41. Father
Minor revision ya. Yang sudah baca, boleh baca lagi atau nggak perlu juga nggak apa-apa. Dijelaskan di bawah perubahannya apa.
***
Ibrahim menghubunginya pagi ini, tentang Fayadisa dan keseriusan hubungannya dengan Hanif Daud. Dia terkejut dan tidak menyangka bahwa ucapan Brayuda si anak tengil itu benar kemarin. Tapi bagaimana bisa secepat ini?
"Wan, jadi bagaimana?" tanya Ibrahim di sana.
"Ayolah, Bang. Lo curang kali ini. Bagaimana gue bisa tolak. Kenapa bisa anak lo jadi cinta-cintaan sama anak gue? Itu aneh banget."
Ibrahim tertawa di seberang sana. "Anak muda memang berbeda pikirannya, Wan. Saya nggak bisa atur soal itu."
"Ah, kenapa secepat ini? Faya seperti baik-baik saja dan nggak butuh siapapun."
"Anak saya, Hanif, itu pemburu dan penakluk ulung. Sama hebatnya dengan saya sendiri."
Dia tertawa kesal. "Jangan sombong sebelum adu dengan Brayuda. Sial. Ini sulit. Gue nggak mau bongkar status gue secepat ini. Gadis itu bisa ngamuk."
"Salahkan dirimu sendiri. Kenapa terus bersembunyi."
"Lo paham apa yang terjadi dengan Asri kan, Bang."
Ibrahim diam di sana. "Ya, saya mengerti. Tapi Fayadisa berbeda. Dia kuat sekali."
Dia diam sejenak untuk berpikir, memantapkan hati.
"Wan, ketika Faya menikah, dia membutuhkan restu, membutuhkan ayahnya. Apa kamu tidak mau menyaksikan?"
"Gue bukan ayah yang baik."
"Itu yang harus kamu perbaiki. Jam satu siang acara akan dimulai. Silahkan datang atau, Faya akan menghampirimu di sana. Karena Arsyad harus bicara."
Nafasnya dia hela berat.
"Wan, tidak ada kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Tapi kamu harus mau memperbaiki. Jangan didiamkan lagi. Faya akan mengerti nanti," ujar Ibrahim lagi.
"Ya, kalau dia tidak mengamuk dan membunuh gue lebih dulu, Bang."
Ibrahim tertawa. "Itu resikonya. Bela dirimu hebat, Wan. Saya nggak terlalu khawatir itu."
"Sial, masih bisa melucu kau Bang."
Ibrahim tertawa kemudian hubungan disudahi.
***
Mata Faya menatap sosok Iwan Prayogo dan Brayuda yang masuk ke dalam ruangan. Refleks tubuhnya adalah berdiri menatap sosok Iwan.
"Biar saya saja, Syad. Ini dosa saya." Kepala Iwan menoleh menatap Faya sambil berjalan mendekat. Kemudian Iwan menghirup nafas panjang sebelum melanjutkan.
"Fayadisa Sidharta. Saya namakan kamu begitu dulu. Faya, seperti api. Sidharta, adalah sempurna dalam tujuannya."
Mata Iwan menatapnya dalam. Ada banyak rasa sesal, juga duka yang dipendam. Dia tidak pernah melihat jenis ekspresi ini pada sosok Bapak Besar sebelumnya. Ya, mereka saling mengenal. Bahkan beberapa kali Iwan Prayogo pernah datang dalam misi-misinya, atau ketika dia dalam bahaya. Dia menghormati sosok Iwan Prayogo. Siapa yang tidak? Aura Bapak Besar kuat sekali. Gelap dan kelam, sehingga membuat semua orang yang menatapnya mundur dan enggan. Tapi itu...dulu. Sebelum dia tahu rahasia yang ditutupi oleh monster ini.
Kakinya melangkah mundur, jantungnya bertalu-talu sementara tangannya mengepal kuat. Apa benar laki-laki dihadapannya ini adalah ayahnya? Yang membuangnya dulu, tidak menginginkannya, membiarkan dia berkubang dengan neraka. Satu demi satu air mata sudah menetes saja. Kemarahan menghantamnya cepat, dan sejuta pertanyaan tentang kenapa. Kenapa?
"Saya dan orang yang melahirkan kamu, melakukan kesalahan."
"Ya, saya memang selalu menjadi sebuah kesalahan." Suaranya sudah bergetar. "Karena itu saya tidak pernah diinginkan. Begitu kan?"
"Bukan, kesalahan bukan pada kamu. Tapi apa yang saya lakukan dulu ketika kamu lahir. Itu salah, sangat salah."
"Dan sekarang. Kenapa anda tidak menutup mulut anda selamanya? Apa anda tahu saya bisa melukai anda karena kemarahan ini?"
"Silahkan, saya sudah tidak mau bersembunyi lagi."
"Ya, anda muncul karena ada seseorang yang akan menikahi saya baik-baik. Jika tidak, anda tidak akan pernah muncul."
"Ya, itu kesalahan saya lainnya."
Dia bisa merasakan tangan Hanif mengusap lembut punggung. Seolah ingin menenangkan tubuhnya yang bergetar.
"Saya, baik-baik saja tanpa anda."
"Saya sangat senang mengetahui hal itu."
"Jadi, saat ini saya juga tidak butuh anda."
"Baik. Setelah menyaksikan kamu menikah nanti, saya tidak akan mengganggu kamu la..."
Dia berjalan cepat dan menghantam wajah ayahnya. Dia benci, terluka, marah, kecewa. Monster ini terus bersembunyi sementara selama ini dia sendirian, ketakutan, sampai akhirnya dia bisa berdiri dengan dua kakinya sendiri. Dan dengan seenaknya monster ini muncul begitu saja.
Tangan Hanif menahan tubuhnya. Iwan Prayogo sedang membersihkan darah dari mulut yang tadi dia hantam.
"Shit. Manusia bajingan! Brengsek!" Dia meronta sekuat tenaga karena ingin menghantam lagi. "Siapa manusia yang tega berbuat begitu? Dasar gila!!"
Tanpa dia duga, Brayuda yang ada di sebelah Iwan menghantam wajah Iwan juga. Beberapa kali hingga Arsyad memisahkan mereka karena Iwan sudah jatuh di lantai sambil terbatuk kepayahan.
"Ya, saya setuju dengan kamu. Ayah saya memang bajingan kelas satu. Apa kamu mau saya pukul dia lagi? Mumpung orangnya nggak melawan." Brayuda terengah menatap ayahnya dengan emosi yang sama. "Bilang, Fa. Saya akan lakukan dengan senang hati."
"Itu ayahmu, Fa. Dia tetap ayahmu. Dia buat salah, ya. Tapi dia ada di sini sekarang. Untuk tebus kesalahannya." Hanif terus memeluk tubuhnya dari belakang, menahan dia untuk merangsek maju. "Tenang, Fa. Tenang dulu."
Dia masih terkejut dengan segalanya. Apalagi reaksi keras Brayuda memukuli Iwan seperti tadi dihadapannya. Kemudian melihat Iwan, sang Bapak Besar, pimpinan para preman yang dia tahu sangat kuat dan tangguh sekali, terpuruk di lantai dengan wajah yang terluka, dia tidak tega.
"Our family fuck up. Jangan kamu berpikir saya hidup senang selama ini. Kelakuan dia sama saya itu parah juga. Dia preman, Fa. What do you expect?" Brayuda menatapnya. "Dia nggak paham bagaimana cara yang benar membentuk sebuah keluarga. Dia nggak tahu caranya karena ibu saya mati di tangan musuhnya setelah disiksa. Yang dia tahu, dia ingin melindungi kamu dari semua musuhnya. Karena itu dia titipkan kamu ke Arsyad, untuk dijaga. Karena untuk pertama kalinya, dia sayang sama seseorang sebesar dia sayang dengan ibu saya dulu."
Brayuda menghirup nafas panjang dan dia mendekati Faya.
"Saya sakit hati, waktu Ayah bilang soal ini satu bulan lalu. Saya pukuli dia, karena lancang membiarkan kamu sendiri kemarin dulu. Tapi dia melakukan ini untuk kamu, Fa. Dia nggak pingin kamu terluka."
Seluruh kenyataan itu berkecamuk di benaknya. Apa yang Yuda paparkan ada benarnya. Apa yang terjadi pada istri Iwan? Apa itu membuatnya trauma? Seperti dirinya sendiri pada pacar ibunya dulu?
Kemudian dia menghapus jejak air mata dan kembali berdiri, menatap Brayuda. "Saya butuh waktu, untuk memaafkan dia."
"Nggak perlu dimaafin. Biar orangnya nyesel seumur-umur. Kami setuju kamu menikah, kalau itu buat kamu bahagia. Gimana, adik kecil?" Brayuda menatapnya sambil mengulurkan tangan.
Dia menjabat tangan Brayuda. Kemudian Brayuda menarik tubuhnya dan memeluknya kuat.
"Maafin gue, karena nggak ada untuk lo selama ini. Setelah ini, bilang aja kalau Hanif macam-macam. Gue kirim dia ke neraka. Paham?"
Entah kenapa dia tersenyum, masih sambil menangis dan mengangguk kecil.
"Ayolah, jangan cengeng adik kecil. Gue ada di sini," bisik Brayuda lagi.
***
Iwan dan Brayuda pergi setelah itu. Arsyad juga sudah keluar ruangan. Kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Hanif lama-lama masih di ruang baca.
"Mau minum dulu? Aku ambilin ya," ujar Hanif sambil masih mengusap punggungnya.
Dia menggeleng. Tangannya makin erat memeluk Hanif. "Keluargaku, mengerikan."
Hanif terkekeh kecil. "Bersyukur, Fa. Kamu masih punya keluarga."
"Aku sudah punya keluarga sedari dulu. Leo, Bang Arsyad, Bung Niko, kamu, si konyol Mahendra, juga Mareno yang menyebalkan. Belum lagi tim ADS lain."
"Kamu tetap butuh seorang Ayah pada akhirnya. Entah kapan, berusahalah memaafkan dia. Mungkin karena itu juga dia berusaha selalu ada tanpa kamu tahu. Itu menjelaskan kenapa kemarin dia menurunkan seluruh anak buahnya untuk menjemput kamu, Fa."
"Tetap aja, nggak segampang itu maafin dia, Nif. Aku kecewa."
"Kamu hanya butuh waktu."
Hanif melepaskan pelukannya.
"Ternyata sebuah pelukan lebih melegakan daripada menghantam samsak." Dia tersenyum. "Terimakasih."
"Dengan senang hati." Hanif mencium dahinya. "Apa kita bisa lanjutkan acara?"
"Aku ingin bicara dengan Tante Trisa empat mata. Apa boleh?"
Hanif mengangguk. "Aku penasaran kalian pingin bicara apa. Kamu harus cerita nanti."
Dia hanya tersenyum lalu Hanif beranjak untuk memanggil mamanya. Wajahnya terpantul pada kaca dari salah satu dinding. Blazer putihnya dia lepas karena sudah terkena darah. Jejak air matanya dia hapus bersih dengan tisu dari atas meja. Sedari tadi dia tidak sempat bertanya apa yang dia ingin tanyakan pada wanita hebat dan ibu dari laki-laki yang dia cinta. Sebelum dia memulai segalanya kembali, dia harus bicara.
Lima menit kemudian Trisa masuk, kemudian mereka duduk berdampingan di sofa.
"Maaf kalau saya lancang, Tante."
Trisa tersenyum menatapnya. "Tidak apa-apa, Sayang. Semua tadi pasti berat sekali. Maafkan Iwan, dia laki-laki baik yang ingin menebus dosa."
Salivanya dia loloskan perlahan. "Apa Tante sudah tahu tentang Ayah saya?"
"Iwan, Ibrahim, Sanjaya, ayah Sabiya, termasuk Rudi Dirga, oh bahkan Herman, mereka dekat sekali dulu. Iwan datang terakhir karena ditemukan oleh Sanjaya di jalan. Kemudian suami saya dan Sanjaya menolong dia. Kami baru tahu tentang kamu sekitar 5-6 tahun lalu. Saat Iwan datang untuk bicara, dan suami saya mengutus Arsyad untuk menjemputmu."
Kepalanya mengangguk mengerti.
"Maaf, kami tidak bisa lebih dulu memberi tahumu karena Iwan tidak mengijinkan. Istri Iwan bernama Asri, ibu dari Brayuda. Asri, meninggal dunia. Disiksa oleh musuh Iwan di depan matanya. Iwan tidak bisa berbuat apapun. Saat itu dunia Iwan runtuh, kemudian dia bertemu Sanjaya dan suami saya. Sejak itu Iwan seperti trauma dan mendidik Brayuda keras sekali. Kami tidak tahu jika dia memiliki anak perempuan, sampat saat itu."
"Saya nggak menyalahkan Tante soal itu." Dia diam sejenak, mencoba mengatur irama jantungnya. Apa yang akan dia tanyakan, mungkin tidak akan berakhir baik, jadi dia harus siap jika memang ini semua tidak berakhir baik.
"Tante, yang saya tahu Hanif dekat dengan Tante. Sangat dekat."
Trisa mengangguk.
"Apa Tante sungguh-sungguh membiarkan Hanif menikahi saya? Maksudnya..."
"Hanif mencintai kamu, dia bahagia, kelihatan sekali dari raut wajahnya. Dia susah jatuh cinta, sekalipun hatinya baik dan pembawaannya ramah. Tapi kali ini dia sungguh-sungguh denganmu."
"Tapi keluarga saya, saya bukan..."
Trisa menggenggam tangannya lembut.
"Manusia semua sama, Faya. Saya dan suami saya tidak pernah membedakan orang dari siapa keluarganya atau berapa banyak yang dia punya. Itu tidak penting. Yang penting, apa yang ada di sini." Tangan Trisa menyentuh dadanya perlahan.
"Kamu adalah seseorang yang dibentuk dari kesulitan hidup. Ditempa langsung oleh yang Mahakuasa. Karena itu, kami yakin kamu bisa mendampingi anak kami, Hanif. Kami tidak ragu, Sayang. Sekalipun Iwan bukan ayahmu, kami tidak perduli. Hanif dan Arsyad tidak pernah salah menilai seseorang. Kami percaya anak-anak kami akan memilih yang terbaik untuk diri mereka sendiri."
Air matanya menetes lagi. Kenapa dia jadi cengeng begini? Dia bahkan bisa merasakan ketulusan hati Trisa Daud melalui pancaran matanya. Rasanya hangat, dia bahagia. Kemudian Trisa memeluknya lembut.
"Terimakasih, Tante. Terimakasih atas segalanya."
"Oh Sayang, jangan terlalu dilebih-lebihkan. Dan saya nggak suka dipanggil Tante."
Kepalanya mengangguk kecil.
***
Iwan diam sepanjang perjalanan pulang. Brayuda duduk di sebelahnya juga sama diamnya. Bolak-balik Rajata melihat mereka berdua dari spion tengah. Bayangan bagaimana Asri disiksa di depan matanya terulang. Saat itu Asri baru saja melahirkan Brayuda, belum lama. Kemudian perang antar kawasan terjadi. Salah satu preman serakah yang mengincar kawasannya menyerang rumahnya sendiri. Rajata berhasil melarikan Brayuda, tapi dia gagal melindungi belahan jiwanya.
Sakit itu tidak terperi. Jika musuhnya menyiksa dia, dia bisa terima. Apapun itu. Tapi Asri dipukuli bertubi-tubi. Dia memohon, mengiba, tapi dia juga terus dipukuli, diludahi. Silahkan, asal jangan sakiti Asrinya. Tapi mereka preman tanpa hati, sama sekali tidak punya hati. Mereka pikir mereka membunuh dia dan Asri. Sayangnya dia hidup. Sayang sekali.
Kemudian dia bertemu Sanjaya di rumah sakit. Istri Sanjaya baru saja melahirkan. Dulu, dia pernah menolong Sanjaya tidak sengaja. Saat mobil Sanjaya terkurung di salah satu daerah berbahaya. Dia dan Rajata menolong Sanjaya tanpa tahu bahwa di kemudian hari, Sanjaya akan membalas budi besar sekali.
Ya, apa yang dia miliki adalah pemberian dari Sanjaya dan Ibrahim Daud. Seluruh bisnis bersih untuk memulai yang baru. Tapi kemudian dia tidak bisa meninggalkan dunia itu begitu saja. Dendamnya menyala. Tidurnya selalu penuh dengan jeritan mendiang istrinya. Jadi, dia memburu orang yang menyiksa dan membunuh istrinya. Satu, demi satu. Dia siksa, lebih parah daripada apa yang istrinya terima. Setelah itu, apa dia puas? Tidak, sama sekali tidak. Malamnya lebih mengerikan lagi. Karena jeritan orang-orang yang dia bunuh dan siksa terus menghantui. Itu dosanya. Dia membiarkan itu semua. Merasa pantas karena dulu sudah hidup dengan banyak dosa.
Karena balas dendam itu, desas-desus tentang dirinya beredar. Tanpa dia duga dan mau, preman-preman pemimpin kawasan mulai menyatakan kesetiaannya. Tunduk dan patuh pada perintahnya. Karena tidak mau bernasib sama. Sejak itu, dia duduk di singgasana. Ketika pagi hingga petang, dia akan menjadi Iwan si pengusaha tambang. Tapi ketika malam, dia dan Rajata akan berkeliling untuk memeriksa seluruh area yang dia kuasai. Menghukum preman-preman yang keluar batas atau mulai membangkang.
Kemudian dia bertemu dengan wanita lain karena kebutuhannya. Sungguh, dia tidak menyangka wanita itu hamil karena apa yang mereka lakukan. Dia tidak cinta. Bagaimana bisa, jika hatinya sudah diberikan untuk Asri dulu. Kemudian bayi itu lahir. Bayi perempuan cantik dengan mata hitam dan senyum yang berani. Ketika itu dia begitu takut. Bagaimana jika dia tidak bisa melindungi bayinya? Bagaimana jika bayi itu tumbuh dewasa kemudian salah satu musuhnya menyiksa dia, membunuh gadisnya itu di depan matanya sendiri. Dia bisa gila.
Karena itu dia diam, sambil mengawasi wanita itu yang terus membuang si bayi. Dia meminta Rajata untuk selalu mengembalikannya ke pintu kontrakan sang ibu. Memberikan bayi itu nama pada secarik kertas, juga sejumlah uang yang cukup besar untuk biaya hidup. Setelah itu, Rajata selalu mengawasi. Bahkan membunuh pacar ibunya setelah tahu bahwa dia berusaha memperkosa Faya dan membuat Faya kabur dari rumah. Rajata sempat kehilangan jejak Faya. Hingga akhirnya Jata temukan lagi dan dia memutuskan untuk meminta bantuan Ibrahim dan Arsyad. Untuk menjaga anaknya.
Brayuda benar. Dia adalah preman. Tidak mengerti bagaimana caranya membina keluarga. Karena trauma mendalam dan ketakutan yang luar biasa. Jika memang Faya akan membenci dia selamanya, dia bisa terima. Itu dosanya.
"Jat, saya kangen Asri. Bawa saya ke sana."
Rajata hanya mengangguk. Brayuda menoleh sejenak menatapnya, kemudian kembali menatap ke arah luar. Paham benar, maksud ayah adalah makam ibunya.
***
Buat gue, this is a very touching part. Dikasih lihat bagaimanapun setangguh-tangguhnya seseorang, mereka juga punya luka dan duka. Selalu ada alasan dibalik sebuah perbuatan. Semua orang bisa buat salah. Karena, pada akhirnya kita manusia kan.
Orang yang hebat, adalah bukan orang yang tidak pernah berbuat salah. Tapi orang hebat adalah orang yang berbuat salah, kemudian dia mengakui kesalahannya. Meminta maaf dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Yang lebih hebat lagi, yang mau memaafkan dan memberi kesempatan. Begitulah.
Have a great Saturday Night.
***
Ada perubahan sedikit soal pernyataan wali nikah. Teman-teman benar, anak di luar nikah memang hanya memiliki hubungan perdata pada keluarga ibunya (UU1/1974 pasal 43 ayat 1). Jadi, gue rubah sedikit ya. Harusnya nggak mengurangi esensi ceritanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro