Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Disturber

Hari kedua, sore.

El Rafi setengah berlari turun dari ruangannya di lantai atas untuk menuju lobby. Pesan dari Mareno dan Brayuda sudah masuk ke ponsel. Alex sudah dia hubungi untuk menuju segera menyusul Dara. Mobil sudah siap di lobby. Dara-nya terluka. Berita itu membuat dia meninggalkan meeting penting dengan investor asing, yang kemudian digantikan oleh ayahnya, Sanjaya, dan juga Hilman.

Jantungnya berdegup kencang. Ingat benar foto preman yang dihajar Mareno dan Hanif hingga babak belur. Entah bagaimana Hanif dan Mareno secara kebetulan berada di sana setelah kembali dari kantor Bapak Besar. Tubuhnya sudah masuk ke dalam mobil ketika sedan mewah Mareno Daud berhenti di belakang.

Hanif, Mareno dan Dara turun dari mobil. Tanpa basa-basi dia memeluk Dara erat, wajah istrinya itu kacau. Dia langsung memindai tubuh Dara cepat-cepat dan menemukan lengan Dara yang lecet.

"Kamu nggak apa-apa?"

Dara tersenyum kecil. "Baik-baik. Untung ada Hanif sama Reno."

Kepalanya menoleh pada Hanif dan Reno. Kemeja mereka digulung dengan bercak darah dimana-mana. "Sorry-sorry." Dia langsung menghampiri keduanya dan mengulurkan tangan. "Terimakasih. Serius terimakasih."

Hanif menjabat tangannya kuat, juga Mareno.

"Serius, Raf? Udah nggak musuhan lagi sama Abang gue?" ujar Mareno sambil menjabat tangan Rafi singkat.

El Rafi menghela nafas berat. "Lo emang brengseknya nggak ada duanya kadang-kadang, Ren."

Mareno tersenyum kecil. "Bawaan dari lahir, susah ilang. Kita pamit. Masih ada urusan."

"Ra, jaga diri. Jangan keluar tanpa penjaga sekarang-sekarang ini. Lagi banyak bahaya," ujar Hanif menatap Dara. "Ternyata Brayuda pelatih yang baik. Istri kamu bikin kabur satu." Hanif beralih menatap Rafi.

"Pamit dulu, Raf," ujar Hanif lagi.

Tubuh mereka sudah berbalik ketika Rafi berujar. "Apa kalian sudah tahu dari Brayuda?"

Langkah keduanya berhenti dan tubuh mereka berbalik lagi.

"Saya sudah bagi info soal apa yang saya tahu."

"Tentang?" Dahi Hanif mengernyit.

"Dimana Fayadisa."

Hanif dan Mareno bertatapan penuh arti.

"Kalian punya teknologi, Brayuda punya preman-preman. Tapi saya, pemilik properti. Saya lacak seluruh pembelian properti atas nama Aryo dan Herman. Saya dapatkan dua yang mencurigakan," papar El Rafi.

"Gue telpon Abang," ujar Mareno cepat.

"Masuk?" tanya El Rafi sambil tersenyum pada Hanif. "Saya bisa sambungkan dengan Arsyad di dalam."

Mereka berdua mengangguk kemudian berjalan beriringan. Hanif dan Mareno berada di depan dituntun oleh Martha. Kemudian Dara menarik El Rafi sedikit ke belakang lalu mengalungkan kedua lengan pada leher El Rafi. Istrinya itu tersenyum. Persis seperti apa yang dia ingat dulu. Senyum tulus yang membuat dia jatuh cinta berulang kali.

"Kamu baik banget." Dara mencium pipinya sesaat.

"Nggak boleh impulsif, Nyonya. Ini banyak orang." Rafi memeluk Dara cepat juga sambil tersenyum. Mereka mulai berjalan beriringan dengan Dara yang masih mengaitkan lengan manja.

"Kamu nggak marah sama aku?" ujar Dara riang.

"Nanti, marahnya di tempat tidur. Urusan kita belum selesai, Nyonya Darusman." Satu tangan Rafi mengacak rambut Dara sayang, lalu mencium puncak kepalanya. "Obati lengan kamu di klinik, oke. Jangan keluar-keluar lagi, Alex sebentar lagi sampai. Aku bantu Hanif dan Arsyad dulu."

"Go get the bad guys, Sayang. I love you," bisik Dara kemudian berlalu menuju ke ruang klinik di lantai dasar.

***

Hari ketiga, pagi.

Tangan Aryo mengetuk-ketuk meja kerja. Matanya menatap sambungan CCTV pada layar ponsel. Herman belum kembali dari urusannya di luar kota bersama Wibowo. Jadi dia masih bisa menikmati waktu dengan Faya, karena setelah itu tugas-tugas sudah menanti.

Gadis itu keras kepala sekali. Sampai saat ini dia belum makan dan ini sudah hari ketiga sejak mereka tiba. Ponselnya berbunyi. Herman.

"Kemana dua hari kemarin?"

"Ada urusan. Ada apa?"

"Saya harap ini bukan soal wanita. Ingat Aryo, wanita itu adalah tipu daya. Setan yang bisa merusak otak kamu."

Herman terdengar emosi, apa dia tahu sesuatu?

"Ya, saya tahu. Ada apa?"

"Bereskan seseorang untuk saya."

"Siapa?"

"Wibowo akan kirim detailnya. Masalahnya si brengsek ini ada di penjara. Pelaku dan saksi kunci kasus Michelle Dinatra."

"Wanita gila itu."

Herman tertawa. "Ya, wanita cantik dan gila. Lihat kan. Semua wanita itu seperti Michelle. Bedanya, Michelle memilih bersikap apa adanya dan tanpa tipu daya. Sayang, saat ini dia masih goncang dan trauma. Si brengsek ini memperkosa dia. Entah Michelle menikmati atau nggak. Kamu tahu kasus videonya kan?" Herman tertawa lagi.

"Apa hubungannya dengan kamu?" Aryo bertanya.

"Saya berjanji membantu dan Michelle akan memberikan 20% sahamnya di Channel 51. Sarana publisitas saya nanti. Sekarang ini saya masih harus road show membangun citra yang baru, Aryo. Membayar untuk publisitas saya sendiri. Nanti, saat saham itu jatuh ke tangan saya, itu semua gratis. Mungkin termasuk Michelle sendiri."

Aryo paham Herman sedang menyeringai.

"Jadi, saya harus bereskan kapan?"

"Sebelum tanggal persidangan. Wibowo akan beri tahu detailnya. Bagaimana dengan Tommy? Kamu punya petunjuk?"

"Sedang ditelusuri. Wanitanya itu kali ini bersembunyi dengan baik. Semua media sosial dihapus, dia seperti menghilang dengan alasan ingin rehat sejenak. Pihak management juga tidak punya kabar. Saya sudah cek ke semua properti milik Tommy, nihil. Tidak ada tanda apapun."

"Anak brengsek, sialan..." Herman terus memaki di seberang sana. "Kita menyimpan bom waktu di tangan Tommy, Yo. Begitu dapat kabar, langsung kabari saya. Jangan dibunuh, tahan dulu. Saya mau dia merasakan akibatnya jika berkhianat pada ayahnya sendiri. Cari wanita sialan itu. Potong-potong dan kirim ke Tommy."

Aryo menghirup nafas dalam. "Ya."

Bagian terberat dari pekerjaannya adalah melukai wanita. Jadi dia selalu meminta orang lain melakukan itu, sekalipun dia akan didera rasa bersalah yang sama. Kepalanya menggeleng, paham benar kenapa Herman berubah seperti saat ini. Wanita, memang bisa merusak akal. Persis seperti apa yang Fayadisa lakukan padanya sekarang. Dia seperti gila sendiri, mendambakan wanita yang tidak membalas perasaannya. Tapi dia punya waktu, banyak waktu dengan Faya. Dia akan membuat Faya merubah perasaannya.

Pintunya diketuk. Salah satu anak buahnya masuk.

"Bos."

"Hmm."

"Pak Wibowo tahu, soal cewek itu."

Wajahnya menatap anak buahnya heran. "Darimana?"

"Saya masih cek, Bos. Paling mungkin saat alarm insiden buku merah itu bunyi, Pak Wibowo cek rekaman CCTV."

Dia mengangguk. "Apa lagi?"

Anak buahnya menelan saliva perlahan. "Katanya, Pak Wibowo dapat tugas dari Bos Besar untuk membersihkan gangguan itu."

Jantungnya sejenak berhenti. Jadi Herman sudah tahu dan meminta Wibowo untuk membunuh Faya. Dia terkekeh miris. Arsyad benar. Herman memang gila, benar-benar gila. Sebelumnya dia memandang Tommy sebagai pengecut yang bersembunyi karena ingin meyembunyikan wanitanya, sekarang ini dia mengerti, apa rasanya menjadi Tommy.

Dia tertawa keras sekali. "Apa kamu sudah antar makanan-nya?"

"Belum, habis ini."

"Biar saya saja." Tubuhnya berdiri dan menuju keluar ruangan menuju dapur di lantai bawah.

Setelah mengambil nampan makanan dia beranjak masuk ke dalam ruangan. Faya sedang duduk sambil menatap jendela luar.

"Fa, sampai kapan lo nggak mau makan?" Dia meletakkan nampan di meja dekat Faya duduk.

Kemudian Faya berdiri dan menggeser kursinya mendekat ke meja. Gadis itu makan dan hal itu membuatnya tersenyum.

"Akhirnya, laper juga kan?"

Faya menggeleng.

"Terus kenapa?"

"Gue baru sadar sesuatu pagi ini." Faya mengunyah cepat dan menelan makanannya. Lalu tubuh Faya sudah berdiri dan menatapnya tajam.

Dia selalu suka melihat api di mata Faya, suka sekali. "Soal?"

"Saya harus hidup, untuk membunuh kamu nanti."

Tanpa dia duga, kaki Faya menekuk dan menyerang inti tubuhnya di bawah. Dia tidak siap karena sejenak terpesona pada mata Faya. Jadi ketika sakit itu menghantam, refleks tangannya mencengkram bahu Faya kuat. Rahangnya mengeras, menatap tajam gadis yang berwajah pucat namun tersenyum miring itu.

"Lihat? Itu tenaga gue, baru dua sendok makanan saja. Bayangkan kalau gue terus makan dan berlatih seperti biasa. I can kill you, later."

Karena marah dia membuat gerakan cepat menjatuhkan Faya ke atas tempat tidur. Tubuhnya berada di atas Faya, wajahnya dekat sekali dengan wajah gadis itu. Tanpa dia duga, Faya mencium bibirnya dengan berani. Wanita ini benar-benar gila. Herman benar. Kemudian satu tangan Faya mengarah cepat ke lehernya. Dia baru sadar ketika ujung garpu menyentuh permukaan kulit dan berhenti di sana.

"Kamu, lengah. Aryo Kusuma. Saya bisa membunuh kamu barusan saja. Paham?"

Dia menggeram marah karena merasa dipermainkan. Tubuhnya menjauh dari Faya yang segera berdiri.

"Itu, balasan atas ketidak berdayaan saya sampai semalam kemarin. Malam ini, kamu akan berdarah-darah sebelum bisa menyentuh saya lagi."

Nafasnya dia hirup panjang-panjang. Tangannya bertolak pinggang kemudian dia menggelengkan kepala keras. Fayadisa adalah seekor singa betina, akan selalu begitu. Tidak bisa diatur atau dipenjara. Tapi justru itu semua, yang membuat daya pikat gadis ini luar biasa. Dia makin tertantang untuk menaklukannya. 'Dia sudah gila, ini gila!!'

Faya kembali makan dengan tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Kemudian dia menghampiri Faya dan menyentuh puncak kepalanya. Satu tangan Faya mencengkram lengan Aryo. Gadis itu masih terus mengunyah tanpa ekspresi. Wajahnya dia turunkan dan dekatkan ke telinga Faya.

"Habis ini mandi. Gue mau lo wangi nanti malam." Kemudian dia mencium pipi Faya sesaat lalu keluar ruangan.

Pintu dia tutup, kemudian dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia yakin, Faya akan baik-baik saja.

***

Hari ketiga, menjelang sore

Iwan berkendara bersama Brayuda dan Rajata. Mereka sudah selesai melakukan pengecekan atas apa yang El Rafi temukan dan sedang mengarah ke rumah yang mereka duga kuat menjadi tempat persembunyian Aryo. Hanya berharap mereka tidak terlambat dan Faya masih hidup. Karena paham benar predikat Aryo Kusuma. Laki-laki itu sangat berbahaya dan tidak kenal takut. Bahkan termasuk pada Herman atasannya. Loyalitas anak-anak didikan Aryo juga luar biasa. Aryo juga bukan tipe orang pemaaf. Karena itu dia heran saat tahu Leo dikembalikan pada Arsyad. Itu bukan gaya Aryo. Tapi atas fakta itu, besar kemungkinan Faya juga belum dibunuh oleh Aryo. Semoga saja.

Well well, Aryo Kusuma. Si macan hitam tidak akan menyangka bahwa dia berurusan dengan gadis yang salah. Sedikitnya, Iwan merasa Aryo adalah duplikat Arsyad, hanya pada sisi yang berbeda.

"Gimana kabar tangkapan kalian minggu lalu? Si laki-laki bertato?" tanya Iwan pada Yuda dan Jata.

"Masih hidup. Cewek itu kasih waktu yang berat," ujar Rajata.

Brayuda terkekeh. "Dia masih lebih sabar dari gue, Jat. Kalau gue, gue udah bunuh aja bajingan macam itu."

"Wanita itu lebih pintar, dia pakai otak. Bukan seperti kamu, bocah tengil." Iwan diam sejenak. "Tapi dendam, bisa menghancurkan dari dalam. Hati-hati dengan itu semua. Lihat, betapa si wanita menderita karena harus bersembunyi seperti itu kan. Karena ingin menuntaskan dendamnya. Saya akan coba tenangkan dia nanti, setelah persidangan dimulai."

"Lo nggak khawatir sama Faya, Pa?" tanya Brayuda.

Iwan tertawa. "Menurut kamu, sekarang saya lagi apa, bocah tengil? Tapi Arsyad mengajarkannya baik. Saya yakin Faya hidup, mungkin banyak luka dan berantakan. Tapi nanti, saya akan ajari dia bagaimana cara membalas Aryo Kusuma. Atau jika Faya tidak selamat, Aryo akan berharap dia mati cepat."

"Katanya tadi nggak boleh dendam? Kenapa jadi plin-plan, dasar bocah tua gila."

Tawa Iwan membahana lagi. "Darah kamu dan saya terlalu kental. Membunuh Aryo sama dengan menumpas penjahat kan?"

"Oh ya ampun, kita bukan penumpas kejahatan. Biar Arsyad aja yang bereskan, Pa. Gue pingin bulan madu kedua sama Reyna."

Iwan memukul kepala Yuda. "Dasar bocah gila. Selamatkan dulu adikmu."

"Hey, itu anak lo, Pa. Mangkanya lain kali pakai pengaman."

"Saya nggak paham kenapa manusia tengil kayak kamu bisa jadi anak saya. Jata, cek pasukan. Sudah sampai mana?"

Rajata tersenyum kecil dari depan. Dia selalu suka interaksi anak-ayah Prayogo ini. Sambil mengemudi, dia menghubungi salah satu anak buahnya. Mereka memang berkendara terpisah. Anak-anak buahnya menggunakan beberapa mobil dan motor. Iwan Prayogo mengerahkan seluruh orang-orang mereka kali ini.

Ponsel Iwan berbunyi. Hanif Daud.

"Ah, kenapa orang ADS bisa tahu?" Iwan mengernyitkan dahinya kesal.

"El Rafi kasih tahu. Hanif dan Mareno selamatkan Dara," ujar Yuda.

"Kenapa Dara?" tanya Iwan pada Yuda.

"Dara baik-baik dan aman. Cuma ada yang orang yang bayar untuk bunuh atau melukai dia. Angkat dulu itu telpon, berisik," jawab Yuda.

"Om, tolong berhentikan mobilnya." Suara Hanif di sana.

"Hey, jangan atur-atur saya."

Kemudian Iwan melihat ledakan motor salah satu anak buah yang memang berada lebih di depan dari mobilnya. "Berhenti, Jat."

Refleks Rajata menghentikan mobil.

"Minta yang lain stop, diam di tempat."

Hanif menghela nafas sebelum melanjutkan. "Drone Mahendra sudah sampai dan cek. Ladang ranjau. Diam dulu di sana, saya akan berikan peta jalur masuk. Atau kalian bisa mundur karena tim ADS sudah menuju ke sana."

"Tim kalian yang mundur. Saya dapatkan info lebih dulu."

"Bapak Besar, tujuan kita sama. Menjemput Faya, jadi mari kita bekerja sama. Jangan bergerak sendiri-sendiri."

"Kenapa kalian ikut campur?"

"Justru itu pertanyaan yang sama. Arsyad hanya meminta informasi, bukan untuk menjemput Fayadisa. Gadis itu tim kami, keluarga kami."

Iwan diam karena paham Hanif belum tahu tentang kenyataan bahwa Fayadisa adalah anaknya.

"Jadi, bagaimana?" tanya Hanif lagi.

"Kami tunggu di sini. Cepat. Saya tidak sabar."

"Sepuluh menit. Kami di belakang kalian."

Hubungan disudahi.

***

Jangan berani-berani melewatkan dua part ke depan. Cuma ngingetin aja, siapa tahu lupa kan. Can't wait to share with you, Genks!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro