Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Till we meet again

Hari ketiga, siang. Beberapa jam sebelumnya

Aryo kembali berada di depan pintu kamar Faya, setelah mendapatkan berita terbaru dan menyusun rencana selama 2 jam lamanya. Nafasnya dia hirup banyak-banyak sambil berusaha menenangkan diri. Anak-anak Wibowo si penjilat itu akan datang, hari ini juga. Sial, dia tidak menyangka secepat ini. Sepertinya Wibowo sudah tidak sabar untuk menyerangnya. Ya, akhirnya si penjilat itu punya alasan. Emosinya sudah naik membayangkan senyum menyeringai Wibowo yang menyebalkan.

Ketika dia masuk, Faya sedang duduk dan mengeringkan rambut panjangnya sambil menatap ke luar jendela. Lagi-lagi dia terpana. Tubuh gadis itu mengenakan kaus besar dan celana jins panjang. Sedang duduk di kursi kayu sambil melipat kaki sopan dan memiringkan kepala sambil mengusap rambut panjangnya yang basah. Matanya melirik jam tangan. Dan sadar dia masih punya waktu.

Faya langsung berdiri ketika dia mendekat. Tubuhnya berhadapan dengan gadis itu dan menatap dalam matanya.

"Gue akan kasih, yang lo pingin."

Wajah Faya masih datar.

"Gue akan biarkan lo bebas. Kembali ke ADS atau kemanapun yang lo mau."

Kali ini mata Faya sedikit membulat dan hal itu membuatnya tersenyum kecil. Cinta memang sudah membuatnya sangat bodoh. Tapi biar, hidup terlalu pendek untuk tidak melakukan hal yang bodoh.

Ekspresi Faya mengeras lagi. "Apa syaratnya?"

"Gue mau lo. Sekarang."

Handuk itu menyabet cepat wajahnya, kemudian dia tertawa. "Lo tambah galak, gue tambah..." dia tidak melanjutkan hanya menghela nafas saja.

Tubuh Faya melangkah mundur ketika dia sendiri maju cepat mendekati gadis itu perlahan. Kemudian dia memojokkan Faya ke dinding, mendekatkan wajahnya. Tangannya mengambil remote kecil di saku celana.

"Ini, kunci untuk hampir semua pintu di rumah ini."

Tangan Faya berusaha mengambil kunci itu cepat.

"Sabar, Sayang. Gue akan kasih, serius. Gue bajingan dan penjahat, tapi bukan tukang bohong dan penipu kayak lo." Ujung hidungnya sudah menyentuh ujung hidung Faya. Kemudian bergeser ke samping, lalu bergerak di leher gadisnya.

"God, you smell so good." Tubuhnya makin mendekat lagi, hingga tidak ada jarak tersisa.

Dua tangan Faya sudah membentengi. Berusaha menahan tubuh besarnya yang menempel di dada Faya. Jari-jari tangan Faya meremas kuat seolah ingin menyakitinya. Tenaganya lebih besar dari Faya, gadis itu selalu berusaha memberontak dan melawan. Akhirnya selalu sia-sia. Tidak ada yang bisa menahannya. Wangi tubuh, basah rambutnya dan nafas Faya yang tersengal menahan emosi sungguh membuatnya lupa. Apalagi ketika bibirnya mulai merasakan leher jenjang itu. Kemudian terus naik ke atas dan tiba di bibir Faya sendiri. Dia bisa merasakan air mata Faya turun, atau bibir Faya yang tiba-tiba menggigitnya keras. Sakit, karena dia bisa merasakan bibirnya yang robek terluka. Tapi dia hampir kehabisan waktu dan tidak perduli lagi.

"Pilihannya ada dua. Satu, pergi dengan gue sekarang. Gue nggak akan paksa lo melakukan apa-apa yang lo nggak inginkan. Dua, melakukan yang gue inginkan dari hari pertama gue lihat lo, setelah itu lo bebas. Pilih yang mana?"

Mata mereka bertautan. Tatapan Faya sangat terluka, sedih sekali dengan titik-titik air mata. Sekalipun ekspresinya dingin luar biasa. Tubuh gadis ini juga bergetar dipelukannya. Jauh di dalam hatinya dia tidak sampai hati. Luka pada mata Faya juga melukainya. Apa ini nurani? Apa dia masih punya nurani setelah selama ini? Tapi melepaskan Faya juga akan melukai dirinya.

Jangan cengeng, goblok.

Kemudian dia melepas kaus yang dia kenakan. Faya mulai menyerangnya marah. Memukul dan menendang. Tapi dia Aryo Kusuma. Hanya Arsyad lawan seimbangnya. Jika tidak kehabisan waktu dan akal, mungkin dia tidak akan memaksa begini. Tapi dia ingin Faya jadi miliknya saja, dia ingin menandai. Sekalipun setelah itu Faya akan hilang dan pergi.

Dia membiarkan Faya terus memukul dan menendang. Sementara dia tidak mau membalas sama sekali. Dia jatuh cinta, sejak hari pertama. Pada Nafa, pada Fayadisa, kedua-duanya. Faya terus menyerang sebisanya, dia diam hanya menangkal pukulan dan berusaha makin mendekat dan mengunci tubuh gadisnya itu. Setelah beberapa saat, dia mulai kesal dan akhirnya dengan tiga gerakan dia berhasil menindih Faya di kasur.

"I bleed for you. I'm fine. Tapi lo harus tahu kalau gue begini karena gue punya perasaan, Fa. Bukan sebaliknya."

Tangan Faya menamparnya kencang. Tubuh gadis itu masih meronta di bawahnya.

"Apa yang lo pilih, Fa? Kita kehabisan waktu. Satu atau dua? Sumpah gue akan pastikan lo dapatkan apa yang lo pilih. Satu, atau dua?"

***

Seluruh ingatan atas masa lalunya dulu datang. Tentang bagaimana pacar ibunya akan mendekat ke pintu kamar. Dia akan selalu bersembunyi di balik kasur sambil menggenggam pinsil yang sudah diraut tajam. Gemetar, ketakutan. Ibu akan menarik laki-laki itu keluar. Berusaha menjauhkan monster itu darinya. Ibunya memang bukan wanita panutan. Tapi, nuraninya masih dipakai.

Apa daya mereka? Mereka perempuan. Ibu akan dipukuli habis-habisan. Dan ketika itu ibu akan berteriak padanya agar dia pergi. Lari. Tapi kemana? Dia punya apa? Dia masih kecil dan tidak berdaya. Jadi dia selalu kembali setelah hari ketiga. Setelah tubuhnya lelah menahan lapar dan dinginnya malam di luar sana. Seperti itu sampai dia muak dan benci pada dirinya sendiri yang lemah. Sampai akhirnya dia benar-benar pergi. Memilih mati di jalan daripada kehilangan harga diri.

Saat ini, ketakutan dan trauma itu datang lagi. Menghantamnya tanpa ampun. Sampai hari ini, Aryo Kusuma belum benar-benar nekat memaksa dan mengambil apa yang berharga. Tapi lihat dia sekarang. Bajingan yang sama seperti laki-laki bejat itu. Pemaksa, perebut paksa. Pilihan apa yang bisa dia ambil. Dia begitu tersiksa karena tidak punya kebebasan. Tapi apa kebebasan itu sebanding dengan harga dirinya? Apa dia bisa memilih salah satunya saja?

Setelah sekian lama dia tidak menangis sebagai Faya, karena segala yang dia rasa, dia menangis. Sekalipun dia berusaha meredam isakannya. Wajah Aryo berganti dengan wajah laki-laki itu dulu. Dia seperti kembali ke masa kecil dulu dan tidak bisa berpikir jernih. Hatinya dicengkram rasa takut yang sungguh melumpuhkan. Lebih menakutkan daripada apapun bahaya yang pernah dia tantang. Jiwanya seperti terguncang.

"Dasar anak pelacur."

"Halo kesayangan Om. Kamu bersembunyi dimana? Faa...Fayaa."

"Pergi Fa, lari. Lari cepat."

"Faya!! Fa!!" Pundaknya diguncang Aryo keras.

Aryo menyumpah serapah keras. Laki-laki itu sudah berdiri sambil terengah. Sementara tubuh Faya bergetar hebat. Dahi Aryo mengernyit nyeri kemudian melangkah perlahan mendekatinya. Refleks tubuhnya kali ini adalah meringkuk seperti dulu. Tangannya mengepal kencang sekalipun tidak ada pensil tajam dalam genggamannya.

"Fa. Shit. Fayadisa..." Aryo merutuki dirinya sendiri tapi dia tidak perduli. Bayangan kelam itu belum pergi.

"Faya..." Aryo menatapnya bingung dan duduk di dekat tubuhnya yang masih meringkuk. "Fa, please."

Pandangan matanya kosong tapi getar tubuhnya belum berhenti. Sentuhan tangan Aryo pada lengannya membuatnya beringsut cepat ke arah kepala tempat tidur. Dia masih meringkuk, sambil berusaha keras mengusir bayangan itu. Matanya dia pejamkan keras. Kepala dia gelengkan. Semua luka yang dia tahan dulu seperti terbuka lebar menyedot dirinya kuat hingga perasaannya remuk redam.

"Maaf, maaf. Gue berhenti, serius. Maafin gue."

Kedua tangan Aryo memeluknya dengan tubuhnya yang masih meringkuk. Mencoba meredam getaran hebatnya.

"Maaf." Aryo mencium kepalanya berkali-kali sambil masih memeluk kuat.

Kemudian setelah beberapa saat, getar tubuhnya berhenti. Sekalipun matanya masih terpejam. Nafasnya dia hirup panjang berkali-kali. Kesadarannya sudah kembali dan berganti dengan kemarahan. Dia melepaskan diri dari pelukan Aryo. Turun dari tempat tidur dan berdiri. Kemudian menghapus tangisnya. Aryo juga sudah berdiri menatapnya.

"Trauma hebat. Apa lo pernah...dipaksa?"

Ekspresi Aryo seperti merasa bersalah. Apa benar? Dia penjahat bukan? Kenapa dia berhenti? Kenapa dia tidak terus memaksa karena sudah pasti Aryo akan mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Siapa, yang buat lo jadi begitu?"

Tangannya terulur. "Remotenya."

Kemudian Aryo mengambil kausnya di lantai dan mengenakannya. "Kita nggak punya banyak waktu lagi. Kalau lo terus sama gue, lo akan terus diburu. Orang-orang Herman yang lain tahu dan anggap lo sebagai pengganggu. Dan kalau gue terus kurung lo, mungkin pada akhirnya lo akan membiarkan diri lo terbunuh."

Aryo berjalan mendekatinya perlahan, dia mundur lagi. Waspada. Kepala Aryo menggeleng kesal.

"Dengar gue baik-baik." Mata Aryo menatap jam di tangannya. "Tiga puluh menit, gue minta waktu lo tiga puluh menit." Tangan Aryo terulur lagi, namun berhenti beberapa senti dari lengannya. Seperti meminta izin, untuk menyentuhnya.

"Setelah itu, remote gue kasih. Lo harus menyelamatkan diri lo sendiri. Orang-orang Wibowo akan datang, berusaha membunuh lo. Gue harus pergi, Fa. Jadi Herman merasa, lo bukan orang penting buat gue. Gue akan tinggalin satu anak buah terbaik gue. Faya, bunuh mereka semua. Jangan sisakan dan buat mereka bisa melapor pada Herman. Paham?"

Dia mengangguk.

"Tiga puluh menit," ulang Aryo.

"Tanpa paksaan."

Aryo mengangguk. "Halo Fayadisa, nama saya Aryo Kusuma." Tangan Aryo berputar menjadi tawaran jabat tangan.

Dia hanya mengangguk kemudian menjabat tangan Aryo.

"Gue orang jahat, banyak bunuh orang. Gue cuma pernah cinta satu orang, dia sudah mati. Sekarang, gue temukan orang lainnya. Makan siang di luar?"

Kepalanya mengangguk perlahan lagi. Kemudian Aryo tersenyum tipis. Lalu berjalan keluar ruangan. Dia beranjak menuju kamar mandi dan mencuci mukanya sejenak. Setelah itu dia keluar dari kamarnya untuk pertama kali.

Rumah berukuran besar itu di desain minimalis. Dengan warna krem hangat dan kayu. Kamarnya berada di lantai dua dan dia langsung bisa melihat ruang tengah besar dengan sofa-sofa putih dan hijau tua. Dapur besar dengan kitchen island di tengah itu berwarna abu-abu. Aryo sudah turun melalui tangga dan dia menyusul Aryo. Dia melihat dua penjaga di depan, dua penjaga di belakang dan tadi dua lagi di depan kamarnya. Mungkin ada lagi beberapa di luar. Mereka berpakaian hitam-hitam dan bermuka kaku.

Aryo membawanya ke tengah taman di belakang. Meja makan besar dari potongan kayu kokoh dengan dua kursi panjang sudah di sana. Makanan sudah tersaji, tapi siapa yang perduli. Setelah semua tadi nafsu makannya sudah hilang. Tapi dia tetap duduk dan mencoba mencerna apa yang Aryo lakukan sekarang. Kenapa sikapnya aneh sekali?

"Makan. Serius lo butuh tenaga buat menghantam orang-orang brengsek itu nanti."

Dia diam saja.

"Lo mau bilang kalau gue brengsek juga? Ya memang. Tapi gue nggak mau bunuh lo." Aryo memberi jeda sambil memperhatikannya yang masih diam. "Oke, terserah kalau nggak mau makan." Aryo kemudian mulai makan.

Akhirnya dia mulai menyendok juga dan mengunyah perlahan.

"Sudah berapa lama lo kerja di ADS?" tanya Aryo.

Aryo berdecak kesal karena diabaikan. "Tiga puluh menit, Fa. Apa susahnya ngomong."

"Gue nggak tahu soalnya. Gue nggak hitung waktu," jawabnya singkat.

"Apa jabatan lo di sana?"

"Rahasia."

Aryo meminta pistol salah satu anak buahnya dan meletakkan benda itu di meja makan. "Pakai."

Dia tersenyum kecil kemudian mengambil senjata itu cepat dan menodongkannya pada Aryo. Laki-laki itu acuh saja sambil terus makan.

"Silahkan. Gue tahu lo marah, sekalipun gue lebih marah lagi waktu tahu lo bohong."

Anak buah Aryo sudah menodongkan senjata padanya dari belakang. Kepala Aryo menggeleng. Kesempatan itu tidak dia lewatkan, dia membidik Aryo dan menarik pemicunya tiga kali. Aryo tersenyum sambil satu tangan menyentuh telinganya yang tergores kecil dan meneteskan darah.

"Lo salah satu petinggi ADS. Karena bisa menembak sebaik ini."

Shit, Aryo ternyata hanya test gue.

"Bagus, Fa. Ingat, bunuh mereka semua, atau lo yang dibunuh. Gue serius, Fa. Kalau sampai mereka bunuh lo, gue akan kulitin mereka hidup-hidup. Jadi membunuh mereka itu demi kebaikan mereka sendiri."

Tangannya meletakkan senjata itu lagi kemudian mulai makan. "Berapa orang?"

"30 mungkin, atau lebih. Karena mereka tahu akan berhadapan dengan gue, mereka pikir begitu," jawab Aryo.

"Gue butuh lebih banyak senjata." Dia menyudahi makannya dan meneguk minuman di gelas.

Aryo tersenyum lebar. "Gue tahu, habis ini gue ajak lo keliling rumah. Biar lo tahu kayak apa. Anak buah gue yang tinggal akan nyalakan timer dan ledakkin semuanya. Lo harus keluar sebelum terlambat."

"Lo mau kemana?" tanyanya pada Aryo.

"Gampang, jangan khawatir."

"Khawatir? Gue nanya karena habis itu gue akan kejar lo."

Laki-laki itu tertawa. "Gue suka lo kejar. Tolong jangan lama-lama kejar guenya, nanti gue kangen."

Orang gila. Tapi dia tersenyum kecil juga.

"Lo balik ke ADS?" tanya Aryo.

Dia mengangguk.

"Salam buat Arsyad. Gue masih sakit hati soal dia kirim lo buat bohongin gue, nyolong buku merah, sekarang bikin rumah gue harus gue ledakkin. Bilang sama dia, nanti ADS yang akan gue ledakkin. Dia hutang rumahnya."

"Bilang sendiri. Gue bukan messenger. Lagian kalau mau banyak-banyakan dosa, lo yang orang jahat."

Lagi-lagi Aryo tertawa. "Oke. Gue orang yang nggak munafik. Ada bedanya." Tubuh Aryo berdiri. "Kita keliling rumah dan setelah itu gue tunjukkin ruang senjata jadi lo bisa siap-siap."

Kemudian mereka berjalan beriringan berkeliling rumah. Rumah Aryo berada di luar Jakarta dengan lahan yang luas sekali. Aryo mulai menerangkan perimeter penjagaan yang dia pasang. Termasuk ladang ranjau dan pagar-pagar jebakan. Juga ruang khusus yang berfungsi seperti bunker.

"Satu orang gue yang nanti gue tinggal di sini, akan pastikan lo masuk bunker kalau terdesak." Aryo sudah berdiri berhadapan dengannya. Mereka berdua sudah berada di ruang senjata. "Lo harus hidup, Fa. Harus."

"Kenapa? Kenapa sikap lo aneh begini?"

Kepala Aryo menggeleng tidak percaya. "Gue nggak ngerti, ini gue yang kurang jelas, atau lo yang lemot. Lo nggak paham sikap gue kenapa?" Decakan kesal Aryo sudah terdengar.

Satu jari Aryo mengetuk dada Faya. "Haloo? Apa ada orang di sana?"

Sungguh sikap Aryo konyol sekali dan dia tertawa. Kemudian Aryo diam menatapnya. "Gue suka lo ketawa, sebagai Fayadisa."

Kepala Aryo menggeleng kesal. "Ganti Fa, ambil yang lo butuh dan ganti pakaian. Siap-siap. Semua ada di sana." Tangan Aryo menunjuk ke ruangan kecil. "Kenapa diam? Mau gue gantiin?"

"Dasar gila." Dia melangkah menuju ruangan itu dan menemukan satu set pakaian ada di sana.

Kemudian dia mulai bersiap-siap. Aryo serius ketika bilang dia harus hidup. Karena pakaian ini adalah pakaian anti peluru dengan kualitas baik. Dia mematut wajahnya di kaca panjang. Rambutnya sudah dia kepang tinggi. Boot sudah terpasang. Dia sudah siap.

Ketika dia melangkah keluar, Aryo bersiul menggoda. "Oke, lo seksi banget sekarang. Sial."

Mereka berdiri berhadapan.

"Dalam sepuluh menit gue harus pergi. Lima belas menit setelah itu mereka datang."

Dia mengangguk mengerti. "Kenapa lo kerja sama Herman?"

"Gue hutang budi."

"Setelah ini, lo balik kerja sama Herman lagi?"

"Ya."

"Lo tahu kalau Arsyad murka dan kejar Herman?"

"Dia harus lewati gue dulu."

"Apa lo nggak bisa berubah pikiran?"

"Apa kalau gue berubah pikiran, lo bisa kasih gue kesempatan?"

Dia menghela nafas panjang. "Maaf."

"Oke. Jadi lo udah tahu jawabannya apa, kan?"

Kemudian Aryo menatapnya dalam, satu tangannya mulai terangkat dan menyentuh bingkai wajah Faya. "Apa boleh?"

Dia diam saja. Mata Aryo menyampaikan perasaan yang ditahannya. Tapi hitam itu sungguh tidak ragu. Kokoh dan kuat pendirian Aryo ada di sana. Tangan Aryo masih menyentuh wajahnya perlahan. Perasaannya sendiri sudah pulih kembali. Kemudian wajah Aryo mulai mendekat. Lagi-lagi dia diam terpaku. Entah kenapa dia membiarkan Aryo menciumnya. Mungkin sedikitnya dia ingin berterimakasih, karena sikap Aryo yang membingungkan saat ini. Sambil mulai berpikir, mungkin ini rasanya jika dia berciuman dengan Leo. Hambar, aneh. Kemudian Aryo menyudahi.

"Gue berubah pikiran."

"Jangan mulai, banyak senjata di sekeliling kita," ancam Faya.

"Serius, gue berubah pikiran. Sampai jumpa, Fa. Bukan selamat tinggal. Lo hanya akan gue titip di ADS sebentar. Nanti, gue akan jemput lo lagi. Tunggu aja."

Satu tangan Aryo menepuk puncak kepalanya dua kali, kemudian laki-laki itu berlalu pergi sambil masih tersenyum aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro