40. The Most Dangerous Mission
Hanif menatap Faya yang masih terbaring di tempat tidur kamar utama miliknya. Semalam setelah makan dan berbincang, Faya memintanya untuk memainkan piano lagu kesukaannya. Yiruma, River flows in you dan Kiss the rain. Dia melakukan itu dengan senang hati dan belum sampai lagu kedua, Faya sudah terlelap pulas di sofa. Kemudian, dia mengangkat Faya ke kamarnya sendiri, sementara dia duduk di sofa dalam kamar dan menatap wajah tidur itu hingga matanya terpejam. Entah kenapa dia masih takut tiba-tiba Faya akan menghilang dari sisinya.
Matahari sudah menggeliat bangun, namun mata Faya masih terpejam. Mungkin kelelahan. Jadi dia membiarkannya saja. Tubuhnya sudah mendekat ke tempat tidur. Dia naik ke atasnya dan merebahkan diri di sebelah Faya yang tidur miring ke arahnya. Satu tangannya ingin menyentuh rambut Faya perlahan, tapi ketika tangan itu tiba, Faya bangun dengan terkejut sambil menjauhkan diri darinya. Mata Faya memancarkan rasa takut sekaligus waspada.
"Fa, ini aku. Hanif." Rahangnya mengeras karena menahan emosi. Jelas sekali Faya trauma akan sesuatu. Apa Aryo juga suka melakukan ini? Tapi Faya bilang Aryo tidak menyakitinya.
Nafas Faya masih tersengal. Namun ketika manik mata Faya tiba di matanya sendiri, berangsur-angsur Faya tenang.
"Maafin aku. Kamu mimpi buruk?" Telapak tangannya sudah berada di pipi Faya, mengusap lembut.
Kepala Faya menggeleng. "Aku nggak apa-apa."
Dia menarik nafas sabar, dan mulai merengkuh Faya dalam dekapan. "Kamu boleh cerita sama aku kalau kamu mau. Siapa tahu sedikit mengurangi beban."
Faya menggeleng lagi. Lalu dia putuskan untuk tidak memaksa Faya. Yakin bahwa nanti Faya akan bercerita pada akhirnya.
"Ini jam berapa?"
"Masih pagi, tapi mengingat jam biologis kamu, ini sudah agak siang."
"Aku harus ke markas dan ke MG tengok Leo."
"Aku antar. Kamu juga harus siap-siap. Mama minta kita datang waktu makan siang."
"Shit. Nif, apa harus hari ini?"
"Ya."
"Aku nggak punya pakaian yang pantas."
"Kamu bisa pakai seragam ADS. I don't care. Mama dan Ayah juga nggak perduli soal itu."
Faya bangun dan duduk. "Aku memang serampangan, tapi bukan orang yang nggak punya sopan santun."
"You will be fine. Kamu itu bisa mengalahkan 10 orang bersenjata sendirian. Masa sama Mamaku kamu takut." Dia mulai beringsut bangun dan mengambil kemeja miliknya untuk Faya gunakan sementara.
"Nif, jangan bercanda, please."
"Kita belanja dan cari kebutuhan kamu setelah dari Leo. Mau begitu?"
"Belanja? No."
"Oke, aku hubungi Janice biar dia yang belanja. Kamu tinggal pilih aja. Baju-baju itu akan datang ke apartemen kamu. Setelah kita ke MG, kita langsung ke apt kamu buat siap-siap. Gimana?"
Kepala Faya sudah dia letakkan di lututnya sambil dia antuk-antukkan. Tubuh gadisnya itu masih duduk di tempat tidur dan ekspresi cemasnya lucu sekali.
"Atau mau ke butiknya Sabiya? Dia selalu punya sesuatu."
"Haniiif...minggu depan aja ke tempat Mama kamu. Atau setelah persidangan Michelle. Please."
"Aku yakin banget Arsyad sudah punya misi lainnya. Waktu kita nggak banyak, Fa." Tubuhnya masih berdiri dan menatap Faya. Satu tangannya mengulurkan kemeja bersih dan meminta Faya mandi.
Lalu Faya mulai berdiri masih di atas kasur besarnya. Berjalan mondar-mandir sambil bertolak pinggang resah. Senyumnya lebar melihat tingkah Faya. Dia mendekat ke pinggir tempat tidur dan menawarkan punggungnya.
"Sini. Aku antar ke kamar mandi, Nona."
"Nif..." Faya setengah berteriak kesal karena dia tidak mau mengerti.
"Kita ke tempat Sabiya aja oke. Karena dengan begitu dia bisa kasih saran biar kamu nggak pingsan sebelum sampai rumah Mama." Kepalanya menengok sedikit kemudian satu tangan menarik lengan Faya untuk mendekat padanya.
"Mau gendong depan?"
"Hiiih..." Tubuh Faya sudah turun dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi dengan wajah masam.
***
Markas besar ADS
Arsyad, Mahendra, Mareno dan Niko ada di sana. Duduk di black room untuk memastikan persiapan sidang Danika dan juga langkah selanjutnya.
"Hanif mana?" tanya Arsyad singkat.
"Bang, please. Dia baru ketemu ceweknya setelah merana berhari-hari. Biar mereka istirahat dulu," ujar Mareno.
"Kenapa lo belain Hanif banget?" Arsyad hanya penasaran.
"Loh, gue nggak belain. Gue cuma paham rasanya gimana. Bagus Faya baik-baik aja dan masih hidup kan. Yakin gue, Hanif bisa lebih gila daripada gue kalau ada sesuatu terjadi sama Faya."
"God, gue masih nggak bisa terima Faya punya pacar begitu," ujar Arsyad kesal.
"Mangkanya pacaran. Biar ngerti," sahut Niko sambil terkekeh.
"Nggak ada niat, sorry. Sibuk." Arsyad menghirup nafas panjang kemudian melanjutkan. "Jadi, gimana dengan persiapan persidangan Michelle?"
Mareno dan Mahendra mulai memaparkan apa yang mereka sudah siapkan bersama Pak Lukman dan Dwi Sardi. Ya, mereka bahkan menurunkan keduanya karena benar-benar ingin kasus ini cepat selesai. Semua bukti dan seluruh rekaman percakapan sudah mereka dapatkan. Hanya menyimpan bagian rekaman Michelle dengan Herman karena ketika nama Herman terseret sementara rencana belum matang, itu bisa berbalik menjadi ancaman untuk mereka.
Sidang pertama akan mulai dilaksanakan dua hari lagi. Setelah itu akan dilanjutkan dengan sidang pembuktian, pembacaan tuntutan dan sidang putusan. Ini akan jadi panjang dan Mareno sudah resah sekali.
"Berapa lama proses persidangannya?"
"Sesuai ketentuan maksimal 5 bulan, tapi dengan semua bukti menurut pengacara-pengacara kita bisa kurang dari 3 bulan."
"Apa bisa lebih cepat dari itu, Hen? Prediksi gue Antania hanya akan muncul di sidang pembuktian," ujar Mareno cemas. "Cewek keras kepala ini nggak muncul lagi sampai sekarang. Sial."
"Kualat itu namanya, Ren. Dapet cewek pinter kebangetan jadi susah ya." Niko meledek Reno yang mendelik kesal.
"Semoga aja. Kita akan langsung siapkan surat tuntutan dan dokumen bukti. Sekalipun Michelle dan pengacaranya pasti mengulur waktu jadi persidangan terhambat," ujar Mahendra.
"Oke. Gue percaya dengan kalian berdua dan tim pengacara untuk itu. Sementara gue akan mulai matengin master plan untuk Herman." Arsyad kali ini.
"Tommy sudah bisa dibujuk?" tanya Niko.
"Gue nggak ngerti kenapa lo lindungin Tommy, Bang?" Mareno kesal sekali ketika tahu hal ini.
"Tommy itu saksi kunci, juga Sharon. Sama kayak Yanto di kasusnya Michelle," jawab Arsyad.
"Tommy itu sama liciknya kayak Herman. Lo yakin dia bisa dipercaya?"
"Yakin, asal Sharon masih ada di sini. Lo mau coba ngomong sama Sharon?" Arsyad menatap Reno.
"No no," jawab Mareno cepat.
"Lo usil banget, Bang. Reno sama Tommy? Pecah perang saudara langsung nanti. Mereka bisa beneran bunuh-bunuhan, Bang," sahut Mahendra.
Arsyad tersenyum karena sesungguhnya dia hanya ingin melihat bagaimana reaksi Mareno tadi. Kemudian ponselnya berdering. Nama mamanya terpampang di sana.
"Assalamualaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam. Syad, makan siang di rumah hari ini."
Dahi Arsyad mengernyit. "Ada apa?"
"Datang saja, pastikan semua adikmu datang. Mama sudah hubungi Sabiya."
"Ma, ada apa? Kami sedang sibuk saat ini."
"Arsyad, Hanif ingin menyatakan niatnya pada Fayadisa. Dia menelpon Mama semalam. Dia bilang, sebelum kamu menugaskan Faya lagi ke luar."
Refleksnya adalah terbatuk terkejut. "Niat apa?"
"Mama paham kamu awam soal ini. Tapi Hanif tidak mau menunda. Mama dan Ayah setuju. Menyegerakan pernikahan itu baik."
Tubuh Arsyad sudah berdiri.
"Bang, lo kenapa?" tanya Mareno heran.
"Ma, tapi..."
"Tidak ada tapi. Kalian sudah dewasa semua, cukup umur untuk menikah. Mama tidak pernah memaksa. Jadi saat kalian memang sudah menemukan seseorang, Mama dan Ayah tidak mau menunggu. Dosa."
"Ma..."
"Sudah cukup, Mama tunggu jam satu siang di rumah. Assalamualaikum."
Arsyad masih berdiri terpaku sambil menatap ponselnya. "Angel, hubungi Hanif. Sekarang."
Kemudian Hanif menyahut di sana dengan video call.
"Ya, Bang?"
"Lo gila apa?" Arsyad berteriak emosi.
Hanif tertawa. "Bang, reaksi lo itu mirip kayak Faya. Tapi dia sudah setuju, Bang."
"Ini ada apa ya?" tanya Mahendra heran.
"Gue mau nikah, sama Faya. Maunya besok, atau sekarang. Tapi gue harus cari keluarga Faya untuk jadi wali dulu kan?"
"What?"
Wajah Mahendra yang terkejut dan Arsyad yang pucat membuat Niko dan Mareno tertawa terbahak-bahak.
"Gue setuju, Nif. Jangan kasih kendor. Langsung bawa ke KUA kalau perlu." Mareno masih tersenyum lebar.
"Nif, lo udah pikirin ini semua?" Arsyad bertanya lagi sambil memijit dahi.
"Apa gue tipe orang yang impulsif, Bang? Menurut lo gimana?"
"Lo nggak bisa..."
"Nggak bisa apa? Lo marah bukan karena punya perasaan sama Faya, kan?"
"Brengsek, gue serius."
Hanif tersenyum. "Bang, gue benar-benar berdoa setelah ini lo bisa ketemu seseorang yang cocok buat lo. Jadi lo paham."
"Ini bukan soal gue. Gue butuh Faya karena kita belum selesai, Nif."
"Bang, gue hanya menikahi Faya. Biar kita resmi dan nggak buat dosa. Faya masih akan beraktifitas seperti biasa, dengan ijin suaminya."
Tubuh Arsyad masih berjalan mondar-mandir gelisah. "Sial. Kenapa lo bisa jatuh cinta sama dia sih? Cari yang lain nggak bisa?"
"Nggak bisa. Ini yang terakhir."
"Bang, udah lah setujuin aja. Daripada kita semua mabok sama filosofi cinta bullshit dari Hanif. Selamatkan diri kita, Bang." Mahendra menyahut dengan wajah konyol.
Niko sudah berdiri dan menepuk pundak Arsyad sambil tersenyum mengerti.
"Syad, Hanif cuma mau menikah. Jangan terlalu khawatir."
"Gue nggak khawatir sama dia, gue khawatir sama Faya," timpal Arsyad.
Niko tertawa. "Tenang aja, ini Fayadisa. Lo pikir Hanif bisa ngapain dia?"
"Hey hey, ini telpon masih nyambung. Gue denger," sahut Hanif di sana.
"Kenapa juga jadi lo yang duluan sih, NIf? Tungguin gue dong." Mareno menyahut tiba-tiba kesal sendiri.
Arsyad menatap kedua adiknya itu kemudian menggeleng tidak percaya. "Dasar pada gila semua." Matanya menatap Hanif lagi. "Gue mau ngomong sama Faya, empat mata."
Hanif mengangguk setuju. "Silahkan, Bang. Gue harap lo nggak bertingkah kekanakkan dan bujuk Faya untuk batalin semua. Serius gue marah beneran kalau lo punya niat itu, Bang."
Nafas Arsyad dia hela panjang. "Gue harus bicara, soal orangtua Faya, Nif. Kalian juga harus tahu, siapa Fayadisa."
"Itu nggak akan merubah niat gue, Bang."
"Bagus. Tapi lo harus berhadapan dengan ayah kandung Fayadisa dulu."
"Sial, Bang. Jadi lo udah tahu?" Hanif berujar kesal.
"Kita bicara di rumah Mama. Sampai ketemu di sana."
Hubungan disudahi.
"Sumpah lo nggak asik banget simpan semua sendiri begitu, Bang. Fayadisa bisa ngamuk kalau tahu. Hati-hati aja." Mareno berdiri ingin berlalu ke luar ruangan. "Gue duluan ke tempat Mama."
***
Di kediaman Trisa dan Ibrahim Daud
Sekalipun pemberitahuan itu mendadak, Trisa benar-benar menyambut berita ini dengan suka cita. Bagaimana tidak, anak kesayangannya akan menikah. Akhirnya Hanif sembuh dari lukanya dulu dan menemukan gadis lain.
Trisa mengenal Faya sedari dulu. Gadis mandiri, kuat dengan watak yang keras karena terbentuk dari hidupnya yang kurang beruntung. Sungguh dia merasa Hanif dan Faya akan saling melengkapi. Paham benar, sikap Hanif yang lembut justru bisa mencairkan kekerasan hati Faya. Arsyad juga selalu berkata bahwa Faya adalah salah satu orang terbaiknya. Dia percaya ketika anak pertamanya menilai seseorang, maka orang itu benar-benar memiliki integritas tinggi. Ya, tidak gampang memenangkan kepercayaan Arsyad begitu saja.
"Sayang, apa aku harus hubungi Iwan? Bagaimana menurutmu?" tanya Ibrahim padanya.
"Jangan dulu, kita tidak tahu apa Faya sudah tahu atau belum."
Ibrahim mengangguk setuju, dia memeluk istrinya dari belakang. Mereka sedang berdiri di balkon atas memperhatikan persiapan jamuan makan siang yang akan berlangsung di taman luas belakang rumah mereka.
"Akhirnya Hanif lebih dulu." Ibrahim mencium puncak kepala Trisa.
Trisa tersenyum. "Ya. Mareno masih harus menunggu. Apa Bayu sudah menghubungimu lagi?"
"Sudah, kemarin. Dia menanyakan kondisi Mareno setelah misi terakhir mereka untuk menyelamatkan Faya. Aku bilang padanya, anakku bukan anak-anak manja yang akan mudah terluka. Bayu tertawa. Sepertinya dia hanya ingin memastikan calon menantunya baik-baik saja, dan anaknya tidak frustasi karena Mareno celaka."
Trisa tersenyum mendengar itu. "Aku berpikir kita sedikit jahat dengan Mareno, Sayang. Apa kita katakan saja dimana Antania?"
"Mereka harus belajar, Tris. Hidup itu tidak pernah mudah. Mereka harus menjadi lebih bijaksana, mengatasi dan menyembuhkan luka-luka mereka sendiri. Karena kita hanya tinggal menunggu waktu saja, Sayang. Mereka tidak akan selamanya memiliki kita."
"Oh, aku pikir kamu selalu terlalu keras dengan anak-anak. Mereka bukan tentara."
"Tapi lihat mereka sekarang. Metodeku berhasil. Mereka makin kuat dan saling membantu. TIdak bermusuhan atau serakah dengan harta, tidak seperti adik-kakakku sendiri. Mereka bisa hidup dimanapun, tanpa apapun."
"Ya ya. Kamu dengan metode kerasmu itu. Tapi ingat, Sayang. Pada akhirnya mereka tetap anak-anak kita."
"Karena itu aku punya kamu, Tris. Kamu pelembut hati mereka. Dan pemilik hatiku juga."
Trisa tertawa kecil. "Apa kamu tidak malu dengan usia? Kita bukan remaja lagi."
"Aku, tidak malu dengan apapun. Termasuk ketika aku merebutmu dulu." Ibrahim membalik tubuh istrinya perlahan, lalu menciumnya lembut.
***
Faya mengenakan celana jins berwarna gelap, kemeja biru langit bergaris tipis panjang yang ditutupi dengan blazer putih santai. Rambut hitamnya yang sedikit berombak tergerai dan ditata sederhana oleh Sabiya tadi.
Jantungnya berdebar seru dan tubuhnya dingin ketika mobil Hanif mulai masuk ke pelataran parkir. Mobil Arsyad dan Mareno sudah ada di sana.
"God, kenapa saudara kamu juga datang?"
"Niko dan Sabiya juga diundang. Sayang Leo masih perawatan, jadi nggak bisa datang," jawab Hanif.
"Aku tanya kenapa, bukan siapa yang diundang."
Hanif menatapnya sambil tersenyum kecil. "Faya, kamu cantik dan baik-baik saja. Nggak akan ada masalah apapun. Arsyad bahkan sudah tahu, dia telpon aku tadi waktu kamu sedang sama Leo di MG." Tangan besar Hanif menggenggam tangannya sendiri lembut.
"Nif, ini bukan ide bagus. Ya Tuhan."
"Fa, kita sudah diskusi soal ini." Hanif mencium tangannya lalu beranjak keluar mobil.
Dia mulai menarik nafas panjang. Ini lebih menegangkan daripada misi Aryo kemarin. Sialan. Ketika dia turun, Hanif menggandeng tangannya tanpa malu-malu dan menuntunnya masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum." Mereka sudah tiba di kebun belakang rumah yang luas.
"Wa'alaikum salam anak Mama. Akhirnya tengok Mama juga."
Trisa Daud langsung memeluk dan mencium pipi Hanif.
"Faya, apa kabarmu Sayang?" tanya Trisa.
"Saya baik. Terimakasih, Tante." Kepalanya mengangguk sambil tersenyum. Sungguh dia merasa ingin tenggelam saja.
Hanif sudah pergi dari sisinya untuk berbincang dengan saudara-saudaranya. Sementara bahunya sudah dirangkul Trisa dan Sabiya yang sudah ada di sana juga menyambutnya.
"Hai Faya, apa kabar?" Ibrahim Daud mengulurkan tangan yang langsung dia jabat. Laki-laki paruh baya itu masih terlihat gagah dan tampan di usia kepala lima.
"Saya baik, Om."
"Jangan terlalu canggung. Kalau kamu nggak suka bergosip, pindah ke meja laki-laki. Kita senang ada wanita yang bergabung," ujar Ibrahim.
"Oh Sayang, kami nggak akan bergosip." Kemudian Trisa meminta semuanya untuk segera menuju meja makan.
Niko dan Mahendra datang tidak lama dan langsung duduk di kursi masing-masing. Setelah itu Ibrahim Daud membuka makan siang dengan beberapa kalimat syukur. Semua memperhatikan Ibrahim yang duduk di ujung meja.
"Jadi, Hanif. Kenapa kamu minta kami semua berkumpul di sini?" tanya Ibrahim basa-basi.
Wajahnya berubah pucat dan tangannya berkeringat. Sial, ini benar-benar di luar dari bayangannya yang paling gila sekalipun, maki Faya dalam hati.
"Saya, ingin menikahi Fayadisa, dalam waktu dekat ini jika mungkin."
Wajah Ibrahim dan Trisa tersenyum lembut dan semua menoleh padanya.
"Jangan terlalu gugup, Sayang. Kami sudah tahu perihal ini dari Hanif sebelumnya. Apa pendapatmu soal itu, Fa?" Trisa menatapnya.
Salivanya dia loloskan perlahan. Tangan Sabiya yang duduk di sebelah kirinya menggenggam lembut. "It's oke, Fa," bisik Sabiya.
"Kamu boleh menolak kalau kamu pikir misi ini terlalu berbahaya, Fa." Arsyad menatapnya dari seberang dan itu membuat semua orang tertawa kecuali Arsyad.
"Arsyad, jangan ganggu adikmu." Trisa memperingatkan.
Dia menghirup nafas panjang karena semua tawa sudah reda.
"Ya, Arsyad benar. Ini mungkin akan jadi misi yang paling berbahaya yang pernah saya akan jalani." Wajahnya menoleh ke arah Hanif. "Tapi, ini misi yang paling saya inginkan. Sukarela. Sepertinya akan sangat menarik nanti." Setengah beban di dadanya seperti hilang setelah mengatakan itu.
Ketika dia sudah memutuskan sesuatu, hampir bisa dipastikan dia tidak meragu. Sedikitpun. Jika Hanif juga yakin padanya, juga seluruh keluarga ini bisa menerimanya dengan baik, maka tidak ada alasan baginya untuk menolak lagi.
Kemudian senyumnya terkembang, selebar senyum Hanif sendiri yang sedang menatapnya. Tangan Hanif menggenggam kuat di bawah meja.
"Alhamdulillah. Jadi bisa kita makan? Saya laper banget lihat masakan Mama." Mahendra menyahut dan disambut tawa yang lain.
Mereka mulai makan siang dengan atmosfir hangat. Dia menatap ke sekeliling meja. Melihat bagaimana keluarga ini berinteraksi. Mareno sibuk menggoda Arsyad yang masih terlihat kesal sekali. Niko dan Mahendra bercanda hal lainnya. Trisa dan Sabiya mengajaknya bicara, sementara Hanif sedang berbincang pendek dengan ayahnya.
Hatinya menghangat. Dia merasa diterima, disayang, dibutuhkan. Tidak ada satupun penolakan dari Trisa dan Ibrahim sekalipun mereka tahu dirinya sendiri datang dari keluarga entah siapa. Setelah hidangan penutup disediakan, Hanif membuka suara lagi.
"Bang, apa ada yang mau lo sampaikan soal Faya?" tanya Hanif sambil menatap Arsyad.
Matanya menatap Arsyad penasaran. Apa ini soal restu Arsyad?
"Faya, sepertinya kita harus bicara terpisah," jawab Arsyad.
"Ada apa?" Tubuhnya menegak, dia merasa ada yang aneh dengan sikap Arsyad.
Arsyad sudah berdiri dan memintanya juga berdiri.
"Sampaikan saja di sini, Bang. Tidak ada rahasia. Begitu seharusnya kan?" ujarnya lagi.
Trisa menatapnya lembut. "Mungkin sebaiknya kalian bertiga berbicara dulu terpisah. Kami menghargai dan tidak masalah, Fa. Dengarkan apa yang Arsyad ingin sampaikan."
Dia mengangguk ragu. Ada apa ini?
***
Tubuhnya bangkit dari kursi dan menyentuh punggung Faya lembut. Arsyad sudah berjalan dihadapan mereka untuk menuju ke dalam rumah.
"Semua akan baik-baik, Fa. Nggak akan ada yang berubah." Dia berusaha menenangkan Faya yang wajahnya waspada.
"Kamu tahu soal ini?" Gadisnya itu menatapnya kesal.
"Nggak tahu, benar-benar tidak tahu. Tapi Abang bilang ini penting," jawabnya.
Mereka bertiga sudah berada di ruang baca sekaligus ruang kerja.
"Duduk, Fa." Arsyad sudah duduk di salah satu sofa.
"Maaf, Bang. Saya berdiri saja."
"Duduk, kamu harus duduk."
"Saya baik-baik. Ada apa?"
"Saya ingin bicara perihal ayah kandung kamu." Arsyad berujar perlahan.
Wajah Faya pucat pasi seketika. "Kamu tahu?"
Arsyad mengangguk. Hanif segera menarik lengan Faya lembut dan menuntunnya untuk duduk di sofa terdekat. Tangannya menggenggam kuat tangan Faya, paham benar besar kemungkinan ini bisa menyakiti Faya.
"Ayah kamu..."
Kalimat Arsyad terhenti ketika pintu itu diketuk dan dua sosok itu masuk ke dalam ruangan.
"Biar saya saja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro