Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. The truth is hurt

Brayuda menatap ayahnya tidak percaya. Apa yang baru saja ayah sampaikan kepadanya adalah sesuatu yang sama sekali tidak dia duga. Di luar angannya yang paling gila. Oke, dia tahu kenyataan tentang ibunya, dia juga tahu seluruh masa lalu ayahnya. Bagaimana dulu ayahnya putus sekolah, terdampar di jalan dan kemudian menjadi salah satu preman daerah utara dan mulai membawahi preman-preman lainnya, sampai akhirnya bertemu Sanjaya Darusman dan Ibrahim Daud. Dia tahu itu semua. Tapi ini, sungguh dia masih tidak bisa percaya.

Tubuhnya sudah duduk di salah satu sofa ruangan kerja ayah. Dia masuk ke dalam ruangan ayah karena tahu kebetulan dia belum pulang dan ayahnya gaduh sekali di dalam. Tepat ketika lagi-lagi ayah menyebut nama gadis itu. Gadis yang Brayuda tahu, Rajata sedang awasi. Fayadisa Sidharta.

Salivanya dia telan, matanya menatap sosok itu tajam, tubuhnya kembali berdiri. "Apa Papa bisa ulangi, siapa Fayadisa?"

"Dia adikmu. Fayadisa Sidharta, adalah adik biologismu."

"Jangan-pernah-membohongi-saya. Dasar brengsek!!" Brayuda berteriak marah.

Iwan tersenyum miris. "Jangan cengeng, saya nggak akan bebankan dia ke kamu. Dia selalu bisa jaga dirinya sendiri. Sekarang, saya yang akan cari dan selamatkan dia. Kamu jangan ikut campur. Urus saja keluargamu. Ini dosa saya, saya yang akan bereskan."

"Dasar orangtua gila!! Apa Faya bahkan tahu? Kenapa Papa nggak pernah cerita dan biarkan dia sendiri selama ini? Dasar manusia gila!!!" Brayuda sudah maju dan menghantam ayahnya.

Iwan membiarkannya saja. Ya, dia bersalah, Fayadisa adalah kelemahannya. Karena itu dia meminta Arsyad untuk menjaga Faya. Untuk menjauhkan anak perempuannya itu dari musuh-musuhnya, agar Faya hidup dan tidak mati seperti istrinya yang dia sangat cinta. Karena begitu musuh-musuhnya tahu tentang Faya, gadis itu akan menjadi target baru. Berbeda dengan Brayuda. Predikat anak laki-lakinya sudah mengakar di bawah sana. Tidak ada yang berani menyentuh Brayuda Prayogo. Salah, tidak ada yang sanggup karena kemampuan bertarung anaknya itu luar biasa. Jadi tidak ada yang berani mengusiknya.

Rajata melerai mereka berdua. Iwan tertawa lagi.

"Saya hanya membiarkanmu memukul saya kali ini, bocah tengil. Karena pikiran saya harus kembali waras untuk mencari anak gadis saya."

"Berdoa saja Pa, bahwa Faya nggak akan membenci lo karena sudah meninggalkan dia selama ini. Berdoa saja." Brayuda terengah sementara Rajata sudah menahan bahunya.

"Tidak boleh ada yang tahu. Hanya kamu, saya, Rajata dan Arsyad. Berita ini tidak boleh tersebar keluar. Atau Faya akan mulai diburu. Situasi sedang panas di bawah sana. Herman sudah mulai masuk dan gunakan uang. Apa kamu paham?" Iwan menatap Brayuda tajam.

"Shit!!" Brayuda menyumpah serapah marah.

"Pergi, saya ingin susun rencana dengan Rajata."

"Gue ikut. Dia adik gue. Apa lo punya rahasia lain selain ini, Pa? Adik lagi atau istri yang lain?" Kepala Brayuda menggeleng tidak percaya.

"Jangan buat saya emosi, bocah tengil. Saya hanya cinta satu wanita, dan itu bukan Ibu Faya."

"Dasar orangtua bodoh. Kenapa sampai lupa pakai pengaman."

"Jata, tembak kakinya kalau dia menghina saya lagi." Iwan duduk di kursi kebesarannya.

Rajata mengangguk singkat. Kemudian mereka berdua duduk dihadapan Iwan dan mulai menyusun rencana.

***

Di tempat lain

Yang dia ingat hanyalah wajah Aryo yang emosi dan terluka. Kemudian dia tidak sadarkan diri. Setelah itu dia bangun dan sudah berada di sebuah ruangan berukuran sedang dengan satu kursi. Tubuhnya sendiri berada di lantai. Dia bangun dan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang hanya remang-remang saja. Ruangan eksekusi. Dia pernah melihat ruangan jenis ini.

Tubuhnya bersandar ke tembok dingin di belakang. Berpikir dan berdoa agar Leo selamat. Atau jika Leo mati, semoga saja Aryo membunuhnya cepat dan dia tidak disiksa terlebih dahulu. Apa itu terlalu muluk-muluk?

Pintu itu terbuka dan sosok Aryo masuk, kemudian duduk di satu-satunya kursi yang ada di sana. Diam, sambil menatapnya tajam tanpa suara. Mungkin mempertimbangkan apa jenis hukuman untuknya.

"Lo siapa?"

"Saya, adalah saya."

Aryo mendengkus marah. "Lo mau bermain sulit? Baik." Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Kemudian mengatur ponselnya agar bisa terlihat oleh Faya. Pemandangan Leo sedang dipukuli sudah ada di sana.

"Bunuh dia, kemudian bunuh saya. Beres. Ingat, jangan sisakan saya kalau kamu mau bunuh dia. Karena, saya bersumpah akan membunuh siapa saja yang membunuh dia. Paham?" Dia membalas tatapan tajam Aryo.

Aryo mengangguk. "Paham. Apa lo paham dengan pertanyaan gue? Siapa nama lo sebenarnya?"

"Apa perlu?"

"Penting, gue selalu harus tahu siapa nama orang-orang yang gue habisi."

Faya berdiri, kemudian Aryo juga berdiri berhadapan dengannya. "Saya ingin keluar, saya dan dia. Setelah itu, saya beri tahu nama saya."

Aryo tersenyum miris. "Api di mata lo sudah menyala. Yang selama ini diam-diam bersembunyi, sekarang menyala. Terang. Indah." Mata Aryo lekat menatap titik mata Faya. "Kenapa selama ini lo tutupi, Fa?"

Wajah Aryo mendekati bibir Faya, namun sudah tidak ada Nafa di sana. Hanya Fayadisa. Dia tidak perlu lagi berpura-pura. Refleks tangannya adalah menarik tubuh Aryo dan memutar kakinya untuk membanting laki-laki itu. Gerakan Aryo sama cepatnya, langsung menangkap lengan Faya dan dengan mudah malah membalik posisi hingga Faya yang terpelanting di lantai.

Satu tangan Aryo sudah mencengkram leher Faya kuat. "Gue benci dipermainkan, dibohongi. Gue benci pengkhianatan."

"Saya sudah bilang...saya tidak punya perasaan apapun, sejak awal." Faya menahan tangan Aryo karena dia mulai merasa sesak dan sulit bernafas.

"Lo tahu gue bisa bunuh lo sekarang? Gue bisa, dasar wanita brengsek!!" Cengkraman tangan Aryo makin kuat.

Faya sudah menurunkan tangannya. Membiarkan Aryo membunuhnya, ini yang tadi dia minta kan, kematian cepat. "Si-lahkan," ujar Faya terbata sambil menatap manik mata itu.

Nafas Aryo tersengal karena menahan emosi. Faya masih berbaring di bawahnya kemudian terbatuk karena dia sudah melepas cengkramannya. "Lo akan membayar dengan cara lain, Fa."

Ponselnya lagi-lagi berdering. "Ya?" dia menjawab.

"Fayadisa Sidharta dan Leo Chandra, orang ADS. Tapi saya nggak bisa lihat jabatannya, Pak. Mahendra hebat soal ini. Database ADS sulit ditembus," ujar penelpon di seberang sana.

"Bagus." Dia menyudahi kemudian menatap Faya di bawahnya. "Fayadisa Sidharta dan Leo Chandra. Sekarang, kita hubungi Arsyad."

Wajah Aryo mendekat pada telinganya serta berbisik. "Turuti gue, atau Leo mati dan gue bisa pastikan kematiannya akan panjang dan lama. Paham?"

Tangannya terkepal keras, dia tidak akan menggadaikan informasi apapun. Leo dan dia sendiri tahu apa resiko pekerjaan mereka. Leo-nya juga akan melakukan hal yang sama, laki-laki itu akan bungkam sekalipun melihat dirinya disiksa. Asal mereka bersama. Ya, asal mereka bersama semua tidak apa-apa.

***

Selanjutnya, setelah telpon dengan Arsyad selesai, yang dia tahu dia dibawa ke sebuah tempat entah dimana. Karena lagi-lagi dia dibuat tidak sadar ketika dipindahkan. Ketika dia bangun, dia berada di atas tempat tidur ukuran 160. Matanya berkeliling, kamar dengan nuansa putih dan kayu. Dengan satu jendela kaca besar menghadap keluar, sayang pandangannya tertutup pohon tinggi.

Dia mengangkat kursi dan melemparnya ke jendela. Nihil, kaca anti peluru jadi percuma saja. Benda-benda di kamar tidak ada yang bisa membantu. Hanya satu tempat tidur, kursi dan meja tanpa laci. Di atas meja, ada buku manajemen milik Nafa. Itu saja. Kemudian pintu yang saat dia buka ada kamar mandi minimalis di sana, tanpa kaca.

Matahari mulai bangun. Pertukaran akan terjadi pada jam 09:00 hari ini, begitu kata Arsyad. Mungkin ini sudah pukul 5.30. Kemudian pintunya terbuka. Aryo masuk dengan makanan di nampan. Laki-laki itu baru selesai mandi karena rambutnya masih setengah basah.

"Selamat pagi, Fa. Bagusnya nama Nafa dan Faya sama. Sekalipun kalian dua orang yang berbeda." Dia meletakkan nampan makanan di meja.

"Dimana Leo?" Tubuh mereka berdiri berhadapan dan hanya berjarak lima langkah saja.

"Di sini." Tangan Aryo menyodorkan foto Leo dengan kondisi babak belur.

Dengan cepat dia menghampiri Aryo serta menampar wajahnya. Aryo terkekeh. Dia melayangkan pukulan yang sama namun Faya menangkap tangan itu. Kemudian terjadilah perkelahian itu. Faya menyerang marah, Aryo menghindar dan bertahan sambil tertawa seolah meledek Faya.

"Lo tahu? Emosi bisa merusak konsentrasi dan fokus." Aryo menepis serangannya dengan mudah.

Kemudian laki-laki itu berbalik menyerangnya, hingga dia dijatuhkan di atas kasur. "Gue pikir gue tertarik dengan Nafa, tapi ternyata, gue lebih suka Fayadisa."

Tangan Faya sudah ingin memukul wajah Aryo namun dengan cepat Aryo mengunci tangan dan kakinya. "Apa lo cinta Leo, Fa? Harusnya enggak kan? Kalian seperti saudara, begitu yang gue dengar dari bawahan-bawahan gue. Gue nggak punya teknologi secanggih Arsyad, tapi gue punya mata dan telinga yang setia di bawah."

Aryo tersenyum kecil menatapnya. "Leo dan Faya, yang bertualang bersama sejak kecil. Sampai akhirnya lo bertemu Arsyad. Dan manusia tukang ikut campur itu langsung mencampuri hidup lo. Elo merasa hutang nyawa pada Arsyad? Apa lo sadar bahwa lo diperdaya? Dijadikan alat penumpas musuh-musuhnya. Sampai lo nggak punya hati." Aryo memberi jeda. "Gue dan elo, sama. Hanya beda bos saja."

Nafas Faya menderu marah, tapi mulutnya bungkam. Aryo masih mencengkramnya kuat, dia tidak bisa bergerak. Kemudian wajah Aryo mendekat. Mencium pipinya perlahan. Wajahnya dia tolehkan ke samping kemudian Aryo tersenyum lagi.

"Bagus, gue jadi punya akses ke leher lo." Benar saja, bibir Aryo turun ke lehernya.

Faya berusaha meronta kuat.

"Diam, atau gue lempar Leo ke jurang sebelum jam 9 pagi."

Kemudian Aryo tersenyum lagi karena tubuh Faya diam kaku. Menerima perlakuan Aryo yang sedang terus turun menuju dadanya. Satu tangan Aryo sudah mulai menjalar menyentuh tubuhnya. Kemungkinan Leo selamat tinggi, karena Aryo akan menukar Leo dengan buku itu. Setelah itu, dia bersumpah akan membunuh Aryo jika laki-laki ini meneruskan apa yang dia ingin teruskan sekarang. Jadi, sekalipun seluruh harga dirinya tidak terima diperlakukan seperti ini, dia diam. Mematikan hatinya lagi.

Tangan Aryo sudah menelusup ke balik kausnya, menyentuh kulit di balik sana. Laki-laki itu juga mengangkat kausnya hingga terbuka sampai dada. Kemudian tanpa Aryo sadari, dia menghantamkan kepalanya ke wajah Aryo cepat lalu mendorong tubuh laki-laki itu menjauh.

"Lempar aja Leo, silahkan. Setelah itu, saya akan kejar kamu ke ujung dunia. Atau, kamu bisa bunuh saya sekarang. Saya sudah tidak berguna kan?"

Aryo mengusap hidungnya yang berdarah sambil tertawa kecil. "The Little Lioness. Andai semudah itu menyingkirkan lo, Fa." Laki-laki itu berkacak pinggang sambil menatap Faya.

"Lagian hukuman buat lo adalah, berada di sini selamanya bareng gue. Mati terlalu gampang. Gue, elo, Arsyad, Niko dan semua orang yang bekerja di bidang kita, akan jauh lebih memilih mati. Daripada dikurung, terpenjara. Itu neraka sesungguhnya. Jadi, gue akan berikan neraka untuk lo."

Nafas Aryo berhembus tenang. "Kita punya banyak waktu, Fa. Sangat banyak. Gue akan biarkan lo berpikir. Dua pilihan. Tinggal di sini dan jadi wanita penurut, jadi lo bisa sesekali keluar dan nggak mati bosan. Atau tinggal di sini dan memberontak. Gue bisa pastikan lo hanya bisa melihat jendela itu selama-lamanya."

Tubuh Aryo berbalik ketika sudah sampai di pintu. "Oh ya, jadwal makan tiga kali sehari dan akan diletakkan di depan pintu, Pakaian bersih akan diberikan setiap hari, juga diletakkan di depan pintu. Elo buka pintu, akan ada penjaga di sana yang siap dengan senjata." Senyum Aryo terkembang. "Gue akan kirimkan seluruh rekaman CCTV kita di sini pada Arsyad. Siapa tahu dia kangen sama lo, ya kan? Lo mau titip salam sama Leo?"

Faya meraih buku manajemen di atas meja dan melemparnya ke arah Aryo. Laki-laki itu tertawa. "Oke, gue akan sampaikan. Sampai jumpa nanti malam."

***

Jam 09:00 pagi, di tempat yang sudah ditentukan.

"Dimana Faya?" Arsyad menatap Aryo yang menggenggam lengan Leo dengan kondisi babak belur. Wajah Leo tertutup darah.

"Satu, untuk satu. Itu perjanjiannya," ujar Aryo.

"Buku merah, ditukar dengan Faya dan Leo. Begitu yang benar. Jadi, perjanjian batal." Sahut Arsyad tegas.

"Oke, batal. Leo nggak berguna lagi." 'DUARR.' Aryo menembak kaki kiri Leo. Kemudian mengarahkan pistol ke dada.

"Stop!!" Arsyad berujar cepat.

"Now, we're talking." Aryo menatap Arsyad yang wajahnya kaku. Leo sudah berlutut karena kakinya terluka. "Lempar kopernya."

"Gue akan memburu lo." Koper biru itu dia genggam kuat.

"Gue tahu."

"Gue akan membuat semua orang memburu lo, termasuk Herman," ancam Arsyad lagi.

Aryo tertawa. "Satu aja, informasi dari buku merah itu yang gue yakin sudah lo salin entah dimana. Ketika satu aja, informasi bocor. Gue akan kirimkan bagian-bagian tubuh Faya. Mulai dari jari-jarinya."

Arsyad tersenyum miris. "Lo nggak akan bisa."

"Syad, berhubungan badan itu nggak butuh jari. Paham?" Aryo tersenyum lebar melihat rahang Arsyad yang mengeras. "Nah, ngerti kan sekarang. Siniin kopernya."

Arsyad melempar koper biru yang segera ditangkap Aryo. Laki-laki itu memeriksa isinya kemudian tersenyum puas. Lalu koper biru itu dia buang dan hanya mengambil buku merah saja. "Mau kirim salam sama Faya? Ini malam pertama gue dan dia. Oh salah, malam kedua setelah semalam." Aryo tersenyum lebar.

Tangan Arsyad dengan cepat menembakkan dua peluru ke tubuh Aryo. Kemudian seluruh tim Aryo menodongkan senjata cepat, juga tim ADS yang berada di belakangnya. Aryo menggeleng, tubuhnya hanya mundur tiga langkah karena dia mengenakan rompi anti peluru. Paham benar Arsyad sengaja melakukan itu, bukan karena meleset.

Aryo menghirup nafas dalam. "Nanti gue kirimin rekamannya. Selamat pagi." Aryo dan anak buahnya sudah pergi.

***

Tubuh Arsyad menghampiri Leo dan timnya segera menolong Leo yang kondisinya memprihatinkan.

"Bang, ini Leo kita yang urus. Fokus ke Faya," ujar Ram.

Dia mengangguk lalu berlalu masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menjemput. Mahendra ada di dalam dengan laptop.

"Hen, bilang kalau tracker device berhasil dipasang."

"Harusnya lo tembak kepalanya, Bang." Jawab Mahendra kesal sekalipun paham benar mereka tidak bisa melakukan itu karena keberadaan Faya yang masih mereka tidak tahu. "Sudah terpasang, di mobilnya."

"Kasih kordinatnya ke Hanif dan Mareno."

"Done."

"Ren, sudah terima?" tanya Arsyad melalui earphone.

"Sudah, kita sedang ikuti." Mareno dan Hanif menggunakan Ducatti sedang membuntuti mobil Aryo.

Sementara di tempat lain.

Iwan Prayogo duduk di kursi ujung meja panjang. Tempat pertemuan mereka. Sudah ada empat petinggi yang masing-masing memegang area barat, timur, utara dan selatan. Rajata berdiri di sisinya.

"Kita langsung pada intinya. Uang." Iwan mengangguk pada Rajata yang mulai meletakkan empat koper di meja panjang besar itu.

"Salah satu teman saya, butuh bantuan. Kalian pasti tahu, uang tidak pernah jadi masalah untuk mereka. Saya juga tahu, beberapa diantara kalian sudah bersekongkol dengan Herman. Tapi, Herman selama ini tidak pernah melindungi kalian. Dia hanya memberi kalian uang. Yang saya tawarkan, uang dan perlindungan. Saya masih menjabat dan tidak berniat untuk turun dalam waktu dekat. Herman akan saya bereskan nanti."

"Kenapa Abang sebut-sebut Herman lah. Dia nggak ada hubungan sama kita." Salah satu preman tersenyum licik.

Iwan tertawa. "Manusia serakah dan brengsek seperti kalian memang terkadang sangat berguna." Matanya menatap koper-koper itu. "Uang itu, semuanya, bisa kalian miliki. Asal, temukan informasi keberadaan dari wanita ini."

Rajata membagikan foto Fayadisa.

"Kemarin Abang minta cari orang bertato, sekarang cewek cantik."

"Jadi kamu tahu benar, ketika kamu bisa menemukan informasi seperti orang bertato itu, saya pasti tidak curang dan memberikan apa yang saya janjikan. Selatan? Kamu dapat itu kemarin kan?"

Pimpinan Selatan tertawa. "Terimakasih, Bang. Tapi sudah habis. Butuh lagi." Yang lain ikut tertawa.

"Lihat jumlahnya, dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Teman saya orang penting sekali, jadi ini bukan apa-apa," ujar Iwan lagi.

"Apa ini pacarnya? Atau anaknya?"

"Hey, hey. Apa perdulimu. Saya pun nggak perduli yang penting dapat uang. Cari aja wanita itu secepatnya. Lapor ke saya. Rajata akan cek kebenarannya, kemudian silahkan jemput koper-koper itu di tempat biasa. Beres. Sudah paham?"

Mereka tertawa. "Saya yang akan dapat kali ini, Bang. Tunggu telpon dari saya."

"Nggak segampang itu Bego. Lo pikir gue nggak mau?"

Mereka mulai bersahut-sahutan sambil tertawa. Iwan tersenyum lebar. Manusia, dengan segala nafsunya. Untungnya dia bisa mengendalikan mereka semua, paling tidak sampai detik ini.

"Bagus. Sekarang mulai bekerja. Kerahkan semua orang-orang kalian di bawah."

***

Makin seruuu. Stay tune yaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro