Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. The Lioness in the Cage

Di dalam ruang kerja siang itu

"Papa, nggak perlu turun tangan."

Iwan menatap Brayuda yang gusar sekali dan berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang.

"Hey, usia itu hanya ada di sini." Iwan menunjuk kepalanya sendiri. "Tapi di sini..." kemudian tangannya turun ke dada, "...saya masih tangguh."

"Apa Papa nggak percaya aku? Aku bisa atasi. Ada Jata dan Niko juga."

Iwan lalu tertawa. "Kalian orang-orang muda. Paham apa?" Kemudian dia menyulut rokoknya dan mulai berdiri mengitari meja kerja. Matanya melihat bola besi seukuran bola tenis sebagai hiasan di sana.

"Saya cium bau busuk, Wongso dan kacung-kacungnya biasanya menurut. Kali ini mereka membangkang." Tangannya mengambil bola itu dan menggenggamnya dengan satu tangan. "Mereka perlu diingatkan, kalau saya belum mati."

Brayuda menatap ayahnya tidak percaya. Kakek tua yang nekat sekali. Julukan ayahnya adalah si Bapak Besar. Bukan tanpa alasan karena memang dia adalah kepala dari organisasi hitam di kota itu. Sekalipun dia dan ayah memiliki usaha tambang yang mereka kelola juga. Wilayah kekuasaan dibagi empat. Tiap pimpinan wilayah akan selalu melaporkan kegiatan mereka. Bukan kegiatan yang baik pastinya, tapi Iwan memutuskan untuk melakukan pekerjaan kotor itu karena dia tidak mau segalanya kelewat batas. Ya, ayahnya itu besar dan lahir di jalanan. Hidupnya keras sekali sebelum dia bertemu Sanjaya dan Ibrahim dulu.

Ayah dan dia mencium gelagat aneh belakangan ini. Pimpinan daerah kekuasaan mulai diam dan membangkang. Satu-dua kasus penyelundupan obat-obatan terlarang mulai muncul dalam jumlah yang terlalu besar. Juga saat ini, mereka mendengar tentang isu penyelundupan senjata yang akan datang. Wongso, si penguasa daerah utara dan sering berhubungan dengan orang-orang pelabuhan mulai berahasia. Itu membuat ayahnya murka.

"Pikirin Nanda Pa, juga..." ujar Yuda lagi.

Iwan tertawa keras memotong kalimat Yuda. "Kamu pikir kamu bisa membujuk saya dengan rayuan cengeng begitu? Harusnya kamu yang lebih memikirkan mereka. Umurmu lebih muda dan harusnya lebih panjang dari sisa umur saya kan?"

Kepala Yuda menggeleng kesal. "Oke, saya, Jata dan Niko ikut. Jangan bergerak sendiri."

Iwan tertawa lagi. "Kamu pikir kamu bisa perintah saya? Dasar bocah tengil." Iwan melihat tubuh Yuda yang berbalik ingin pergi karena kesal gagal membujuknya. Kemudian dia berdiri tegak dan melempar bola besi di tangannya itu kuat lurus ke arah Yuda.

Tubuh Yuda berbalik dan tangannya menangkap bola itu dengan satu tangan, lalu langsung melempar kembali bola itu ke arah ayahnya. Iwan menggeser tubuhnya sedikit ke kanan sambil menghisap rokoknya kuat. Kaca jendela kantor pecah di belakangnya.

"Refleksmu masih bagus. Minta Rani betulkan kaca jendelanya dan ke luar sana. Saya sibuk." Iwan sudah duduk di belakang meja lagi menatap laporan dihadapannya.

***

Semesta itu bekerja unik sekali, entah kenapa dia selalu percaya. Pertemuannya dengan Dara beberapa minggu lalu membuat langkahnya lebih ringan. Seperti dia benar-benar sudah bisa melangkah maju dan sudah tidak ada beban hati yang dulu terasa berat. Ya, Dara mencintai El Rafi saja. Wanita itu tidak pernah bergeming. Itu pun jadi salah satu hal yang Hanif kagumi dari Dara. Kesetiaan wanita itu mengingat El Rafi yang benar-benar posesif padanya.

Siang ini dia baru saja menyelesaikan salah satu pertemuan dengan tim peneliti lingkungan untuk segera melaksanakan proyek mereka. Sesungguhnya dia harus bepergian demi proyek ini, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menyerahkan beberapa urusan pada salah satu orang kepercayaannya. Jadi dia bisa tinggal di sini dan membantu Arsyad. Ponselnya berdering.

"Ya Bang."

"Ke sini, gue butuh lo. Ada korban, kita lagi sama Bung Toto," suara Arsyad di sana.

"Ya, kirim kordinatnya," dia menyahut pendek dan segera berdiri.

Jas dia lepas dan tinggal di ruangan. Tangannya mengambil jaket kulit hitam serta helm hitam kemudian dia menghubungi Janice dari ponsel untuk mengatur ulang jadwal. Jam tangannya berbunyi bip menandakan Arsyad sudah mengirimkan kordinat. Dia melirik sesaat, area Utara. Kemudian dia melangkah ke basement bawah dan melajukan Ducatinya.

Di salah satu bagian utara Jakarta

Dahi Arsyad mengernyit menatap mayat laki-laki muda di tanah yang tubuhnya basah karena baru diangkat dari sebuah sungai. Toto si penyidik polisi berjongkok di dekat mayat sementara petugas forensik sedang berusaha menganalisa mayat tersebut.

"Perkiraan kematian 12 jam lalu, tengah malam, dipukuli dan dibunuh di tempat kemudian mayatnya dibuang ke sungai dan ditemukan oleh warga. Dia salah satu anak buah Wongso," ujar Toto.

Belum sempat Arsyad berkata apapun Brayuda dan Iwan Prayogo sudah ada di sana. Mereka berjalan mendekati mayat itu atas ijin Toto sendiri. Tangan Iwan terkepal keras kemudian dia berjalan menjauh sementara Brayuda menatap teliti mayat itu.

"Lo tahu dia, Yud?" tanya Arsyad.

Brayuda mengangguk.

"Siapa dia dan ada apa?"

Brayuda tidak menyahut malah berdiri dan berjalan menuju ayahnya. Sebelum Arsyad melangkah menyusul mereka, Hanif datang.

"Ada apa?" tanya Hanif.

"Anak buahnya Wongso mati semalam. Bapak besar tahu sesuatu tapi diam. Hasil forensik polisi ke luar bisa dua minggu karena kondisi mayat yang basah. Susah untuk menemukan sidik jari di tubuh korban. Terlalu lama buat jadi dasar kita bertindak. Lo bisa periksa? Gue ngomong sama Bapak besar." pinta Arsyad.

Hanif mengangguk mengerti. Dia berjalan menuju mayat itu dan berjongkok memperihatikan dengan seksama. Paham benar dia tidak boleh menyentuh apapun di TKP. Setelah selesai mengamati, matanya menatap ke sekeliling area itu. Kemudian mulai berjalan mengelilingi perimeter area yang sudah mulai ramai dengan satu-dua wartawan dan juga petugas kepolisian yang sedang melakukan olah TKP.

Salah satu keahliannya adalah meneliti hal seperti ini. Intuisinya jeli sekali. Pihak kepolisian dan satuan khusus negara sudah ingin merekrutnya dulu, tapi dia menolak karena ini bukan bidang yang dia gemari. Dia bicara sejenak pada Toto, bertanya fakta-fakta yang sudah terkumpul. Kemudian Arsyad berjalan mendekatinya.

"Gimana? Bapak besar mau ngomong?" tanyanya melihat Iwan Prayogo dan Brayuda yang sudah berlalu dari situ.

Arsyad menggeleng. "Yuda juga diam. Tapi mereka tahu sesuatu." Matanya menatap Hanif. "Gimana? Lo tahu sesuatu?"

"Kita ke markas. Bicara di sana, Bang," mata Hanif menatap kerumunan wartawan yang mulai datang.

Arsyad langsung setuju kemudian berjalan beriringan menuju motor mereka yang diparkir tidak jauh dari situ.

"Arsyad, Hanif." Toto menghentikan mereka. "Kalau kalian tahu sesuatu, kabari kami. Jangan bertindak sendiri. Pada akhirnya kami harus tahu juga kan?"

Ekspresi Arsyad datar sekali, dia mengangguk kecil kemudian berlalu.

***

Markas besar Ares Defense Services (ADS)

Mereka duduk di ruangan meeting besar. Niko, Arsyad, Faya dan dia sendiri. Sementara Mahendra dihubungkan dengan conference call. Arsyad menunggu dia untuk menjelaskan.

"Nama korban Suhandi, 28 tahun. Tangan kanan Wongso si preman area Utara. Hen, tunjukkin foto-fotonya."

Kepala mereka menoleh pada layar di sisi satu ruangan. "Gue ambil ini pakai devicenya Mahendra, diam-diam pastinya. Atau Bung Toto bisa ngamuk. Kalian lihat tangannya. Ada bekas jejak suntikan. Korban ini pecandu, lihat dari tubuhnya harusnya kelas berat. Setahu gue bagian utara nggak main obat. Barat dan selatan yang begitu," Hanif sudah berdiri dekat dengan layar dan menunjuk layar tersebut.

Arsyad mengangguk. "Apa mungkin dia membelot dan akhirnya dibunuh sama Randy, yang punya area barat?"

"Awalnya gue juga pikir begitu. Toto bilang, dia disiksa, dibunuh dan dibuang ke sungai. Salah. Urutan yang benar, dia disiksa, ditenggelamkan ke sungai dan mati karena tenggelam," ujarnya lagi.

"Cadaveric spasme. Tubuhnya kaku yang bersifat khusus karena tegang ketika dia meninggal. Awalnya dari bagian kepala. Lihat lagi fotonya baik-baik," Suara Mahendra menggema di ruangan dari telepon di meja melanjutkan keterangan Hanif.

"Pertanyaannya, siapa yang bunuh dia," dahi Arsyad mengernyit.

"Gue nemuin ini," Hanif meletakkan plastik kecil yang berisi puntung rokok.

Arsyad tersenyum, adiknya memang jeli dan lihai sekali. "Bawa ke Mahen."

"Itu bisa jadi iya dan bisa jadi nggak, jadi mungkin agak susah." Hanif berujar pada Mahen sambil menatap adiknya pada layar dihadapan mereka.

Mahendra tertawa, "Sejak kapan kalian kasih yang gampang ke gue. Siniin."

Faya sudah berdiri dan membawa benda itu untuk diserahkan ke Mahendra.

"Selain itu, senjata yang buat bunuh si Suhandi ini apa ditemukan?"

"Ada di Bung Toto dan basah. Ditemuin sama tim penyidik yang puterin area sungai."

"Karena itu kita harus ambil, karena timnya Toto nggak punya Mahendra. Barang bukti sepenting itu jadi sia-sia kalau ada di tangan polisi."

"Terus aja kasih gue benda-benda pembunuhan. Jangan salahin kalau gue tumbuh jadi adik yang sadis ya," canda Mahendra.

Niko dan Hanif tertawa. "Anak kecil dasar."

"Faya..." Arsyad menatap Faya yang menghentikan langkahnya. "Kamu dan Hanif pergi ke kantor polisi. Ambil barang bukti itu."

"Bang, mana bisa Bang. Ini kasus masih baru banget. Kalau barang bukti hilang, Toto langsung tahu itu ulah kita," protesnya.

"Lo punya fotonya?" tanya Arsyad.

Dia mengangguk tidak mengerti.

"Mahen, buat duplikatnya. Lo dan Faya pergi ke kantornya Toto dan tukar dengan duplikatnya," gue mau kita sudah dapat petunjuk dua hari lagi.

"Mulai nih, mission impossible," dia berujar kesal.

"Nif, elu bagian enaknya cuma nuker barang, nah gue," sungut Mahendra.

"Enakan juga gue, cuma jadi penonton doang." Niko terkekeh menyebalkan sambil meyenderkan tubuhnya di kursi.

Faya hanya mengangguk dan berlalu kemudian Arsyad berdiri.

"Niko, lo bantu cari tahu dari Brayuda, atau Alex dan Angga."

"Oke Bos."

Mereka semua ke luar dari ruangan.

***

Satu hari kemudian, kantor Bareskrim.

Hanif dan Faya mengintai dari dalam mobil, ingin mengetahui aktifitas di sana. Hari sudah gelap dan duplikat dari alat pembunuhan itu sudah mereka bawa di belakang jok mobil. Sudah tiga puluh menit mereka duduk dalam diam sambil mengamati. Tangan Faya terus mengetikkan sesuatu di tablet yang dia genggam.

Kepalanya menoleh melihat wanita di sebelahnya ini. Fayadisa Sidharta. Anak emas abangnya Arsyad. Dulu, pada suatu hari tiba-tiba Arsyad membawa gadis ini ke markas besar. Hanif saat itu sedang mengajarkan teknik berburu dan mencari jejak pada anggota keamanan baru ADS. Dia masih ingat benar, wajah Faya babak belur tapi api di matanya benar-benar bisa membakar orang yang melihatnya. Faya seperti singa betina yang murka, siap menerjang siapa saja.

Faya dikurung dan mengamuk karena dia selalu ingin kabur dari markas ADS. Tapi Arsyad bersikukuh menemuinya setiap hari. Saat itu dia juga berinisiatif untuk membantu Arsyad yang makin kewalahan. Dia masih ingat benar, apa yang terjadi ketika itu.

Dulu

Tubuhnya diam menatap pintu dihadapannya. Dia ragu, tapi tahu dia harus membantu abangnya. Dia juga selalu percaya dengan penilaian Arsyad pada orang yang membuat abangnya itu tertarik. Misal saja Alex, Niko, atau Max. Mereka bertiga sangat bagus dan sangat setia. Mereka seolah siap mati untuk abangnya. Sama seperti Arsyad sendiri terhadap mereka. Jadi dia percaya firasat Arsyad tentang gadis ini juga tidak salah.

Kemudian dia masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu. Sedikit terkejut ketika dia melihat tubuh Faya sedang bergelantung terbalik dengan kedua kaki melilit pada batang besi yang tertancap kokoh di atap ruangan itu. Tangan gadis itu bersedekap, rambut panjangnya dikepang satu, matanya terpejam dan tubuhnya dibalut dengan celana hitam dan kaus tanpa lengan abu-abu seragam ADS.

Dia berdehem. Oke, dia bukan Mahendra yang gugup dengan wanita. Tapi aura gadis ini sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang dia kenal.

"Saya Hanif."

Tanpa dia duga wanita itu menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan kedua tangan yang menopang, kemudian langsung berbalik dan menendang wajahnya. Dia mundur beberapa langkah dan langsung siaga. Faya sudah berlari menuju pintu dan berteriak marah ketika tahu pintu itu terkunci. Kemudian gadis itu menyerangnya. Hanif tidak membalas, hanya berusaha menangkis dan menghindar. Dia juga diam saja sambil memperhatikan urutan gerakan Faya.

'Teknik bertarungnya sembarangan dan terus menyerang tanpa tahu bagaimana bertahan. Jelas kalau pertahanannya lemah. Tapi stamina dan fisiknya luar biasa. Sejak kapan dia bergantung begitu? Arsyad saja hanya kuat selama 15 menit,' gumam Hanif sambil terus mengamati.

'Dia punya 10 pola gerakan yang berulang. Menjatuhkannya sangat mudah, tapi...' dia tidak mau dan terus bertahan saja.

Sudah lima belas menit dan tidak sedikitpun serangan Faya berkurang intensitasnya. Dia selalu berhasil menangkal serang-serangan itu sampai akhirnya Faya berhenti dengan posisi memasang kuda-kuda dan terengah. Menatapnya marah.

"Kita bisa bicara," ujarnya.

"Gue pingin pergi, ke luar dari sini." Faya menjawab marah.

"Saya nggak paham kenapa Arsyad tidak membiarkan kamu keluar. Tapi, kami orang baik. Saya 100% yakin kalau Arsyad tidak mengijinkan, berarti ada bahaya di luar sana yang menunggu kamu."

"T** kucing kalian!! Kalian siapa bisa atur-atur gue? Gue bukan milik kalian, gue bukan binatang yang bisa kalian kurung seenaknya. Dasar orang kaya sialan!"

Gadis itu maju lagi dan mulai menyerang dia lagi. Hanif tahu dia harus menghentikan gadis ini dan mulai tidak membuang waktu. Akhirnya dia maju mendekat bersiap menerima satu pukulan di wajah agar dua tangannya bisa membelit lengan Faya dan menghentikan gadis itu.

"Gerakan kamu tertebak gampang," Hanif berbisik pada telinga Faya dari belakang tubuhnya. Dua tangan Hanif sudah mengunci dua lengan Faya dan juga tubuhnya yang sekarang menempel pada bagian belakang tubuh Faya.

"Hhhhrrggghhhh..." Faya mengamuk namun gagal melepaskan diri.

"Kita bisa seharian bertarung dan kamu kalah, atau kita bisa duduk dan bicara seperti manusia. Bagaimana?"

Faya masih tersengal namun mengangguk kecil.

"Jangan tipu saya, atau saya akan patahkan kaki kamu jadi kamu tidak bisa lari lagi," ancam Hanif.

"Silahkan, gue nggak perduli," Faya mencoba meronta namun sia-sia.

"Kamu favorit Arsyad, bukan saya. Arsyad mungkin tidak akan melukai kamu sekalipun dia bisa, berbeda dengan saya."

Dia paham benar dia tidak akan pernah melukai seseorang, siapapun mereka. Tapi sedikit ancaman mungkin berhasil menundukkan singa betina ini.

Tubuh Faya membeku, Hanif paham wanita ini benci dengan kekalahannya. Jadi dia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Faya. Lalu dia menarik nafas panjang kemudian mengambil salah satu kursi besi di sana dan duduk. Matanya memperhatikan Faya yang masih berdiri menatap dia kembali sama herannya.

"Lo semua, harus cari kerjaan yang lain selain nyulik cewek miskin pertama yang kalian temuin di jalan. Kalo kalian mulai kasih gue ke laki-laki hidung belang. Sumpah gue bakalan bunuh semua yang kalian kirim ke gue. Gue nggak akan mau makan, apa yang kalian nggak makan di depan gue. Kalau kalian penjual organ, gue dengan senang hati kasih ginjal gue dengan penawaran yang bagus."

Hanif tertawa mendengar semua itu. "Khayalan kamu bagus banget."

"Jangan ketawa, bajingan!!"

"Pertama-tama, kamu harus bicara dengan baik dan benar. Apa kami pernah melecehkan kamu? Apa setelah kamu minta Max untuk makan semua makanan yang kita sediakan terus Max mati di depanmu? Atau pingsan? Apa waktu kamu diseret ke sini sama Arsyad, kamu lihat ada banyak kamar-kamar berisi perempuan lainnya? Kamu bahkan diberikan jendela kamar, sekalipun memang dilengkapi teralis besi. Tapi apa kamu tidak melihat aktivitas kami di sini? Apa kami terlihat atau berperilaku seperti penjahat?"

Faya diam seperti berpikir keras. "Jadi Arsyad nggak bohong?"

"Abang saya? Berbohong?" Hanif tambah tertawa. "Jika kamu musuhnya, ya. Dia akan berbohong sekalipun saya akan langsung tahu. Tapi dengan kami dan orang-orang yang dia lindungi, dia tidak pernah berbohong. Dia bahkan rela mati untuk kami." Hanif diam sejenak. "Mungkin juga untuk kamu."

"Untuk gue?"

"Ya, untuk kamu. Mau coba?"

Dahi Faya mengernyit heran tapi kepalanya mengangguk.

"Oke, tapi setelah itu. Kamu berjanji akan mendengarkan apa maksud Arsyad membawa kamu ke sini dan berhenti bersikap konyol. Deal?"

Kepala Faya mengangguk mantap. "Deal."

***

Menurut kalian ini female leadnya bukan? Stay tune aja, kalau penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro