42. I'm sorry, Beiby
Sebelumnya, karena part ini ada adegan persidangan, mohon maaf jika ada kesalahan ya. Buat yang lebih tahu dan punya masukan, dipersilahkan. Jadi udah siap? Enjoy, Genks!!
***
Matanya menatap penampilannya di cermin. Dia melangkah dan mendekati cermin panjang dan menyentuhkan satu tangan pada pantulan wajahnya sendiri. Berusaha menghapus gelap bayangan yang ada pada manik matanya dengan jari-jari yang bersentuhan dengan cermin.
Ingatannya kembali pada saat tragedy itu terjadi. Bagaimana jiwanya hancur karena mengira laki-laki yang dia cinta melakukan perbuatan keji, atau bagaimana tubuhnya merasakan sakit tidak terperi setelah jatuh dari atas tebing. Kenapa dia bisa bertahan? Entah, karena dulu dia sungguh berharap mati. Paham benar dia tidak bisa membunuh laki-laki yang dia sangat cinta, sementara nuraninya berkata dia harus menghukum pelaku pemerkosa Danika.
Tapi kemudian, Yang Mahakuasa berkehendak lain. Dia dihukum karena dendamnya sendiri. Dengan tetap hidup, menahan semua duka dan luka, dan ditambah lagi akhirnya dia tahu bahwa laki-laki yang dia cinta itu tidak bersalah. Ya, dia yang bersalah.
Akhirnya, dia juga menghukum dirinya sendiri dengan menyiksa diri. Menenggelamkan diri dalam kesepian dan bersikeras untuk menemukan pelaku sesungguhnya sebelum memutuskan untuk bersiap diri bertemu laki-lakinya lagi. Hatinya makin tidak menentu, untuk tahu bahwa Mareno menjaga Danika selama dia tidak ada. Juga berusaha menghukum pelaku sesungguhnya. Mareno Daud, benar-benar mencintainya. Tapi apa yang dia lakukan? Apa dia masih pantas? Kenapa Mareno tidak mencari yang lain, yang lebih baik dari dirinya? Air matanya menetes satu-satu, sekalipun ekspresi wajahnya dingin sekali.
Dia paham, cepat atau lambat mereka akan bertemu pada akhirnya. Saat itu datang, bagaimana dia harus bersikap? Apa yang harus dia lakukan? Apa Mareno masih ingin bersamanya? Atau kemarahan Mareno justru akan membuat laki-lakinya itu pergi? Sanggupkah dia jika Mareno tidak ada lagi? Selama ini dia bisa hidup dan bertahan karena dua alasan. Danika, dan Mareno. Ya, laki-laki itu menjadi salah satu alasan penting kenapa dia masih bertahan. Jadi, bagaimana?
Ponsel yang berbunyi, membuat dia dengan cepat menghapus air mata dan mengangkatnya.
"Ya, Pa?"
"Sayang, sedang apa? Besok pagi persidangan Danika dimulai. Mareno akan datang. Apa kamu baik-baik saja?"
Wajahnya menunduk lelah. Dia lelah bersembunyi. "Aku akan datang, Pa. Aku ingin menyaksikan." Dia diam beberapa saat sebelum melanjutkan sambil menghela nafas. "Aku lelah bersembunyi, aku ingin bertemu. Aku hanya mencintai dia saja, jadi rasanya saat ini aku seperti hilang."
Ayahnya diam di sana, mendengarkan. "Kamu memang menghilang, Sayang. Itu pilihanmu."
Suaranya sedikit bergetar. "Ya, ini dosaku, Pa. Karena menuduh Mareno tidak-tidak, aku bersalah. Aku harus terima akibatnya."
"Oh, Sayang. Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri sedari dulu. Pada kasus Danika, kamu menyalahkan dirimu sendiri karena kamu tidak ada. Padahal itu bukan salahmu. Kamu menyiksa diri dengan menolak semua laki-laki." Bayu menghirup nafas sebelum melanjutkan. "Kemudian kasus Mareno. Kamu sendiri yang memilih untuk bersembunyi. Lagi-lagi kamu merasa kamu belum pantas bahagia karena kasus Danika yang belum selesai. Papa tahu kamu mencintai Mareno saja. Laki-laki itu juga serius denganmu. Dan kamu memilih tetap bersembunyi dan menghukum diri seperti ini. Dan hukumanmu kali ini, juga menyiksa Mareno."
Bayu melanjutkan lagi dengan nada lembut. "Papa senang, kalau akhirnya kamu mau keluar dan bertemu Mareno. Sudahi ini semua, Sayang. Jangan siksa dirimu lagi. Danika juga ingin kamu bahagia. Papa ingin kamu bahagia."
Tangisnya sudah pecah. Berusaha menjadi kuat itu melelahkan. Dia kesepian, sendirian, menjauh dari orang-orang yang dia sayang. Sekalipun dia berhasil dalam tujuannya, tapi semua ini menggegorogoti jiwanya perlahan.
"Andai Papa di sana. Papa bisa peluk kamu sekarang. Sudahi ini semua, Tania. Sudah. Papa tersiksa melihat kamu menyiksa diri." Bayu menghela nafas lagi. "Sekarang, tenangkan dirimu. Persiapkan diri untuk menyelesaikan apa yang sedari dulu kamu ingin selesaikan. Bertemulah dengan Mareno, perbaiki segalanya. Istirahatlah, Sayang. Kamu membutuhkan semua kekuatan besok."
***
Hari Persidangan
Persidangan pertama sudah dimulai. Michelle dan pengacaranya hadir. Mareno maju sebagai perwakilan keluarga Danika resmi dengan kuasa yang sudah dia dapatkan dari adik Danika yang juga hadir. Lukman datang sebagai pengacara dari pihak keluarga yang menuntut.
Hakim sudah masuk melalui pintu khusus, kemudian sidang mulai dibuka. Hakim ketua sudah mulai membacakan kalimat pembukaan sidang.
"Sidang pengadilan negeri Jakarta, yang memeriksa perkara pidana nomor lima belas garis miring dua puluh atas nama saudari Danika Audelia yang akan diwakili oleh..."
Kemudian semua bergulir saat palu diketuk tiga kali oleh hakim. Lalu hakim bertanya apakah penuntut umum sudah siap menghadirkan terdakwa, jaksa penuntut umum mengangguk mantap kemudian terdakwa dipanggil masuk oleh seseorang yang diutus ke luar ruangan.
Saat itu ponsel Mareno dan Mahendra berdenting. Pesan masuk dari Rajata.
Rajata: Yanto mati di kamar mandi pengadilan. Racun pada makanannya pagi tadi.
Mata Mareno membelalak ngeri. Sial. Sementara Michelle tersenyum licik dari seberang sana. Dia berdiskusi sejenak dengan Mahendra dan Lukman atas berita yang baru saja mereka terima.
Seseorang yang ditugaskan memanggil terdakwa kembali masuk ke ruangan dengan wajah cemas, kemudian berbisik pada Hakim. Hakim tersebut mengangguk, kemudian menoleh lagi kepada jaksa penuntut umum.
"Terdakwa tidak bisa hadir. Apa ada saksi atau terdakwa lain yang bisa dihadirkan? Menurut surat dakwaan pelaku ada dua."
Lukman menoleh pada Mareno yang sedang memaki dalam hati. Kemudian seseorang masuk.
"Selamat pagi, Yang Mulia. Saya datang membawa pelaku lainnya. Apakah saya bisa ajukan?"
Mata Mareno menatap asal suara. Wanita itu berdiri di sana, menatap lurus pada Hakim. Wanitanya, Antanianya. Refleks tubuhnya berdiri, paham benar ini ruang sidang dan dia tidak bisa langsung berlari memeluk wanita itu. Tangan Mahendra menyentuh lengannya dan memintanya duduk kembali.
"Sabar, Ren. Sabar dulu. Fokus satu-satu," bisik Mahendra padanya.
"Keberatan, saksi baru belum diperiksa," ujar pengacara Michelle.
"Saya punya bukti kuat," ujar Antania lagi.
"Siapa anda, Nona?" Hakim bertanya.
"Lanina Antania Tielman, sahabat dekat Danika Audelia."
Hakim menoleh pada keluarga Danika yang menganggukkan kepala. Kemudian hakim meminta jaksa penuntut dan pengacara maju ke depan. Mereka berdiskusi sejenak kemudian kembali ke tempat masing-masing.
"Pemeriksaan saksi atau terdakwa baru, akan dilakukan terpisah. Sidang ditunda hingga minggu depan." Hakim mengetukkan palunya kemudian berdiri dan keluar ruangan.
Mata Mareno terus menatap wanitanya itu. Antania terlihat berbeda. Dengan rambut yang panjang melebihi bahu, bergelombang dan berwarna brunette. Wanitanya itu mengenakan celana pantalon hitam formil dan blouse berwarna putih gading dengan garis hitam pada kerahnya. Juga high heels berwarna hitam. Harum Tania menguar, dia menghirup itu semua dalam-dalam.
Mahendra menatap Mareno yang berdiri mematung seperti melihat hantu. Sementara Antania juga berdiri di sana menatapnya diam. Kemudian wanita itu beralih menatap Michelle sejenak dan berlalu pergi.
"Kejar cepetan, geblek," bisik Mahendra pada Mareno.
Mareno yang seperti tersadar langsung mengejar Tania keluar ruangan. Dia menoleh mencari sosok itu, kemudian matanya terpejam berusaha membaui wangi tubuh wanitanya. Lalu dia melangkah lagi terburu-buru menuju ke luar gedung. Tania sudah masuk ke dalam kursi belakang sedan hitam dan dia dengan cepat menghalangi lajunya.
Kepalanya menggeleng keras. Dia tidak akan minggir sekalipun mobil itu melaju dan melindasnya. Dia bersumpah tidak akan melepaskan Antania. Kemudian supir di depan mengangguk, seolah mempersilahkannya masuk.
Tubuhnya sudah duduk di sebelah Tania. Wanitanya itu menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.
"Jalan, Pak."
Kemudian mobil itu melaju.
"Shit, this is what you do to me? Jalan Pak? Itu kalimat pertama kamu?" Entah kenapa emosi sudah naik ke kepala. Antania benar-benar keterlaluan dinginnya.
"Ssst, saya bisa turunkan kamu di sini."
"What?"
Dia menggeram marah sambil menatap Tania dengan ekspresi tidak percaya.
***
Mereka sudah tiba di salah satu apartemen mewah dan terletak di pusat kota setelah dua puluh menit berkendara dalam diam. Dia diam karena mati-matian menahan ledakan perasaan di dalam dirinya. Campuran antara kerinduan, kemarahan, juga seluruh pertanyaan atas sikap Antania yang aneh sekali. Tania terus melangkah dan dia mengikuti. Mereka tiba di salah satu pintu apartemen. Tubuhnya segera masuk ketika Tania membuka pintu.
"Ini tempat kamu sembunyi? Dari aku? Kamu sembunyi dari aku?" Mereka sudah berdiri berhadapan.
Dia menatap Tania tidak percaya, tubuhnya sedikit gemetar karena dia ingin berteriak memaki. Tapi dia tidak mau merusak moment ini. Setelah hampir satu tahun lamanya dia mencari dan terus mencari. Menggila, berharap mati, kemudian berusaha berdiri. Antania hanya menatapnya dalam dan diam. Itu membuatnya tambah gemas dan emosi.
"Kenapa diam aja? Kamu...aku pikir kamu..." Tubuhnya bergarak-gerak gelisah, seperti ingin meledak.
"Maaf. Maafin aku." Kepala Tania sedikit miring, seperti lega karena sudah mengucapkan itu.
Kakinya berhenti melangkah gelisah. Mereka berdiri berhadapan lagi dengan tatapan yang sudah terjalin sempurna. Ekspresi wajah Tania menyiratkan banyak perasaan yang wanita itu tahan. Mata wanitanya sedih sekali, namun hitamnya tetap menyiratkan misteri. Wajah Tania yang datar dan dingin kemudian melembut. Mencair seperti pancaran pada manik matanya. Entah kenapa Mareno bisa merasakan bahwa wanita ini menyesal, terluka, dan ada banyak lelah di sana. Semua hal yang Tania pendam seolah ingin meledak, karena titik air sudah ada di ujung mata Tania. Itu semua membuat Mareno bungkam.
Apa ada yang lebih penting daripada pertemuan mereka ini? Apa emosi yang sudah menguasai dirinya lebih penting? Atau kenyataan Tania yang selama ini bersembunyi juga penting? Bukankah setiap hari dia mengulangi doa yang sama? Dia ingin bertemu Antania, memulai kembali. Dia sanggup menukarkannya dengan apa saja. Jadi, apa semua emosi dan kemarahan yang dia rasa saat ini penting?
Kemudian langkahnya maju menutup jarak di antara mereka. Tangannya merengkuh kuat satu-satunya sosok yang berarti, yang membuat dia ingin mati ketika sosoknya tiada.
"I love you, you crazy woman. I love you so much."
Kedua tangan Tania balas memeluk tubuhnya erat. Kepalanya tenggelam di dada. Wanitanya itu menangis, karena dia bisa merasakan kemejanya yang basah.
"I'm sorry, Beiby. For everything, for anything." Tania berbisik lirih di sela tangisnya.
"Oh God, nggak ada yang lebih penting dari kamu. Nggak ada. Bahkan diriku sendiri, nggak lebih penting, dari kamu," ujarnya terbata-bata.
Kemudian dia mendongakkan wajah Tania dan mencium bibirnya lembut, lama-lama. Merasakan segala yang dia pikir tidak pernah akan dia rasakan lagi, menghapus semua malam-malam yang menyiksa, menukar rindu yang dia tahan selama ini.
"I need you, I love you. Jangan pernah pergi lagi seperti itu. Please, please."
Dia sudah tidak perduli dengan harga diri, atau tentang kenyataan selama ini dia tidak pernah sekalipun mengiba pada satu orang wanita pun. Sungguh, dia tidak perduli bahkan jika Tania harus tahu bahwa dia tidak bisa hidup tanpa wanita itu, atau betapa cengengnya dia karena sekarang dia juga sudah menitikkan air mata.
Gadisnya itu tertawa kecil sambil mengusap air matanya. Tangan Tania membingkai wajahnya. Mata mereka bertatapan, sama-sama basah dengan air mata. Kemudian dia mencium Tania lagi. Setelah itu mereka berpelukan lama sambil menenangkan diri. Ponsel Tania yang berbunyi, menyadarkan mereka.
"No no. Aku nggak mau diganggu." Tangannya bersikukuh tidak mau melepaskan Tania.
"Itu Papa."
"Bagus, aku mau bicara."
Tania hanya terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala. Ponsel di dalam tas sudah dalam genggaman.
"Ya, Pa?"
Dua tangannya menggendong tubuh Tania dan dibawanya ke sofa. Tubuh Tania sudah berada di pangkuannya ketika dia mengambil ponsel itu dari Tania.
"Assalamualaikum, Om."
"Loh Ren, ini Reno?"
"Ya, Om."
"Wa'alaikum salam. Apa kabarmu, Ren?"
"Never been better, Om." Reno tersenyum sambil berusaha menjauhkan tangan Tania yang sedang menggapai ponselnya.
"Om, saya tidak ingin menunda lagi. Niat saya masih sama."
Bayu tertawa di sana. "Saya mengerti, Ren. Sedikitnya saya lega, karena kamu mau memaafkan Tania. Jadi, kapan?"
"Secepatnya, Om. Saya akan siapkan segalanya. Mungkin lebih sederhana yang penting sah dan resmi secara agama dan negara. Kalau Om dan orangtua saya ingin pesta, kita bisa adakan nanti. Bagaimana, Om?"
Wajah Tania yang kesal tidak dihiraukannya lagi. Tubuh Tania bahkan sudah berdiri dan berjalan ke arah dapur.
"Baik, saya nggak masalah sepanjang Tania setuju."
"Dia setuju, Om. Apa Om ingin bicara lagi dengan Tania?"
"Saya hanya ingin tahu perkembangan persidangan tadi. Bilang padanya saya akan telpon lagi nanti." Bayu diam sejenak. "Kali ini, lindungi Tania baik-baik, Ren. Saya akan maju untuk pemilihan nanti."
"Baik, Om. Saya mengerti."
Hubungan disudahi dan tubuhnya sudah menyusul Tania di dapur.
"Kamu nggak bisa main seenaknya..." sembur Tania marah.
"Oke. Besok kalau begitu," potongnya sambil menggendikkan bahu.
"Mareno, apa-apaan sih."
"Apa-apaan? Kamu...ck Tan. Kamu tega banget. Ya Tuhan. Aku benci jadi cengeng begini. Tapi kamu beneran keterlaluan."
"Aku sudah minta maaf."
"Aku belum maafin kamu, Beiby." Lagi-lagi dia merengkuh Tania dari belakang tubuhnya. Kemudian mencium puncak kepalanya berkali-kali.
"Ren, jangan peluk-peluk..."
"Ssst...berisik. Gila, satu tahun. Aku mau mati rasanya, tahu nggak? Jelasin ke aku sekarang, apa yang terjadi sebenarnya?"
Tania diam sejenak, lalu dia berujar seperti teringat sesuatu. "I'm busy. Kamu pulang dulu, aku masih ada urusan."
Dia sudah berkacak pinggang sambil menatap wanita paling ajaib ini. "You're busy. Okey. Setelah satu tahun bersembunyi kalimat pertama kamu itu 'jalan Pak' dan dilanjutkan dengan 'I'm busy'. Dan kamu bicara itu ke tunangan kamu yang sudah kamu tuduh nggak-nggak dan kamu tinggal bersembunyi satu tahun lamanya."
"Ren, aku udah minta maaf. Jadi yang benar setelah 'jalan Pak', aku juga bilang maaf." Sahut Tania tenang.
Wanita ini membuat dunianya jungkir balik dalam artian yang paling parah dan terburuk. Bisa-bisanya Tania berkata seperti itu padanya, seolah menghilangnya kemarin itu bukan apa-apa.
"I'm so...mad at you. God. Hrrrghhhh..." Satu tangannya yang terkepal sudah dia gigit sendiri.
"No, you are so miss me, love me, crazy about me. And I feel the same."
Tubuh Tania mendekat lagi. Dua tangannya menempel di dada seperti berusaha menenangkan dirinya karena dia mau meledak sebentar lagi.
"Aku balas kamu. Serius." Ponsel sudah dia angkat. "Nif..."
"Ren...Antania muncul, gue dikabarin Mahen. Lo sama dia?" tanya Hanif dari seberang sana.
"Ya, sayangnya dia lagi sibuk." Sindirnya sambil menatap Tania galak.
Hanif tertawa di sana.
"Nif, tolongin gue. Karena lo juga lagi siapin pernikahan, tolong hubungi penghulu yang lo akan pakai. Minta dia datang ke rumah Bayu Tielman siang ini. Gue telpon Mama dan Ayah abis ini. Juga Om Bayu. Lo bisa atur saksi nikah buat gue? Atau bilang Ayah untuk minta tolong sama Om Jaya dan Tante Evita. Apa bisa?"
"Mareno..." Mata Tania membelalak terkejut.
Dia tidak memperdulikan wajah Tania yang sudah membelalak murka.
"Gue akan hubungi Janice untuk datangkan Danika dan Nalea. Siang ini ya, Nif. Atau paling lambat sore."
Kepalanya mengangguk dan berterimakasih pada kakaknya kemudian ponsel dia tutup.
"Kamu gila apa?" nada Tania mulai naik.
"Iya, aku gila. Tadi kamu sendiri yang ngomong kan. Aku gila dan mau menikahi wanita yang sama gilanya kayak aku. Siap-siap, Beiby. Aku telpon Sabiya untuk datang ke sini."
"Mareno, kamu nggak bisa. Hrrghhhh...percuma ngomong sama kamu." Tania sudah meraih tasnya dan ingin beranjak pergi.
Kemudian dia dengan sigap mengangkat tubuh Tania di bahu yang terus meronta. Memasukkannya ke dalam kamar kemudian mengunci pintunya.
"Aku nggak akan setuju," ujar Tania marah.
"Sebentar lagi kamu setuju."
"Marenooo..."
"Apa? Kita terkunci di dalam kamar ini sampai semua siap. Kamu mau bantuin aku siap-siap? Atau mau ngambek terus?"
"Reen...iya iya. Aku minta maaf. Tapi jangan konyol begini. Please."
"Oh, aku suka kamu merengek begitu. Apa bedanya juga, Tan? Kita akan menikah pada akhirnya. Lebih baik disegerakan."
"Mama dan ayah kamu nggak akan setuju. Atau ayahku sendiri."
"Siapa bilang? Om Bayu oke oke aja. Mama dan ayahku bahkan langsung setuju waktu kemarin Hanif bilang dia mau married. Mereka tipe yang konservatif dan pingin anaknya cepat menikah. No issue."
"Renooo...ya Tuhan. Aku harus menyelesaikan kasus Danika dulu."
"Kamu pikir aku lagi ngapain selama ini? Kamu hanya tinggal bilang dimana pelaku kedua, kita akan amankan di markas ADS dan urus yang lainnya."
"Gila ya, kamu tuh nggak bisa diajak negosisasi."
"Untuk hal lain, masih bisa dinegosiasikan. Untuk yang ini...maaf. Satu tahun, Tania. Sudah cukup. Aku nggak akan mau menunggu lagi."
Kemudian tubuhnya sudah berbaring di kasur sambil menelpon keluarganya agar segera bersiap-siap.
"Come here...I know you miss me too." Dengan wajah santai, dia menempuk area kosong di sebelahnya sambil menatap Tania yang wajahnya sudah memerah marah.
***
Duluan Mareno apa Hanif?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro