34. Regret
Hanif dan Mareno melaju. Menjaga jarak mereka dengan dua mobil SUV hitam itu. Aryo berada di salah satunya. Dua mobil itu berpencar. Mereka memutuskan juga untuk berpencar dan saling mengabari. Dia mendengar seluruh percakapan Arsyad tadi, dan sungguh jika dia ada di sana, peluru itu langsung akan menuju kepala Aryo. Bukan pada tubuhnya yang dibungkus rompi.
Mareno sengaja menjauhkan dia dari Aryo, karena jika Aryo sampai tahu reaksinya seperti ini, posisi Faya makin terancam. Leo sudah diamankan. Jadi satu tugas lagi, menjemput Faya pulang. Sudah lebih dari tiga puluh menit dia berkendara sejak terpisah dengan Mareno. Mengatur jarak, hingga dia tidak terlihat. Matanya mengawasi SUV hitam dihadapannya yang mulai mengarah ke pemukiman.
"Nif, lo dimana?" Suara Mareno pada earphonenya.
"Mengarah ke pemukiman."
"Gue dead end. Mobil itu balik ke kantor Herman. Tracker bisa dicopot di sana dan mobil bisa ditukar. Sekalipun Mahendra tetap pantau. Gue susul lo ke sana."
"Nggak perlu, gue bisa sendiri."
"Nif, easy. Jangan bunuh orang. Jangan rusak track record lo."
"Gue nggak bisa janji kali ini."
"Gue ke sana," ujar Mareno cepat kemudian hubungan di sudahi.
Mobil itu parkir di sebuah rumah berukuran sedang. Berada di daerah pemukiman menengah ke atas. Satu anak buah Aryo turun lalu masuk ke dalam rumah.
"Bang, pakai alat gue. Jangan bunuh orang." Suara Mahendra di earphone.
"Lo sama bawelnya kayak Mareno."
"Bang, serius gue."
Di memarkirkan motornya agak jauh dan mulai masuk melalui samping rumah. Kosong, kemana orang tadi? Senjata sudah dia siapkan. Dia harus bisa menangkap dan membuat orang itu bicara tentang keberadaan Faya bagaimanapun caranya. Dia memutari rumah dan masuk melalui pintu belakang. Area dapur kosong. Barang-barang ada di sana, namun orang tadi tidak terlihat. Seluruh area dia periksa, kemudian dia merasa ada yang salah karena tidak menemukan siapapun. Kakinya segera menuruni tangga untuk menuju keluar rumah. Besar kemungkinan ini jebakan. Lalu dia mendengar bunyi bip.
"Bang, keluar Bang. Sekarang, keluar sekarang." Mahendra sudah berteriak panik di ujung sana.
Dia berlari menuju pintu depan dan melempar dirinya sendiri ke atas rumput ketika dapur bagian belakang rumah meledak.
"Bang, lo nggak apa-apa?"
Tubuhnya segera bangkit lagi dan memeriksa bagian belakang rumah. Microwave yang dimasukan bahan peledak ringan menghanguskan bagian belakang rumah. Tetangga-tetangga mulai keluar dengan wajah penasaran dan panik, karena api sudah berkobar dari bagian belakang rumah. Untung saja semua rumah berjarak cukup, hingga tidak langsung melahap rumah yang lain.
"Bang?"
"Ya Hen. Panggil Damkar ke sini." Kemudian dia mendengar dering telpon dari atas rumput. Seperti ada yang meletakkan ponsel itu di sana.
Dia mengangkat telponnya.
"Gue pikir kalian nggak ikutan." Kekeh Aryo. "Itu hanya peringatan, selanjutnya, markas ADS yang akan gue ledakkan. Salam dari Faya."
Ponsel itu berbunyi bip tanda pesan masuk. Lalu tangannya membuka pesan itu. Video rekaman tanpa suara, atas apa yang terjadi pada Faya pagi ini dengan Aryo di dalam sebuah kamar. Tubuh Hanif berdiri kaku melihat semua itu. Bagaimana Faya dilecehkan di atas tempat tidur oleh Aryo. Gadisnya itu melawan dan Aryo seperti sedang bermain-main karena laki-laki brengsek itu malah tertawa kecil.
Tangannya membanting ponsel ke tembok terdekat. Aryo akan menerima akibatnya nanti. Selama ini dia tidak pernah punya keinginan untuk menyakiti siapapun atau apapun. Saat ini, dia yakin sekali bahwa dia akan memburu Aryo dan membunuhnya di tempat. Dengan, atau tanpa Arsyad.
***
Tubuh Brayuda berjalan mondar-mandir gelisah. Mereka berada di kediaman lama Rafi, pada salah satu hotel miliknya. Yuda memang meminta untuk bertemu tiba-tiba. Saat ini sahabatnya itu sedang menghisap rokoknya kuat sambil mengernyitkan dahi.
"Lo kenapa?" tanya El Rafi menatap Yuda tidak mengerti. Mereka berada di salah satu balkon.
"Lo tahu, kalau bokap gue punya anak yang lain?"
El Rafi diam sejenak. Langkah Yuda berhenti lalu menatap El Rafi.
"Jangan bilang lo udah tahu dari dulu, gue hantam lo beneran," ujar Yuda kesal.
"Gue nggak tahu, serius."
"Raaaf...."
"Sumpah, Yud. Kali ini gue nggak tahu. Niko belakangan ini sibuk banget. Alex bagus, tapi gue juga lagi sibuk sama kerjaan. Jadi gue belum sempat cek apapun kecuali kenyataan kalau Dara pernah ketemu Hanif di belakang gue beberapa bulan lalu. Terus ternyata gue salah sangka dan Dara ngambek sama gue sampai sekarang. Hanif sialan."
"Gue dulu. Lo tahu, bokap gue si gila itu punya anak entah dari pelacur mana. Sakit jiwa dia. Gue tahu libido gue yang tinggi ini turunan dari dia. Tapi dia bego banget coba, nggak hati-hati begitu."
"Dan nama adik lo?" tanya Rafi penasaran.
Brayuda berdiri menatap Rafi. "Fayadisa Sidharta."
El Rafi terbatuk-batuk tiba-tiba. Dia menghirup nafas dalam, benar-benar kaget dan tidak menyangka nama itu yang disebut oleh Brayuda. Fayadisa Sidharta adalah salah satu orang kepercayaan Arsyad Daud. Wanita minim ekspresi – tidak separah Martha – tapi benar-benar terlihat gahar dan kuat.
"Oke, lo beneran nggak tahu ternyata. Muka lo lucu banget kalau kaget," ujar Brayuda. Tubuhnya kembali mondar-mandir.
Kemudian Rafi tertawa. "Sumpah, kalian sekeluarga cocok. Galak semua."
"Brengsek lo," sahut Brayuda kesal.
Langkah Brayuda berhenti. Matanya menatap langit malam. Ekspresinya berubah sedih. Dua tangannya sudah bertumpu pada tembok balkon.
"Raf, gue udah cari tahu soal Fayadisa. Lo tahu, hidup dia bahkan lebih keras dari gue, Raf. Ibunya buang dia dari kecil, tapi Rajata terus mengembalikan dia ke pintu rumah kontrakannya. Si pelacur sialan itu baru berhenti saat bokap gue kasih duit." Brayuda diam lagi. Dahinya mengernyit dalam seperti merasakan sakit. "Terus dia kabur dari rumah karena mau diperkosa sama pacar ibunya, tinggal di jalanan kayak gembel, sampai Bokap minta Arsyad jaga dia."
Tubuh Rafi berdiri di sebelah Yuda. Dia juga mulai menyalakan rokoknya.
"Gue marah sama Bokap, Raf. Gue nggak terima dia memperlakukan manusia seperti itu. Gue emang gila, bejat, mantan pembunuh dan apapun masa lalu gue itu. Tapi nggak ada, dalam hati gue yang terdalam mau sakitin orang begitu. Ninggalin anak gue sendiri begitu aja."
"Bokap lo punya alasan sendiri, Yud. Kenyataannya sekarang Bapak Besar lagi cari Faya, kan?"
"Lo sudah dengar?"
Rafi mengangguk. "Alex, bilang ke gue. Apa sudah ketemu?"
"Belum. Bantu gue, Raf. Bantu gue cari adik gue. Gue nggak kenal dia, tapi gue mau ada buat dia. Sendirian itu nggak enak."
Rafi terkekeh miris. "Itu omongan Dara dulu. 'Sendirian itu nggak enak lho, jadi saya temani.' Begitu katanya dulu."
"Lo berantem parah, sama Dara?" tanya Brayuda sambil menyulut satu batang rokok lagi.
Kepalanya mengangguk perlahan, lalu menghembuskan asap rokok kuat-kuat. "Dia minta sesuatu yang nggak bisa gue kasih."
Yuda tersenyum heran. "Emang ada yang nggak bisa lo kasih?"
"Ada." Rafi menghirup nafas dalam.
"Raf, Dara nggak minta pisah kan?"
"Nggak. Dia minta one-day off. Tanpa semua orang-orang gue."
Brayuda berdecak kesal. "Ya elaaah. Minta gitu aja lo nggak kasih."
"Emang Reyna juga suka minta begitu?"
"Satu bulan satu hari, Reyna akan libur dari seluruh tugasnya melayani gue dan anak-anak gue. Ya nggak seharian banget juga, karena malemnya dia udah di ranjang lagi. Gue nggak bisa tidur kalau nggak ada dia."
"Lo ijinin?" tanya Rafi tidak percaya.
"Kenapa nggak? Lo pikir ngurusin anak gampang?"
Brayuda memang lebih berpengalaman sebagai single parent karena dia memiliki Nanda, anak pertamanya sementara ibu Nanda meninggal dunia.
"Apalagi tambah ngurusin manusia kayak lo yang banyak nuntut banget. Nggak boleh ini-itu, harus begini-begitu. Reyna udah minta cerai kali kalau sifat gue kayak lo," Yuda melanjutkan.
"Biasa aja, Bro." Rafi mendorong pundak Yuda kesal dan sahabatnya itu malah tertawa. "Tapi gimana kalau dia ketemu Hanif lagi? Mereka masih punya janji makan nasi goreng pinggir jalan. Brengsek!!"
"Heh, manusia super posesif. Superman masih mending banyak gunanya, super kok posesif belakangnya."
"Diem nggak lo."
"Nggak usah khawatir sama Hanif."
"Kenapa?"
"Dia pacaran sama Faya. Dia lagi ribut sama Arsyad, gara-gara misi Faya yang bikin Faya hilang begini."
"What?"
"Masa Alex nggak kasih tahu?"
Rafi diam sejenak kemudian dia tertawa. "Berarti lo bakalan iparan sama Hanif?"
Yuda diam lagi, dia tidak berpikir sejauh itu. "Sialaaaan...bener juga ya. Shit."
Entah bagaimana, mereka berdua tertawa dengan semua fakta yang mereka baru tahu dan benar-benar mengejutkan mereka. Setelah itu tawa mereka mereda.
"Tapi Raf, bantuin gue cari Faya. Feeling gue dia benar-benar ada dalam bahaya. Bokap nurunin semua orangnya."
"Yakin gue, Yang Mulia Sanjaya udah tahu dan udah gerak juga. Bokap lo pasti langsung minta bantuan bokap gue." Satu tangan Rafi menepuk pundak Yuda. "Iya, gue bantu cari. Gue hubungi Hilman dan Nathalia. Karena gue yakin Alex sudah tahu dari Arsyad."
"Raf, lo nggak mau cari tahu soal orangtua Dara?"
"Apa ada pengaruhnya sekarang, Yud? Siapapun Dara, nggak merubah apa yang gue rasa ke dia. Nggak akan."
"Ya siapa tahu aja si Dara tiba-tiba jadi adek lo dari ibu yang lain kayak gue. Kan haram tu jadinya lo nikahin. Biar lo tambah pusing."
Rafi terkekeh. "Dasar gilaaa, gilaa."
"Tapi serius Raf, mungkin sudah saatnya lo tahu. Anyway, itu memang nggak akan berpengaruh pada apapun. Jadi suka-suka lo lah. Gue cuma tiba-tiba kepikiran karena kasus keluarga gue ini."
Nafas Rafi dihela panjang. "Nama Ibu Dara, Arlita. Ayahnya Pradhana. Yang gue tahu ibunya dokter yang sedang bertugas di daerah tempat tinggal ayahnya dan mereka ketemu di sana."
"Apa Dara pernah ajak lo ke makam Ayah-Ibunya?"
Rafi menggeleng. "Dia sibuk, Yud."
"Apa itu adil? Dara sibuk mencocokkan dirinya masuk ke dalam keluarga Darusman, sementara kalian nggak perduli dengan orangtuanya."
Kali ini Rafi benar-benar diam. Kalimat Yuda tepat pada sasaran. Selama ini istrinya itu benar-benar fokus memantaskan diri untuknya. Mengikuti seluruh aturan keluarganya, adat istiadat keluarga Darusman yang terkadang kaku dan menjerat. Mengurus anak-anak, mengurus dirinya sendiri, mengelola usaha, dan juga berusaha keras menyenangkan ayah dan mamanya. Dara tidak pernah mengeluh, istri hebatnya itu selalu tersenyum. Selalu siap kapanpun Rafi pulang, atau menunggu ketika dia tidak bisa pulang. Wajar saja Dara lelah dan ingin istirahat bukan? Apa dia bersalah lagi? Kenapa dia egois sekali? Semua selalu tentang dia dan keluarganya. Tidak pernah tentang Dara.
"Raf..."
"Omongan lo ada benernya. Gue merasa jadi monster lagi, Yud."
Tubuh Rafi berjalan ke arah kursi dan duduk di sana. Matanya menatap langit yang dihiasi purnama. Semua seolah kembali seperti dulu, di balkon ini saat mereka makan malam pertama.
"Bulannya bagus, purnama sempurna." Dara tersenyum sambil menatapnya sedih.
"Lihat nih, kalau tanganku begini, seolah-olah aku bisa sentuh bulannya. Padahal bulan itu tinggi banget, jauh." Tangan Dara mengangkat membuat gerakan seolah menutup gambaran bulan itu dari tempatnya berdiri.
Saat itu Rafi tahu, Dara sedang memperumpamakan dirinya sendiri dengan status keluarga Darusman. Lalu rasa bersalah menghantam tiba-tiba. Dia mencintai Dara, sangat besar hingga rasanya terkadang dia hilang di antara rasa itu. Dirinya begitu dikuasai oleh ketakutan, akan kehilangan. Kemudian dia genggam Dara erat, sangat erat hingga istrinya tidak bisa bernafas. Betapa jahatnya dia.
"Raf, jangan jadi cengeng dong. Bokap gue yang lagi jadi orang brengsek sekarang."
Senyum Rafi miris sekali. "Gue lagi jadi orang yang lebih brengsek dari Bokap lo beberapa bulan ini, Yud."
"Udah sana baikan. Lagian gue nggak ngerti kenapa lo masih cemburu sama Hanif. Dulu, tu anak emang nyebelin. Tapi udah terlalu lama, Raf. Kalau kata Nanda, lo Ga-Mon."
"Apaan Gamon?"
"Gagal move on."
Mereka terkekeh lagi. Rafi menghirup nafas panjang. Tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Dara. Ingin melihat istrinya itu tersenyum tulus dan tertawa. Atau bertingkah kekanakkan ketika hanya ada mereka berdua. Tangannya mengangkat ponsel.
"Sayang, lagi dimana?"
***
Terkadang, cinta itu memang bisa membutakan dan menyesatkan. #tsaaaah. Semoga Aryo nggak tersesat dan buat Faya jadi korbannya.
Kalau kalian bertanya-tanya, kenapa mesti ada El Rafi di sini. Oh, harus. Keberadaan El Rafi, dan Dara itu bukan cuma pelengkap saja, tapi mereka punya peran yang penting. Puzzle bagian El Rafi dan Dara itu akan melengkapi cerita ini, nanti. Stay tune aja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro