Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. Live, Love, Repeat

Siap-siap banyak senyum dan ketawa ya. Eh ada bawangnya sedikit. Oh, I just love this action-romance story.

***

Arsyad, Mahendra dan Niko sedang berada di black room ketika ponsel Arsyad berdering. Mareno.

"Ya, Ren. Gue denger Antania datang dan bawa pelaku kedua pagi ini. Dimana dia, Ren?" Arsyad langsung saja berujar tanpa basa-basi.

"Itu kita urus setelah ini, Bang. Gue hanya mau bilang, kalau hari ini gue menikah."

Refleks Arsyad adalah memijit dahinya dan menggelengkan kepala kesal. Niko yang melihat gelagat Arsyad segera bertanya.

"Syad, kenapa?"

Tangan Arsyad hanya meletakkan ponsel yang masih menyala itu di meja sambil menatap heran.

"Adek gue, berubah jadi gila semua."

Niko yang makin penasaran langsung saja menyambungkan ponsel Arsyad pada layar.

"Video call, Angel. Pasang speaker phone," ujar Mahendra.

Wajah Mareno sudah di sana.

"Abang lo apain, Ren?" tanya Mahendra penasaran.

"Bagus, kalian ada di tempat yang sama. Sebentar...mmm...Janice baru aja buat undangan pernikahan gue via online." Mareno terlihat sedang mengutak-atik sesuatu pada ponsel dengan suara Tania di belakang.

"Reno, jangan bercanda kebangetan." Nada suara Tania kesal sekali.

"Sayang...ssst. Diam dulu. Jangan berisik." Kepala Mareno menoleh sejenak kemudian menatap layar lagi. "Done, gue udah kirim undangan nikah gue. Dateng lo semua ya. Acaranya malam ini karena Pak Penghulu udah penuh jadwal sampai sore dan bisanya malam. Tadinya mau siang ini juga. Tapi selama masih hari ini, I'm fine."

Kemudian tawa Mahendra dan Niko sudah membahana saja. Niko bahkan sampai harus memegang perutnya. "Wow...love is in the air. Beberapa hari lalu Hanif, sekarang elo."

"Gue no comment, sumpah." Mahendra masih tertawa.

"Mama dan Ayah nggak akan setuju kalau secepat ini," ujar Arsyad cepat. Ekspresi Arsyad yang kaget, heran dan kesal sekali tambah membuat Niko tertawa.

"Bang, yang atur semua itu Janice, Sabiya dan Mama." Mareno tersenyum menang. "Lagian nikah kan ibadah, Bang. Kenapa lo jadi nggak seneng?"

"Kenapa bisa gue punya adek nggak waras kayak lo. Ya Tuhan."

"Hey, gue justru lagi waras ini. Karena kalau lagi gila Tania nggak akan gue ajak pelaminan, tapi ke tempat tidur." Bantal sudah melayang dan mendarat di kepala Mareno. "Sayang, sakit beneran." Kemudian mata Mareno kembali ke layar.

"Ren, kita harus tahu dimana pelaku kedua sebelum terlambat," sahut Arsyad.

"Nggak usah khawatir. Pelaku kedua di tempat Bapak Besar. Brayuda dan Rajata yang urus. Nanti gue akan kasih alamatnya biar pemeriksaan terdakwa bisa dilakukan buat persiapan persidangan kedua."

Arsyad masih kehilangan kata-kata.

"Udah ya, gue harus menghubungi banyak orang buat acara nanti malam. Tempatnya di The Emperor, hotelnya Darusman. El Rafi dan Dara langsung bantu waktu dengar ini semua."

Hubungan disudahi.

"Jadi?" Niko masih mengulum senyumnya sambil menatap Arsyad.

"Bang, minum dulu Bang." Mahendra menyodorkan gelas minuman di meja pada Arsyad. "Gue juga kaget, tapi Mareno udah sabar nunggu. Jadi wajar si gila itu sudah nggak mau nunggu lagi."

"Seharusnya tetap tidak di hari yang sama. Shit. Otak Mareno ditaruh dimana?"

"Nanti gue tanyain, Bang. Masalahnya Reno sendiri juga suka lupa otaknya ditaruh dimana."

Niko tertawa lagi. "Kalian itu bener-bener ajaib."

Arsyad mendengkus kesal.

Setelah tawa Niko reda. Dia berdiri lalu berujar. "Oke, gentlemen. Let's suit up. We've got a wedding to attend tonight."

***

"Kalian nggak bisa dong seenak kalian begini?" Sabiya sudah berjalan mondar-mandir di butiknya sambil mengepak baju pengantin milik Tania yang memang sudah selesai dibuat. Dia sangat berharap ukuran Tania masih sama.

Hanif dan Faya menatap wanita itu bingung. Mereka berada di butik Sabiya karena paham benar Sabiya akan stress berat mendengar permintaan Mareno. Tubuh Hanif berdiri sambil tidak melepaskan pandangannya dari Sabiya, sementara Faya cuek saja berdiri sambil menghisap permen lollipop yang dia ambil dari toples di meja butik.

"Bi..." Hanif maju berusaha menenangkan.

"Apa?" sahut Sabiya galak.

"Jangan marah-marah. Aku bisa bantuin apa?" ujar Hanif lembut.

"Pukul kepala Mareno biar waras." Sabiya terus memaki sambil masih memasukkan barang-barang ke dalam koper-koper besar dibantu empat asistennya. "Kamu juga sama aja. Aku setuju kalian nikah, tapi nggak secepat ini juga. Emang kalian pikir aku ibu peri yang bisa sim salabim terus itu gaun jadi."

"Itu gue setuju, Bi. Keluarga Daud punya kecenderungan bersikap impulsif. Gue juga setuju soal elo jadi ibu peri. Lo cocok Bi, beneran," sahut Faya.

"Hiiih...Fa. Gue kesel nih."

Faya dan Hanif tertawa. "Kamu nggak cocok ngomong slank begitu, Princess."

"Kamu dan Reno benar-benar egois, seenaknya sendiri, nggak mikirin aku yang harus susah payah buatin masterpiece. Kamu tahu kalau yang namanya seniman hebat itu nggak bisa diburu-buru waktu."

"Tuh, kamu dengerin Sabiya. Dia nggak bisa diburu-buru waktu, sama kayak aku" ujar Faya yang sudah beralih menatap majalah dan membalik-balik halamannya dengan acuh tak acuh.

Hanif menatap Faya kesal kemudian berujar pada Sabiya lagi.

"Mareno nggak minta dibuatin masterpiece. Kita cuma mau kamu datang sebagai keluarga. Bukan sebagai desainer ternama."

Tangan Hanif menangkap dua lengan Sabiya kemudian mereka berdiri berhadapan. "Hey, jangan panik. Tarik nafas. Gaun Tania sudah jadi. Aku yakin itu sempurna, karena kamu yang terbaik. Pesta ini juga sederhana, hanya keluarga terdekat dan beberapa tamu."

"Mama dan Ayahku pasti kesal karena nggak sempat datang."

"It's oke, Bi. Aku yakin ayah sudah telpon Papa kamu. It's oke. Bukan salah mereka atau kamu." Hanif menatap mata Sabiya sambil tersenyum. "Tenang dulu, Bi. Bilang sama aku, kamu butuh bantuan apa."

Sabiya menarik nafas dalam, kemudian dia memeluk Hanif erat. Berusaha keras mengusir paniknya.

"Oke, jangan lama-lama. Gue ada di sini." Mata Faya masih asyik menatap majalah sambil mengemut permen lolinya.

Sabiya dan Hanif tersenyum sambil melepaskan pelukan mereka.

"Oh, nanti kalau kalian sudah menikah, I will miss you for sure Bang. Faya pasti nggak bolehin kamu ketemu aku lagi," ujar Sabiya konyol.

"Boleh, Bi. Asal malamnya dikembalikan utuh." Faya menggoda balik.

"Aku berasa kayak piala bergilir," timpal Hanif.

"Uwooo...jangan besar kepala. Aku butuh kamu cuma karena masakan kamu lebih enak daripada aku," canda Faya.

Hanif terkekeh kecil. "Kamu mau aku cium di sini, di depan Sabiya dan yang lain?"

Wajah Faya langsung memerah kesal dan malu, kemudian mereka tertawa.

***

Tania berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sendiri. Menatap Mareno yang masih berbaring di atas tempat tidurnya santai. Dia harus menenangkan dirinya, mencari cara agar dia bisa membujuk Mareno baik-baik. Bahwa apa yang Mareno lakukan sekarang sungguh-sungguh gila. Oke, bukan menikah yang dia permasalahkan. Dia juga ingin menikah, dia juga merindukan Mareno dan tersiksa ketika harus bersembunyi. Tapi, mereka baru saja bertemu dan Mareno tiba-tiba melakukan ini padanya. Sementara persidangan kasus Danika belum selesai. Dia ingin menyelesaikannya dulu, setelah itu mereka menikah. Geramannya tidak dihiraukan Mareno yang masih sibuk menelpon.

'Orang gilaaa...tinea curnis. Nyebeeeliiin.'

Jam di tangan sudah menunjukkan hampir pukul satu siang. Mareno bersikukuh untuk menikah jam 6.30 malam ini. Dia cemas. Tentang segalanya. Apa dia siap menikah? Apa laki-laki menyebalkan ini sungguh bisa serius? Menikah itu sesuatu yang sangat berbeda. Apa mereka bisa bertahan nanti? Dengan segala baik-buruk mereka sendiri. Ya Tuhan, ini bagaimana sebenarnya?

"Ren, aku lapar." Oke, yang penting dia bisa keluar kamar dan mungkin saja dia bisa pergi dari Mareno sejenak untuk menenangkan diri.

"Sebentar lagi Janice datang," jawab Mareno.

"What?"

"Iya, aku sudah minta Janice datang dan siapkan semuanya buat kamu."

Kemudian dia mendengar suara pintu apartemennya di luar terbuka, sementara mereka masih terkunci di dalam kamarnya. Tubuhnya sudah berhenti bergerak. Sama seperti Mareno yang sudah berdiri sambil menatapnya. Ekspresi Mareno berubah, wajah konyolnya sirna, mata itu menatapnya dalam.

"Antania Tielman..." Mareno mendekat dan berlutut dihadapannya. "Saya benar-benar hanya mencintai kamu saja." Satu tangan Mareno mengeluarkan benda yang dia pakai sebagai kalung. Cincin Harry Winston pemberiannya dulu ada di genggamannya.

"Saya janji saya akan jadi apapun yang kamu mau. Saya akan melindungi kamu, dari Michelle Dinatra, atau yang lainnya. Saya akan menjadi teman terbaik untuk sahabat kamu Danika. Saya akan jaga kalian berdua, sampai kita tua." Mareno menghirup nafas perlahan. "Will you marry me, Beiby?"

Air matanya sudah jatuh satu-satu. Kata-katanya habis. Seperti semua rindu yang dia tahan, semua rasa cemas karena dia terus mengawasi laki-laki ini dalam diam, menjalar perlahan membuat jantungnya berdentum keras. Dia mencintai Mareno Daud, sebanyak apa yang laki-laki itu rasakan. Tapi kalimat Mareno barusan, serta fakta bahwa Mareno benar-benar menjaga Danika selama dia tidak bisa muncul, sungguh membuat dia terharu.

Apa lagi? Apa kamu bisa meminta lebih dari ini? ujarnya dalam hati.

Kemudian kepalanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan dalam benaknya tadi.

"Yes, it's always a yes answer." Satu tangan sudah menutup mulutnya agar dia tidak terisak.

Mareno sudah berdiri, menghampiri dan memeluknya lembut.

"Kita menikah, setelah itu kita selesaikan segala urusan yang mengganggu. Setelah itu kita bulan madu, setelah itu kita ulangi lagi selama-lamanya. Live-love-repeat." Mareno memasangkan lagi cincin itu di tangannya.

Bibirnya tersenyum lebar ketika Mareno menciumnya lembut. Kemarahan dan segala cemasnya sirna, hilang, Mungkin Mareno benar bahwa Mareno sendiri adalah seorang negosiator yang handal. Karena lihat dirinya, tadi dia yakin sekali dia akan kabur dari sisi laki-laki gila ini, untuk memiliki waktu. Tapi sekarang, dia sudah tidak ragu lagi.

"Sayang, aku punya kado di luar," bisik Mareno di telinga.

"Pernikahannya nanti malam, Ren. Kenapa kadonya datang sekarang?"

"Harus. Harus sekarang." Tangan Mareno menggenggamnya lembut. Laki-lakinya itu berjalan membuka pintu kamar yang tadi dia kunci. Tubuhnya mematung menatap apa-apa yang dia lihat.

Reyhani berdiri dan tersenyum di ruang tengah menatapnya, juga Aryan yang menggelengkan kepala. Danika duduk di kursi roda dan matanya menatap ke luar jendela. Mario Damanik juga ada bersama dokter Andreas.

"Hey, wanita gila. Apa kabarmu?" Aryan yang lebih dulu menyapa.

Kemudian titik-titik air mata itu jatuh lagi. Senyumnya mengembang sempurna. Dia melangkah menyambut pelukan sahabat-sahabatnya.

"Lo beneran gila, Tan. Itu bukan kiasan." Aryan dan Reyhani memeluknya bersamaan sambil tertawa kecil.

"Jangan pernah lakukan apa yang lo lakukan kemarin lagi. Sumpah gue sama Reyhani nggak nafsu makan berbulan-bulan," Aryan menepuk pundaknya.

Dia hanya mengangguk sambil berterimakaih dan meminta maaf. Lalu beralih pada Danika. Setiap minggu dia akan menengok Danika, melihatnya dari jauh. Saat ini Danika duduk di kursi roda sambil menatap ke luar jendela. Matanya lebih cemerlang, lebih hidup dari sebelumnya. Tubuhnya ditopang oleh lutut, dia menggenggam tangan Danika perlahan.

Kemudian sahabatnya itu tersenyum, menatapnya. "Nina."

Dia terkejut. Sorot mata Danika, persis seperti apa yang dia ingat dulu. Menatapnya. Lalu dia memeluk sahabatnya itu sambil tertawa kecil dan menangis. "Nika, apa kamu sudah kembali?"

"Nina...Nina." Satu tangan Danika balas memeluknya. Mereka berada di posisi itu selama beberapa saat. Pelukan itu lepas karena dia penasaran akan sesuatu.

Wajahnya menatap dokter Andreas yang tersenyum. "Dok?"

Dokter Andreas mengangguk kecil. "Perkembangannya luar biasa. Sekalipun belum 100% kembali seperti dulu. Terkadang, mimpi-mimpinya masih buruk. Tapi Mario dan juga Mareno sangat membantu."

Tubuhnya berdiri menatap Mario Damanik. Campuran perasaan itu datang.

"Maafkan saya." Tangan Mario terulur.

"Oh, maaf saja tidak akan pernah cukup," ujarnya kesal.

"Sayang...Mario yang selama ini bantu untuk jatuhkan Michelle." Mareno menyentuh pundaknya. "Dia hanya tidak tahu, sejahat apa istrinya dulu."

Dia menghela nafasnya. "Jaga Danika baik-baik, atau saya akan datang dan membuat hidupmu seperti neraka."

Mario tertawa kecil. "Saya tahu kenapa kamu jatuh cinta dengan wanita ini, Ren. Kalian cocok."

Semua orang di ruangan tertawa. Tidak lama kemudian, Janice dan Sabiya masuk.

"Sudah-sudah ramah tamahnya. Antania, kamu harus mulai siap-siap." Sabiya datang bersama dengan pasukan asisten-asistennya.

Kepala Sabiya menoleh ke Mareno. "Aku marah banget sama kamu." Jari Sabiya menunjuk ke arah Mareno yang tersenyum konyol.

"I love you too, Bi," balas Mareno.

"Hrrrghhh...hus-hus. Yang laki-laki silahkan ikuti Esther. Hanif dan Mahendra sudah siapkan tempat satu lantai di bawah lantai apartemen ini. Aku sampai lupa..." Sabiya memeluk Tania lembut. "Aku seneng kamu baik-baik aja, Tan. Lihat tuh, betapa kamu sudah bikin Mareno jadi orang gila beneran."

"Yang itu aku setuju, Bi." Tania tersenyum sambil balas memeluk Sabiya cepat.

"Ladies, let's start."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro