa itu artinya Aryo akan mulai menyerang orang-orang terdekat kalian?"
Satu tangan Tania dia cium perlahan. "I won't let anything bad happen to you. Not anymore."
"Oh, aku malah menunggu Aryo sendiri menghampiri aku biar aku juga bisa menghajar dia. Manusia brengsek, sialan."
Dia terkekeh kecil. Berusaha menyimpan kenyataan bahwa saat ini sesungguhnya seluruh perimeter penjagaan sudah dipasang oleh Arsyad di sekeliling keluarga terdekat mereka. Tania dan Bayu Tielman, Leo Chandra, Damar, Danika bahkan Arsyad juga mengutus seseorang untuk menjaga Alexandra Walton. Tamu Sabiya yang kebetulan terlibat kasus mereka kemarin. Semua penjaga ditempatkan di sekeliling orang-orang itu tanpa mereka tahu.
Wajahnya menoleh sejenak lagi pada wajah Tania. "Apa kamu menyesal?"
"Tentang?"
"Menikahi James Bond."
Tania tertawa, hal itu membuatnya tersenyum kecil.
"Ya, aku menyesal." Kepala Tania mengangguk sambil masih tersenyum.
"Serius?"
"Aku menyesal, karena harusnya aku setuju menikahimu sedari dulu."
Dia mulai murahan lagi. Tania jarang berkata manis padanya, kecuali jika istrinya itu ingin bergurau saja. Sekalipun begitu, dia tetap saja bereaksi murahan dengan tersenyum lebar. Lagi-lagi Tania tertawa.
"Bagaimana dengan Mahendra? Dia seperti murka. Aku nggak pernah melihat Mahendra berekspresi seperti itu." Ya, yang dia tahu Mahendra adalah sosok yang benar-benar introvert dan datar. Tapi saat insiden itu berlangsung, ekspresi Mahen berubah menjadi lebih gelap.
Nafasnya dia hirup panjang. Ingat benar reaksi Mahendra yang mengamuk dan bersikukuh mengejar Aryo sendirian. Kemudian mereka bertiga harus selalu memantau kondisi Mahendra serta keberadaan-nya.
"Mahendra berusaha, kami berusaha. Kamu tahu? Bahkan Hanif untuk pertama kalinya membunuh untuk melindungi Sabiya. Itu semua harga untuk melindungi keluarga."
"Aku pikir, Mahendra merasakan sesuatu pada Sabiya. Mangkanya reaksi dia keras begitu. Ekspresi Mahen sangat berbeda."
Dia tersenyum kecil. "Aku nggak bisa komentar urusan hati saudara-saudaraku. Hanya bisa bilang, kami akan menghargai siapapun wanita yang dipilih oleh masing-masing dari kami, wanita itu juga akan menjadi keluarga kami. Dan Sabiya, sejak awal dia sudah menjadi bagian keluarga kami. Jadi ini memang sangat personal."
"Hanif luar biasa ya, dia bisa mengendalikan diri seperti itu."
"Abangku yang satu itu hebat, perihal mengendalikan diri. Padahal, Sabiya adalah kesayangannya dari dulu. Aku yakin Hanif sama hancurnya di dalam. Dia hanya berusaha tidak kehilangan fokusnya agar bisa berburu Aryo, saat Arsyad dan Niko fokusnya juga sedang kacau."
"Aryo serius jatuh cinta dengan Faya, dengan cara yang salah." Tania berkata lirih.
"Apa itu salah dan benar? Perasaan bisa membutakan. Lihat aku dulu. Kamu adalah wanita paling pintar dan paling berani yang seharusnya aku jauhi. Tapi perasaanku bilang sebaliknya." Matanya lurus menatap ke depan sambil mengendalikan kemudi.
Wajah Tania menoleh dan tersenyum menatapnya. "Kamu juga seorang Don Juan kelas kakap dan laki-laki paling narsis yang pernah aku kenal. Dua hal itu adalah bukan kepribadian yang aku cari dari seorang laki-laki. Dan ya, perasaan itu membutakan. Tanpa logika sama sekali."
Mereka terkekeh kecil sejenak. Dia sangat menyukai pemandangan tangan besarnya yang menggenggam tangan ramping Tania erat. Kemudian nafasnya dia hirup dan hela.
"Tapi itu semua nggak membenarkan perbuatan Aryo. Laki-laki itu bajingan dan pengecut karena menyerang wanita yang tidak bersalah. Apapun alasannya, harusnya dia punya kode etik tertentu untuk nggak melibatkan orang-orang terdekat. Be a gentleman, come on. Pick his own size. Kenapa dia malah menembak Sabiya yang bahkan nggak bersenjata. Manusia sinting, gila!!" Emosinya naik lagi.
"Kamu pernah membunuh?"
"Ya, pernah. Dan aku senang membunuh bajingan itu dulu."
"Siapa?"
"Seseorang, yang melukai Sabiya."
"Maksudnya?"
"Hidup Sabiya tidak seindah yang kamu kira, Sayang." Dia diam sejenak. "Ini bukan cerita yang akan kamu suka, dan ini terlalu pribadi. Aku nggak mau jadi seseorang yang menceritakan masa lalu kelam orang lain."
Tania menarik nafas perlahan. "Aku menghargai itu. Kita semua punya masalah dan duka masing-masing ternyata. Rahasia yang kita simpan sendiri."
Mobil mereka sudah sampai. Posisi duduknya dia rubah menghadap ke samping. Wajahnya menatap Tania. Tiba-tiba bayangan Sabiya yang sedang terluka datang. Membuat rasa takut merayap cepat. Membayangkan bagaimana jika bukan hanya Sabiya nanti, tapi juga istrinya sendiri.
Lalu dia menarik Tania dalam pelukan hangat sambil berbisik. "I love you. Kamu manusia paling penting untuk aku. Jaga diri ketika kita sedang nggak bisa bareng. Saat ini situasi sangat berbahaya. Dan aku masih punya banyak tugas untuk diselesaikan. Aryo, Herman. Paman Ardiyanto juga harus bangun sebelum Herman mulai menggila. I love you so much, Beiby."
"I love you more, Mr. Bond." Tania balas memeluk suaminya erat.
***
Dua minggu kemudian
Tubuhnya berdiri kaku di pojok ruangan. Tempat ini sedang ramai. Penuh dengan dentuman musik, asap rokok, dan penduduk kota yang ingin melepas penat setelah bekerja dengan alkohol. Bangunan bar dua lantai sederhana tapi dengan area tengah yang luas untuk berdansa. Atapnya menjulang tinggi dengan konstruksi kuat di bagian pinggir-pinggir ruangan. Letak bar ini juga ada di pinggiran kota dan tidak berdekatan dengan bangunan lain. Semua itu dia sudah pelajari seharian kemarin.
Matanya mengintai laki-laki yang duduk di meja bar. Lima orang itu terdiri dari Aryo dan empat lainnya. Dia sendiri mengenakan jaket dengan hoodie yang menutupi kepala di atas topi. Berdiri di pojok yang gelap dan berusaha mengendalikan emosi yang ingin meledak.
Peraturan dasar yang ditetapkan di ADS adalah mereka tidak boleh menggunakan senjata apapun jika berada di tempat yang penuh dengan penduduk sipil. Jadi jika mereka berbenturan dengan pelaku kejahatan, mereka harus menggunakan tangan kosong. Oh, apa dia perduli sekarang? Dia bisa meratakan tempat ini hanya dengan satu alatnya yang kecil. Dia ingin sekali melakukan itu. Meledakkan Aryo Kusuma di depan matanya.
Tapi, tidak ada salahnya sedikit bersenang-senang kan? Membuat kekacauan hingga semua orang menyingkir dan dia bisa melemparkan peledak itu ke Aryo. Ya, itu rencananya.
Langkahnya mantap menuju orang yang dia benci, bajingan yang menembak Sabiya dan membuat wanita itu masih belum sadar sampai saat ini. Semua kenyataan yang membuat akal sehatnya pergi. Sambil lalu dia mengambil asal dua botol bir kosong dari salah satu meja yang dia lewati. Mereka sedang terkekeh atas sesuatu. Salah satunya berbalik dan dia mulai menghantam orang itu.
Tubuh Aryo yang sedang duduk dia tendang keras. Laki-laki itu terkejut namun langsung siaga. Aryo mengeluarkan senjata cepat dan dia melempar botol lainnya sama cepat. Peluru meledak, perkelahian tidak imbang dimulai. Orang-orang berteriak panik dan pergi. Dua anak buah Aryo dia bisa lumpuhkan dengan melemparkan peluru listrik yang langsung menempel pada tubuh mereka dan berfungsi. Oh, indah sekali melihat tubuh mereka kejang nyeri. Dia tersenyum sambil meludahkan sedikit darah karena perkelahian mereka.
Aryo dan dua lainnya menodongkan senjata, lurus padanya. Dia tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Mahendra Daud." Aryo menatapnya sedikit terkejut. "Hallo, genius. Dimana yang lain?"
"Gue nggak butuh yang lain."
"Oke, urutannya sedikit salah, karena harusnya Hanif Daud terlebih dahulu. Tapi gue nggak masalah." Aryo sudah bersiap menarik pelatuknya kemudian berhenti melihat tiga drone sudah melayang berada di belakang Mahendra.
"Hai, mereka hawk eye, teman-teman gue." Telinganya mendengar suara indah ketika senjata pada drone-drone itu terbuka.
"Oooh...kalian belum bertemu dengan teman-teman gue yang lain. Jangan pucat dulu." Dia tertawa lagi kemudian menunjukkan alat yang berkedip dan dia genggam sedari tadi. Wajah ketiganya pucat.
"Yes, ini mini TNT. Diproduksi terbatas, hanya bisa digunakan oleh kami saja. Karena harus menggunakan sidik jari kami. Kekuatan ledakan? Hmmm...tempat ini akan rata dengan tanah."
"Lo nggak bakalan berani."
Dengan cepat dia melemparkan benda itu ke samping area yang kosong dan area itu meledak dengan ledakan kecil hingga mereka bertiga kaget.
Dia tertawa lagi. "Ups, salah, Bukan yang itu ternyata tapi yang ini." Benda seukuran biji kelereng itu berkedip hijau."
"Dasar gila!" Aryo menggelengkan kepala bersiap ingin menarik pelatuk lagi. Lagi-lagi Aryo berhenti karena drone-drone itu bergerak membidik mereka. Dua anak buahnya sudah membidik balik drone-drone itu sekalipun belum ada yang menembakan senjata.
"Benda ini jatuh ke tanah...boom!! Silahkan tembak. I dare you to shoot me." Dia menatap Aryo sambil tersenyum menantang.
Dua anak buah Aryo menatap Aryo ragu-ragu. Aryo yang kesal menggeram marah keras sekali, kemudian Aryo menghampirinya untuk merebut peledak yang dia genggam, Arsyad dan Niko datang sambil mulai menembaki Aryo dan timnya.
Perkelahian tidak bisa dihindari. Dia sendiri maju dan ikut serta menghantam Aryo bersama Arsyad, sementara Niko mengurus dua lainnya. Drone-drone itu dia tidak gunakan sementara ini karena dia benar-benar ingin menghajar Aryo dengan tangannya sendiri. Senjata Aryo dan Arsyad sudah terlempar menyingkir. Jadi mereka berbaku hantam dengan tangan kosong.
"Mana Hanif?" tanya Aryo. Mereka masih saling menghindar dan menghantam.
"Di tempat tidur bareng Faya," jawabnya sambil terkekeh.
Aryo mengamuk karena apa yang dia ucapkan. Beberapa anak buah Aryo datang entah darimana untuk membantu. Saat itu drone-drone nya mulai berkerja. Membidik anak buah Aryo yang baru datang. Sementara dia dan Arsyad terus menghantam.
"Bung Toro akan datang, sebentar lagi. Tempat ini akan penuh polisi," ujar Niko sambil masih sibuk bertarung.
Tubuh Arsyad meluncur di lantai untuk mengambil senjata terdekat yang jatuh dan menembakkannya pada Aryo. Brengseknya anak buah Aryo menggagalkan bidikannya.
Sesaat semua berhenti karena lima anak buah Aryo menodongkan senjata. Suara sirine polisi sudah mulai terdengar dari arah luar.
"Dari tadi nggak nembak-nembak. Nunggu apa?" Dia mengeluarkan beberapa butir peledak lagi. "Nunggu apa, Brengsek?" Teriaknya emosi. Dua drone nya sudah jatuh ditembak oleh anak buah Aryo. Tersisa satu yang masih melayang siaga.
Kepala Aryo menggeleng. "Mati itu mudah, tapi gue nggak mau buat Faya sedih karena gue mati. Jadi, next time."
"Check perimeter, Rick. Apa aman?" tanya Arsyad melalui earphone. Kepala Arsyad mengangguk mendengar jawaban Erick.
"Perimeter luar sudah di amankan. Polisi sudah mulai datang." Arsyad menyalakan rokoknya lalu menghembuskan kuat. "Bagusnya bangunan ini tidak berdekatan dengan bangunan lain. Bukan bar mewah, mudah diganti. Selera lo jelek, Yo." Arsyad berbicara pada Aryo sambil masih menghisap rokoknya.
"Selera gue bagus soal perempuan. Lo setuju kan?" Aryo tersenyum miring.
Arsyad dan Niko mulai berjalan mundur, sama seperti Aryo dan tim mereka sambil masih menodongkan senjata. "Lain kali, jangan jadi banci dan pilih lawan yang seimbang." Rokok Arsyad dia lempar ke tengah.
"Rick, minta Brama tahan timnya di luar. Jangan ada yang masuk." Arsyad berbicara pada Erick di earphone.
Tangan Arsyad menepuk pundak Mahendra sebelum melanjutkan. "Ledakkan mereka."
Tim Aryo sudah mulai berlari menuju pintu keluar terdekat sambil menembakkan senjata asal. Dia tersenyum kecil kemudian dengan senang hati dia memijit hati-hati salah satu benda kecil itu. Menghitung cepat jarak dan area yang akan dia ledakkan. Arsyad, Niko, dan satu drone melindunginya dengan cara juga menembaki Aryo. Kemudian kelereng itu dia lempar lalu meluncur cepat ke arah Aryo dan timnya.
Tubuh mereka semua berlari menjauh. Matanya dengan cermat memindai konstruksi bangunan yang dia sudah hafal. Titik perlindungannya ada di sana. Arsyad seperti membaca pikirannya dan menariknya cepat untuk berlindung pada salah satu meja granit panjang di pinggir ruangan. Lalu...BOOM!
***
It's been a lot of fun to share every part of this story with you, Genks. I really enjoy writing it, and always hope you also enjoy reading it.
Maaf kalau ada salah di sana-sini. Terimakasih buat yang sudah banyak mengingatkan, mengkoreksi, gue mendengarkan kalian, dan benar-benar berterimakasih. Insya allah akan berusaha terus diperbaiki lagi. Gue bakalan seneng banget, kalau kalian bisa comment tentang cerita ini. I will read it one by one.
For sure, this is not goodbye. So, till we meet again on the next book of their adventure.
Jadi...next nya siapa??????
I can't hear youuuu....
Oh, I just love you all.
See you soon.
-ndi-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro