38. Hello, hello
Siap? Tarik nafas panjang. Enjoy the excitement.
***
Mahendra datang bersama beberapa kendaraan yang membawa robot-robotnya. Iwan Prayogo yang sedang menunggu di luar mobil sudah benar-benar tidak sabar.
"Mana Arsyad?"
"Di heli, bareng Hanif, Reno dan Niko," jawab Mahendra sambil masih menatap layar komputernya.
Sementara Erick sudah membuka mobil-mobil van berisi robot-robot ID Tech yang langsung bergerak ke luar dan menyusuri area dihadapan mereka. Tidak berapa lama helikopter itu melewati atas mereka. Iwan, Yuda dan Rajata mendekat ke arah Mahendra yang menunjukkan peta.
"Om masuk dari arah yang salah dan paling berbahaya." Tangan Mahendra menunjuk perimeter area di sekeliling mereka. "Depan kita persis, ladang ranjau. Geser sedikit banyak jebakan lain. Tapi, ada jalan berputar lewat sini. Robot saya sedang menandai area. Ranjau nggak bisa langsung dibersihkan dalam waktu singkat. Resiko. Lihat tanda berwarna kuning di tanah nanti. Jadi nggak sampai menginjak ranjau. Sementara, putar jalur lewat tenggara."
"Jat, kumpulin anak-anak. Kasih tahu soal ini. Saya dan Yuda jalan duluan. Berapa banyak orang ADS yang diturunkan?"
"Banyak dan yang terbaik. Mereka sudah ambil jalur aman," jawab Mahendra.
"Bilang, sisakan buat anak-anak saya. Saya nggak mau bayar mereka gratis." Iwan kemudian masuk ke dalam mobil bersama Brayuda dan segera berlalu.
***
Hanif memeriksa beberapa senjata yang dia bawa. Kemudian menatap area di bawah dari atas helikopter.
"Kita bakalan sampai duluan. Tim ADS yang lain sampai 10 menit di belakang kita. Harusnya ini 'surprise party', Aryo Kusuma tidak akan menduga. Tapi jangan gegabah. Ini markas besarnya Aryo. Jadi pasti banyak orang-orangnya," Niko menerangkan. "Siap-siap buat pesta."
"Oh, I love party." Mareno tersenyum konyol.
Tangan Arsyad menepuk pundaknya. "Jangan bunuh orang kalau nggak perlu, NIf."
Wajahnya datar saja. "Biasanya, gue yang ngomong itu sama lo, Bang."
"Malam-malam lo akan buruk banget begitu lo mulai bunuh orang, gue serius." Arsyad menatap matanya.
Kepalanya menggeleng keras, berusaha menepis semua emosi yang dia pendam. Kemudian dia melihat jejak-jejak mobil di jalur aman dari dalam heli.
"Hen, apa tim kita sampai duluan?" tanyanya pada Mahendra melalui earphone.
"Nggak mungkin. Sepuluh menit, Nif."
"Nik, cek perimeter," ujar Arsyad.
Niko menggunakan teropong khususnya. "Ada tamu nggak diundang, tapi entah siapa. Sebentar... wow, ini beneran pesta."
"Siapa?"
"Gue nggak tahu. Aryo punya banyak musuh lain." Kepala Niko menoleh ke samping sambil melihat jam tangan. Satu tangan Niko memijit earphone di telinganya. "Ram, pesta besar. Bilang sama anak-anak buat siap-siap."
***
Faya sudah memilih senjata yang dia akan gunakan, memeriksa semua jebakan di pintu masuk dan berdiri di tengah taman belakang untuk menyambut tamu-tamunya. Doni, orang Aryo sudah berada di ruang tengah, juga berdiri dan menatap ke pintu.
"Satu menit lagi, 30-40 orang. Apabedanya?" Doni berkata sambil mengecek senjatanya.
Oh, dia merindukan ini. Kepalanya dia sudah gerakan ke kanan dan ke kiri. Dua tangan sudah memegang senjata. Ketika salah satu pintu meledak. Senyumnya terkembang sempurna dan dia mulai berlari menyambut tamu-tamunya.
Hello, hello. Welcome.
https://youtu.be/OgvLej8ln2w
***
Pilot heli menoleh ke arah mereka. "Mereka tembaki kita dari bawah."
Hanif menghubungi Mahendra.
"Hen, bilang Brayuda minta bersihkan area pendaratan heli. Gue dan yang lain siap meluncur."
"Siap," sahut Mahendra.
Heli sedikit berputar menunggu anak-anak buah Bapak Besar mulai menyerang orang-orang di bawah yang sedang menembaki mereka. Dada Hanif mulai bertalu-talu. Gadisnya ada di dalam rumah itu. Harusnya Faya aman kan? Apa yang sebenarnya terjadi?
Ketika orang-orang di bawah sedang sibuk baku hantam dengan anak buah Bapak Besar, mereka meluncur turun dari heli dengan tali. Kemudian, yang dia tahu tubuhnya bergerak otomatis. Menyerang, bertahan, berlindung, berlari, menghantam orang-orang yang menghalangi jalannya. Dia harus tiba di dalam rumah dan menyelamatkan Faya. Tim ADS tiba dan segera ikut serta. Siapapun orang-orang ini, mereka kalah jumlah. Benar-benar kalah jumlah.
Tubuhnya berlindung karena seseorang menembakkan senapan mesin dari dalam rumah. Musuh mereka kali ini dipersenjatai lengkap. Mereka pasti sangat membenci Aryo Kusuma seperti dirinya sendiri. Dia hanya berharap Aryo belum mati, jadi dia bisa memberi pelajaran pada laki-laki bajingan itu.
Arsyad masuk lebih dulu kemudian dia menyusul di belakang. Senyum kecil Arsyad mengembang sambil masih berlindung dan menembak. Dia melihat ke arah Arsyad tersenyum. Gadisnya di sana, di tengah ruangan dengan baju hitam-hitam dan sedang bergerak cepat merobohkan musuhnya. Rambutnya sudah dikepang tinggi seperti biasa, mata hitam itu sudah menyorot tajam fokus pada lawan-lawannya. Faya tidak terluka, malah terlihat seperti sedang bersenang-senang sambil terus menembak dan menghantam.
Dia dan Arsyad segera masuk ke dalam perkelahian. Niko dan Brayuda menyusul. Tubuhnya sudah mendekati Faya namun mereka masih sibuk dengan lawan masing-masing.
"Fa, kamu nggak apa-apa?"
"Bagaimana kelihatannya, Nif?"
"Mana Aryo?"
"Aku sibuk, Nif. Kita bicara nanti." Tubuh Faya meluncur di lantai dan satu tangannya mengambil pistol yang tergeletak, kemudian menembak cepat ke arah belakang tubuhnya sendiri dan satu orang ambruk di belakang.
"Sayang, ayolah. Kita bicara nanti." Faya tersenyum kecil sambil berbisik ke arahnya.
Kepala Hanif menggeleng kecil. Kemudian mereka sudah sibuk menghantam lagi. Bapak besar dan Rajata masuk ke dalam rumah ketika mereka sudah selesai. Dia melihat salah satu anak buah Aryo di sana kemudian berjalan cepat dan langsung menghantam laki-laki itu.
"Mana Aryo?" Teriaknya marah pada laki-laki itu.
Faya menahan pundaknya sambil menggelengkan kepala. "Dia Doni, yang bantuin gue bertahan lima belas menit sebelum kalian datang. Kalau nggak ada dia, ini semua terlalu banyak."
Dahi Arsyad mengernyit heran. Tubuh Arsyad berjongkok untuk bertanya pada salah satu orang yang tadi dia lumpuhkan namun belum mati.
"Siapa yang suruh lo?"
Orang itu diam saja. Nafasnya pendek-pendek. Kemudian Doni datang menghampiri dan langsung menembak kepala orang itu. Arsyad berdecak kesal sambil berdiri berhadapan dengan Doni.
"Jangan sisakan atau mereka jadi pengadu," ujar Doni.
"Kepada siapa?" tanya Arsyad.
Ponsel Doni berbunyi. Laki-laki itu mengangkat ponsel dan memberikan pada Arsyad.
"Hai, Syad. Sorry-sorry, gue nggak ada di sana buat sambut lo." Aryo tertawa.
Hanif sudah merebut ponsel dan membuatnya menjadi loudspeaker.
"Gue yakin Faya baik-baik aja. Apalagi kalian datengin banyak orang. Wow. Bapak Besar dan Brayuda juga ikut? Ada apa, Syad? Lo nggak bisa tangani gue sendiri?"
"Jangan besar kepala. Kita punya urusan yang belum selesai," jawab Arsyad.
Aryo terkekeh lagi. "Ya ya. I miss you too. Kembalikan Doni dengan selamat, karena kalau tadi dia nggak ada. Kemungkinannya kecil Faya selamat."
"Entah nanti mood gue bilang apa. Siapa mereka?" jawab Arsyad.
"Tamu-tamu istimewa. Musuh gue bukan cuma lo, Syad. Jadi, sekarang gue titip Fayadisa dulu. Terlalu bahaya kalau dia terus gue simpan. Hanya titip, Syad. Karena nanti gue akan jemput dia lagi. Dimanapun dia berada nanti, gue akan jemput dia lagi." Aryo diam sejenak. "Sayang, apa kamu baik-baik?"
Ponsel itu Hanif rebut dan lempar ke atas lalu dia menembaknya hingga hancur. Lalu dia mulai menghantam Doni tidak perduli. Berkelahi seru dan yang lain hanya minggir saja. Brayuda dan Bapak besar bahkan sudah keluar rumah. Doni lawan yang tangguh, tapi saat ini, sungguh emosinya seperti meledak. Setelah berhari-hari mencari dan menunggu. Tapi kemudian si bajingan itu tidak ada, dia murka.
Mareno dan Faya maju menahan tubuhnya karena Doni sudah jatuh di lantai dan masih dia pukuli.
"Jangan bunuh orang, Bang. Jangan. Nggak sepadan." Mareno berujar padanya.
Dia terengah kembali berusaha mengkontrol emosi. Kemudian tubuhnya berjongkok.
"Bilang ke bos lo, kami yang akan buru dia."
Tangan Faya menyentuh pundaknya kemudian dia berdiri. Mereka berbalik ingin menuju keluar rumah ketika Hanif membalik tubuhnya lagi dan menembak satu kaki Doni.
"Itu buat Leo."
Niko, Arsyad, Mareno, sudah keluar rumah. Hanif menarik tubuh Faya sebelum mereka juga keluar dan langsung memeluknya kuat.
"Are you oke?"
"Nif, ada tim gue di depan. Habis ini ya. Please."
"I don't care." Hanif masih tidak bisa melepaskan pelukannya.
Faya balas memeluknya sesaat, kemudian dia melepaskan dirinya. "I'm oke."
Hanif menghirup nafasnya kemudian melepaskan Faya juga. Mereka berjalan menyusul ke luar ruangan.
Rajata dan anak-anak buah Bapak besar sudah tidak ada. Korban-korban sedang diperiksa oleh Mahendra.
"Hai, Fa. Gimana kabar?" Mahendra tersenyum menatapnya sambil masih memegang tablet di tangan.
"Baik Hen. Leo gimana?"
"Baru bangun pagi ini. Tadinya dia ngotot ikut. Tapi diiket sama Deana di MG."
Faya tersenyum. Tubuh gadisnya itu berbalik dan menatap semua orang. Tim taktis yang dipimpinnya, Niko dan tim Black Command, Arsyad, Mareno, Bapak Besar dan Brayuda.
"Saya, terimakasih banyak."
"Aaaah...jangan jadi cengeng kelinci kecil." Niko maju sambil tertawa konyol dan mengacak rambutnya.
Arsyad juga maju dan menepuk pundaknya. "Maafin saya, kami terlambat."
"Bukan salah lo, Bang. Ini pilihan gue."
"Glad to have you back, Fa. Max horror banget soalnya," ujar Elang hingga disambut tawa yang lain.
"Ini mau digimanain? Masih ada lima yang hidup," tanya Mahendra.
"Taruh ke dalam rumah. Biar Doni yang urus," ujar Faya.
"Serius? Bukannya Doni lagi babak belur?" Mareno menyahut.
"Orang jahat biasanya nggak mati-mati. Di semua film begitu." Mahendra menyahut sambil berlalu.
"Oke, terserah aja. Elang, silahkan dibersihkan dan diletakkan di dalam rumah," ujar Niko.
Arsyad menepuk pundak Hanif. "Good job, Nif. We are good, right?"
Dia menarik nafasnya. "Aryo, masih di luar sana."
"Dia selalu jadi urusan gue, Nif. Bukan kalian. Yang penting sekarang Faya selamat. Gue minta maaf, buat semuanya."
"Gue pikir lo nggak akan pernah bikin salah, Bang."
"Gue cuma manusia, sama kayak kalian semua. Are we good now?"
Hanif tersenyum dan menepuk pundak abangnya "Lo masih manusia favorit gue ketiga setelah Faya dan Mama. We are good."
"Oke, sekarang tinggal selesaikan Michelle Dinatra dan bawa balik Bu Dokter. Atau Mareno mulai merengek lagi."
Hanif mengangguk setuju menatap Mareno yang sudah berjalan menuju heli.
***
Brayuda menatap Fayadisa dari kejauhan. Ayahnya sudah masuk ke dalam mobil. Gadis itu luar biasa, dia benar-benar terkesima dengan kemampuan bertarungnya. Mereka memang pernah satu-dua kali dalam misi yang sama. Tapi belum pernah seperti ini. Melihat Fayadisa beraksi di tengah puluhan lawannya. Dia juga tidak mengerti kenapa ayahnya masih bungkam. Harusnya laki-laki tua itu tidak perlu khawatir lagi. Sekalipun musuh-musuh ayahnya tahu, Fayadisa akan baik-baik saja.
Bagaimana tidak, dia dikelilingi dengan orang-orang yang menyayanginya dan rela mati untuknya seperti itu. Bibirnya tersenyum kecil. Tugasnya sudah selesai, dia ingin beristirahat sejenak.
"Pa, kenapa lo nggak kangen-kangenan sama your baby girl?" ujar Yuda saat sudah masuk dan duduk di dalam mobil.
Iwan tertawa. "Hati-hati, Fayadisa bisa dengan mudah menjatuhkanmu, bocah tengil. Lihat dia tadi kan..." Kepala Iwan menggeleng sambil bernafas lega. "Dia berada di tempat yang tepat, Yud. Biarkan saja begitu. Lagian, saya benci drama." Iwan kemudian beralih pada Rajata di depan. "Jalan, Jat."
"Pa, feeling gue. Lo sebentar lagi tetep harus ngaku. Kalau nggak, siapa yang bakalan jadi wali nikahnya."
Wajah Iwan yang terkejut membuat Brayuda tertawa terbahak-bahak.
"Laki-laki itu harus berhadapan dengan saya dulu. Saya nggak akan kasih gampang."
"Nah, masalahnya Faya belum tentu bakalan maafin lo begitu aja Pa. Siap-siap aja digampar sama your baby girl."
"Jata, apa Freddy sudah dikasih makan? Habis ini, lempar bocah tengil ini ke sana, Jat." Freddy adalah nama buaya peliharaan Bapak Besar.
Rajata tertawa. Mobil itu terus melaju saat ponsel Yuda berdering.
"Ya?" Yuda mendengarkan. "Tenang, Mareno baik-baik saja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro