48. The Bride to be
Alexandra sudah berada di mobil. Menatap hampa jalanan dihadapannya. Harusnya dia bahagia, karena sebentar lagi William dan dia meresmikan hubungan. Tapi entah kenapa, hatinya tidak bereaksi sama sekali. Apa dia bosan? Dengan segala yang dia punya sejak lama. Seluruh kekayaan keluarga, juga ketenaran yang dia saat ini miliki.
Fame and wealthy. Mungkin untuk banyak orang hidupnya sempurna. Padahal mereka tidak tahu jika kita memiliki hampir segalanya, itu semua jadi terasa hambar. Semua terlalu mudah. Termasuk William. Mereka dijodohkan. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi, hati dan perasaan adalah sesuatu yang berbeda. Organ tubuhnya yang satu itu sulit sekali dibuat senang atau untuk diminta berdetak tidak beraturan. Semua terlalu tenang. Padahal Claudia – sahabatnya - bilang bahwa saat dia jatuh cinta, organ tubuh yang satu itu akan berlompatan gembira.
Apa dia cinta William? Mungkin tidak, entah. Tapi dia tidak mau direpotkan dengan tugas untuk menemukan laki-laki yang katanya akan menjadi 'The One' untuknya. Oh, jadwalnya padat dan gila. Terkadang bahkan dia hanya tidur 1 jam saja. Jadi dia tidak punya waktu. Dan perjodohan kali ini memang istimewa, karena dia memerlukan sesuatu untuk menutupi kekacauan yang dia buat di Amerika sana. Jadi ya, dia setuju dengan semua yang mamanya atur.
Matanya sudah beralih ke ponselnya yang berbunyi.
"Ya."
"Sayang, sudah sampai butik Sabiya?"
"Belum."
"Kita makan malam setelah itu."
"Nggak perlu repot, aku ada janji dengan MODA malam ini." MODA adalah agency yang menaunginya sekarang.
"No, aku akan telpon Carro untuk atur di lain waktu."
"Ayolah Will, aku paham Carro itu Tante-mu. Tapi kamu nggak bisa seenaknya begitu. Aku nggak mau dibilang nggak professional."
William tertawa. "Nggak akan ada yang berani protes soal kamu, Lexa."
"Terserah."
"Hey, jangan marah." William menghela nafasnya di sana. "Oke, jadi kapan kamu bisa makan malam?"
"Minggu depan."
Tawa William membahana. "Minggu depan kita akan makan malam sebagai suami istri."
"Ya." Dia mengangguk tidak bersemangat.
Lagi-lagi William menghela nafas. "Lexa, aku akan datang ke apartemen malam ini dan kita makan malam di sana setelah kamu selesai dengan Carro."
Hubungan disudahi dan dia meletakkan ponselnya tidak berselera.
***
Di butik.
Alexandra tiba dengan senyum kecil. Dia menyambutnya dengan pelukan hangat.
"Sendiri aja? William nggak ikut?"
"Ah, ini urusan perempuan. Kemarin Mama juga sudah datang kan? Sorry aku baru sempat dan karena aku yakin pasti bagus."
Sabiya tersenyum. "Semoga aja. Yuk, fitting langsung."
Entah kenapa Sabiya merasa Alexa tidak terlalu bersemangat dengan pernikahannya sendiri. Mereka masuk ke dalam ruang ganti dan tanpa sengaja Alexa melihat sketsa gaun Fayadisa di meja yang ada di sana.
"Wow, ini punya siapa?" Alexa mendekati gambar itu.
"Calon istrinya Hanif Daud."
"Oke, Bi. Aku mau yang ini aja. Boleh?"
Sabiya tertawa. "Nggak cocok sama kepribadian kamu, Lexa." Dia mengambil gaun milik Alexa dari gantungan.
"This is for you."
"Bi..." Alexa kehilangan kata-kata. "Biya, you're the best soal ini. Habis ini kamu jadi personal designer-ku ya."
Dia tertawa sambil menggelengkan kepala. "Let's start?"
***
Hanif dan Faya berkendara terpisah namun tetap mengenakan headset dan mengobrol melalui sambungan telpon. Mereka baru saja meninggalkan butik Sabiya. Hanif dengan mobilnya dan Faya dengan Ducatti perak.
"Sabiya baik-baik, Fa. Jangan terlalu khawatir."
"Nif, entah kenapa aku merasa situasi saat ini terlalu tenang. Seperti akan ada bom atau sesuatu."
"Kamu berlebihan, Sayang."
"Apa kamu mulai mimpi aneh dan nggak cerita ke aku? BIasanya kamu yang lebih dulu bisa merasakan." Tanya Faya padanya.
Dia menghela nafas. "Ya, aku bermimpi setiap malam. Dan mimpiku selalu buruk. Tapi itu sudah berlangsung seperti seumur hidupku. Bahkan ketika aku mendapatkan mimpi yang baik, aku akan mengkorelasikan bahwa itu pertanda. Dan aku capek, Fa. Aku ingin senang dan tidak terlalu memikirkan itu lagi."
Faya diam di sana. "Maaf, aku nggak bermaksud membebani kamu."
"Nggak apa-apa, Fa. Aku dan Arsyad sudah lakukan analisa situasi terbaru, karena itu Leo sudah Arsyad cabut untuk kawal Sabiya. Juga karena Arsyad sudah mulai bergerak lagi soal Herman. Elang masih menjaga Damar. Aryo belum memberikan tanda apapun selain datang menyelinap di pernikahan Mareno kemarin itu."
"Justru itu, Nif. Aku merasa ada yang salah." Faya diam sejenak. "Aku merasa ini semua salah aku. Kamu sudah ingatkan biar aku nggak main hati dengan Aryo. Sekarang semua jadi begini, semua jadi terancam bahaya karena aku yang bodoh banget kemarin. Ya Tuhan." Faya menggelengkan kepala keras seolah berusaha menghilangkan bayang-bayang bahaya dihadapan mereka.
"Fa, Aryo memang jahat dan dia sudah menjadi ancaman sejak lama. Bukan hanya karena ini saja. Cepat atau lambat selama kita semua pasti memburu Herman, dan Aryo akan bereaksi melindungi Tuan-nya."
"Tapi sekarang diperburuk karena aku main hati, Nif. Aku bohongi dia."
"Itu misi, pekerjaan. Aryo paham benar itu. Sekalipun ya, dia marah karena bagaimanapun dia dibohongi. Tapi ya sudah, Fa. Kita fokus dengan apa yang ada di depan. Jalan, maju terus. Hadapi Aryo."
"Kamu nggak takut?"
"Aku? Takut?" Dia menggeleng keras. "Aku cemas karena kamu menjalankan misi itu. Aku tidak takut Aryo. Kalaupun aku harus mati karena menghadapi dia, aku mati bukan sebagai pengecut yang bersembunyi dan berlari. Apalagi sekarang indikasinya dia akan merebut kamu kembali." Wajahnya berubah keras. "Dia harus langkahi mayatku dulu."
"I hate this. God, this is sucks!!" Suara Faya sarat dengan rasa frustasi. "Aku akan hadapi dia sendiri, Nif."
"No, Faya. Kita sudah bicara soal ini. Dia tidak akan membunuh kamu, tapi kamu juga tidak akan bisa membunuh dia. Aryo bukan tandingan kamu, Fa. Ketika kamu kalah kamu akan dibawa dan dikurung lagi oleh dia. Apa kamu mau begitu?"
Gadisnya itu menggeram marah.
"Jangan jalan sendiri-sendiri, Fa. Belajarlah dari kasus kemarin. Aku paham kamu punya maksud baik dan sekarang kamu sangat emosi. Tenangkan dirimu dulu, jadi kamu bisa lihat situasi lebih jernih dan tidak bertindak impulsif. Sebaiknya kita sudahi pembicaraan berat ini karena kita masih sama-sama berkendara. Drive safe, Sayang. See you."
Baru saja dia matikan, alat komunikasi itu berdering lagi. Mahendra.
"Nif, Sabiya dimana?"
"Butik. Gue baru aja dari sana."
"Sabiya, Nif. Putar balik. Aryo di sana." Suara Mahendra panik sekali. "Niko dan timnya Faya sudah jalan. Gue juga lagi di jalan pakai motor."
Refleks kakinya menginjak rem dan memutar balik mobil.
"Lacak Damar dan bawa ke safe house. Gue belum jauh dari butik dan akan bawa Sabiya ke sana."
"Jaga diri, Bang. Lo dan Faya, acara kalian sebentar lagi. Aryo incar Faya."
"Kita ketemu di sana."
Mobilnya melesat cepat menuju ke butik Sabiya. Damar pasti sudah diamankan, jadi tugas mereka adalah menjemput Sabiya dan melindunginya. Kemudian layar pada mobilnya berkedip. Aluna Sabiya. Status: RED ALERT.
***
Pintu butik berdenting lagi sementara dia sedang berada di dalam ruang kerjanya untuk mencatat sedikit perubahan pada desain gaun Alexa. Esther ada di dekatnya membantu. Alexa masih duduk di ruang depan butik bersama Amy. Jadi dia membiarkan Amy yang menyambut tamu. Kepalanya menoleh ketika ada suara barang terjatuh ke lantai. Amy tidak ceroboh.
Kemudian dia seperti mendengar ada suara jeritan yang tertahan. Kemudian bulu roma-nya berdiri. Itu terjadi ketika dia bisa merasakan bahaya yang dekat sekali. Esther yang duduk dihadapannya sudah menatapnya siaga.
"Esther, nyalakan alarm bahaya. Kunci dirimu di dalam safe room. Pastikan Damar aman dan segera larikan ke safe house."
"Protokolnya, kamu harus ada di dalam safe room," balas Esther cepat.
"Ada Alexa dan Amy di luar, Esther. Apa yang kamu akan lakukan kalau saat ini kamu yang ada di luar?" Dia menatap wajah Esther tegas.
Benar saja, ketika dia ingin beranjak keluar, dia berpapasan dengan Amy yang berwajah pucat pasi dan menangis panik.
"Alexa, di luar," ujar Amy gemetaran.
Dia mengangguk sambil menguatkan diri. Nafasnya dia hirup perlahan lalu dia keluar ruangan dalam dan menuju ruang depan. Sudah bersiap dengan apa yang akan dia lihat. Benar saja, Alexa duduk dengan wajah tegang di sofa. Sudah ada satu laki-laki yang menodongkan senjata ke kepalanya dan Aryo Kusuma yang duduk sambil menyilangkan kaki dan membaca majalah di sofa. Ada beberapa anak buah Aryo di luar butik, berjaga.
"Halo, Cantik." Aryo tersenyum sambil menatapnya. Majalah itu sudah dia letakkan di sebelahnya. "Oh, kalian berdua sama cantiknya. Tapi saya ke sini untuk kamu, Sabiya. Apa kabarmu?"
Jantungnya yang berdetak kencang sungguh menyesakkan tenggorokan. "Saya hanya akan jawab saat Alexa sudah dilepaskan. Dia tidak ada hubungannya dengan ini semua. Dia tamuku."
"Biya, ada apa ini?" suara Alexa bergetar sambil berbisik ngeri. Wanita itu juga sudah ingin menangis.
"Oh, ini hanya kunjungan biasa calon keluarga. Jangan terlalu khawatir, siapa namamu tadi? Alexa, si model itu ya?"
"Tenang, Lexa. Aryo penjahat yang punya etika. Bukan begitu?" Wajahnya menatap Aryo berani.
"Oke." Kepala Aryo mengangguk lalu anak buahnya menurunkan senjata.
Dia memberi isyarat pada Alexa untuk duduk di pojok ruangan. "Diam di situ. Kamu hanya sebagai syarat untuk jaga-jaga. Siapa tahu Sabiya tidak mau bekerja sama."
Alexa melangkah hati-hati ke pojok ruangan sambil menahan nafasnya.
"Duduk. Saya ingin menjadi pelangganmu juga, Biya. Sayang, seseorang sudah mencuri calon pengantin saya. Tapi tenang saja, saya akan rebut dia kembali."
Tubuhnya sudah duduk dengan ekspresi tegang yang ditahan.
"Kamu tahu, Biya. Kalau Daud bersaudara benar-benar sudah mempermainkan saya. Menipu saya. Laki-laki yang kamu anggap saudara adalah orang-orang munafik yang berperilaku baik tapi sebenarnya mereka sama. Jumlah orang yang Arsyad bunuh bahkan sudah melebihi saya sendiri. Mahendra dan Mareno? Mereka juga pembunuh. Mereka dan kamu percaya bahwa orang jahatlah yang mereka bunuh. Padahal, orang jahat juga punya keluarga kan. Sama saja."
"Itu tugas dan misi."
"Wow, kamu dingin juga. Saya pikir kamu akan menangis mengetahui itu semua. Apapun itu, mereka yang lebih dulu memercikkan api. Saya di sini hanya memberikan apa yang mereka mau, membakar semuanya."
Aura Aryo benar-benar memancar kuat. Gelap dan marah. Kelihatan sekali dari mata laki-laki itu. Rahangnya dia katupkan karena benar-benar takut. Ekspresi takut itu berusaha dia sembunyikan. Dia tidak punya kemampuan bertarung atau apapun yang bisa menyakiti manusia. Sementara dia juga harus melindungi Alexa yang kaku di pojok sana.
"Jadi, kapan acara mereka?"
Mulutnya bungkam. Tubuhnya sedikit bergetar. Apa Aryo akan membunuhnya? Karena sungguh dia tidak akan bicara. Damar akan selalu punya keluarga Daud yang akan melindunginya kelak. Jadi, dia tidak akan bicara.
"Ayolah, Tuan Putri." Senyum Aryo terkembang.
Dia masih diam sekalipun tangannya terkepal. Apakah akan sakit nanti? Ketika nyawa melayang dari tubuhnya? Apa dia sudah siap?
"Wow, kamu keras kepala." Aryo mengeluarkan senjata dan mulai mengokangnya. "Saya tanya sekali lagi." Senjata itu Aryo bidik ke arahnya.
Alexa mulai menangis tertahan. Kepalanya menggeleng untuk memberi isyarat agar Alexa diam.
"Hey, Sabiya. Tanggal berapa dan dimana mereka menikah? Kamu jawab, saya akan lepaskan kamu."
Matanya terpejam lalu air matanya juga mulai menetes. Ya, dia akan mati hari ini. Karena dia bersumpah tidak akan menggadaikan informasi, apalagi ini bisa membahayakan mereka berempat.
"Oh, jangan menangis, Biya. Saya hanya bertanya. Jawab saja lalu saya akan pergi."
Hening yang mencekam itu datang lagi.
"Oke, pertama saya akan membunuhmu dan tamumu pasti. Lalu laki-laki kesayanganmu itu. Hadiah untuk kamu dan si cantik Alexa, kematian kalian akan cepat. Jangan sakit hati, ini hanya misi."
Matanya makin erat terpejam siap menerima rasa sakit yang hebat. Peluru itu ditembakkan bertepatan dengan suara meraung dan ledakkan dari luar. Kaca jendela butik pecah karena motor Ducatti hitam sudah merangsek masuk ke dalam butik. Refleksnya adalah melindungi kepala dan membungkuk di kursi.
"Pick your own size!!" Suara seorang laki-laki yang murka.
Denging pada telinga membuat dia kesulitan mendengar suara siapa itu. Yang jelas Aryo dan anak buahnya tadi sudah sibuk melawan sosoknya. Tubuhnya yang belum pulih dari rasa kaget sudah di dorong dan terdesak ke pinggir ruangan dengan kursi sebagai pelindung.
"Ayo bermain, Syad. Faya untuk Sabiya, atau Sabiya untuk Faya?" Aryo terkekeh bengis.
'Arsyad?' ujarnya dalam hati.
Mereka masih sibuk menghantam sementara dia berlindung sambil menundukkan kepala. Alexa juga sudah merunduk sambil menutup kupingnya di pojok yang sama. Oh. ini buruk sekali karena Lexa tidak terbiasa dengan ini semua. Dia sendiri tidak pernah terlibat pertempuran langsung begini.
Di luar, dia juga melihat Hanif dan Faya sedang melawan anak buah Aryo yang lain. Kemudian Mahendra masuk lalu menatapnya. Posisi mereka terlalu jauh.
"Alexa, Hen. Lindungi Alexa." Dia berteriak pada Mahendra.
Dia melihat Mahendra bersumpah serapah sambil masih memukul lawannya dan menghampiri Alexa.
***
Baru beberapa jam lalu dia merasa sangat bosan dengan hidupnya. Ketenaran dan segalanya, termasuk rencana pernikahannya.
Kemudian, apa-apaan ini? Ini gila? Siapa laki-laki jahat itu? Apa ini salah satu adegan film di negara ini? Dimana kameranya? Is this real?
Tapi kemudian setelah pistol itu dikokang dan di arahkan pada Sabiya. Lalu air wajah Sabiya yang mungkin tidak jauh dari ketakutan miliknya ada di sana. Dia sadar, ini bukan permainan. Siapapun laki-laki ini, dia benar-benar akan membunuh mereka. Itu yang membuat air matanya turun. Dia takut, sangat takut.
Mati. Dia tahu semua manusia akan mati pada akhirnya. Tapi dia masih muda, masih banyak hal yang belum dia capai dan lakukan. Jantungnya seperti ditarik pergi ketika si penjahat menembakkan senjata dengan mata Sabiya yang terpejam. Seperti sudah tahu dan siap dengan ini semua. Aluna Sabiya, siapa kamu?
Belum sembuh dari itu semua, sebuah motor di lempar ke arah mereka dari luar. Dengan suara ledakan dan tembakan. Dengan banyak laki-laki lainnya yang datang. Si penjahat menyebut nama Arsyad, Mareno dan Mahendra. Siapa mereka? Ya Tuhan, dia tidak sempat berpikir. Hanya menunduk dan menutup telinga karena ingin bangun dari semua mimpi buruk ini. Ini mimpi kan?
Lalu tangan itu menarik lengannya. Dia menjerit panik. Kemudian ketika matanya terbuka, mata coklat gelap itu di sana.
"Hey, kamu Alexa?"
Dia mengangguk. "Saya nggak tahu apa-apa." Tangisnya sudah pecah lagi.
"I know. Pakai ini dan tetap menunduk." Laki-laki asing itu menutup kepalanya dengan helm hitam.
Matanya berkedip beberapa kali. Kemudian layarnya yang tadinya bening berubah hitam.
"I am Angel. Welcome, guess. Saya akan putarkan musik dengan volume yang disesuaikan atas permintaan dari Tuan Mahendra Daud. Silahkan menikmati."
Kemudian layar helm menunjukkan langit malam dengan banyak bintang jatuh. Lalu lagu Coldplay – sky full of stars berkumandang.
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
I'm gonna give you my heart
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
'Cause you light up the path
https://youtu.be/NDonh28AY3I
***
Jantungnya seperti mau meledak menyaksikan segalanya. Bagaimana Arsyad melawan Aryo dan satu yang lain sambil mengamuk marah. Dia harus membantu Arsyad, atau dua laki-laki itu bisa membunuhnya. Sementara Mahendra dan Hanif masih sibuk dengan anak buah Aryo lainnya. Tapi bagaimana?
Think Biya, think!!
Kemudian anak buah Aryo tadi seolah bisa membaca pikiran. Dia berbalik dan menghampirinya yang sudah berdiri mengepalkan kedua tangan. Dulu, Hanif pernah mengajarinya teknik bertahan dasar. Tapi, apa itu cukup? Tidak, karena senjata sudah ditodongkan lagi ke arahnya. Arsyad menendang punggung orang itu dari belakang, kemudian harus menerima satu pukulan telak Aryo.
Senjata itu lompat ke arahnya. Refleks tubuhnya adalah menangkap benda dingin dan berat itu, lalu menodongkannya kepada sang laki-laki dengan tangan yang gemetar. Sang laki-laki hanya tersenyum meremehkan dan tidak menghentikan langkahnya.
Tembak, Biya. Tembak.
Matanya terpejam lalu suara tembakan itu terdengar. Tubuh laki-laki itu ambruk ke lantai dengan Hanif yang menembakkan pelatuknya dari belakang tubuh laki-laki itu. Aryo menarik tubuh Hanif marah yang juga langsung mulai menyerang.
"Don't touch my family!!" Raung Arsyad murka masih berusaha menghalau Aryo bersama Hanif.
"Don't touch my girl!!" Aryo berteriak sama murkanya.
Hanif dan Arsyad melawan Aryo sementara Faya menghampirinya yang masih shock dan berdiri menodongkan senjata yang sama.
"Bi, duduk dulu." Tangan Faya menariknya untuk duduk. "Biya, jaga kesadaran. Tim MG akan ke sini."
Dia menatap Faya heran, kenapa wanita itu panik sekali? Mahendra juga sudah berada di dekatnya sambil mengernyitkan dahi.
"Biya? Sadar, kamu harus sadar." Suara Mahendra semakin jauh dan dua tangan laki-laki itu sudah menopang tubuhnya lembut dan membaringkannya di lantai.
"Hen, Fa?"
Lalu rasa sakit hebat itu datang, menghantamnya cepat. Kenapa rasanya sakit sekali, dan sesak. Dia mulai mencari asal rasa sakit itu pada tubuhnya. Kemudian dia melihat darah pada bagian dada atau bahu? Entah. Karena banyak sekali. Dia juga bisa merasakan tangan Mahendra yang bergetar ketika sedang memeriksa lukanya. Kemudian satu tangannya menahan lengan Mahendra.
"Aku nggak apa-apa, Hen. Tangan kamu hangat."
Yang dia ingat hanyalah matanya terpejam karena sakit yang tidak terperi. Apa dia mati?
***
The next one is the last part. Don't miss it!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro