32. This is personal
Beberapa jam sebelumnya
Sudah pukul empat sore, ketika Hanif tiba di markas besar ADS. Langsung menuju loker ganti karena yakin sekali Arsyad dan Niko sedang berada di sana untuk bersiap-siap. Benar saja, ketika dia masuk sudah ada tim black command, Niko dan Arsyad di sana.
"Semua keluar, sekarang," perintah Niko pada timnya.
Seluruh emosinya dia tahan dan dia mulai berganti pakaian. Arsyad menatapnya tapi dia memutuskan untuk diam. Pikirannya harus jernih agar dia bisa memastikan Faya selamat dari misi.
"Nif..." Arsyad memulai.
"Stop."
"Lo paling paham kenapa gue..."
'BRAK!!' Pintu loker dia hantam.
Tubuhnya berbalik menghadap Arsyad. "Kalau Faya celaka, lo akan kehilangan dua Bang. Gue...dan Faya."
Tangan Arsyad mencengkram bajunya dan mendorong tubuhnya kasar ke loker. "Rencana kita berdua sempurna, kalau lo masih ingat itu. Lo yang kacaukan semuanya."
"Rencana lo, Bang!! Bukan gue. Gue hanya meminta dan melatih Faya untuk memasang alat-alat itu di kantor Herman. Bukan mengambil buku merah sialan itu dan berhadapan dengan Aryo," dia berteriak marah sambil mendorong kembali tubuh Arsyad kasar. "Dan Faya berhasil di misi pertama."
"Faya masih bisa, Nif. Penilaian lo kabur karena variabel yang nggak perlu."
"Stop, stop. Serius, kita bisa terlambat. Sudah stop. Fokus mengeluarkan Faya dari sana dengan selamat, can we agree on that?" Niko sudah menengahi mereka sambil menatap tegas keduanya.
***
Mereka sudah tiba di titik penjemputan. Gedung perkantoran yang terletak persis di sebelah gedung kantor Herman. Helikopter sudah siap dan sejak kemarin sudah berada di sana. Tim Black Command sudah siaga di lantai bawah dan menyamar sebagai penduduk sipil atau orang kantoran pada umumnya. Semua sudah pada tempat masing-masing.
Arsyad mengecek jam di pergelangan tangan. 6.30. "Biru, tolong cek situasi."
"Kelinci kecil masih berada di warung. Mungkin 15 menit lagi," jawab Mahendra.
"Apa koper perak sudah di antar?" Hanif kali ini.
"Sudah, semua sudah di tempatnya."
"Oke, kita menunggu," timpal Arsyad.
Itu adalah tiga puluh menit paling menyiksa dalam hidup Hanif. Melihat wanita yang dia cinta jalan berdampingan dan masuk ke dalam gedung kantor Herman. Mendengar bagaimana Aryo berbicara, serta mencium dan memeluk Faya di warung tadi sungguh menarik-narik seluruh sisa kewarasan yang dia punya. Bayangan apa-apa yang mereka lalui tiga hari kemarin justru makin menambah perih seperti cuka yang disiram di atas luka. Dia bersumpah dia tidak akan menempatkan Faya pada posisi yang sama lagi setelah ini. Tidak akan lagi.
Kemudian Niko yang meneropong gedung dengan alat dari Mahendra mengernyitkan dahi.
"Biru, tolong cek siapa yang berada di ruangan Herman. Ada seseorang di sana," ujar Niko.
"Bukan si Kelinci?" tanya Mahendra.
Arsyad dan dia langsung mengaktifkan black glasses.
"Zoom 10 kali...lagi." ujarnya.
Dia memang tidak bisa melihat wajah laki-laki itu, karena baik black glasses atau teropong dari Mahendra hanya bisa melihat pancaran panas tubuh saja. Tapi dia bisa menganalisa gerakan orang.
"Bukan orang Herman, dia bergerak terlalu berhati-hati," ujar Arsyad. "Nif, itu anak ADS."
Matanya terus mengamati. "Shit, Leo. Itu Leo. Hubungi Faya, batalkan misi."
Sebelum Mahendra bicara, kaca jendela gedung di seberang mereka pecah dengan tabung APAR yang jatuh ke bawah. Tidak ada orang di lantai itu, jadi dugaan mereka Leo memasang pelontar dan peledak ringan untuk mengecoh para penjaga.
"Tim, siap-siap di posisi. Leo ada di sana dan besar kemungkinan tertangkap. This gonna be tough." Niko memperingati timnya di bawah jika saja orang-orang Aryo mendatangi gedung tempat mereka menunggu saat ini.
"On our position, Bos. Siap lahir batin," sahut Ram, salah satu tim di bawah.
Kakinya sudah ingin melangkah ke menuju lantai bawah ketika tangan Arsyad menahannya. "Tetap di sini, Nif."
"Gue susul dia, gue nggak perduli gue harus lawan lo atau Aryo, gue nggak peduli. Minggir!!!" Dia mendorong tubuh Arsyad kasar.
"Arsyad benar, Nif. Lihat." Niko sudah menunjuk ke arah gedung.
Alarm sudah meraung dan titik panas Faya menunjukkan gadis itu sedang berlari ke atas.
"Faya bisa lolos dan dia harus lihat lo ada di sini," ujar Niko.
Dadanya belum pernah berdebar secepat ini. Matanya terus mengawasi atap gedung. Terus mengawasi sampai akhirnya dia melihat sosok Faya dengan jaket abu-abu dan jins berdiri di sana. Gadisnya itu memasukkan buku merah di koper dan Mahendra memberangkatkan dronenya.
Harusnya setelah itu Faya menggunakan senjata pelontar tali dan menancapkannya di sana untuk meluncur ke arah mereka. Tapi, gadis itu menatap koper, mengambilnya dan melempar koper perak itu hingga mendarat tidak jauh dari tempat mereka. Jantung Hanif seperti ditarik pergi.
"Faya, cepat kembali. Ini perintah, Komandan." Suara Arsyad setengah berteriak di sana.
"Saya sudah selesaikan misinya. Saya akan jemput Leo, Bang."
"Faya, jangan konyol!! Kembali sekarang juga. Kita akan jemput dan selamatkan Leo nanti." Dia sudah berteriak panik sambil menatap Faya dari tempatnya.
"Selamatkan Bu Yanti. Jangan tunggu saya dan Leo. Fayadisa out."
"Faya, kembali sekarang...Fa!!" Dia berteriak tidak perduli.
Kemudian gadis itu melepaskan earphone di telinga dan menginjaknya keras hingga hancur. Mata mereka terus bertaut, tubuhnya sudah ditahan Arsyad dan Niko karena dia ingin mengambil koper perak itu agar dia bisa menyeberang ke sana. Sementara mereka sudah bisa melihat sosok Aryo Kusuma yang berjalan mendekati Faya dari belakang.
Tubuhnya dijatuhkan ke lantai beton. Arsyad menatap matanya.
"Kita jemput dia, Nif. Sekalipun kita harus berperang habis-habisan. Kita jemput dia. Jangan gegabah, kalau lo masuk sekarang lo nggak akan bisa keluar dari gedung itu. Aryo nggak akan sakitin Faya karena kita punya buku itu."
"Brengsek...brengsek. Bajingan." Dia tidak mengerti harus marah pada siapa. Tubuhnya berbalik menjatuhkan Arsyad ke lantai dan memukul wajah abangnya itu berkali-kali.
Pada Arsyad kah karena sudah memaksakan misi ini dari awal? Atau pada Faya sendiri yang keras hati dan tidak mau kembali? Atau pada dirinya, yang tidak sedari tadi menerabas masuk saja? Terakhir dia menangis, karena berdoa untuk Daranindra saat wanita itu sedang diambang maut. Saat ini, air matanya menetes keluar. Membayangkan apa yang akan dilalui gadis yang dia cinta saat menunggu dia datang menjemput. Apakah Faya masih bisa bertahan? Selamatkah dia nanti? Apa yang akan terjadi jika gadis itu benar-benar meninggalkannya pergi? Yang dia tahu saat ini perasaannya remuk redam.
"Nif, Hanif." Niko juga tidak kuasa menahan Hanif yang mengamuk.
Arsyad hanya diam menerima semua pukulan adiknya itu. Membiarkan Hanif menghancurkannya, karena itu semua juga salahnya. Ya, dia juga bersalah.
"Bos, segera pergi dari sana. Orang-orang Aryo mulai memeriksa perimeter dan gedung ini. Kita tahan di bawah." Ram berkata dari earphone.
"Hindari bentrokan langsung, masih ada orang sipil lalu lalang. Amankan Bu Yanti sekarang." Niko berujar cepat. "Kami akan naik heli. Bertemu di markas, pastikan semua selamat dan tidak ada korban jiwa."
Hanif berhenti sambil tersengal. Berusaha melawan emosinya yang tadi menggelapkan mata. Kemudian dia berlari lebih dulu ke heli. Niko sudah melihat Faya dibawa pergi, Leo pasti tertangkap. Dia mengulurkan tangannya ke Arsyad. Kemudian Arsyad meludahkan banyak darah ke tanah. Niko paham, Arsyad marah pada dirinya sendiri. Karena itu dia membiarkan Hanif menghantamnya seperti tadi.
"Ayo, kita bereskan bersama Bang," ujar Niko padanya.
"Dimana paketnya, Hen?" Arsyad berkata sambil berlari menuju heli.
"Aman. Gue tunggu di black room," jawab Mahendra.
"Ya."
***
Black Room
Hanif berjalan mondar-mandir gusar. Kemungkinan Faya masih hidup besar, karena mereka memiliki buku catatan merah itu. Aryo tidak akan membunuh Faya. Beda ceritanya dengan Leo. Aryo bukan orang bodoh yang mau menukar dua nyawa dengan satu buku. Hanya satu, untuk satu. Jadi bagaimana caranya agar keduanya selamat?
"Aryo tidak akan membunuh Faya. Karena kita punya buku itu. Dia akan menghubungi kita. Hen, sudah cek perangkat Faya dan Leo? Dimana mereka?" ujar Arsyad sambil berdiri.
Mahendra menggeleng. "Nihil. Semua perangkat dirusak."
"Darimana Leo tahu tentang semua ini?" Arsyad mengernyitkan dahi.
"Leo mencuri dengar, terus dia mengikuti Hanif dan Mareno. Setelah itu mengakses data waktu kita lagi sibuk dengan perpindahan Danika dan kejar Antania." Mahendra menjelaskan karena dia sudah selesai mengecek semua CCTV dan semua track device tim ADS. Tangan Mahendra masih terus bergerak di laptopnya seperti masih mencari sesuatu.
"Satu untuk satu. Sedangkan Faya nggak akan pergi sampai Leo juga selamat." Hanif menggumam sendiri sambil bertolak pinggang dan menggelengkan kepala untuk mengusir rasa cemas yang kuat mencengkram.
Mareno yang baru tiba langsung menghampiri Hanif. "Bang...." Dia menempuk pundak Hanif. "Kita jemput bareng-bareng. Jangan khawatir, Bang."
"Kita selamatkan dua-duanya," ujar Arsyad sambil menatap Hanif dari seberang ruangan.
Ponsel Arsyad berbunyi. Video call, nomor tidak dikenal.
"Angel, sambungkan dengan layar besar. Matikan video dari sini. Biar kita bisa melihat mereka tapi tidak sebaliknya."
"Menyambungkan."
Kemudian layar itu menyala.
"Halo, Arsyad." Aryo terkekeh di sana. "Lama tidak bertemu. Kayaknya lo kangen banget sama gue."
Aryo sedang berdiri di sebuah ruangan kosong tanpa jendela, dengan Faya duduk di kursi kayu pada tengah ruangan. Kondisi Faya baik, wajahnya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.
"Nyalakan kameramu, Syad. Kenapa jadi pengecut? Apa seluruh orang ADS ada di sana?" lanjut Aryo.
"Angel, ganti background. Tutupi yang lain. Nyalakan kamera setelah itu," ujar Mahendra kali ini. Aryo masih belum bisa mendengar mereka karena mute button masih menyala.
Mahendra, Niko, Hanif dan Mareno mundur menjauh dari layar. Agar mereka tidak tertangkap pada kamera video, namun mereka masih bisa melihat ke sana.
"Nah, begitu lebih baik. Lo sendiri? Dimana Niko dan yang lain?" Aryo menyalakan rokok masih sambil berdiri.
"Halo Aryo. Kabar saya baik." Arsyad menatap Aryo tanpa ekspresi.
"Easy, Bang. Jangan terpancing," bisik Mareno.
"Lo kirim Fayadisa Sidharta dan kasih bonus Leo. Hmm...berarti buku itu benar-benar penting. Sebenarnya itu bukan gaya lo, Syad. Kirim dua orang ke misi bunuh diri. Itu ceroboh, dan ceroboh bukan gaya lo." Hembusan rokok Aryo membumbung tinggi. "Berarti sebelumnya lo benar-benar berpikir misi lo akan berhasil. Sebenarnya hampir, kalau lo nggak kirim Leo untuk jemput Faya. Mungkin, lo akan berhasil. Nice try, Syad. Gue akan ingat ini semua."
"Herman itu licik. Lo bekerja pada serigala yang berbahaya."
Aryo mengangguk setuju sambil tersenyum. "Ya, gue tahu. Gue nggak khawatir Herman. Apa lo khawatir dengan Faya? Atau Nafa? Atau siapapun nama cewek sialan ini? Apa pangkatnya di ADS, Syad?"
Arsyad diam saja, masih datar tanpa ekspresi.
"Niko...gue tahu lo di sana. Apa pangkat Fayadisa? Apa dia begitu hebat sampai dia bisa kalahkan gue? Apa dia sehebat Arsyad? Hey...Niko. Gue tahu lo otak dari semua ini."
"Sudah cukup basa-basinya," ujar Arsyad.
"Oke. Gue cuma mau bilang, silahkan ambil buku merahnya. Gue simpan Faya, Leo gue putuskan nanti."
"Herman akan gue lucuti, dia akan berbalik memburu dan membunuh lo."
Aryo terkekeh sambil menghirup rokoknya lagi. "Ya ya ya. Gue tahu. Tapi buku merah itu nggak penting buat gue."
"Ingat kepada siapa lo bekerja."
"Ingat dengan siapa lo bermain, Syad? Ingat!!" Aryo sudah berteriak marah. "Apa Faya sepenting itu, Syad? Jadi lo mau tukar buku merah yang sudah susah payah lo dapat? Begitu?" Aryo menggeram marah melihat ekspresi datar Arsyad. "Ya, gue pikir begitu."
Aryo berjalan ke arah Faya dan berdiri di dekatnya. "Berdiri, Fa."
Faya diam saja. Kemudian Aryo membisikkan sesuatu kepadanya, lalu Faya berdiri.
"Kita tukar malam ini," ujar Arsyad untuk menghentikan kegilaan Aryo.
Aryo tertawa lagi, tatapannya sudah beralih sepenuhnya ke Faya. Mereka berdiri berhadapan dan menyamping dari arah kamera.
"Ternyata lo sangat berharga, Fa. Arsyad sudah cari buku itu kemana-mana. Tapi setelah dia dapat, dia malah mau lepaskan buat lo." Tangan Aryo mulai menyusuri bingkai wajah Faya yang menatapnya lurus tanpa ekspresi.
Satu tangan Aryo sudah mendekatkan tubuh Faya dengannya. Dia mencium pipi Faya, membelai rambutnya. Faya diam saja, tidak bereaksi.
"Jam 02:00 dini hari. Serahkan Faya dan Leo pada kita, buku merah akan kembali." Arsyad memotong cepat.
"Sssst...jangan mengganggu, Syad. Sungguh kalau lo tahu betapa berarti Leo untuk Faya, mungkin lo akan kecewa." Aryo masih mencium rahang wajah Faya, kemudian dia beranjak menuju bibirnya.
Tubuh Mareno sudah berbalik dan menghalangi pandangan Hanif. Abangnya itu sudah gemetar sedari tadi menahan emosi.
"Jangan lihat, Bang. Kita keluar," bisik Mareno sambil menatap mata Hanif yang pendarannya menghilang dan coklatnya menggelap.
"Minggir, Ren." Desis Hanif.
"Jangan lihat. Kendalikan emosi, ini yang Aryo inginkan." Bisik Mareno lagi. "Aryo ingin mengacaukan fokus kita. Faya masih hidup, Bang. Itu hanya sebuah ciuman. Jangan terpancing. Itu bukan apa-apa."
Refleks tangan Hanif mencengkram leher Mareno kuat. Mareno diam saja, paham benar abangnya benar-benar akan meledak sebentar lagi. Melihat Faya diperlakukan seperti itu di depan matanya. Niko dan Mahendra melakukan hal yang sama, menghalangi pandangan Hanif, juga memegang pundak Hanif karena tubuh laki-laki itu bergetar hebat.
"Wow, sekalipun palsu..." Aryo menghirup nafas dalam. "Lo pencium ulung, Fa. Kita lihat selain berciuman, lo bisa apa?"
Niko, Mareno dan Mahendra menahan tubuh Hanif yang memberontak ingin maju dan menampakkan dirinya di layar.
"Tenang, Nif. Tenang." Niko mengunci tubuh Hanif dan memojokkannya ke tembok lalu berbisik. "Aryo nggak boleh tahu soal lo dan Faya."
"Jam 02:00 dini hari. Serahkan Faya dan Leo pada kita, buku merah akan kembali." Arsyad berujar lagi.
Aryo sudah kembali menatap Arsyad. "Jangan terburu-buru. Herman baru kembali 4 hari lagi. Mari kita bertukar setelah hari ketiga."
"Kalau begitu gue akan mulai lucuti Herman. Jam 02:00 dini hari atau tidak sama sekali."
Kekehan Aryo kembali. "Lo masih nggak ngerti, Syad. Buku itu nggak penting buat gue. Sama sekali. Silahkan aja lo lucuti Herman. Dia cuma atasan gue, bukan Bapak gue. Dan dia Paman lo, bukan keluarga gue. Jadi..."
"Besok pagi jam 09:00," ujar Arsyad memulai negosiasi waktu.
"Gue akan hubungi lagi, kapan waktu pertukaran. Kalau...gue masih mau tukar."
Arsyad terkekeh kering. "Silahkan, gue akan baca halaman pertama, kemudian mulai melucuti bos lo itu. Kita lihat, bagaimana Herman bisa menghancurkan hidup lo nanti karena sudah membiarkan buku merah itu lepas dari tangan lo." Kepala Arsyad menggeleng masih sambil tersenyum kecil. "Atau...mungkin Wibowo dengar dan jadikan ini sebagai momentumnya. Membunuh orang penting untuk lo sekarang, Faya misalnya."
Senyum kecil Aryo terkembang tapi dia masih menatap Arsyad.
"Wibowo ingin jadi seperti lo, Yo. Dia iri, karena Herman lebih percaya lo daripada dia. Wibowo itu politikus, bercita-cita akan duduk menggantikan Bayu Tielman. Muda, kuat, licik. Bayangkan, kalau dia tahu soal Faya. Atau dia sudah tahu?"
Wibowo adalah mantan sekertaris Bayu Tielman yang berkhianat dulu. Membius Bayu dan menculik serta menyerahkan Bayu pada Drajat dan Herman. Tommy Daud menghilang, dan Wibowo berharap bisa duduk menjadi orang kepercayaan Herman. Tapi Aryo menghalangi.
"Lo selalu luar biasa perihal pengetahuan dasar, Syad. Tapi, lo pikir Faya berharga buat gue? Faya orang lo."
"Faya berharga untuk lo juga, Aryo." Arsyad menatap Aryo. Paham benar apa yang dia lihat tadi. Jika Aryo berniat menyakiti Faya, dia tidak akan berperilaku seperti itu, tidak akan. "Stop berpura-pura tidak perduli pada Faya."
Air wajah Aryo berubah menjadi lebih menyeramkan. Sarat dengan emosi dan luka. "Itu yang membuat gue murka, Syad. Sebelumnya, urusan dengan lo hanya bisnis. No personal feeling. Tapi sekarang, lo buat ini jadi sangat pribadi buat gue, Syad. Bagus. Sampaikan salam gue untuk Sabiya. Nanti kita lihat, apa ekspresi lo akan berganti kalau Sabiya yang gue cium tadi? Oh, si cantik Sabiya. Berapa usia anaknya sekarang?"
Tubuh Mahendra, Mareno dan Niko membalik sempurna menatap layar. Mereka tidak mengira Aryo akan menyeret Sabiya dalam pertikaian mereka.
"Apa mengancam perempuan adalah keahlian baru lo, Yo? Ck ck ck...mengecewakan." Arsyad menggelengkan kepala. "Jam 09:00 pagi besok. Atau..."
Aryo dengan cepat menyebutkan nama tempat, tanggal dan jam. "Satu, untuk satu. Gue akan kasih Leo, bukan Faya."
Hubungan langsung disudahi. Detik itu juga, Hanif mengangkat kursi di dekatnya dan membantingnya keras. Dia mendorong meja, mengamuk, melampiaskan apa yang dia lihat tadi, apa yang dia tahan dan rasanya tidak tertahankan.
Sementara Mahendra langsung berdiri menuju layar. Tidak perduli dengan Hanif yang mengamuk di belakang.
"Angel, cari Sabiya dan Damar. Sekarang," ujar Mahendra.
"Mencari, Aluna Sabiya. Jalan Cemara Raya No.12, status aman. Mencari, Damar Daniswara. Jalan Cemara Raya No.12, status aman."
"Hubungi Ram, jemput Sabiya dan Damar ke safe house. Sekarang. Turunkan Black Command." Sambung Arsyad sambil menatap Niko. "Setelah sampai di sana, minta Max tinggal di sana untuk jaga. Ram kembali ke sini. Kita harus jemput Faya dan Leo."
Niko mengangguk mengerti lalu berlari ke luar ruangan.
"Angel, hubungkan pada Lexy," ujar Mahendra lagi masih menatap layar.
"Ya Tuan, apa yang saya bisa bantu?" Artificial Intelligence yang berada di safe house menyahut.
"Lexy, siapkan protokol level 5. Jika ada bahaya. Nobody enters the house, Lexy. Understand? Lindungi Sabiya dan Damar di dalam. Paham?" ujar Mahendra lagi.
"Perintah diterima."
Arsyad dan Mahendra berbalik menatap ruangan yang sudah dihancurkan Hanif. Mareno berdiri di pinggir ruang hanya menatap abangnya itu yang sedang frustasi. Hanif menatap Arsyad dengan tubuh yang masih bergetar.
"I want to kill you, as much as I want to kill Aryo. Stay away." Suara Hanif bergetar, kemudian dia berlalu ke luar ruangan disusul Mareno.
Mahendra menatap Arsyad. "Bang..."
"Susul Hanif, lacak Faya dan Leo. Entah bagaimana caranya, temukan mereka. Beritahu gue dimana posisi mereka." Tangan Arsyad mengepal kuat.
Kepala Mahendra mengangguk lalu dia pergi keluar ruangan. Ketika adiknya sudah keluar dan ruangan kosong, Arsyad menghantam tangannya ke tembok terdekat berkali-kali. Melepaskan apa yang tadi dia lihat dan dengar dengan mata kepalanya sendiri. Menghilangkan bayangan akan terancamnya Sabiya nanti atau kenyataan tentang besar kemungkinan Faya akan dilecehkan saat ini. Ini semua salahnya, dia bersalah.
"Tuan, Bapak Besar menghubungi." Suara Angel di sana.
Tangannya yang berdarah itu mengusap wajah.
"Dimana, Fayadisa?" Wajah Bapak besar sudah terpampang di layar.
Dia hanya menatap Iwan Prayogo diam. "Saya butuh bantuan."
"Bajingan!!!"
Rajata menahan bahu Iwan Prayogo. "Bunuh Tommy Daud, bunuh dia."
"Bukan Tommy. Tapi Aryo Kusuma."
Arsyad bisa melihat Brayuda yang baru saja masuk ke ruangan Iwan. Kemudian hubungan terputus.
***
Jangan lupa tarik nafas dan hembuskan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro