Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39. Dirty

Markas besar ADS

Mereka duduk di ruang meeting besar. Si empat saudara, Niko, dan Faya, setelah tiba di markas besar.

"Herman punya dua orang kepercayaan. Wibowo dan Aryo Kusuma. Wibowo itu mantan sekertaris Bayu Tielman yang berkhianat. Orang-orang tadi yang serang Aryo, itu orang-orang Wibowo," ujar Faya memaparkan yang dia tahu.

"Kenapa?" tanya Arsyad.

"Aryo bilang, Herman tahu soal saya dan Aryo. Karena itu mereka ingin singkirkan saya karena dianggap pengganggu untuk Aryo," jawab Faya.

"Kamu dan Aryo. Ada apa dengan kamu dan Aryo?" nada Hanif benar-benar tidak suka.

Mata Faya menatap Hanif kesal.

"Jangan kehilangan konteksnya. Seberapa jauh Herman tahu soal kamu?" tanya Arsyad lagi.

Faya menggeleng. "Saya nggak paham. Tapi anak-anak buahnya tidak mengira kalau Nafa yang mereka cari adalah saya. Dan melaporkan ke Herman kalau Nafa sudah tidak ada. Harusnya itu berarti Herman masih tidak tahu."

Arsyad mengangguk setuju. "Bisa jadi begitu. Herman sedang sibuk membangun pencitraan dirinya. Sudah hampir pasti dia akan menjabat dalam waktu dekat ini."

"Sebagai menteri dalam negeri," Mareno melanjutkan. "Saat ini posisi itu kosong."

"Jadi Herman dapat apa yang dia mau." Hanif menyenderkan tubuh ke kursi sambil mengernyitkan dahi.

"Kita, juga dapatkan buku merah itu," ujar Arsyad menimpali. "Mahendra sudah salin semua dan saat ini, hanya saya dan Mahendra yang tahu."

"Kapan master plan untuk jatuhkan Herman bisa kita bahas?" tanya Niko tidak sabar.

"Informasi terpecah-pecah dengan teka-teki. Saya dan Mahen masih harus susun dan hubungkan dengan kasus-kasus lama yang kami curigai. Setelah semua terbaca jelas dan saya periksa, baru saya akan jatuhkan bomnya."

"Apa Herman tidak tahu kalau rahasianya sudah kita miliki?" tanya Niko lagi.

"Belum, sepertinya belum. Karena harusnya reaksi Herman akan lebih hebat jika dia sudah tahu. Herman juga sedang bepergian saat buku merah itu jatuh. Aryo tidak bicara, karena merasa bisa membereskan masalah itu." Arsyad kali ini.

"Juga karena ingin menutupi kesalahannya dari Herman. Tapi sepertinya Wibowo tahu, dan akan menggunakan kesempatan itu nanti. Saat dia benar-benar ingin jatuhkan Aryo. Sekarang, dia hanya menyerang sisi personal Aryo dengan menjadi pengadu soal Nafa," tutup Hanif.

Arsyad tersenyum lebar pada Hanif. "Glad to have you back." Kemudian kepalanya menoleh pada Mareno. "Gimana soal persidangan Michelle?"

Mahendra yang tertawa kali ini. "Wanita gila itu bersembunyi karena bom dari Mareno. Gue antara kasihan, sama puas soal itu. Salah satu pemerkosanya juga adalah manusia paling bejat yang pernah gue tahu. Sebelum menyerahkan diri ke penjara, dia ngerjain bos nya dulu. Manusia gila."

"Persidangan dua hari lagi. Semua bukti kuat sudah siap. Si pelaku pertama juga sudah mengaku dan menyerahkan diri. Karena setelah main-main dengan Michelle, dia lebih aman di penjara daripada di luar sana. Tenang aja, setelah Michelle di penjara, laki-laki laknat itu urusan gue." Mareno melanjutkan.

"Yang satunya?" Niko bertanya. "Harusnya ada dua, kan?"

"Menghilang. Gue dan Mahendra kehilangan jejaknya. Jadi memang si pemerkosa bajingan ini adalah saksi kunci," jawab Mareno.

"Nggak sebaiknya dia kita kasih perlindungan?"

"Sudah, Bapak Besar sudah turunkan orang untuk melindungi si bejat itu di penjara sampai persidangan selesai." Mareno berujar lagi.

"Apa kabar Danika?" tanya Hanif.

Mareno tersenyum. "Danika membaik. Responnya benar-benar baik setelah sesi-sesi terapi baru dari Dokter Andreas. Mario sudah menyelesaikan proses perceraiannya dan selalu datang menengok Danika."

"Jadi, apa lo udah siap?" Hanif menatap Mareno.

Mareno menghirup nafas panjang. "Semoga cewek keras kepala itu datang. Setelah itu langsung gue bawa ke KUA terdekat. Sumpah gue bakalan lakukan itu."

Kemudian mereka tertawa.

***

Sudah larut malam ketika mereka tiba di apartemen mewah Hanif. Ya, laki-lakinya itu benar-benar keras kepala dan tidak mau melepaskannya begitu saja. Ini terasa sedikit aneh, tapi dia mulai terbiasa. Hanif masih diam saat memberikan handuk mandi untuknya. Ekspresi Hanif tidak bisa dia tebak, atau mungkin, seperti biasa Hanif mulai mengacaukan otaknya lagi.

Dia masuk ke kamar mandi dan mulai berdiri di bawah pancuran dengan air hangat. Matanya menatap tangannya sendiri, yang tadi berlumuran darah. Atau bagaimana tubuhnya seperti dihantam rasa lelah teramat sangat. Dengan lebam biru di sana-sini karena bekas tembakan yang mengenai baju anti pelurunya. Belum lagi ketika dia memejamkan mata, bayangan Aryo yang menyentuhnya tiba-tiba kembali dan itu membuat dia merasa kotor.

Kepalanya menggeleng keras untuk menghilangkan semua itu. Tapi tiba-tiba dia seperti mendengar suara pacar ibunya dulu.

"Kesayangan, kamu sembunyi dimana?"

"Pergi, Fa. Lari."

"Gue mau lo, sekarang."

"Trauma hebat. Apa lo pernah dipaksa?"

Kemudian tanpa sadar air matanya menetes lagi. Trauma itu sudah dia lupakan dulu. Karena itu dia selalu berlatih lebih keras dari yang lain. Setiap dia berlatih, bayangan itu memudar hingga hilang. Setiap tangannya menarik pelatuk dan peluru meluncur, kenangan hitam kelam itu pergi. Tapi saat ini, rasanya semua itu seperti kembali.

Fa, you are stronger than this.

"Fa, kamu nggak apa-apa?" Hanif mengetuk pintu kamar mandi.

Nggak apa-apa." Kesadarannya kembali dan dia segera menyelesaikan mandi.

Tubuhnya yang sudah berpakaian baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah menemukan Hanif yang juga sudah selesai mandi berdiri di sana menatapnya.

"Ada apa?" Dia bertanya bingung.

Hanif kemudian melangkah maju dan memeluknya lembut. "Maafin saya, saya terlambat datang. Maafin saya."

Seumur hidupnya, belum pernah ada orang yang memperlakukan dirinya seperti Hanif. Leo sekallpun. Karena Leo dan dia malah akan saling meledek dan menertawakan hari-hari buruk mereka dulu. Ya, itu cara cepat untuk melupakan segalanya. Tapi saat ini, pelukan hangat Hanif seolah merusak apa-apa yang dia ingin simpan sendiri. Dia menjadi rapuh dan luruh begitu saja.

"Kamu boleh nangis, Fa. Boleh. Setelah semuanya, kamu boleh melampiaskan apa yang kamu rasa. Jangan disimpan sendiri. Saya ada di sini." Hanif mencium puncak kepalanya sayang.

Dia hanya menangis ketika dulu Arsyad terluka, atau Leo terluka, atau saat Aryo memaksanya. Alasan menangisnya pasti karena sesuatu yang penting, bukan karena dia ingin bersandar pada seseorang, bukan karena dia lelah dan sungguh ingin pulang, bukan itu semua.

Sekarang, titik-titik air mata itu jatuh begitu saja. Dia menangis karena dia ingin menangis. Atas semua yang sudah terjadi dan sungguh mengguncangnya hebat. Atas semua rasa lelah dan penat setelah bertahun-tahun lamanya. Juga, dia menangis karena ingin bersandar pada laki-laki ini.

Hanif diam tanpa kata sambil memeluknya lembut. Mendengarkan dia terisak dan meluapkan segalanya. Itu semua membuat beban yang selama ini dia tidak tahu ada terangkat perlahan. Hatinya terasa hangat. Jenis hangat yang sangat melegakan dan menyenangkan. Setelah beberapa lama, garis bibirnya bahkan tertarik tipis. Dia merasa, damai.

Kemudian kepalanya mendongak ke atas. Senyum Hanif sungguh membuatnya lupa, mata coklat indah itu berpendar menatapnya.

"I need you." Dia berkata lirih. Ya, dia membutuhkan Hanif seperti dia membutuhkan udara dan air untuk hidup.

Senyum Hanif tambah lebar. Lalu Hanif mencium bibirnya lembut, panjang dan lama-lama. "I love you, Fayadisa Sidharta."

***

Hanif dihantam rasa bersalah saat mereka selesai dari markas besar tadi. Faya memang tidak mengatakan apapun dan diam saja. Tapi dia tahu mata itu terluka dalam, sekalipun dia belum tahu apa alasannya. Jadi dia hanya diam sambil menyalahkan dirinya sendiri kenapa bisa dia terlambat datang. Kemudian, dia mendengar Faya terisak di kamar mandi, sekalipun setelah keluar dari sana air mata itu sudah pergi, tapi manik mata Faya mengatakan ada duka yang dia simpan sendiri. Itu membuat dirinya terluka juga.

Jadi, dia merengkuh Faya perlahan. Dia ingin Faya tahu bahwa dia siap menjadi apapun, melakukan apapun. Dia tidak ingin kehilangan Faya lagi. Lalu gadisnya itu menangis. Seperti melampiaskan apa-apa yang dia tahan. Tiga hari lalu adalah tiga hari terberat untuk mereka.

Menangislah Fa, luapkan semua. Aku ada di sini.

Kemudian setelah sedikit lega, Faya berkata kalimat yang tidak pernah dia duga. Ya, dia tidak pernah berharap Faya mengucapkan kata-kata atau kalimat manis untuknya. Fayadisa Sidharta adalah wanita mandiri dan terkuat yang pernah dia tahu. Jadi, dia mencintai Faya dengan caranya sendiri. Tanpa memaksa, tanpa syarat, dan mengerti benar bahwa Faya tidak akan dengan mudah bersikap manis padanya. Dia hanya butuh Faya saja, tidak butuh semua kata.

Tapi, saat seorang Fayadisa berkata seperti tadi, jantungnya memacu cepat. DIa seperti ingin meledak karena bahagia. Faya membutuhkannya. Bayangkan, kalimat butuh itu bermakna lebih tinggi dari cinta. Atau mungkin ini hanya karena euphoria-nya saja. Ah, dia tidak perduli. Kemudian dia mencium bibir gadis yang dia rindu itu lama-lama. Mencecap dan merasakannya.

Mereka berhenti karena Faya tertawa kecil. Gadisnya itu tertawa.

"Aku lapar," bisik Faya sambil menatapnya.

"Aku buatin sup?"

"Indomie."

"Nggak boleh. MSG nya terlalu banyak."

"Aku butuh MSG, biar bisa senyum terus."

Dia tertawa. "Aku nggak punya Indomie."

"Bohong."

"Serius. Cek aja sendiri." Tubuhnya berbalik dan menggenggam erat tangan Faya hingga sampai dapur. "Kalau kamu bisa nemu Indomie, aku biarin kamu bikin sendiri dan makan."

Faya tertawa sambil mulai mencari di dapurnya. "Haa...ketemu."

Dahinya mengernyit heran sambil menghampiri Faya. "Coba aku cek expired datenya."

"Nif, mie instant itu makanan awet."

"Nggak boleh, ini dua bulan lagi expired. Mungkin aku beli ini tahun lalu. Aku bahkan nggak bisa ingat kapan."

"Aku mau mie instant. Please." Mereka berdiri berhadapan.

Tangan Faya terulur dan wajahnya tersenyum. Kemudian mata Hanif melihat buku-buku tangan Faya yang lecet-lecet. Juga lengannya yang lebam. Dia mengambil panci kecil dan mulai merebus air kaldu yang dia ambil dari dalam lemari pendingin. Tubuhnya berbalik untuk mengangkat tubuh Faya hingga gadis itu duduk di counter dapur dekatnya. Lalu dia sudah mengambil kotak P3K yang sebagiannya berisi alat Mahendra.

"Supku rasanya lebih enak, serius." Dia mengambil tangan Faya dan mulai menyemprotkan peredam luka. Lalu mengambil salep untuk lebam-lebam untuk mulai mengoleskan pada lengan Faya.

Gadis itu diam saja. Satu tangan Faya yang tidak sedang diobati menyentuh rambutnya perlahan. Kemudian mengusap kerut-kerut pada dahinya.

"Did he hurt you?" tanyanya sambil masih meneliti bagian tangan Faya dan juga kaki.

"Apa itu penting sekarang?"

"Sangat penting."

"Aku nggak mau kamu bunuh orang."

"Oh, Aryo sudah akan mati saat kirim video sialan itu. Niatku nggak berubah." Kaki jenjang Faya dia angkat sedikit agar bisa mengoleskan salep.

"Kita semua akan mati pada akhirnya, biar itu dilakukan sama Tuhan aja. Jangan kamu."

Kepalanya menggeleng menepis apa yang dia ingat ketika melihat rekaman video itu. "Tetap nggak bisa. Hitung-hitung aku bunuh penjahat kan."

"Aryo memang brengsek dan bajingan. Dia juga pemaksa. Terakhir itu..."

"Aku nggak mau denger." Kaki Faya sudah dia letakkan lagi lalu dia menatap mata gadisnya. "Apapun yang kamu sudah lalui tiga hari kemarin, nggak akan merubah niatku sama sekali. Termasuk niatku untuk kejar dan bunuh Aryo."

"Dia nggak melakukan apa-apa, Nif. Dia memaksa, tapi kemudian berhenti sendiri, seperti menyesal. Aryo bahkan minta maaf dan membebaskan aku."

"Oh, dia butuh lebih dari maaf untuk tebus semua yang sudah dia lakukan ke kamu dan Leo."

"Aku bohongi dia, Nif."

"Itu misi, penyamaran."

"Aku salah, aku mainin hatinya. Kamu sendiri memperingatkan aku untuk itu."

"Sekarang kamu belain dia?"

"Aku nggak belain Aryo. Aku cuma bilang kalau aku baik-baik aja, dia nggak ambil apapun atau rusak aku padahal dia bisa. Itu fakta, Nif."

Nafasnya dia tarik panjang. Emosinya sudah mulai naik. Apa-apa yang dia tahu baru saja membuatnya lega dan marah. Lega karena Faya tidak dilukai fisiknya, dan marah karena paham benar Aryo melakukan itu semua karena sudah benar-benar jatuh cinta pada Faya. Dasar bajingan gila!!

"Apa kita akan mulai bertengkar seperti pasangan normal?" tanya Faya sambil menatap matanya.

"Kita akan segera menikah seperti pasangan normal."

"What? No. Aku nggak mau."

Tubuhnya sudah berpindah dan mulai memasak. "Aku nggak nanya."

"Kamu nggak bisa main paksa."

"Kita lihat aja."

"Kamu selalu kasih aku pilihan."

"Kali ini nggak."

"Hanif, serius dong."

"Besok, kita ke rumah Mama."

Tubuh Faya langsung loncat dari counter dapur dan berdiri. Atau lebih tepatnya berjalan gelisah mondar-mandir. "No, no, no. Aku nggak siap untuk itu."

"Kamu nggak akan pernah siap." Dia terus memasak tidak memperdulikan kegelisahan Faya.

"Hanif Abraham Daud, tolong stop bercandanya."

"Fayadisa Sidharta, siapa bilang aku bercanda. Aku nggak larang kamu terus ada di ADS, sekalipun Arsyad harus langkahi mayatku dulu kalau mau kirim kamu ke misi yang aneh-aneh. Aku cuma minta kita menikah resmi. Kamu tahu nggak, dengan kita berdua begini tanpa ikatan, itu dosa. Sorry, aku nggak berniat masuk neraka nanti. Dan kamu makin sulit ditolak pesonanya."

"Cuma? Menikah itu cuma?"

"Iya, menikah itu cuma. Apa bedanya sama pacaran? Kamu mau kita pacaran bertahun-tahun tanpa ikatan? Besar kemungkinan kita akan tidur bareng karena setan makin ngerubung kalau itu kejadian. No, I'm smarter from all the devil even the one which inside me."

"Hrrrghhhh...susah ngomong sama kamu."

"Aku nggak minta kita segera punya anak. Sekalipun aku akan senang sekali kalau Damar punya adik."

Faya sudah terbatuk-batuk keras. "This is way too far. Way way too far. God..."

Kepalanya hanya menengok sekilas melihat wajah frustasi Faya, kemudian dia asyik mengaduk sup dan mencobanya. "Enak nih. Cobain deh." Sendok itu terulur tanpa dosa.

Wajah Faya yang kesal sekali menggeleng, kemudian gadisnya itu berlalu ke dalam kamar. Keluar dari kamar, Faya sudah memakai jins tapi masih dengan kaus Hanif yang sama tadi.

"Mau kemana?"

"Minggat."

"Silahkan, Leo ada di MG. Kamu bisa pergi kemanapun malam ini. Tapi besok, Mama sendiri akan telpon kamu untuk undang kamu datang."

"Hanif!!"

"Apa, Sayang? Nggak usah teriak-teriak, aku di sini."

"Kenapa kamu jadi gila begini?"

Dia tersenyum sabar dan berjalan mendekati Faya perlahan. "Fa, kamu sudah tahu apa yang aku rasa buat kamu. Akupun sebaliknya. Ujung sebuah hubungan itu menikah, sekalipun itu adalah awal petualangan baru. Bukan akhir pastinya. Aku janji kita akan jadi pasangan dengan pekerjaan yang paling aneh yang pernah ada. Aku janji kita akan selalu berantem dan bahas hal yang nggak penting setiap hari. Tapi aku juga janji, kalau kita akan bareng terus sampai tua. Kita nggak akan selalu muda, Fa. Kita akan butuh ditemani, butuh pulang, istirahat. Aku mau kamu jadi tempat aku pulang, dan begitu pun sebaliknya. Jadi, kenapa menunda?"

Faya berdiri mematung, diam saja.

"Apa kamu ragu?" tanyanya lagi.

"Kamu itu, keluarga Daud."

"Oh God, jangan mulai. Itu kalimat paling kekanakkan."

"Mama kamu pasti lebih suka kamu menikah dengan Sabiya."

Dia tambah tertawa. "Kalau iya, aku udah nikah sama Sabiya dari dulu. Kenapa menunggu? Sabiya itu adik aku. Seperti Leo buat kamu. Apa kamu pernah membayangkan tidur dengan Leo?"

Kepala gadisnya itu menggeleng perlahan. "Tapi tetap aja, Nif."

"Jangan punya prasangka jahat sama Mamaku. Dia manusia paling cantik dan baik yang pernah aku kenal. Ayahku juga nggak pernah pakai cara norak menilai orang. Mereka juga sudah tahu, aku yakin Mareno dan Mahendra sudah mengadu. Dan kamu kenal mereka. Apa mereka pernah memandang rendah kamu?"

"Maksudku nggak begitu."

"Karena itu aku jelaskan. Besok lihat sendiri, bagaimana keluargaku nanti."

"Aku bahkan nggak tahu siapa Ayah aku. Ibuku sudah meninggal dua tahun lalu."

"Kita akan cari tahu, hanya karena aku ingin meminta izin sebelum menikahi kamu. Bukan karena hal jelek lain."

"Bang Arsyad gimana?"

Senyumnya terkembang membayangkan reaksi abangnya. "Arsyad pasti akan marah, tapi biar aja. Dia memang pemarah. Iya nggak?" Dia mulai menuangkan sup ke mangkuk. "Nanti juga dia terbiasa sendiri. Siapa tahu dia sadar kalau dia juga mulai harus cari pasangan hidup."

Kali ini Faya yang tertawa kecil. "Aku nggak bisa bayangin Bang Arsyad jatuh cinta."

Kepalanya mengangguk setuju sambil tertawa. Sup sudah dia letakkan di meja makan dengan dua gelas teh hangat. Kemudian dia menggeser kursi makan untuk mempersilahkan Faya duduk.

"Would you give me an honor to have a dinner with me, My Lady?"

Lagi-lagi gadisnya itu tertawa. Pipinya sedikit bersemu merona. Akhirnya Faya duduk di kursi itu dan dia mencium pipi Faya sejenak sebelum kemudian duduk dihadapannya.

"Aku nggak mau pakai gaun atau apapun."

Senyumnya terkembang lebar. "Akhirnya, kamu setuju juga."

Kemudian wajah Faya langsung memerah lagi dan itu membuatnya tertawa.

"Kamu boleh pakai apa saja. Senyaman yang kamu mau. Aku akan bilang Sabiya dan Mama agar nggak larang-larang kamu."

Kemudian mereka makan dalam diam. Hanif memandang Faya dengan sepenuh rasa. Dia tidak mau menunggu dan menunda. Karena paham pekerjaan mereka dan situasi saat ini yang masih tidak menentu, bisa membuat mereka kapanpun kehilangan nyawa. Malam mereka sempurna, karena akhirnya dia merasa sudah menemukan apa yang dia cari selama ini. Perasaan hangat yang melingkupi, juga lengkap dan utuh, saat bersama Fayadisa. 

***

Manis versi Hanif Abraham Daud. Aku sukaa manis beginiii.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro